Title : CATCH

Chapter : 1 of …

Author : lychee9900

Rate : Fiction T

Genre : Brothership, Bromance, Tragedy, Family

Disclaimer : The casts are not mine. I just own the story.

Warning : OOC. Don't Bash or Flame. DON'T LIKE? DON'T READ! NO PLAGIARISM. This story is 100% mine.

.

.

.

.

.

Haechan menjatuhkan dirinya begitu saja pada sofa panjang di ruang tamunya. Fisik dan mentalnya terasa sangat lelah, dan mungkin ini adalah titik terendahnya. Seharian ini, ah tidak, dua minggu ini ia berlatih keras untuk kompetisi memanah tingkat nasional yangmengharuskannya untuk berlatih gila-gilaan. Haechan bukanlah atlet pendatang baru. Ia sudah menekuni bidang ini sejak di sekolah menengah pertama lalu berlanjut sampai sekarang ia berada di tingkat kedua sekolah menengah atas.

Ya, memanah adalah salah satu kemampuan dan impian terbesarnya. Seakan-akan memanah sudah menjadi bagian dari sel-sel dalam darahnya.

Keluarga Haechan sendiri tidak mempunyai darah dan jiwa atlet. Ayahnya bekerja di perusahaan bisnis terbesar di Jepang yang memaksanya untuk tinggal jauh dari anak-anak dan istrinya, meski ia selalu menyempatkan untuk menyisakan waktu selama tiga atau empat bulan untuk kembali ke Seoul. Lalu ibu dari Haechan hanyalah pemilik beberapa butik dan bisnisnya sudah berkembang cukup besar.

Lalu darimana Haechan mendapatkan jiwa atletnya? Jawabannya tidak ada. Kakak satu-satunya, Lee Taeyong merupakan mahasiswa jurusan seni. Meski Haechan sempat ditentang karena menjadi atlet mempunyai resiko tinggi untuk fisiknya nanti namun ketika Haechan membuktikan dirinya dengan berbagai penghargaan telah banyak yang sudah diraihnya, ia mendapat ijin kedua orang tuanya.

"Haechan-ah... lebih baik kau segera mandi dan beristirahat di kamarmu. Saya akan membangunkanmu ketika Taeyong dan Nyonya sudah datang."

Suara itu adalah suara Joohyuk, ketua pelayan dirumahnya dan salah satu tangan kanan terbaik ayahnya. Ia baru saja muncul dari dapur untuk membantu beberapa pelayan lain. Pria yang sebenarnya hanya beberapa tahun lebih muda dari ayahnya itu sudah bekerja dan mengabdi di keluarganya bahkan sebelum Haechan lahir.

Joohyuk hanya memaklumi saja ketika remaja berusia 16 tahun itu tidak menyahutnya apalagi mendengarnya. Haechan sudah tertidur dan ia sudah hapal jika anak itu akan sulit dibangunkan jika sudah kelelahan.

Johyuk baru saja ingin mengangkat tubuh si bungsu namun sebuah tangan menahannya.

"Biar aku saja."

Joohyuk jelas terkejut bukan main ternyata tangan itu adalah milik sang kepala keluarga, Lee Yonghwan.

"Mengapa Anda tidak mengabarkan saya untuk menjemput Anda, Tuan? Saya tidak tahu jika Anda sudah pulang dari Tokyo secepat ini."

Yonghwan hanya tersenyum kecil. "Aku ingin memberi kejutan dengan membawa mereka untuk makan diluar tapi ternyata istriku dan Taeyong belum pulang dan sepertinya Haechan kelelahan."

Joohyuk ingin menahan Yonghwan untuk tidak perlu menggendong Haechan ke kamarnya namun Yonghwan menolak dan berkata tidak apa-apa. Hingga akhirnya sebagai pelayan ia hanya bisa mengekor di belakang tuannya.

Haechan benar-benar tidak terbangun ketika tubuhnya diangkat. Faktanya, selain ia kelelahan, Haechan termasuk heavy sleeper yang tentu saja sangat sulit dibangunkan.

