Title : CATCH

Chapter : 2 of …

Author : lychee9900

Rate : Fiction T

Genre : Brothership, Bromance, Tragedy, Family

Disclaimer : The casts are not mine. I just own the story.

Warning : OOC. Typos. Don't Bash or Flame. DON'T LIKE? DON'T READ! NO PLAGIARISM. This story is 100% mine. Need Reviews, please?^^

.

.

.

.

.

Seorang wanita membawa sebuah nampan dengan mangkuk berisi bubur hangat, air putih, dan susu cokelat berjalan dengan hati-hati menuju sebuah kamar yang berada di lantai dua.

Pintu kamar itu terbuka, ia memang sengaja membiarkannya terbuka.

"Haechanie, bangunlah. Eomma memasakkan bubur kesukaanmu dan— eh?"

Ranjang anak bungsunya sudah rapih dan terdengar suara air di kamar mandi.

Wanita yang bernama lengkap Kim Jinah itu langsung meletakkan nampannya dan berjalan sedikit cepat ke kamar mandi yang terkunci dari dalam. Ia baru saja hendak mengetuk, namun pintunya sudah terbuka duluan dari dalam.

"Eomma mengagetkanku."

Haechan yang sudah memakai seragam dengan kemeja putih yang dua kancing teratasnya belum dikancingkan, dan sebuah handuk kecil tergerai begitu saja menutupi rambutnya yang basah dan wajahnya yang sudah tampak lebih segar.

"Sejak kapan kau bangun? Kau ingin sekolah sekarang? Apa kau sudah baik-baik saja? Apa perlu kupanggilkan dokter Ahn? Apa tubuhmu sudah jauh lebih baik? Apa—"

"Eomma. Aku baik-baik saja." Haechan tertawa kecil untuk meyakinkan bahwa ia memang sudah baik.

"Apa kau tidak ingat kau membuat ibumu ini menangis semalaman?"

Haechan menghentikan kegiatan memasang dasinya.

"Eomma menangis? Karena aku? Kenapa eomma menangisiku sih..."

"Kenapa? Aku yang harusnya bertanya padamu yang tiba-tiba teriak histeris dan pingsan saat kakakmu memelukmu. Kau membuat dokter Ahn datang pada pukul dua pagi."

Haechan menggigit bibir bawahnya, tentu saja ia tahu itu. Ia mengingat apa yang terjadi dan sempat merutukinya ketika di kamar mandi.

"Ganti bajumu dengan pakaian yang lebih santai. Eomma sudah memberitahu wali kelasmu bahwa kau sedang sakit."

Haechan menurut saja ketika ibunya menyuruhnya duduk di kasur dan membantu merapihkan rambutnya yang masih setengah basah. Ia adalah anak bungsu, jadi sudah terbiasa dengan perlakuan ibunya yang sedikit memanjakannya.

"Hari ini kita akan pergi ke rumah sakit. Aku sudah membuat janji pada dokter Ahn untuk—"

"Tapi aku baik-baik saja, eomma... aku sudah sehat, sungguh aku tidak sakit. Tadi malam aku hanya benar-benar kelelahan dan setengah dehidrasi jadi aku pingsan. Eomma tahu sendiri jika aku berlatih terlalu keras akhir-akhir ini."

"Tidak ada tapi-tapian. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke rumah sakit. Sekarang habiskan sarapanmu."

.

.

.

.

.

"Baiklah, ini dia hasil pemeriksaan fisik anak anda, Nyonya Lee."

Dokter dengan nametag bertuliskan Ahn Jisoo itu menaikkan kacamatanya, ia tersenyum ramah pada sepasang ibu dan anak didepannya. Dokter Ahn sendiri sudah lama mengenal keduanya, bahkan sejak Haechan belum lahir. Karena ia merupakan sahabat karib dari Lee Yonghwan dan merupakan dokter pribadi keluarga itu.

