Shiori's Journal Diary

Chapter 2 : Now I Know

a fanfiction written by siucchi

Kuroko no Basket © Tadatoshi Fujimaki

Saya tidak mengambil keuntungan material apa pun dari fanfiksi ini.

Inspired by… you.

.

.

Akashi Seijuurou penasaran apa yang terjadi sebelumnya. Ia terlalu banyak men-skip lembaran, namun di sisi lain tak bisa menahan rasa keingintahuan akan apa yang terjadi berikutnya.

Suara decit pintu mengambil atensinya dan tergiring ke sumber suara. Ia dapati tokoh utama di jurnal, sang Ayah masuk ke ruangan mengapit satu buku tebal di genggamannya. Seijuurou lantas membalikkan badan dan menyelipkan jurnal Ibunda di dalam sebuah buku yang sejak tadi diincarnya untuk dipinjam. Sambil mengerahkan pandangan ke deret buku yang berada di rak terdekat, ekor matanya menyelidiki.

Akashi Masaomi tengah mengembalikan buku dan terlihat tidak tertarik untuk lebih lama satu ruangan dengan anaknya. Tak ada toleh dan sapa yang terkuar dari mereka. Masing-masing menyibukkan diri pada apa yang tengah digeluti.

Tak lama setelahnya sang Ayah pergi, bunyi pintu yang merapat adalah bukti ketidakhadirannya lagi. Seijuurou terpikir untuk melanjutkan proses pada mesin fotokopi dan ia bergegas menuju objek dimaksud. Dibentangkan buku dengan kertas lecak di atas kaca, sinar hijau lantas memindai setelah beberapa tombol ditekan.

Sambil menunggu proses penyalinan, ia tarik selembar kertas yang telah difotokopi, lalu dibaca baik-baik.


May, 10

Jadi, sayang, pusat dari rasa sakit adalah khianat.

Karena … kita dilukai tanpa sadar.

Saat melihat ke bawah dan darahmu banyak menggenang, baru lah kita sadar telah di ujung, sekarat.

Jadi, sayang,

Luka hati itu datangnya dari kemunafikan, paham?

.

Setelah tragedi paling memilukan sepanjang mereka menjalani masa-masa, adalah ketatapan hati Masaomi yang tak lagi bersembunyi. Untuk membuktikan bahwa ia serius dengan Shiori adalah dengan mendatangi kedua orangtua pihak wanita. Shiori meminta hubungan mereka selesai, Masaomi bersikeras memertahankan. Berbagai cara ia lakukan hingga mengorbankan banyak hal.

Lewat telepon Masaomi bercerita pada orangtuanya di kampung halaman, mengatakan bahwa ia menemukan seseorang yang ingin ia habiskan hidup dengan bersamanya. Ia ingin menikahi wanita itu dan meminta maaf pada ibunya karena tak bisa bicara langsung. Maka gemparlah saudara-saudaranya di kampung halaman. Tidak sedikit yang menentang, berkata ia harus balas budi pada keluarga yang menghidupinya sebelum menghidupi anak orang lain.

Masaomi berkata ia akan sukses, setelah memiliki cukup modal ia akan mendirikan usaha dan menjadikannya besar—dan hal itu akan dicapainya bersama wanita yang dicinta, Shiori.

Ibunya tak lagi memaksa, yang penting jangan lupa dengan orangtua yang sudah menyekolahkan. Masaomi berjanji akan merenovasi rumah ibunda di kampung suatu hari nanti, kemudian menyekolahkan adik-adiknya setinggi yang mereka inginkan.

Maka datanglah Masaomi ke kediaman keluarga Shiori setelah direstui ibundanya. Ia berkata hendak menikahi Shiori. Setelah berbagai Tanya-jawab dilantunkan, pihak keluarga wanita setuju asal Masaomi mampu mencari biaya menikah dengan jumlah minimal bisa mengundang makan 300 orang.

Sebagai karyawan biasa yang gajinya lebih sedikit dari upah minimum rata-rata, Masaomi berpikir keras. Sampai-sampai tubuhnya yang sempat gemuk sejahtera kembali kurus dalam waktu cepat. Ia seringkali setress karena tak kunjung mendapatkan kerja sambilan, apalagi situasi di kantor juga menekan dirinya hingga terbesit untuk keluar saja.

