Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi sensei, saya hanya pinjam saja.
.
.
.
Stupid or Kind?
(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)
Stupid or Kind by Authors03
Romance\Drama
Please.. Dont like dont read.. Thanks.
Chapter 13
.
.
.
03.22
"Jangan menangis lagi Hinata..."
Tes
Rasanya lelah sekali menahan air mata ini agar tak mengalir dan yang lebih melelahkan lagi adalah menyembunyikan suara tangisannya di balik bantal, berharap tidak ada teman sekamar yang terbangun karena sadar dirinya tengah menangis.
"Huft~" angin terhembus keluar dari bibir Hinata sebagai pengganti isakan. "jangan menangis lagi..." innernya berbisik. Kepalanya terasa sakit karena terus menangis, matanya terasa berat dan panas.
"Hiks.." lama kelamaan beratnya mata membuatnya tak lagi bisa membuka mata.
Tak perlu waktu yang lama, ia terlelap dengan bekas air mata memenuhi wajahnya.
.
.
.
07.21
"Bagaimana ini..." Hinata berguman panik setelah menatap bayangannya lewat cermin di dalam kamar mandi. Matanya bengkak dan sembab, ia sungguh tak mau siapapun tahu dirinya habis menangis apalagi Naruto...
"Tak ada pilihan lain..."
.
.
Drrrttt
Naruto yang baru saja berpakaian rapi meraih ponselnya yang bergetar di atas kasur size single.
Hinata : Maaf, aku tak bisa temaninmu sarapan.
Begitulah pesan yang masuk ke ponselnya.
"Wah..." bukan kecewa, malah senyuman senang yang menghiasi bibir Naruto. Dia menyimpan ponsel tadi ke saku celana.
.
.
BRACCK!
BRACCKK!
"BUKA PINTUNYA, HINATA!"
"Kyaaaah!" beberapa gadis penghuni kamar yang baru saja ingin membuka pintu kamar mengurunkan niat dan berlari menjauh dari pintu yang tiba-tiba di pukul kasar.
"Itu pasti Naruto!" salah satu gadis berucap.
"Mengapa dia ke sini?!"
"Sepertinya dia marah."
"HINATA!"
BRAAACKK!
"Siapa itu?" Hinata muncul dari dalam kamar mandi dan menghampiri.
"Na-Naruto!" salah satu menjawab.
"Yaampun..." Hinata syok seketika. Apakah dia langsung berlari dari kamarnya ke sini setelah menerima pesan Hinata?
Mau tak maupun Hinata harus membuka pintu itu. Tentu saja ia harus, ia sungguh tak mau Naruto meruntuhkan pintu kayu itu.
Klik
"Hina!..." Naruto membisu ketika pintu terbuka dengan menampilkan wajah Hinata.
Mata bengkak dan sembab. Apa dia menangis?
"..." Hinata sedikit menunduk, berharap Naruto tak sadar pada bengkak di matanya.
"Dia pasti tak mau aku tahu kalau dia habis menangis." Pikir Naruto mengerti keadaan, akan lebih naik kalau ia pura-pura tak melihat apapun.
"Aduh aku tiba-tiba kenyang sekali." Naruto menampilkan wajah malas. "Aku pergi dulu, aku ngantuk." ingin melangkah pergi tapi Hinata menarik sisi kaos bagian belakangnya membuatnya kembali pada posisi semula.
"Apakah nanti malam kamu ada waktu?" Hinata bertanya tanpa menatap Naruto ataupun mengangkat kepala.
Mendengar suara lemah itu sungguh membuat hati Naruto teriris. Ia mencoba menghibur. "Apa? Kau mau mengajakku berkencan?" humornya dengan suara terkejut.
Ia melihat sudut bibir Hinata tertarik ke atas menampilkan sebuah senyuman tipis dan singkat. "Iya, kencan... Aku ingin bicara padamu." jawabnya.