"Secara fisik, sebenarnya tidak ada masalah serius seperti cedera otot dan sebagainya. Hanya saja tekanan darahnya cukup rendah untuk ukuran seorang atlet muda sepertinya. Mungkin itu juga yang membuatnya mudah kelelahan. Anda tidak perlu khawatir, saya juga sudah mendapat amanat dari suami anda untuk memberikan beberapa suplemen dan vitamin tambahan untuk Haechan."

Jinah hanya mengangguk-angguk sambil membaca sesekali laporan kesehatan anaknya itu. Haechan sendiri hanya menundukkan pandangannya, ia sedikit bosan dengan tempat bernama rumah sakit itu.

"Untuk kejadian tadi malam, bisakah saya mendapat waktu khusus saya hanya dengan Haechan-ssi saja? Itupun jika anda tidak keberatan."

Haechan yang merasa terpanggil hanya mengerjapkan matanya bingung.

"Ya, tidak masalah Jiwoo-ssi. Saya akan menunggu diluar."

Sekarang Haechan dibuat bingung karena hanya ada ia dan sang dokter di ruangan itu.

"Aku sudah mengenalmu sejak lama, Haechan-ssi. Karena tidak ada masalah serius pemeriksaan fisikmu, sepertinya kau sedang terganggu dengan sesuatu akhir-akhir ini yang membuatmu tiba-tiba histeris lalu tidak sadarkan diri. Jadi kupikir ada sedikit gangguan psikis dan sebagainya karena itu aku meminta waktu khusus karena sepertinya kau sendiri belum menceritakan masalahmu bahkan pada ibumu sendiri."

Sang dokter hanya tersenyum maklum ketika bocah itu menghindari tatapannya dan memainkan jri-jarinya. Sepertinya dugaannya betul.

Dokter Ahn lalu inisiatif duduk tepat di samping pasiennya.

"Kau bisa ceritakan sesuatu yang mengganggumu padaku. Aku akan menjadi pendengar yang baik."

Ibarat kalimat sihir, kini Haechan akhirnya mau menatap sang dokter. Ia jadi sedikit lebih rileks, mungkin tidak ada salahnya menceritakan sedikit masalahnya.

"Aku merasa... ada seseorang yang sedang menggangguku. Tapi aku tidak tahu siapa dia..."

Haechan lalu menceritakan kejadian kemarin sore ketika ia melihat dengan jelas sebuah panah melesat yang arahnya seperti sengaja namun tidak bermaksud melukainya hingga sebuah nomor asing yang mengirimkan pesan yang sama yang pernah dikirimkannya lima tahun lalu pada Mark.

"Aku mengakui aku memang pernah mengirim pesan itu tepat lima tahun yang lalu di tanggal yang sama pada Mark hyung. Tepat beberapa jam sebelum kejadian mengerikan itu... namun pesan yang sekarang dikirimkan kembali pada Mark itu demi Tuhan bukan aku yang mengirimnya!"

Dokter Ahn langsung menenangkan kedua bahu yang menegang itu. Ia dapat menemukan sorot ketakutan dalam mata Haechan.

"Lima tahun yang lalu, aku juga pernah meminta Mark hyung untuk datang ke gedung di belakang sekolah. Dulunya gedung itu merupakan gedung baru SMP kami yang akan dijadikan sebuah lapangan indoor biasa namun bangunan itu belum selesai pembangunannya, hingga suatu hari terjadi musibah kebakaran besar yang menewaskan seorang siswa."

"Mark hyung berada di lokasi kejadian dan hampir tidak bisa menyelamatkan dirinya, karena ia pikir aku masih berada didalam gedung itu maka ia berani menembus kobaran api dan mengabaikan seluruh peringatan dari petugas pemadam kebakaran disana. Saat itu ponselku mati, padahal aku tidak sedang berada di lokasi kejadian, aku berada di kantin luar sekolah. Aku lupa memberitahu Mark hyung dan aku bahkan tidak tahu jika ia nyaris kehilangan nyawanya ketika mencariku yang bahkan tidak ada didalam gedung yang terbakar itu. Lalu... a-aku—"

Dokter Ahn langsung merangkul Haechan, sama seperti apa yang ia lakukan pada anak perempuannya dirumah ketika ia bersedih.