Untungnya, Shiori selalu ada untuk menghibur, meski kadang semakin menekan batinnya karena sering bertengkar—entah kenapa hatinya memilih bertahan.

[]

] [

[ ]


"Seijuurou."

Yang dipanggil sontak menoleh, mesin fotokopi yang tengah bekerja hampir saja ia matikan paksa kalau saja tak sadar pada suara yang menyahut. Seijuurou yakin ayahnya sudah berlalu, tapi kenapa masih bergeming di belakangnya—dan ia sama sekali tidak sadar sang Ayah di sana.

"Aku ingin memakai mesin fotokopinya."

Belum menoleh, otak Seijuurou mencari jalan keluar. Ia harus menyembunyikan lembar salinan jurnal sang ibunda sebelum Akashi Masaomi menjejakkan kaki tepat di sisinya.

Langkah tegas sang kepala keluarga membawanya tiba di objek dimaksud. Seijuurou sedang merapihkan kertas tatkala Masaomi meletakkan sebuah buku di atas kaca pemindai. "Apa yang kau fotokopi?"

"Bukan apa-apa." jawab Seijuurou tenang—ia telah mengendalikan diri.

Sang Ayah diam saja. Seijuurou kembali menelusuri rak dan menyelipkan buku jurnal ibunda di atas deret buku yang tersusun rapih, didorong lebih dalam agar tak ditemukan sesiapa.

Tidak ada perbincangan berarti hingga keduanya berpisah. Seijuurou dengan salinan jurnal pergi ke luar perpustakaan dan kembali ke kamar. Ia kunci pintu rapat-rapat dan menyalakan lampu di meja, kemudian mematikan seluruh lampu kamar. Kursi ditarik, ia mendaratkan duduk. Dibaliknya lembar perlembar hingga matanya teralih pada sebuah paragraf yang ditulis dengan warna tinta berbeda.


May, 12

Tolong. Ajari aku tentang ikhlas dan percaya. Aku lelah, sungguh. Ajarkan aku tentang janji, tentang khianat, tentang dikhianati, tentang keyakinan, tentang luka.

Aku ingin mengakhiri semua ini. Melupakan, apa yang sebelum dan sesudah terjadi.

Aku ingin memulai hari baru dengan hati bersih dan kosong, kemudian aku akan mengisinya dengan sesuatu yang kutahu tak akan melukaiku.

Aku lelah mencintai. Aku lelah bertahan. Mungkin aku yang tidak mengerti apa cinta yang sesungguhnya itu, atau aku yang tidak dapat membuktikannya. Sayang, aku lelah dengan semua yang kita miliki. Untuk beberapa saat aku merasa sangat bahagia, lalu berikutnya aku merasa jatuh sejatuhnya.

Ketidaktahuan adalah kebahagiaan, Sayang.

Aku sakit karena telah mengetahui segalanya tentangmu. Kita berdua terluka karena saling mencinta satu sama lain. Kita harus mengakhirinya. Hal seperti ini tidak baik untuk hidup kita.

Terkadang aku ingin bereinkarnasi, atau kembali ke masa kemarin untuk mencegah masalah. Kamu mengkhianatiku, dan (mungkin) aku juga. Segera, sayang, aku ingin melaukan apa yang kau lakukan. Sembunyi, menghapus jejak—menyenangkan, benar? Kita saling menyakiti satu sama lain meski kita tahu itu pedih.

Katakan, sayang, apa kau tahu apa yang retak di antara kita? Itu adalah kita, hubungan kita. Kamu dan dirimu, aku dan diriku. Menurunkan kepercayaan dengan sesuatu seperti bermain di belakang—

Aku tak bisa memercayaimu lagi.

Tak bisa.

.

Shiori diceritakan oleh kawannya, Masako Araki, tentang hubungan yang didasari atas kesepakatan bersama. Masako berkisah bahwa dirinya dan kekasihnya memutuskan untuk break. Mereka masih berteman, mengobrol di sosial media, tapi tak ada embel-embel sayang lagi.

