Black
(Black Shirt's Sequel)
.
Aerolee
.
Warning!
(Typo everywhere, EYD Failed)
.
BoyxBoy | Yaoi | Angst, Hurt, Romance, Drama | PG-15
.
Yoongi, Jimin, and other.
.
Don't Like?
.
Don't Read!
.
Don't Plagiarize
.
Semua cast milik agensi masing-masing, orang tua masing-masing, dan juga milik Tuhan.
Tapi Fanfic ini asli milik saya, jika ada kesamaan alur, kata-kata, cast atau sebagainya, itu hanya unsur ketidak sengajaan.
.
Happy Reading!
.
.
.
.
.
.
CHAPTER 2
.
.
.
.
Kenapa aku tidak tahu bayangan yang telah dilempar ke wajahku
Diciptakan dari cahaya yang disebut, kau
Pagi itu Jimin hampir tersedak kopinya setelah mendengar sebuah suara debuman yang dihasilkan oleh adiknya—Park Jihoon. Lelaki bersurai ash grey itu membanting pintu kamarnya dengan tak manusiawi, hal itu sontak membuat Jimin tertegun.
Ada apa dengannya? Bukankah semalam dia masih bersikap kekanakan seperti biasa? Batinnya, sebelum berniat menghampiri Jihoon.
"Ada apa—" Belum sempat Jimin menyelesaikan kalimatnya, Jihoon telah lebih dulu menepis tangannya yang hendak menyentuh punggung adiknya itu, "Hey, kau ken—"
"Berhenti menyentuhku!" Jihoon memperingatkan, wajahnya memerah menahan amarah. Hal itu membuat Jimin semakin bingung, ada apa? Apa dia berbuat salah?
Jimin menarik bahu Jihoon, mencoba menatap manik abu-abu adiknya itu, "Ada apa? Kau merasa kesal? Apa aku telah berbuat salah?"
"Ya! dan berhentilah bersikap kau peduli denganku!"
"Ya, Park Jihoon!"
Jihoon kembali menepis tangan Jimin, menatap lelaki yang telah dianggapnya berengsek itu dengan sengit. Bahkan mulai detik itu juga ia merasa muak bahkan malu jika mengingat bahwa Jimin adalah saudara kembarnya, betapa bodohnya ia baru mengetahui kebenaran itu sekarang.
"Apa? Kau tak perlu menggunakan topengmu itu lagi, Park Jimin! Berhentilah membodohi orang lain!"
Mendengar ucapan Jihoon yang mulai mengusik telinganya membuat Jimin kehilangan kesabaran, tangannya terkepal menahan emosi yang akan meledak jika saja Jihoon kembali berucap hal-hal yang tak masuk akal, "Apa kau bilang? Sekali lagi, apa yang kau bilang, keparat!"
"Kau... tak perlu melakukannya, Jimin. Jika kau menginginkannya, ambil saja!" Tandas Jihoon, melempar beberapa lembar foto tepat ke arah wajah Jimin. Lalu melenggang pergi, meninggalkan Jimin yang masih mencoba mengontrol emosinya.
Dan di sini lah Park Jimin, berdiri diam menatap berlembar-lembar foto yang berserakan. Matanya memicing, merasa tidak asing dengan seseorang yang terpampang pada tiap lembar kepingan itu. Bukankah itu—
"Sial," desisnya. Kau kembali mengulangi kesalahanmu, Min Yoongi.
.
.
.
.
"Kau bertemu dengannya, Yoon?"
Yoongi yang awalnya dalam posisi merunduk itu mendongak, menatap lelaki jangkung bersurai blonde di hadapannya dengan salah satu alis terangkat. Sepertinya ia tahu apa yang tengah dibicarakan temannya itu, siapa lagi kalau bukan mantan kekasihnya—Park Jimin.
Kim Seokjin menghela napas, tangannya terangkat menyingkirkan beberapa dokumen sebelum menempatkan diri duduk di hadapan Yoongi. Ia butuh sebuah penjelasan dari teman semasa SMA-nya dulu. Sedangkan Yoongi hanya berdeham, menyibukkan diri dengan barang-barang yang tergeletak di dalam dus tanpa ingin menjawab pertanyaan Seokjin.
"Aku bertanya kepadamu, sekretaris Min!"
"Apa yang perlu aku jawab? Kau sudah tahu 'kan?" Decak Yoongi jengah. Ia benar-benar benci berada di situasi di mana ia diintimidasi seperti ini, apa salahnya?