"Apa yang ingin dia bicarakan?" pikir Naruto penasaran. Dia terdengar sangat serius.
"Waah, kalau begitu aku harus pergi dulu dan memilih baju yang bagus." Hinata lagi-lagi tersenyum tipis.
"Baiklah... Jam 7 malam."
.
.
.
Pagi pergi begitu saja begitupun dengan malam, hadir begitu saja.
Jam sudah menunjuk pukul 19.01 Naruto akan datang sebentar lagi. Begitulah pikir Hinata yang masih terduduk di depan cermin meja hias.
"Bagaimana caraku mengatakannya...?" pikirnya frustasi.
.
.
.
.
"Kencan?!" Toneri tersentak ketika Naruto mengatakan dengan senang kalau ia akan pergi berkencan.
"Hei, aku jadi bertanya-tanya sebenarnya kalian itu teman baik atau apa?" tanya Toneri ingin tahu. Tidakkah mereka terlalu dekat untuk ukuran teman baik? "Apa kalian TTM? (Teman tapi mesra)"
Naruto berpikir cukup keras sebelum menjawab. "Yah, kami teman baik tapi Hinata tak buruk kau tahu? Hanya saja aku belum kepikiran soal cinta-cintaan." Jawab Naruto sedikit binggung. Setelah pertanyaan Toneri, ia pun bertanya-tanya sebenarnya seperti apa perasaannya untuk Hinata.
"Pffft Jika saja saat ini Hinata dekat dengan lelaki lain, kau takkan ragu untuk mengatakan kalau kau mencintainya." Timpal Toneri sedikit sinis. Terdengar jelas kalau lelaki ini jatuh hati pada gadis itu hanya saja dia tak menyadarinya mungkin karena tertutup oleh pertemanan mereka.
"Sok tahu. Aku pergi dulu." Tak berniat meladenin lebih jauh lagi, Naruto memilih pergi.
Tapi...
"Aku mencintai Hinata?" ucapan Toneri terus berputar di kepalanya. Selama ini mereka selalu bersama dan sangat dekat, Naruto tak pernah memikirkan hal lain selain ingin bersama Hinata.
"Aish ada-ada saja tentu saja aku tidak!" Naruto menepis semua yang ada di otaknya setelah tiba di depan pintu kamar Hinata. Kamarnya berada tak jauh dari kamar Hinata.
Tok
Tok
Tok
Tak perlu waktu lama mengetuk pintu. Hinata keluar dari dalam kamar dengan gaun polos hitam selutut. Rambutnya seperti biasa dibiarkan terurai.
Dia tersenyum tipis.
"Ayo, aku akan bawa kau ke tempat yang bagus." Tanpa menunggu jawaban, Naruto meraih tangan Hinata, mengenggamnya erat dan membawanya pergi.
.
Dan di sinilah mereka. Di bukit yang terletak tak jauh dari villa. Di sini sangat indah. Pohon-pohon berjejer rapi, ramput hijau yang terawat dengan penerangan dari aksesoris lampu yang melingkar di semua pohon.
"Seperti yang aku mau..." Hinata menikmati sejenak udara segar. Ia memang ingin pergi ke tempat yang jauh dari keramaian.
"Keren bukan? Aku baru ketemu ini tadi siang!" Naruto tak tahu entah perasaannya saja atau bukan tapi Hinata sungguh terlihat tak bersemangat. Seperti ada sesuatu di dalam pikirannya.
"..."
Hinata tak bersuara. Ia tenggelam dalam pikirannya lagi.
"Hina..." Naruto menghampiri dan membelai lembut pipi kanan Hinata membawanya kembali ke dunianya.
"Naru, apa kamu mau menemaniku mengelilingi tempat ini?" tanya Hinata. Ia perlu sedikit waktu untuk mengumpulkan keberanian.
"Tentu." Naruto takkan menolak. Ia akan lakukan apapun agar Hinata senang.