Lelah akan pertengkaran yang terasa tak berujung, Shiori terinspirasi. Masih dalam suasana yang tegang, ia putuskan untuk menelepon Masaomi dan mengajukan maksudnya.

Hingga di ujung cerita, Masaomi yang memang sudah kehilangan senyumnya bertanya, "Lalu, kenapa kamu cerita tentang Masako?"

Shiori terdiam. Kadang kekasihnya bisa peka sekali, namun tak jarang bodohnya keterlaluan. "Aku terinspirasi."

"Dari? Masako?"

Shiori mengangguk, dadanya seketika ditimpa beban baja imajiner. Untuk mengucapkan beberapa patah kata saja ia serasa tak mampu. "Ya … itu …."

"Apa? Kamu mau kita break juga?"

Deg.

Ternyata Masaomi mengerti. Untuk beberapa saat, Shiori merasa hampa karena Masaomi menuturkan sesuatu yang ia inginkan—tapi mengapa yang diinginkan itu tak membawa perasaan baik pada hatinya?

"Aku tidak mau break. Aku mau terus sama kamu. Aku tidak mau kita pisah. Aku tidak mau kita jauhan. Tolong, Shiori, aku sangat mencintaimu. Tolong jangan pergi, aku tidak bisa, aku tidak mau, tolong, Shiori—"

Kalimat-kalimat itu seperti sihir. Penolakan Masaomi menggiringnya pada pecah bendung air mata. Ia tahu Masaomi mencintainya, sangat tahu. Apalagi jika mereka bertengkar, bisa-bisa pria-nya sakit dan terancam absen kerja (pernah terjadi sebelumnya). Entah kenapa saat ini ia merasa bertanggung jawab, tak ingin Masaomi tersiksa karena ia yang memutuskan untuk menjauh.

"Aku akan perbaiki sikapku. Tolong beri aku kesempatan. Aku ingin memerbaiki semuanya. Tolong aku, Shiori, aku tidak bisa jauh darimu. Aku sangat mencintaimu. Aku sayang sekali denganmu. Tolong aku, Shiori …"

Tangisnya sudah pecah sejak tadi.

.

Break tak jadi dilakukan. Keesokan harinya mereka bertemu di taman kota untuk menuntaskan segalanya. Tak terhitung berapa kali mereka bertengkar, memuaskan ego masing-masing, menyatukan perbedaan, memahami ketidaksamaan, serta dipaksa mengerti keadaan.

"Aku tak bisa melakukan apa-apa. Maaf karena aku membuatmu menderita, aku sangat mencintaimu, Shiori …"

Di hadapan kekasihnya ia membisu. Mata Masaomi tak pernah berbohong. Atas apa yang pria itu lakukan di belakang, memang sulit dimaafkan. Shiori sendiri bingung—siapa yang harus ia percaya, dirinya, ataukah Akashi Masaomi yang tak henti ia cinta?

"Kalau saja, kalau saja aku terlahir sebagai orang kaya raya, aku akan terus menemanimu, selalu berada di sisimu. Aku akan menikahimu tanpa menunda, tanpa harus berjuang keras mencari modal. Aku akan membawamu keliling dunia seperti yang kamu inginkan. Andai saja aku terlahir kaya, andai saja aku bisa melakukan itu semua—"

Ada derita yang memukul keras Masaomi lewat untaian kalimatnya. Shiori menangis seketika. Ia sangat mencintai Masaomi—kenapa ia biarkan emosi mengontrol diri sampai-sampai tergagas ide untuk berpisah sementara?

"Aku sayang banget sama kamu … banget."

Air mata yang menetes dari pelupuk mata Masaomi adalah bukti ketulusannya. Jari yang biasa ia gunakan untuk mengusap kesedihannya sendiri, kini ia gunakan untuk menyentuh bulir yang gugur dari sepasang mata prianya. Selalu Masaomi yang menyeka air matanya, namun kini situasinya berbalik. Shiori diizinkan untuk memandang langsung pria yang ia cinta menangis saat berkata 'sayang'.