Seokjin yang benar-benar sudah muak dengan sikap Yoongi itu mendengus kasar, menatap Yoongi dengan kilat penuh tuntutan seolah-olah memaksa sang audience untuk tetap terfokus padanya, "Kau tahu? Perbuatanmu dapat menghancurkan hidup seseorang, Min Yoongi!"
"Berhentilah mengharapkan lelaki itu, kau telah memiliki Jihoon. Dia bahkan berfisik sama dengan Jimin, apa yang kau harapkan dari lelaki brengsek seperti dia?" Pecah sudah, Seokjin tak lagi dapat memendung seluruh emosinya. Ia muak, sangat muak.
"Kenangannya," Yoongi bergumam, "Benar, kenangannya. Jimin dan Jihoon adalah pribadi yang berbeda, hyung."
"Hentikan itu, jika Jihoon tahu yang sebenarnya—"
"Mereka berdua akan bertengkar." Potong Yoongi cepat, "Memang itu yang aku inginkan."
"Apa?"
"Aku yang mengirimkan foto-foto lamaku dengan Jimin... kepada Jihoon."
Netra kelabu milik Seokjin membola, menatap Yoongi tak percaya. Dia, seorang Min Yoongi? Benarkah orang yang duduk dengan raut wajah tak bersalah di hadapannya kini adalah Min Yoongi, teman baiknya? Tega melakukan hal rendahan seperti itu hanya demi mendapatkan keinginan bodohnya? Seokjin tak habis pikir, dengan sekali gerakan Seokjin meremas kedua bahu Yoongi, mengguncangnya kuat seolah-olah ingin menyadarkan temannya itu dari mimpi buruknya.
"Sadarlah, Min Yoongi! Apa kau sudah gila melakukan hal itu, hah!?"Seokjin berteriak, masa bodoh dengan orang-orang yang berada di luar ruangan. Ia benar-benar murka saat ini.
Yoongi menggigit bibir bawahnya, sejak sebelum Seokjin membahas tentang Jimin ia telah mati-matian menahan gejolak sakit dalam dirinya. Sesak, benar-benar sesak hingga ketika ia melontarkan satu kata saja bulir-bulir bening mulai menjatuhi pipi mulusnya, "Aku gila! Aku gila karena selama ini masih menganggap Jihoon adalah Jimin, aku gila karena tidak bisa melupakannya!"
"Saat itu aku melihatnya kembali, melihatnya kembali setelah lima tahun tak bertemu. Ia berbeda, dia bukan Jimin yang dulu. Aku tahu ia telah banyak berubah setelah aku memutuskan untuk ikut denganmu ke Paris." Isak Yoongi, bahunya bergetar hebat. Ia tak peduli lagi dengan Seokjin yang melihatnya menangis, ia benar-benar lelah dan sesak.
"Aku tahu perbuatanku tidak benar, tapi Jimin membutuhkanku hyung. Lebih dari Jihoon yang membutuhkanku, tapi aku tahu sifat Jihoon, dia takkan pernah melepasku begitu saja."
"Dengan mengorbankan ikatan persaudaraan mereka berdua? Dengan begitu kau dapat mendapatkan Jimin kembali?"
"Aku putus asa."
"Hentikan," Seokjin mengusap punggung Yoongi pelan, memberi ketenangan untuk sahabat kecilnya itu, "Jika dia tahu kau yang mengirimnya dia akan benar-benar marah kepadamu, Yoon."
"Dia mungkin sudah marah kepadaku hyung. Bahkan mungkin aku telah kehilangan Jihoon saat ini."
.
.
.
.
Jimin menatap tajam lembaran-lembaran foto di tangannya. Wajahnya mengeras dengan kedua rahangnya yang terkatup rapat dan sesekali menciptakan suara gertakan-gertakan. Ia marah, sangat marah. Hanya dengan melihat foto itu dapat membuatnya sangat marah hingga ia tak bisa menjamin bahwa ia akan memaafkan orang yang berbuat hal memalukan seperti itu.
Jimin tahu orangnya.
Satu-satunya orang yang dapat melakukan hal itu tanpa memikirkan orang lain.
Min Yoongi—
Masa lalunya yang ia tinggalkan.
Masa lalunya yang ia buang begitu saja.
Masa lalunya yang membawa sebagian jiwanya hingga saat ini.
Kekasih lampaunya yang sangat ia cintai—
Jimin memejamkan matanya, mencoba menetralisir deru napasnya yang memburu akibat emosi yang membuncah. Ia bingung, emosi apa yang bergemuruh di dalam dirinya. Amarah kah? Rasa sakit? Atau kesedihan?