"Dan bolehkah aku mengenggam tanganmu?" pinta Hinata. Ia sungguh ingin kenyamanan sekarang. Ia butuh kenyamanan.
"Kau tak perlu memintanya. Aku akan beri apapun untukmu."
.
.
Langit begitu gelap tapi bintang-bintang dan bulan menemaninya. Begitu pun pohon-pohon seolah kesepian tapi angin ada untuk meniup daun-daunnya.
Cukup lama mereka berdua berjalan berkeliling tanpa pembicaraan apapun.
Hinata setia tenggelam pada pemikirannya sedangkan Naruto setia memperhatikannya.
"Ayo duduk." ajak Hinata ketika ia melihat kursi besi panjang dan Naruto menurut.
"..."
Cukup lama Hinata memainkan jari-jarinya di atas perut hingga ia memberanikan diri untuk menoleh ke arah Naruto di sebelahnya.
"Naru, aku sudah berpikir soal ini..." Hinata mengambil nafas sebelum melanjutkan. "Aku akan keluar dari sekolah."
"Hah? Apa?" Naruto tak bisa menahan rasa terkejutnya. Apa yang membuatnya berpikir seperti itu?
"Aku akan pergi. Aku tak bisa berhenti memikirkan semua ini. Aku ingin menjauh dari semuanya dan menenangkan pikiranku." Rasanya hampir gila memikirkan semua ini. Rasanya ada yang salah dan semakin memikirkannya Hinata merasa salahnya terletak pada tempat dimana ia berada. Ia harus sejauh mungkin dari semuanya. Mungkin dengan begitu, ia akan merasa tenang.
"Hinata, apa maksudmu? Aku tahu aku takkan bisa mengerti bagaimana perasaanmu tapi aku tak ingin kau jauh dariku." Wajah Naruto tampak sendu. Ia sungguh tak paham apa yang ada di pikiran Hinata.
"Maafkan aku. Aku bahkan tak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau salah tapi aku hanya ingin menenangkan diriku. Aku rasa ini yang terbaik untukku." Hinata mengeratkan kedua kepalan tangannya di atas paha. Salah ataupun benar pilihannya. Ini sudah keputusannya. Hatinya begitu sakit, benar-benar sangat sakit hingga ia merasa tak mau mengingat siapa penyebab rasa sakit ini. Ia harus menemukan obat untuk hatinya atau jika tidak, selamanya ia takkan hidup dengan tenang.
"Hinata, setidaknya demi aku. Sungguhkah kau ingin pergi? Kau tahu aku tak mau jauh darimu. Aku tak mau kehilangan dirimu. Aku akan menjagamu tapi tolong jangan tinggalkan aku." Mengapa rasanya sangat menyakitkan mendengar gadis ini mau meninggalkan dirinya? Ia mau melakukan apapun tapi jangan tinggalkan dirinya.
"Aku hanya ingin melupakan semuanya. Naru, kuharap kamu mengerti." Hinata tak tahu ingin berkata apa lagi. Perasaan adalah sesuatu yang sangat rumit untuk diceritakan. Ia tak bisa menjelaskan seperti apa rasanya saat ini dan Narutopun belum tentu akan mengerti karena dia tak mengalami yang Hinata rasa.
"Dan melupakan aku...?" tanya Naruto kecewa. "Ini adalah kedua kalinya kau membuat aku merasa sangat sedih, Hinata." Tambahnya frustasi.
"Maaf..." kepala Hinata tertunduk. Maaf jika ia egois tapi ia sungguh ingin menenangkan dirinya. Jika ia tak mengobati luka di hatinya ini sampai kapanpun rasa takut untuk percaya pada seseorang tak akan hilang dan akan berakhir dengan menyakitkan. Mungkin seperti saat ini. Ia menyakiti Naruto hanya karena ia tak bisa menyelesaikan urusan dengan perasaanya.
"Aku akan pergi besok pagi. Hanya itu yang ingin aku katakan." Naruto bisa melihat keputusan Hinata sudah bulat. Ia berharap ada yang bisa ia lakukan untuk membantu.