Peluk dieratkan, Shiori biarkan Masaomi membebaskan diri di punggungnya. "Maaf, maafkan aku, maaf, aku sangat mencintaimu, sangat, maafkan aku …" ujarnya berbisik, merasa sangat bersalah, meski tahu maafnya tak cukup untuk menyembuhkan hati dari lelaki yang disakiti.

"Tolong aku tidak ingin berpisah denganmu. Tolong terima aku untuk selalu ada di sisimu. Maaf aku terus melukaimu, maafkan aku, Shiori, maaf."

Shiori menggeleng, ingin berkata cukup meminta maafnya, tapi suaranya sendiri tak mau keluar lantaran sesak di dada membebani tenggorokan hingga tak kuat berbicara.

[]

] [

[ ]


Seijuurou mengembuskan napas berat. Ia merasa bersalah karena tadi sempat mengutuk ayahnya brengsek. Ia tak pernah mengira bahwa Ayahnya dahulu adalah perantau yang sama sekali tidak kaya raya. Entah bagaimana Akashi Masaomi berjuang hingga menjadi salah satu pria terkaya di dunia, Seijuurou yakin jawabannya tertulis di jurnal ibunda.

Jam dinding telah memberitahu bahwa ia telah melanggar waktu tidur. Namun rasa keingintahuan masih saja mengoyak benak. Seijuurou membuka halaman berikutnya.


Juni, 28

Aku membayangkan sebuah panaroma yang damai. Tempat kita menikmati hari tua kelak. Di tengah padang rumput kita bangun pondok kayu yang kokoh meski terus diterpa angin dingin. Di sekelilingnya ternak kita hidup sejahtera untuk kita manfaatkan adanya. Lalu di depan rumah kita mengalir sungai yang jernih airnya, darinya kita bisa melihat rangkaian batu yang setia menopang tak peduli bila arusnya mengencang. Terdapat pohon yang kokoh akarnya, bentang rindangnya menaungi padang rumput kita. Pada dahannya yang kuat kita tambatkan tambang yang besar, dengannya itu bisa menahan beban kita ketika berayun-ayun dan memecah tawa.

Sambil duduk menyesap kopi dan teh hangat kita bercerita tentang Perkasanya Pencipta. Sambil berbagi kisah kita lihat anak-anak kita tertawa. Mereka membimbing satu sama lain, mempelajari lingkungan dan dunia. Lalu kita tersenyum dan beranjak menghampiri. Kita terangkan pada mereka bagaimana menunggangi kuda. Dari pelana kita angkat hingga ke punggungnya. Dengan ringik ceria si kuda, serta sirat bahagia yang mengembang kita menunggang mengelilingi rerumputan. Kita suka berkuda dan memutuskan bukan mesin lah kendaraan kita.

Lalu kala sore tiba kita berduyun masuk ke rumah, menikmati senja sebelum menutup tirai jendela. Kita gunakan malam untuk menjelajahi ruang waktu, dengan buku yang tak pernah habis adanya untuk selalu kita resapi. Mimpi-mimpi kita tak jauh dari humor dan bahagia. Kemudian pada pagi harinya kita terbangun dan menikmati hangatnya mentari. Kamu menciptakan kreasi, dan aku membantumu dengan tangan dan ide-ide.

Pada saat itu kita tak lagi mengenal derita. Kita telah melewati semuanya. Hari-hari damai nan indah, kuharap kita bisa mewujudkannya kelak.

.

Sekelilingnya ramai. Setiap orang sibuk memotret, bermain air, tertawa-tawa, dan keduanya sedang tak merasa demikian. Air terjun deras menghujam bebatuan yang disusurinya, dan entah kenapa laju keras itu lebih nikmat dipandang daripada ramainya tempat wisata di hari libur.

Mereka sedang berada di Curug, menikmati alam setelah lama tak jalan-jalan jauh berdua. Lumayan, karena Akashi Masaomi baru saja gajian.

"Kamu mikirin apa?"

Shiori tidak menoleh. Tatapnya masih terpana pada eloknya air terjun yang meski gemuruhnya kencang tetap mampu menenangkan hati.

