"Ayo― ayo, bunuh aku!"


Senja menutup mata, maka disanalah rembulan datang mengetuk pintu. Sederet kalimat aktif dengan nada mengajak pun mengejek yang menantang terdengar dari kejauhan.

Lee Taeyong terengah-engah, ketika punggungnya terasa sudah menyentuh ujung dari jalan bantu itu, terasa dingin dan sepi ketika ia menyadari betapa kasarnya dinding berbatu itu bertubrukan dengan baju hangatnya.

Tatapannya yang sudah menunjukkan degredasi mental dengan air mata yang mengalir keluar tanpa henti dari pelupuk mata Taeyong yang sudah sembab itu membuat pemuda lain yang berada di seberangnya bergidik ngeri.

Apalagi dengan adanya pisau dapur yang digenggam tangguh oleh pemuda berambut merah muda itu, dengan bahu bergetar― yang ia tak tahu karena cara tertawa psikotik atau menangis marah― membuat Yuta tak berani berbuat lebih jauh selain mengikutinya sampai kemari.

Diam-diam Yuta memaki pun mengutuk dirinya sendiri dan otak Taeyong yang justru mengarahkan mereka ke jalan buntu di sebelah apartemen mereka yang gelap dan sedikit sempit seperti ini.

Layaknya tak ada tempat lain saja, "Taeyong, tenanglah―"

"Ayo bunuh aku, Yuta!" potong Taeyong dengan napas yang tak terkendali, "Jangan mendekat! Jangan mendekat bila hanya ingin menarikku kembali kesana!"

Daripada takut karena pisau Taeyong yang menodong ke arahnya, Yuta lebih takut bila pemuda itu justru akan melukai dirinya sendiri. Baik, ini benar-benar sudah― hancur sekali.

"Baiklah, Tae. Aku― akan berdiri disini saja. Aku takkan bergerak, lihat?" cetus Yuta pelan sambil berusaha tersenyum kikuk, inginnya membuat suasana tidak terlalu menakutkan bagi Taeyong, dimana yang ironis adalah fakta bahwa Taeyong yang membuat semua hal ini menjadi―

―sangat membingungkan, menakutkan, dan melelahkan.

Yuta mengabaikan keringat dingin yang turun di pelipisnya maupun gendang telinganya yang sedikit pekak karena suara yang Taeyong hasilkan terdengar seperti mantera―tidak juga, seperti kompilasi gumaman aneh dan seram, untuknya.

Ayolah, Nakamoto Yuta adalah orang waras disini. Satu-satunya.


Pemuda jangkung itu tak tahu sejak kapan, namun yang pasti ia menemukan Taeyong nyaris menggantung dirinya sendiri bila Yuta tidak menendang pijakannya untuk naik ke tali itu.

Ketika Taeyong terjatuh, ia segera berlari ke dapur untuk mengambil pisau tersebut―dimana Yuta seratus persen dan sepenuhnya bingung untuk melakukan apa selain mengejarnya.

Hal itu membuat Taeyong berlari keluar ruangan dan merapalkan kalimat-kalimat yang entah merupakan pertanyaan atau pernyataan, yang membuat Yuta merinding.

Seperti― tolong bunuh aku, aku tidak bisa, aku ingin mati, aku harus mati, dimanakah neraka, apa itu tempat untuk pulang, adakah yang dapat membunuhku, matimatimatimatimati.

Tak lupa beberapa hal eksplisit lain yang tak baik didengar untuk jumlah kuantitas kesehatan psikis seseorang, dan kini Yuta menemukan dirinya dan Taeyong berada di jalan buntu kecil di sebelah tempat tinggal mereka.

"Kalau kau tidak ingin membunuhku," Taeyong menahan napas, membuat Yuta berseru akan penolakan ketika pemuda itu mengangkat pisaunya tinggi ke atas, "Aku akan―"

Tunggu dulu, ada potongan cerita yang hilang disini―


sebentar. mandi dulu, nanti saya lanjut.