"Jadi, kencan ini hanya untuk mengatakan selamat tinggal?" Naruto mendonggak, menatap putus asa ke atas langit. Ia tersenyum miris. Ia sampai tak tahu harus berkata apa.
"Maaf..." Hinata tak bisa menawarkan apapun selain maaf. Menunggunya lulus hanya akan membuatnya terus berurusan dengan keluarganya. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia memilih menjadi seegois ini hanya karena rasa takutnya pada apa yang akan terjadi di depannya.
"Aku terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tak menganggap serius permasalahanku sekarang." Jelas Hinata.
"Hinata, jika kau hidup denganku aku berjanji ak"
"Tak semudah itu Naru." Sela Hinata. "Bahkan sampai sekarang dan padamu. Aku selalu mencoba percaya padamu tapi ingatan tentang apa yang terjadi terus menghantuiku dan membuatku merasa sangat takut." Ia mencoba tapi ia gagal dan terus gagal. Akan sampai kapan ia mencoba kalau ia tak mencoba mengobati rasa sakit ini dengan cara yang lain?
"Aku sangat menyayangimu, Naru..." Hinata merasakan wajahnya memanas. Air mata ingin memenuhi pelupuk matanya. "Tapi rasa takut mengalahkan semua perasaanku."
Mereka lagi-lagi terdiam cukup lama sampai Naruto bersuara.
"Jika itu keputusanmu. Aku tak bisa memaksamu." Naruto mencoba mengerti. Mencoba menghargai keputusan Hinata meski itu sangat menyakiti hatinya.
Naruto bernafas kasar dan mengacak surai pirangnya. "Tapi aku ingin bersamamu seharian besok..."
"Untuk yang terakhir kalinya."
"Naru..."
.
.
.
Dan tibalah hari esok.
Mereka berdua bertemu tanpa membahas apa yang mereka bicarakan tadi malam.
Mereka saling melempar senyum seolah tak mengingat apapun selain bahagia.
08.22
"Hahaha apa kamu ingat dulu kamu ingin mengerjaiku tapi gagal?" Hinata tertawa lucu ketika ramen di depannya mengingatkannya pada kejadian dulu. Dulu dimana mereka belum sedekat ini.
"Ish! Jangan ingatkan aku!" Naruto menampilkan wajah betenya mengingat bagaimana Hinata membodohinya. Itu sangat menyebalkan!
.
.
11.01
"Aaaaaaaaaaaa in the end of the night!" Naruto memekik dan melanjutkan nyanyiannya.
Ruang karaoke menjadi pelarian mereka setelah sarapan.
"Jeng jeng jeng jeng jeng!" Hinata melanjutkan iramanya dengan lucu berniat mengejek Naruto.
"Aaaaaa Hinata itu tak harus dinyanyikan!" oceh Naruto tak senang.
"Hahaha ini menyenangkan!" berteriak, ya itu menyenangkan membuat mereka merasa lega tapi mereka tak bisa berbohong kalau rasa sedih tak bisa menghilang sepenuhnya dari hati mereka. Mereka hanya menyembunyikannya.
.
.
13.21
"Kyaaaaaaaaah Naru!" Hinata memekik histeris ketika ia tak bisa menghentikan laju sepatu rodanya.
"Hinata!" Naruto tanpa ragu melaju ke arah Hinata dan membiarkan Hinata menabraknya guna menghentikan laju badan Hinata.
Braack!
"Iittai!" mereka berdua tersungkur.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Naruto khawatir. Ia membantu Hinata berdiri dan kemudian mengengam kedua tangan Hinata dengan posisi berhadapan.
"Jangan lepaskan aku lagi." Ucap Hinata takut kalau ia akan terjatuh lagi.
"Gerakan kakimu pelan-pelan saja." Naruto mundur di saat Hinata maju tapi Hinata begitu bodoh memainkan sepatu rodanya.