"Sayang?"

Si wanita akhirnya menoleh, "Apa, yang?"

"Kamu suka pemandangannya?" tanya Masaomi, kali ini ikut fokus memandangi air terjun.

Shiori mengangguk. "Aku pernah bermimpi tinggal di tempat yang hijau. Ada kuda, peternakan, air terjun, sungai …, rumah impian."

Masaomi terkekeh, "Aku takut kamu tidak suka."

Dibalas tawa ringan, "Aku suka. Apa pun, asal bersamamu, aku suka."

Kadangkali cinta membawa trauma, namun itu hanya tentang sudut pandang. Banyak hal terjadi dan mereka memutuskan untuk bertahan. Saling memeluk meski terus melukai—karena memang semua tentang sudut pandang. Jika dibawa ringan maka bahagia. Jika terus melihat kurang, maka beban lah segalanya. Memang mencintai adalah saling menutup sebelah mata atas kekurangan pasangan, dan menjadikannya sebagai daya untuk sama-sama menguatkan.

"Setelah menikah, aku belum mau punya anak dulu." Masaomi berujar.

Shiori menoleh, "Sama, dong."

"Wah kita sama, tumben kamu mau samaan."

Langsung menggeleng cepat, "Tidak, aku tidak mau sama denganmu. Aku memang sejak dulu terpikir itu."

Masaomi tertawa, "Kalau aku, mau banyak main dulu sama kamu setelah menikah. Kamu kan terkurung terus di rumah, aku mau bawa kamu jalan-jalan keliling dunia."

"Ooow, sayang …" lengan direntangkan ke pundak si kekasih, direngkuh sesegera, "aku cinta kamu."

Masaomi langsung menepis, "Hei, banyak orang!"

"Aku mau peluk kamu," dengus Shiori.

"Nanti saja. Dasar kamu ya, agresif."

[]

] [

[ ]


Seijuurou tertawa.

Dasar cinta.

Tak pernah ia tahu sekelebat cerita remaja kedua orangtuanya selain lewat cerita-cerita sejak dulu kala. Kini benaknya memutar memori kala ibunya tertawa, tersenyum hangat, bercanda—sama sekali tidak sedikit pun Seijuurou tahu bahwa di masa lalu ibundanya mengalami berbagai pelik dan juga riwayat menyenangkan.

Malam telah larut, namun masih banyak lembaran yang belum dijamah. Seijuurou melongkap catatan, secara acak menemukan kisah lainnya.


July, 25

Sekarang aku mengerti betapa sulitnya memahami. Aku pernah berpikir, mungkin kita tak perlu saling memahami. Mari menghabiskan waktu kita untuk mencintai—artinya—kita berbohong pada diri kita sendiri.

Aku pikir bahwa ketika aku kelelahan, seharusnya tidak ada penyesalan.

Aku harus tetap berdiri kokoh.

Melihat ke depan tanpa keraguan.

Tanganku menggiring untuk menulis hal-hal positif, tapi sebenarnya dalam kepalaku labirin tersulit dalam hidup menari-nari dalam kepala.

Aku tidak tahu lagi.

.

August, 16

Aku tak merasa merdeka. Aku membiarkan diriku dijajah; rindu, sakit, penyesalan, luka, asak dada, bimbang, dan yang terpenting—hati yang patah.

Aku harus bahagia, meski tanpamu, aku harus bahagia. Tapi bagaimana mungkin aku bisa bahagia sementara kau sakit? Bagaimana aku bahagia sementara hatiku patah?

Bagaimana masing-masing kita bahagia sementara ada luka yang menganga?

Aku lelah …

Sumpah, lelah sekali.

Aku tak mau jatuh cinta lagi, tolong, aku trauma.

.

Malam itu keduanya terlibat perbincangan serius. Pasalnya Shiori cemburu berat, marah besar karena Masaomi lagi-lagi melanggar janji. Pernah Akashi Masaomi ber-statement tidak akan pernah pergi berdua dengan wanita lain sekalipun itu urusan pekerjaan. Shiori menerima janjinya.

Dan hari ini adalah ketiga kalinya Masaomi melanggar lagi.