Kilas balik yang menyedihkan, menampar telak seorang remaja bernama Park Jimin kala itu. Seorang remaja yang tengah menikmati indahnya dimabuk cinta. Seorang remaja yang bersih, tak bernoda oleh kegelapan. Hilang dalam satu kedipan mata—
Jimin mengingatnya, saat ia masih menjalin romansa dengan malaikatnya. Yoongi bukanlah orang yang lembut dan mudah untuk didekati, bukan pula orang yang blak-blakan mengumbar hubungan asmaranya di depan banyak orang. Min Yoongi adalah sosok yang angkuh, memiliki harga diri yang tinggi, dan tertutup. Butuh perjuangan besar untuk Jimin mencuri hati Yoongi, ia rela menjadi seseorang yang bukan dirinya demi Yoongi, ia rela menghabiskan waktunya untuk mendapat perhatian sang ketua osis. Hingga ia mendapatkan permatanya—
Yoongi membanting pintu ruangannya dengan sekali sentak membuat Namjoon yang kala itu tengah sibuk merevisi beberapa proposal terlonjak dari kursinya. Ia menatap Yoongi penuh antisipasi, biasanya bila Yoongi datang dengan brutal seperti itu berarti ada sesuatu yang tidak beres menimpanya.
Namjoon berdeham, menggeser kursinya mendekati Yoongi, "Apa ada sesuatu yang ingin kau ucapkan?" Siul Namjoon sembari membaca proposal di tangannya, mencoba bertindak acuh tak acuh.
Yoongi mendengus, kepalanya ia topang dengan kedua tangan, "Apa aku terlihat bodoh?"
"Pardon?"Namjoon menoleh.
"Kau pasti tidak akan percaya."Gumam Yoongi.
Namjoon memutar bola mata malas, jengah dengan ucapan bertele-tele dari rekannya itu, "Bicara yang jelas, bagaimana bisa aku menilai percaya atau tidak dengan ucapan serampanganmu itu?"
"Aku berpacaran."
Kedua mata Namjoon membola, ia reflek menjatuhkan proposalnya dan menatap Yoongi penuh antisipasi, "Lawakanmu itu membuatku hampir jantungan, astaga."
"Aku serius bodoh!"
"Wow, dengan siapa?"
"Kau takkan percaya ini."
"Katakan saja cepat."
"Park Jimin."
Hanya satu kalimat dan detik itu juga apa yang Yoongi katakan tersebar luas di seluruh antero sekolah.
Reaksi?
Kaget—jelas.
Seorang Min Yoongi yang ditakuti hampir seluruh siswa dengan keangkuhan dan kedisiplinannya, berpacaran dengan bocah serampangan seperti Park Jimin?
Seluruh siswa dan siswi membeo tak percaya dengan fakta tersebut.
Namun siapa sangka. Jimin menampakkan wujud aslinya, seorang cassanova yang mempesona. Yoongi jelas bingung, awalnya ia hampir tak mengenali penampilan Jimin yang berubah seratus delapan puluh derajat yang awalnya serampangan, kemeja tak rapi, pierching, dan tatanan rambut acak-acakan berubah menjadi siswa berkharisma dengan pakaian rapi dan tatanan rambut yang stylist.
Saat itu Jimin mengambil langkah yang salah.
Awal yang manis berubah menjadi akhir yang mengenaskan untuk seorang Park Jimin. Di tahun kedua ia menjalin kasih dengan Yoongi, statusnya sebagai penerus Park Corporation terkuak. Ia tak sebebas dulu, begitu pula Yoongi—rasa segannya semakin hari semakin bertambah. Sebuah jarak tipis yang menjadi jembatan pemisah antara keduanya, awal dari berakhirnya hubungan mereka.
Saat itu...
Jimin baru saja menyelesaikan kelasnya dan segera menuju kafè langganannya setelah mengirimkan pesan singkat untuk Yoongi, tentu ini adalah kesempatan bagus baginya dan tak akan ia lewatkan mengingat hampir dua minggu ia tak bertemu dengan Yoongi—rasa rindu yang teramat bahkan dapat menghapus kenyataan pahit yang ia ketahui jauh sebelum hari itu.
Dapat ia lihat Yoongi melambaikan tangannya sambil tersenyum cerah seperti biasanya, kekasihnya yang indah rupawan, tempatnya bernaung, dan mutiara paginya. Ia menghampiri Yoongi, mengecup keningnya sekilas sebelum merengkuh lelaki itu dalam dekapannya—ia rindu, sangat rindu—sebelum kembali duduk dan memesan dua cangkir americano. Ya, mereka berdua adalah penggemar americano.