"Kau bisa menghentikannya sejenak. Tidak apa-apa."

"Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi lagi karena setelah itu Mark terluka parah dan ia dinyatakan koma selama empat hari namun saat ia terbangun, ia tidak bisa mengingat apapun. Dokter disana mengatakan ia mengalami amnesia..."

Haechan menarik nafas panjang. Entah kenapa ia merasa ini semua begitu berat meski hanya untuk diceritakan.

"Apa Mark tahu soal kejadian lima tahun yang lalu dan juga semua hal yang menyebabkannya amnesia?"

Haechan menggeleng pelan. "Keluarga Mark sudah tahu soal musibah itu tapi mereka memutuskan untuk merahasiakan soal amnesianya karena Mark sendiri meski sempat melupakan identitasnya namun itu tidak lama karena ia menjalani terapi, tapi tampaknya ia memang tidak bisa mengingat soal musibah itu seolah-olah ia tidak pernah mengalaminya. Setelah itu, kondisinya setelah koma juga sudah jauh lebih baik dan tidak meninggalkan cedera atau trauma yang serius, jadi orang tuanya memutuskan untuk menutup semuanya seakan-akan Mark memang tidak pernah amnesia."

"Ah... jadi itu adalah amnesia retrogade, penderita mengalami ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu." Dokter Ahn mengangguk paham. Sepertinya ia mulai mengerti jalan cerita ini.

"Apa kau tertekan karena menyimpan beban rasa bersalah yang begitu berat pada Mark?"

Haechan terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan itu.

"Aku memang merasa tertekan karena aku takut jika Mark tiba-tiba mendapat ingatannya lagi lalu ia akan membenciku karena akulah yang pernah membuatnya celaka. Namun... bukan itu... tapi kejadian kemarin sore itu..."

Haechan menyembunyikan jari-jarinya yang bergetar. Ia mencoba untuk tetap tenang.

"Seperti yang kubilang sebelumnya, aku merasa seseorang seperti sedang menerorku. Ada yang mengirimkan sms sama yang pernah kukirim pada Mark lima tahun lalu tepat beberapa jam sebelum musibah gedung itu. Bahkan sms itu terkirim tepat di tanggal yang sama! Kami juga hampir celaka karena sebuah anak panah melesat dan hampir melukai kepala Mark hyung..."

Haechan memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat kejadian kemarin sore.

"Aku berani bersumpah aku melihat anak panah itu. Ukurannya lebih kecil seperti pensil, namun panjangnya sekitar 20 cm. Aku memang sedang kelelahan saat itu tapi aku sungguh tidak sedang berhalusinasi, dokter!"

"Haechan-ah, tenanglah. Aku akan membantumu mengatasi masalah ini, okay? Kita juga tidak bisa langsung melapor kepada polisi jika ada seseorang yang berniat untuk mencelakanmu. Apa kau ingin aku membantu untuk memberitahu orang tuamu, mungkin mereka—"

Haechan dengan cepat menahan lengan doker pribadinya itu. "Jangan, kumohon. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengatakan ini."

Setelah itu, dokter Ahn hanya bisa menghela nafas. Sepertinya ini akan sulit.

.

.

.

.

.

To: Full sun

Message: "Hey, apa kau baik-baik saja? Jaemin bilang kau tidak masuk hari ini dan wali kelas kalian bilang kau sakit? Apa kau cedera?"

Satu detik, dua detik. Mark yang baru saja mengirim pesannya langsung mengetik kembali pesan yang lain.

To: Full sun

Message: "Apa kau jatuh sakit karena kelelahan kemarin?"

30 detik kemudian. Masih tidak ada balasan dari kontak bernama "Full sun" itu. Nama itu sendiri merupakan arti nama dari adik kelasnya yang begitu disayanginya.

Ya. Siapa lagi jika bukan Haechan.

Mark mengetuk-ngetuk jarinya tidak tenang. Ia sudah menunggu hampir 10 menit untuk balasan smsnya karena biasanya Haechan selalu membalas pesannya dengan cepat. Mark juga sudah menelepon anak itu berkali-kali namun tidak ada seorangpun yang mengangkatnya.