'Kamu berlebihan, bagaimana pun aku bukan apa-apa di perusahaan itu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan kamu tidak pernah percaya, hatiku hanya untukmu, aku hanya cinta kamu'

Nyatanya kebaikan Shiori telah menutup. Ia tak percaya lagi. Memang tak ada yang berubah. Sejak dulu Masaomi hanya mencari-cari alasan. Lantas ia balas, 'Sudah cukup, jangan hubungi aku lagi.'

'Shiori, aku mau menikah dengan kamu. Aku sudah melibatkan orangtua kamu, ini bukan main-main. Aku tidak mau kita berjauhan.'

Shiori tidak menjawab. Berikutnya adalah panggilan masuk yang tak juga diangkat oleh Shiori. Berkali-kali, hingga Masaomi menulis pesan, 'Aku lelah. Bunuh saja aku.'

Tanpa pikir panjang, Shiori lantas menelepon Masaomi. Setelah diangkat, keduanya masih dihisap hening. Membiarkan diri menyelami napas masing-masing.

Hingga berlalu dua menit, Masaomi akhirnya mengeluarkan suara, "Mau apa kamu? Puas menyakiti aku?"

Shiori membisu. Ia keluar kamar, menuju balkon, menghirup udara malam dengan harapan menyegarkan hati.

"Kamu tahu, kan, aku sayang banget sama kamu. Tak ada lagi. Aku lupakan semuanya hanya untuk kamu. Aku cinta banget sama kamu, Shiori, hanya kamu."

Jeda banyak. Shiori mengambil napas berkali-kali. Dirasa agak kurang sesak di dadanya, barulah ia berkata, "Tolong kamu tarik janji kamu. Bilang, kamu tarik janji kamu, kamu akan menuruti perintah atasan, kamu akan pergi berdua dengan wanita mana saja atas dasar urusan pekerjaan. Katakan itu. Dengan itu kamu bebas. Kamu tidak perlu terikat lagi. Suatu hari kalau hal ini terjadi lagi, aku tidak punya alasan untuk marah. Aku sudah bilang padamu, kan, kalau laki-laki itu yang dipegang adalah kata-katanya. Dan kamu melanggar janji kamu lagi. Makanya … tarik janji kamu, dan ini selesai."

Masaomi tidak menjawab. Hanya terdengar suara hela napas berat yang jelas merepresentasikan beban empunya.

"Tolong tarik saja janji kamu, dengan begitu semua selesai." Shiori menggeleng, kini air matanya tak terbendung. Sejak tadi ditahan-tahan, akhirnya lepas juga.

Masih banyak hening mengisi. Waktu bergerak sangat lambat. "… dalam hatiku, aku memang tidak mau pergi dengan wanita lain."

"Tolong tarik janji kamu, Masaomi, tarik saja, tolong …" derai air mata menderas, tak ada vokal yang berusaha ditenang-tenangkan, semua mengalir sesak begitu saja.

Kali ini yang muncul adalah suara serak, Shiori tahu Masaomi tengah menahan ledak di dadanya. "Aku tidak bisa apa-apa. Aku bukan pemilik perusahaan. Kalau saja aku president-nya, aku bisa tidak melakukan semua itu. Aku bisa terus menemani kamu sepanjang hari, selama hidupku. Aku tak bisa berbuat apa-apa."

"Masaomi," sebut Shiori langsung, "kita akan menikah, kamu akan jadi kepala keluarga. Kamu laki-laki, kamu tidak bisa melanggar janji kamu begitu saja. Kalau kamu menyerah pada ketidakberdayaan, bagaimana kita bisa bertahan? Kalau kamu menyerah pada 'tak bisa berbuat apa-apa', bagaimana kita bisa hidup? Kamu yang memilih melanggar. Padahal kalau kamu bertahan pada komitmen, akan ada jalan lain.

"Yang sebelumnya juga kan sudah pernah. Aku bilang temanmu bawa kendaraan kantor dan kamu naik transportasi umum, tapi kamu tak pernah memilih itu. Kamu memilih untuk melanggar janji kamu. Kalau kita sudah menikah nanti, bagaimana … bagaimana aku bertahan …."