"Bagaimana kuliahmu?" Itu Yoongi, masih terduduk tenang menatap Jimin hangat. Berbicara layaknya hari kemarin tanpa memikirkan hal-hal yang negatif. Berbeda dengan Jimin, lelaki itu tampak gusar namun tak dipungkiri kebahagiaannya terpancar melebihi rasa gusarnya.
Jimin membiarkan sang pelayan meletakkan pesanan mereka sebelum menjawab, "Seperti biasa, aku hampir tidak mengerjakan tugasku jika saja Taehyung tidak berbaik hati membagi jawabannya tadi pagi."
Yoongi berdecak, "Kebiasaanmu tidak pernah berubah."
"Dan keindahamu tak pernah berubah."
Yoongi terdiam, menatap Jimin dalam, "Ada apa?"
Jimin tertawa, "Aku hanya memujimu, sayang."
"Kau tak pernah mengatakan hal seperti itu kepadaku. Jangan coba berbohong."
"Aku—"
"—kita akhiri sampai di sini."
Dan hal terakhir yang dapat ia ingat saat itu adalah deraian air mata kekasihnya dan ucapan terakhir darinya.
"Seokjin hyung memintaku untuk ikut dengannya ke Paris, namun aku menolak dengan alasan kau. Sepertinya aku akan menarik kata-kataku. Selamat tinggal, Park."
Semuanya hilang.
Namun membekas—
Katakan ini adalah kebodohan dari seorang pria bernama Park Jimin itu sendiri. Ia memaksa Yoongi untuk melupakannya, namun hal itu berubah menjadi bumerang baginya. Yoongi tak melupakannya dan begitupula dirinya sendiri. Dan kini apa akibatnya? Yoongi bertemu Jihoon di sini—Paris—dan menganggap adiknya adalah dirinya, Park Jimin.
Jimin mengusak surainya, pikirannya kusut, ia perlu berbicara dengan Yoongi sekarang. Namun sebelum ia hendak bergegas meninggalkan apartemen pikirannya kembali melayang, ia teringat bagaimana murkanya Jihoon pagi ini. Adiknya yang tak pernah berteriak bahkan berkata kasar di depannya itu telah hilang—apa yang dilakukan Jihoon?
Jimin mengambil ponselnya dengan serampangan, menghubungi Jihoon namun hanya kekecewaan yang ia dapat—lelaki itu menonaktifkan ponselnya.
.
.
.
.
"Hyung, apa kau pernah bertemu pria sepertiku?"
"Hm? Pernah, ada apa?"
"Hanya bertanya karena penasaran."
"Kau membuatku mengingatnya."
"Jadi? Ceritakanlah."
"Kau sama sepertinya, namun kau berbeda. Jika bisa diibaratkan kau adalah salah satu bintang dan dia adalah bintang yang lain. Tampak sama namun berbeda."
"Bicaramu berputar-putar, sayang."
"Biarkanlah, biarkan aku dan keindahan malam yang tahu arti semua itu."
Bintang? Bintang seperti apa yang lelaki manis itu ucapkan dahulu?
Persamaan paras? Sungguh lelucon yang kuno.
Jihoon menenggak alkohol keenamnya, tersenyum miring mengingat suatu hal yang bodohnya hanya ia anggap sebagai cuilan tak berarti. Nyatanya hal itu adalah sesuatu yang besar, sangat besar hingga dapat menyayat hatinya. Sakit, sangat sakit hingga ia tak bisa merasakannya lagi sekarang.
Bibir merahnya memang menawan dan sangat memabukkan, namun terdapat jurang kegelapan di dalamnya. Apakah ini rasanya dihianati? Sepedih inikah?
Apa ada hal yang lebih menyedihkan dibandingkan dengan sebuah penghianatan yang dilakukan oleh saudara kembarmu sendiri?
Jihoon tertawa, menatap area dansa bar dengan pandangan tak berminat. Sorot matanya kosong dan giginya bergemelatuk geram, gayanya yang serampangan bahkan dapat membuat orang-orang di dalam sana berspekulasi bahwa dirinya sedang dilanda depresi yang teramat. Jelas itu sangat benar—
Mengetahui kenyataan bahwa kekasihnya ternyata pernah menjalin hubungan asmara dengan saudara kandungnya dan tak pernah memberitahu tentang hal itu, siapa yang tidak kecewa dan merasa dihianati? Terlebih lagi foto itu, terpampang jelas bagaimana rupa kekasihnya dan kakaknya di sana karena apa? Ia tak pernah melakukan hal sebahagia itu bersama Yoongi.
.
.
"Apa aku hanya kau anggap sebagai pengganti dia?"
.
.
To be Continued