"Sepertinya ia mematikan dering ponselnya."

"Apa sakitnya begitu parah?"

"Aku takut dia mengalami cedera. Kompetisi memanahnya akan berlangsung bulan depan..."

Mark terus bermonolog, lalu ia menggigit bibir bawahnya. Ia tiba-tiba ingat kejadian kemarin sore ketika Haechan bertingkah aneh.

"Coba aku hubungi dia lewat nomor barunya itu."

Belum ada semenit, Mark kembali mengeluh karena nomor yang ia duga merupakan nomor baru Haechan yang kemarin mengiriminya sms itu benar-benar tidak aktif lagi.

"Nomor lamanya masih aktif meskipun dia tidak membalas pesan atau mengangkat panggilanku. Tapi kenapa dia mengirimiku pesan untuk datang ke gedung itu kemarin sore dengan nomor baru?"

"Ah sudahlah."

Mark menarik selimutnya sebatas dada. Sejak tadi ia berada sendirian di ruang UKS karena kakinya terkilir ketika bermain basket saat jam istirahat.

.

.

.

.

.

"Tadi apa saja yang kau bicarakan dengan dokter Ahn?"

Haechan tidak menggubris pertanyaan ibunya itu. Tatapannya jatuh pada jalanan yang kebetulan sedang macet itu. Ia tidak sedang melamun, ia mendengar dengan baik pertanyaan ibunya itu, hanya saja perasaannya sedang buruk kali ini.

"Haechanie?" ibunya menyentuh pelan bahu kanannya.

"Dokter Ahn hanya memberi nasihat agar aku menjaga stamina tubuhku untuk kompetisi itu."

Haechan tidak berbohong, dokter Ahn memang mengatakan dirinya untuk tetap sehat. Hanya saja, ia memang belum berani untuk cerita lebih lanjut tentang beberapa sebab yang mengganggu pikirannya kemarin.

.

.

.

.

.

Perjalanan setelah dari rumah sakit memakan waktu hampir satu jam. Meski ia hanya duduk diam di mobilnya, namun Haechan merasa begitu lelah sehingga ia dengan pasrahnya membanting tubuhnya ke ranjangnya. Ia juga melempar begitu saja sendal rumahnya. Bahkan ia tidak sempat mengganti hoodie merah dan celana jinsnya dengan pakaian rumah yang lebih nyaman.

Tubuhnya tertelungkup, dengan wajah terbenam di bantal. Haechan merasa ia berada di titik terendah moodnya hari ini. Dalam hati ia bersyukur tidak masuk sekolah hari ini.

Oh ya, sekolah. Haechan jadi ingat sesuatu.

Dalam hitungan detik, ia bangkit dari kasurnya dengan wajah setengah panik.

"Dimana ponselku?"

Ia baru sadar jika ia melempar ponselnya ke kolong ranjangnya kemarin malam dan lupa mengambilnya.

Setelah mengambil ponselnya, Haechan meringis melihat notifikasi ponselnya.

"Jaemin, Mark hyung... Park seonsaengnim? 14 panggilan tak tertajawab. Tumben sekali mereka mengkhawatirkanku."

Moodnya berangsur baik ketika membaca beberapa pesan yang ditujukan padanya itu.

From: Park Chanyeol seonsaengnim.

"Cepatlah sembuh, Haechan-ssi. Jangan lupa untuk mengumpulkan tugas laporanmu besok."

From: murkeuri

"Hey, apa kau baik-baik saja? Jaemin bilang kau tidak masuk hari ini dan wali kelas kalian bilang kau sakit? Apa kau cedera?"

"Apa kau jatuh sakit karena kelelahan kemarin?"

"Angkat teleponku T-T"

From: nananajaemin

"KAU SAKIT APA? KENAPA TIDAK MEMBERITAHUKU DULU?"

"Gara-gara kau tidak masuk, aku jadi harus mencatat semua pelajaran hari ini agar kau tidak tertinggal materi. Tanganku pegal!"