Pada setiap kalimatnya adalah tangis dan derita. Betapa rumitnya cinta. Betapa sulitnya memahami. Betapa tidak wajarnya memaklumi janji yang dilanggar. Karena kita bukan apa-apa, maka kita harus menerima.

Menerima dengan tulus, bahwa segala sesuatu pastilah akan direnggut. Menerima dengan bijak, bahwa yang hilang akan tergantikan. Menerima dengan lapang, bahwa semua yang terjadi membawakan pelajaran. Menerima dengan penerimaan, bahwa hidup jarang kali memberikan yang diinginkan.

"Aku menyerah …"

Shiori terdiam.

"Aku menyerah, Shiori, aku menyerah … aku tidak bisa menjadi yang kamu harapkan. Tolong bunuh saja aku, aku mau mati saja. Aku lelah. Aku tak kuat lagi. Aku tak mau hidup lagi. Tolong bunuh aku, Shiori, aku menyerah."

Untuk beberapa saat, kosong dan hampa adalah apa yang melingkupinya. Untuk beberapa detik Shiori merasa kehilangan. Untuk beberapa sekon yang berlalu, Shiori merasa tak memiliki apa-apa lagi.

.

Keesokan paginya Shiori bertanya apakah Masaomi berangkat kerja atau tidak, dijawab dengan 'tidak' karena sang kekasih tak bisa bangun. Terlalu sakit.

Shiori menaiki kereta langsung ke Suginami untuk menjenguk. Ia telah melukai, ia harus bertanggungjawab.

Setiap kali salah satu menggoreskan luka, selalu tersadar untuk bertanggungjawab atas apa yang diperbuat. Jika terus begitu, bagaimana mungkin akan berpisah.

Tak bisa. Karena hati memilih menetap. Mereka telah melangkah jauh. Sudah berjuang sekeras ini, tak akan jadi mantan.

Ingin bertemu di luar saja, mereka memilih taman untuk dijadikan persinggahan. Terlalu banyak waktu yang dibuang dengan diam-diaman. Hanya menikmati sekeliling dengan sorot hampa. Entah apa yang dipertahankan, barangkali tingginya ego karena tak mau memulai duluan.

Dan lagi-lagi selalu Masaomi, yang pertama merendahkan diri, membuang egois dan meminta maaf duluan. "Maaf aku sudah membuatmu menderita."

Padahal posisinya Masaomi yang hampir mau mati kemarin.

"Kamu suka ya lihat aku sekarat begini?"

Shiori masih diam. Menatap yang entah apa.

Masaomi mengembuskan napas berat. Terus. Hingga lima menit berlalu. "Aku cinta banget, banget, banget, banget sama kamu. Aku tidak mau kita pisah. Aku lelah terus bertengkar. Aku tidak mau membuat kamu menangis lagi, aku masih belum menemukan caranya. Bagaimana caranya agar kita baik-baik saja? Bagaimana aku bisa tidak menyakiti kamu? Aku harus apa?"

Shiori masih mematung. Hanya mendengarkan. Tak tahu harus berkata apa. Semua yang berseliweran adalah luka. Semua yang terdengar adalah perih.

"Aku harus bagaimana?" tanya Masaomi lagi, dan Shiori masih sama, diam.

Para remaja bermain basket, sekelompok pemuda meluncur di atas skateboard, pasangan suami isteri yang mengajarkan kedua anaknya olahraga bulutangkis, segerombolan gadis yang sibuk mencari spot terbaik unuk selfie—apa saja dijadikan pelarian Shiori agar tidak menatap Masaomi.

Si pria mengekeh, "Ahaha, rasanya semua sia-sia saja. Perjalanan yang sudah kita tempuh sejauh ini, hari-hari yang kita lalui, rasanya seperti sia-sia saja. Kamu selalu melihat kurangku, tak pernah mengapresiasi kelebihanku."

Lalu yang hadir adalah keheningan lagi.

"Aku harus bagaimana?" pertanyaan yang sama menuntut diminta jawaban.