"Kyaaah!" dia terpleset tapi dengan siggap Naruto menangkapnya dengan cara memeluk.
Deg
Hinata membeku karena Naruto memeluknya erat.
"Naru..."
"Aku cuma tak mau kau jatuh lagi." Dia menyamankan dirinya di dalam pelukan. Melampiaskan rasa sedih dan juga kesalnya.
.
.
15.43
"Naru! Kembalikan ice-creamku!" Hinata mencoba merebut ice-cream dari tangan Naruto yang dia angkat ke atas.
"Hahaha dasar pendek." Ejek Naruto melahap ice-creamnya dan membiarkan Hinata meloncat-loncat berusaha mengambil ice-cream di tangannya.
Pipi Hinata mengembung.
"Klitik-klitik."
"Woi geli Hinata!" tangan Naruto turun demi melindungi samping badannya yang merasa geli karena di gelitik Hinata.
"Hahahaha geli Hinata!" tapi Hinata tak mau melepaskannya.
"Ambil saja itu ice-cream hahaha!" ejek Hinata karena ice-cream di kedua tangan Naruto membuatnya tak bisa menghentikan aksi Hinata.
"Geli hoi!"
"Jangan lari, Naruto!"
.
.
.
17.22
"Haha waktunya berlalu begitu cepat." Duduk bersebelahan dan menikmati tenggelamnya matahari tapi bukan itu yang membuat mereka sedih.
"Aku berharap waktunya berhenti." Inner Naruto berkata. Ia menoleh dan mengamati Hinata yang masih setia menyaksikan matahari tenggelam.
"Hinata..." Hinata menoleh.
"Aku mencintaimu." Kata-kata yang lebih dari cukup untuk membinggungkan Hinata. Tapi dengan cepat dia menunduk.
"Aku tak tahu. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan cinta." Jawabnya binggung. "Tidak dalam kondisiku sekarang. Aku merasa tak pantas." Ia bahkan terlalu malu menatap siapapun jika saja mereka bertanya soal keluarganya yang kacau. Ia bahkan merasa malu untuk menjawab ketika ada yang menanyakan siapa ibunya. Ia perlu waktu untuk memperbaiki dirinya sendiri. Setidaknya hingga ia merasa benar baik-baik saja.
"Aku akan menunggumu." Hinata menoleh. "Sudah kuputuskan. Aku bilang aku takkan mengecewakanmu. Aku pastikan akan membuatmu berpikir kalau tak semua orang akan mengecewakanmu." Hinata berharap ia percaya itu tapi ia tetap saja takut.
Senyuman tipis Hinata beri. "Jika saja kita berjodoh, dan ketika aku sudah merasa lebih layak. Aku berharap kita akan bertemu lagi, Naruto." Ucapnya menyelipkan sedikit harapan di sana.
"Aku akan terus berdoa agar sakit di hatimu segara pulih." Naruto membalas tersenyum tipis sebelum melanjutkan. "Aku akan nantikan hal itu dan aku berharap setelah hari ini tak ada lagi rasa takut di hatimu."
"Terima kasih...
... Uzumaki Naruto."
"Terima kasih karena sudah mendukung keegoisan dan rumitnya diriku ini."
.
.
.
20.11
"Kau sendiri? Dimana Hinata?" tanya Toneri ketika ia melihat Naruto melewati pintu masuk villa dengan lesu. Bukankah dia pergi berkencan dengan Hinata? Tak biasanya dia tak bersemangat ketika dia habiskan waktu bersama gadis itu?
"Hinata pergi..." jawab Naruto lemah. Waktu, mengapa berlalu dengan cepat? Mengapa hari ini terjadi? Mengapa ia merasa sedih? Mengapa gadis itu harus membuat keputusan seperti ini dan mengapa semua ini terjadi? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tak bisa lakukan apapun selain menunggu.
"Apa maksudmu Hinata pergi?" tanya Toneri tak mengerti tapi bukannya menjawab, Naruto malah pergi melewatinya.