"KAU BERANI-BERANINYA TIDAK MENGANGKAT TELEPONKU?!"

"Aku makan di kantin sendirian T-T Jeno hyung sibuk dengan kegiatan Osis nya, huh menyebalkan."

"HAECHAN-AH AKU BAHAGIA TIDAK ADA KAU DI KELAS KARENA KELAS TENANG TANPAMU HAHAHA."

"Aku kesepian. Renjun sedang sibuk berlatih untuk olimpiadenya. Aku bosan sekali."

"Kau tahu? Tadi Jeno mengantar Mark sunbae ke UKS. Katanya kaki Mark sunbae terkilir."

"YAK! KAU HARUS MASUK SEKOLAH BESOK ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU!"

Haechan sendiri hanya tertawa geli ketika membaca semua pesan itu.

.

.

.

.

.

.

14 April 2017

.

Satu hari berlalu dengan cepat. Pagi itu, Haechan memutuskan untuk pergi ke sekolah.

TAK!

"Akh! Yak!"

Haechan menatap tajam pada seseorang yang memukul penggaris plastik ke kepalanya.

"Itu untuk kau yang tidak membalas pesanku dan membuatku harus menulis semua materi kemarin."

"Ini masih pukul tujuh kurang dan kau sudah banyak bertingkah." Jaemin yang mendengar kalimat itu hanya mendengus.

"Kau terlihat sehat-sehat saja, tidak terlihat seperti orang yang baru sembuh dari sakit. Kemarin kau bohong ya pada Park seonsaengnim?" Jaemin lalu melotot pada teman sebangkunya itu.

"Aku memang tidak sakit, tapi kemarin aku pergi ke rumah sakit."

"Ke rumah sakit tapi kau sedang tidak sakit. Kau ingin mengencani suster disana?"

Haechan mencebikkan bibirnya. Ia lalu membuka sebungkus coklat dari tasnya dan memotongnya sebagian, lalu menyuapkannya pada Jaemin.

"Apa-apaan ini?"

"Telur ayam."

"Yak!"

Haechan memotong cokelat miliknya dan tetap menyuapkannya pada Jaemin sampai cokelat itu habis.

"Sudah tahu ini cokelat. Masih saja tanya ini apa."

"Kau menyogokku dengan cokelat!"

"Iya. Biar kau tidak cerewet hari ini. Otakku sakit mendengar omelanmu pagi ini, Na Jaemin."

Setelah itu keduanya kembali bertengkar dan berisik seperti biasa.

.

.

.

.

.

Pukul tiga sore, bel pulang sekolah sudah berbunyi 30 menit yang lalu. Sebagian kelas sudah sepi, dan sebagian masih ramai oleh siswa-siswa yang disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler.

Seorang siswa dengan nametag bertuliskan "Mark Lee" berlari kecil menuju salah satu kelas di lantai dua. Ia baru saja ingin menaiki tangga namun seseorang menghentikannya.

"Kau mencari Jeno, hyung? Ia baru saja pergi dengan Jaemin."

Mark yang mendengar suara yang begitu khas ditelinganya itu tersenyum lega. Lalu ia mendekati orang itu.

"Aku mencarimu, Haechan-ah."

Haechan membalas senyuman itu. "Baiklah, kau sudah bertemu orang yang kau cari."

Mark lalu mengacak pelan rambut cokelat tua siswa yang lebih muda setahun dengannya itu.

"Kemarin kau tidak membalas pesanku dan mengangkat teleponku. Kupikir kau marah padaku."

Haechan hanya tertawa kecil, tidak membalas pertanyaan itu karena tidak mungkin jika ia bilang bahwa ia lupa meninggalkan ponselnya di bawah ranjang.

"Kau masih sakit ya?"

"Huh? Apa aku terlihat seperti orang sakit?"

Mark lalu mengangguk.

"Aku tidak sakit, hyung. Aku baik-baik saja, sungguh."