Shiori akhirnya menoleh, menatap wajah lesu yang tak lagi ada cerahnya. Ia lingkarkan tangannya di pinggang si lelaki, menjatuhkan kepalanya pada bahu yang tak tegap. Shiori menghela napas, lega karena Masaomi tidak menolak saat ia meminta sandaran. "Saat kamu berkata menyerah, untuk beberapa saat aku … merasa, hilang … aku merasa tak memiliki apa-apa lagi."

Ucapan itu tak merubah apa-apa. Masaomi masih diam. Shiori mengembuskan napas, kali ini dadanya sesak.

"Aku sangat mencintaimu." kata Shiori.

Masaomi tetap diam.

Waktu bergulir lambat. Ia ingin keluar dari situasi ini. Pergi ke mana saja, yang jauh, agar bisa kabur dari lingkaran patah hati. Meski tahu lari tak membuat penyelesaian.

Shiori membenamkan wajahnya pada dada Masaomi, mengusap-usap dada sang kekasih, kemudian iseng mencubit nipple si lelaki.

Target raba mendesis, geli.

"Maaf," ujar Shiori mengulas senyum, "tidak sengaja." lalu lanjut berbuat jahil lagi, kali ini digaruk dada sang kekasih.

"Hei, geli," Masaomi lantas tertawa, bibirnya terarah untuk mengecup kening wanitanya.

Shiori tak lagi khawatir untuk menatap lurus. Ia mendongak, menatap Masaomi yang mulai kembali tersenyum. Ia biarkan jari kasar kekasihnya menyeka air mata yang tak lagi membendung, gumaman sayang dari mulut Masaomi selalu berhasil memekarkan bahagianya.

"Aku sayang kamu," ujar Masaomi, menjatuhkan wanitanya dalam dekapan hangat. Tangannya membelai rambut merah Shiori, sesekali mengecup keningnya, "aku sangat mencintaimu."

[]

] [

[ ]


"Eh?"

Seijuurou tak sadar ada setetes bening yang jatuh di atas kertas salinan jurnal ibunya. Ia lantas mengusap mata dan mendapati tangannya basah. Tak sadar terbawa suasana. Kemudian terpikir, jika ia menjalani kisah cinta, akankah berjalan dengan puncak-landai yang tak karuan sebagaimana orangtuanya?

Ia tahu cinta kedua orangtuanya sangat besar. Kekuatan mereka bertahan dengan segala sabar yang dimiliki adalah kuncinya. Padahal logikanya, jika kerapkali bertengkar seperti itu, umumnya orang-orang akan berpisah karena merasa tak cocok. Tapi hati mereka menggerakkan agar cinta berkembang. Memberi banyak pelajaran sampai tak ada lagi alasan untuk pergi kecuali bergandengan tangan.

Sejumlah lembar salinan jurnal diletakkan ke atas meja. Seijuurou mematikan lampu dan merebahkan tubuh. Ditatapnya langit-langit gelap hingga matanya terbiasa pada kelam. Seketika terbesit bayangan seorang teman sebaya yang sempat menarik perhatiannya beberapa waktu lalu.

Akashi Seijuurou menggeleng, "Tidak, aku belum siap 'jatuh' (cinta)," gumamnya sembari merubah posisi. Dipeluknya guling, lalu memejamkan mata. Acara stalking jurnal sang Ibunda dilanjutkan kemudian hari.

.

.

.

TBC


.

.

Hae, adakah yang menantikan?

/usap air mata/ saya terharu teman-teman mau membaca. Terharu juga karena masih nanges pas nulis beberapa scene di ff ini, wkwk.

Terima kasih udah fav, follow, review :'))

Ohgorunney, , Liuruna, May Angelf, Naruhina Sri Alwas.

Fushigi Yamiharu Qiya, UchiHarunoKid, Vanilla Parfait, arannis, arudachan, wysan. 24AkasaVinka20, Adnida KIA Rahid, Kaluki Lukari, Liu Megane, evelynedogawa.

.

.

.

Teman-teman boleh cek bio saya, siapa tau kepo :') /gak.

Sampai jumpa di kesempatan berikutnya XDDD