.
.
.
"Aku bilang aku mau yang coklat kenapa kau beli yang pink?!"
Braaacck!
Baru saja membuka pintu rumah sebuah tas melewatinya dengan jarak setengah jengkal tapi ia abaikan.
"Hinata" dua orang di depannya menoleh tapi Hinata sama sekali tak mau bertanya soal apa yang terjadi.
"Terserah kau lah!" wanita itu marah dan pergi begitu saja.
Braaackk!
Pintu dari lantai atas terhempas kuat.
"Aku hanya ingin mengambil barangku." Tanpa menyapa dan menatap, Hinata lalu begitu saja. Sudah ia bilang takkan ada hal yang indah dengan baliknya wanita itu. Ia bahkan tak mau berkomentar.
.
.
.
.
.
5 tahun kemudian
BRAAACKK!
"KALUAR DARI RUANGANKU SEKARANG JUGA!"
"Kyaaaaah!" keyboard dari atas meja melayang diikuti oleh usiran membuat yang menjadi sasaran memekik histeris karna terkejut, tak menyangka lelaki itu akan melayangkan barang padanya.
"Ma-maaf Uzumaki-sama!" dengan cepat gadis itu berlari keluar dengan heel 10cm nya.
"Jalang sialan. Berani sekali mencoba menggodaku!" geramnya kesal. Apa dia kira dengan rok mini dan kemeja yang menonjolkan belahan dada akan berhasil padanya? Cih!
Ia kembali duduk dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Dia mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. Matanya tertuju pada foto dirinya bersama seorang gadis di layar. "Ini sudah lima tahun..." gumannya frustasi. "Sebenarnya hubungan kita ini... Apa...?"
"Uzumaki-sama, sudah waktunya untuk rapat." Seseorang muncul dari balik pintu dengan berkas di tangannya.
"Iya."
.
.
.
.
"Jadi, kau sungguh akan keluar?" gadis itu bertanya dengan mulut bebek. Padahal sudah sangat lama bekerja dengan gadis pemilik surai indigo ini di restoran tapi dia malah memutuskan untuk berhenti.
"Iya, aku sudah terlalu lama di sini aku tak bisa di sini selamanya." gadis itu tersenyum.
"Ini btw aku ada kado untukmu." Dia mengeluarkan kotak ukuran kecil yang sudah di bungkus rapi dan meletakkannya di atas meja. "Terima kasih untuk semuanya. Kalau bukan karenamu aku takkan ada di sini." Ucapnya merasa berterima kasih.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Aku ingin pulang dan membuka toko bunga dan"
.
.
.
"Hoaaammm" lelaki bersurai pirang itu menguap malas. Dia berjalan menyebrangi jalan tapi matanya terbuka lebar.
Deg!
Bola matanya membulat sempurna tertuju pada surai indigo yang terlihat tak asing untuknya.
"Hinata?!"
"Hinata!" dia berlari melewati orang-orang di trotoar mencoba mendekati siapa yang ia cari tapi gadis pemilik surai itu menghilang.
"Aku pasti salah lihat." Dia tampak kecewa.
.
.
Sedangkan di sisi lainnya. Seorang gadis mengatur nafasnya di balik dinding. Dia mencoba mengintip tapi ia terlalu panik untuk bisa melakukannya. Dia menekan dadanya dengan telapak tangan. Ia bisa merasakan denyutan kuat di sana. Jantungnya berdebar kencang.
"Naruto..."
.
.
.
12.43
"Ini lamaran baru saja, Uzumaki-sama." Seorang lelaki meletakkan berkas di atas meja hitam.
"Cewek atau cowok?"
"Cewek, Uzumaki-sama."
"Aku sudah bilang aku mau seketaris cowok! Apa kau dengar aku?!" marah sang Uzumaki melemparkan surat lamaran ke arah lelaki tadi. Ia benci gadis-gadis. Mereka selalu lebih menunjukan badan daripada bakat yang mereka punya. Ia tak punya waktu untuk itu!