"Wajahmu agak pucat dan..." Mark mengusap peluh di pelipis Haechan. "Dan kau berkeringat dingin. Kemarin kau sakit apa sih?"

Haechan hanya berdecak saja. Ia memang tidak sedang sakit, bahkan ia merasa baik-baik saja.

"Ayo kita ke game center, aku yang traktir." Haechan menarik lengan seniornya itu. Namun Mark tidak bergeming.

"Tanganmu dingin, Haechan. Apa kau sungguh baik-baik saja?"

Haechan hanya mendesah kesal. "Aku sehat dan aku baik. Perasaanku memang sedang buruk sekali saat ini, dan aku tidak tahu kenapa. Jadi, temani aku ke game center ya?"

"Baiklah-baiklah. Tapi aku akan mengambil barang punya Kangmin yang tidak sengaja aku tinggalkan. Kau tunggu didepan gerbang sekolah ya? Kita akan bertemu disana."

Haechan hanya mengangguk saja dan terus menatap punggung seniornya yang semakin menjauh. Ia berjalan pelan menuju gerbang sekolah.

Selama berjalan menuju gerbang sekolahnya yang tidak jauh, Haechan terus mengusap peluhnya berkali-kali. Entah kenapa jantungnya berdegup kencang.

"Sebenarnya aku ini kenapa?"

Entah kenapa juga perasaannya begitu buruk. Kenapa firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi?

Haechan menghentikan langkahnya. Lalu ia merogoh ponselnya dan menelepon Mark.

"Halo? Sebentar, Haechan-ah. Aku belum—"

"Kau dimana, hyung?"

"Tunggu saja di gerbang sekolah, oke? Aku sedang mencari bola basket milik Kangmin yang kemarin tidak sengaja kutinggalkan di gedung kosong belakang sekolah yang kemarin kita datangi itu. Karena kemarin kau menarikku berlari jadi aku tidak sengaja meninggalkannya disini."

Haechan memijat keningnya. Kenapa ia tiba-tiba cemas seperti ini.

"Bi-bisakah kau jangan ke tempat itu lagi? Aku—"

"Hey, aku bahkan belum meninggalkanmu selama 5 menit. Aku baru saja tiba di gedung ini dan belum menemukan bolanya."

PIP!

Haechan merasa jengah dan langsung memutuskan panggilan itu secara sepihak. Ia tidak memikirkan apapun lagi dan langsung berlari untuk menyusul Mark ke tempat itu. Ia tidak tahu kenapa ia tiba-tiba merasa secemas ini.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di gedung itu karena posisi gedung itu sendiri berada di belakang gedung SMP dan SMA nya. Haechan hanya memerlukan waktu tiga menit dengan berlari kesana.

"Hyung!"

Mark yang mendengar seseorang memanggilnya itu langsung menoleh ke belakang. Ia melihat juniornya tampak terengah-engah setelah berlari.

"Astaga Haechan-ah. Kau berlari dan menyusulku kesini lagi?"

Mark mengambil sapu tangan di sakunya dan memberikannya pada Haechan yang sangat berkeringat.

Namun Haechan hanya menepis sapu tangan itu. Rasa cemasnya memang belum menghilang namun ia sedikit lega karena Mark ada didepannya.

"Tunggu disini, aku akan mencari bolanya."

Namun Haechan lagi-lagi menahan lengan Mark. Keduanya kembali berdiri berhadapan dan tidak bergeming di tempatnya.

"Kenapa?"

"Hyung."

"Apa?"

Haechan menatap lurus pada suatu objek di belakang Mark tanpa berkedip. Hal itu membuat Mark ikut menengok dan menatap sesuatu di belakangnya.

"Apa yang kau lihat?"

Namun Mark tidak melihat apapun, karena fokusnya adalah sebuah dinding yang tertutupi oleh kayu-kayu besar yang bersandar dan menutupi sebuah tangga juga.

Haechan melihat suatu bayangan namun jaraknya begitu jauh... bayangan seseorang yang sedang memegang sesuatu yang tidak asing bagi Haechan.

"I-itu..."

Ia merasa de javu lagi...