"Tapi Uzumaki-sama sebaiknya anda lihat dulu." Lelaki itu memunggut berkas di lantai dan menyodorkannya kembali.
Enggan tak enggan Naruto membuka amplop coklat besar itu dan mengelurkan isinya yang hanya diisi oleh satu lembar kertas putih
Tempat biasa jam 13.00
Itu adalah tulisan yang tercetak di sana.
Naruto mencerna sejenak.
"Siapa yang memberimu ini?"
.
Drap
Drap
Drap
Kaki itu melangkah dengan cepat setelah keluar dari dalam mobil.
"Tidak tidak jangan bilang!" badannya bergetar. Ia melupakan bagaimana rasanya capek hanya agar ia bisa tiba ke tempat tujuan secepat mungkin.
Pohon, rumput, bangku besi, orang-orang yang berlalu lalang. Taman, taman ini adalah tempat biasanya ia menyinggah waktu SMA kelas 11.
"Hah! Hah!" matanya mencari ke semua arah ketika ia tiba ke tempat tujuannya.
"Uzumaki-Naruto." Sang pemilik nama berbalik tapi yang ia lihat adalah kelopak mawar merah.
Tangannya menggeser bunga yang tersodor itu dan ia tak tahu harus berkata apa.
"Aku ingin melamar jadinya seketaris di Uzumaki corp tapi kata mereka, Uzumaki-sama hanya mau seketaris laki-laki." Gadis itu memiringkan kepalanya menatap Naruto. Wajahnya datar, kau tak bisa menebak apa yang dia pikirkan.
"Aku ingin tanya kenapa?"
"Hinata..." Naruto mengigit kuat bibir bawahnya. Bagaimana cara menggambarkan perasaanya saat ini? Jantungnya berdebar begitu kencang.
"Dan oh omong-omong toko bungaku akan di resmikan besok pagi jam 9 apakah kau ingin datang?" dia menampilkan senyuman, menampilkan deretan gigi rapinya. Tapi mengapa dari banyaknya kata-kata, ia malah membicarakan hal yang bodoh?
"Apa hanya itu yang ingin kau bicarakan, Hinata...?" Wajah Naruto tampak sendu. Perasaannya bercampur aduk. Marah, sedih dan rindu.
"Aku..." Hinata memainkan tangkai bunga di tangannya. "Hal yang paling aku sesali karena pergi adalah jauh darimu, Naruto..." mata itu saling mengunci dan Naruto masih menunggu apa yang akan keluar dari bibir Hinata.
"Kurasa karena aku mencintaimu, Naru"
Grepp!
Tangkai bunga mawar terlepas dari tangan Hinata karena Naruto menabrak dan memeluknya erat.
"Akhirnya kau kembali, bodoh..." bagaimana caranya menjelaskan betapa rindu ia pada gadis ini? Gadis yang tak bisa berhenti ia lupakan meski hanya sehari. Gadis yang tak menghubunginya sama sekali selama ini, gadis yang pergi meninggalkannya.
Hinata membalas memeluk. Ia menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Naruto, menikmatinya. Ia rindu sekali lelaki ini. Ia bisa melupakan semua masalahnya tapi satu hal yang tak pernah bisa ia lupakan adalah wajah lelaki ini.
Dalam hatinya, ia begitu berharap kalau lelaki ini masih tetap menunggunya. Menunggunya kembali dan ternyata dia membuktikan ucapannya.
"Apa kau baik-baik saja selama ini?" Naruto mengeratkan pelukannya. Begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan dan ceritakan.
"Aku merasa jauh lebih baik, Naru."
"Tak ada rasa sakit, tak ada takut, tak ada khawatir, tak ada kecewa. Yang ada hanyalah merindukanmu."
.
.
.
TAMAT
'- hmmm oke laaa
Bye byee