... ia teringat kejadian kemarin sore itu...

... dan semua itu berlalu dengan cepat dalam hitungan detik sebelum sesuatu yang begitu cepat melesat kearah mereka.

Sret!

TSAAKK!

"Akhhh!"

Sekali lagi, semuanya berlalu begitu cepat dalam hitungan detik ketika Mark sempat merasakan begitu cepatnya Haechan memeluk dan membalik tubuhnya sehingga mereka bertukar posisi.

Mark kaget, ia begitu kaget dan membeku di tempatnya ketika akhirnya ia melihat bayangan yang sepertinya merupakan objek yang dilihat Haechan.

Bayangan seseorang berpakaian serba hitam dan memegang sebuah busur yang baru saja dilesatkan anak panahnya.

Semuanya begitu cepat terjadi, bahkan ketika Mark baru saja merasakan ada percikan darah yang mengenai dagunya... dan Haechan yang ambruk, hampir menimpa tubuhnya jika saja ia tidak menahan kakinya untuk tetap berdiri.

"Ha-haechan-ah..."

Mark menahan tubuh Haechan untuk tetap berdiri.

Jantungnya berdegup kencang. Badannya bergetar hebat ketika saat itu juga Haechan mengerang kesakitan.

Ia melihatnya. Mark melihatnya. Sebuah panah menancap di punggung bagian kanan Haechan. Panah itu sepertinya menancap cukup dalam.

Ya, sebuah anak panah.

Mark langsung mencari seseorang yang melakukan ini. Ia hampir saja memutuskan untuk berlari menuju tangga itu dan mengejar pelakunya namun erangan Haechan menghentikannya.

"Bertahanlah... kumohon bertahanlah..."

Mark berusaha untuk memapah Haechan, otaknya sekarang mengatakan untuk pergi, pergi dan pergi menjauhi gedung terkutuk ini.

Haechan yang tidak mampu mengatakan apapun lagi selain mengerang sakit hanya bisa pasrah ketika tangan kirinya dikalungkan ke pundak Mark. Sekuat tenaga, Mark menahan tubuh Haechan untuk tetap berdiri dan berjalan meski tertatih.

Dalam setiap langkahnya, Mark sungguh menahan tangis dan amarahnya ketika Haechan tidak mampu menahan sakitnya.

Ketika mereka sudah cukup jauh dari tempat itu, Haechan yang sudah tidak kuat lagi menahan sakit di bahunya akhirnya ambruk. Kedua kakinya sungguh lemas, ia tidak sanggup berjalan lagi. Sakit di punggungnya sungguh tak tertahankan lagi.

Haechan menahan erangan sakitnya dengan menggigit bibirnya sendiri. Mark sendiri langsung mengambil ponselnya dan menghubungi sebuah kontak.

"Hy-hyung... Johnny hyung... to-tolong, datanglah di gang yang biasa kau lewati setiap minggu. Hae-haechan... di-dia terluka, cepatlah kesini!"

Mark menjatuhkan ponselnya ketika ia refleks menahan tubuh Haechan yang semakin lemas. Seluruh kemeja seragam bagian punggung anak itu sudah ternodai darah, bahkan Mark dapat mencium dengan jelas bau anyir darah anak itu.

Mark tahu Haechan belum pingsan, ia terus menepuk berulang kali pipi anak itu agar tetap sadar.

"Mianhae... ma-maafkan aku... ini salahku, Haechan-ah..."

.

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

.

Hai lagi hehe. Terimakasih utk yg udah review di chapter pertama ^^ semoga kalian suka sama chapter ini hehe.

Ohya btw ff ini bukan tema hantu2 gitu kok haha. Konflik ceritanya akan dibahas di chapter selanjutnya.

Aku janji bakal fast update kalo banyak yg suka ff ini dan banyak yg review juga hehe.

BIG THANKS TO : Syulalalili, zeroo082, Rimm, BooSeungkwan, Starlightlee, Kiddongim, Wiji, Dindch22, markeu, mtxgtvtzk. Terimakasih reviewnya^^

See you in next chapter!