"Huh? Apakah Haechan diet? Ia jauh lebih ringan dari terakhir kali aku menggendongnya?"

Joohyuk hanya terkekeh. "Kapan anda terakhir kali menggendongnya, Tuan?"

"Aku sering menggendongnya sejak kecil ketika ia ketiduran seperti ini. Namun sepertinya terakhir aku menggendeongnya sekitar dua tahun yang lalu, saat libur musim dingin. Aku bahkan masih ingat saat itu tubuhnya sangat berisi apalagi dengan lemak di perut dan pipinya."

Yonghwan lalu membaringkan putranya yang padahal tingginya sudah hampir melampaui dirinya.

"Apakah ia selalu seperti ini?"

Joohyuk mengerutkan dahinya. "Apa maksud anda, Tuan?"

"Apakah Haechan selalu jatuh kelelahan seperti ini? Jari-jari tangannya juga penuh bekas luka lecet dan memar. Apakah ia selalu seperti ini?" Yonghwan menatap putra bungsunya penuh khawatir. "Karena kesibukanku, ia selalu luput dari perhatianku."

"Luka memar dan lecet seperti ini... sudah biasa untuknya karena ia adalah seorang atlet. Meski ia sudah memakai sarung tangan pengaman, namun tangannya tetap akan terluka jika ia terus memaksakan dirinya untuk berlatih. Ini semua karena kompetisi yang akan ia ikuti sudah semakin dekat waktunya, Tuan."

"Aku mengerti, Joohyuk-ah. Besok ingatkan aku untuk pergi menemui dokter Ahn untuk memintakan resep suplemen dan vitamin yang cocok untuknya. Haechan perlu stamina yang baik sebagai atlet."

Yonghwan membetulkan letak selimut anaknya, ia tersenyum kecil sambil mengusap pelan rambut cokelat tua itu.

"Istirahatlah dengan baik, Haechan-ie."

.

.

.

.

.

.

.

"Mark, kau yakin tidak ingin pulang bersama kami?"

Remaja laki-laki dengan handuk kecil di lehernya yang dipanggil Mark itu hanya tersenyum saja pada ajakan Kangmin, teman sekelasnya.

"Haechan bilang ia ingin menemuiku setelah latihan. Kau duluan saja, Kangmin-ah."

Setelah berpisah dengan Kangmin, Mark lalu duduk sebentar di bangku dekat lapangan basket.

Mark adalah seorang siswa yang berada di sekolah yang sama dengan Haechan, atau lebih tepatnya ia sudah bersama-sama dengan anak itu bahkan sejak duduk di bangku sekolah menengah. Hanya saja, ia tentu saja setahun lebih tua dari Haechan.

Faktanya, Mark itu tidak terlalu mengingat bagaimana ia bisa mengenal Haechan. Seingatnya, saat pertama kali ia menginjakkan kaki di Korea Selatan saat berumur 10 tahun, saat itu ia belum terlalu fasih berbicara bahasa Korea karena meski ia berdarah murni Korea namun sejak kecil ia lahir dan berkembang di Kanada, ia lupa dengan bahasa yang seharusnya menjadi bahasa pertamanya. Mark lupa apa sisanya, yang jelas setelah itu ia bisa begitu akrab dengan Haechan dengan mudah.

Mungkin memang Mark bukan pengingat memori yang baik, rutuknya sendiri.

"Murk hyuuunngg~ bisakah kau tunggu aku di gedung belakang sekolah? Ada yang ingin kubicarakan padamu ^^"

Mark kembali membuka ponselnya lebih tepatnya membuka lagi sms dari nomor tak dikenal. Ia yakin sekali pesan itu dari Haechan karena anak itu selalu memanggilnya "Murk". Mark pikir, Haechan mengganti nomornya.

"Baiklah, dimana anak itu sekarang. Mengapa ia ingin bicara di tempat ini? Bukannya hari ini dia ada latihan memanah?" ia bermonolog setelah tiba di sebuah tempat yang dimaksud Haechan.

Mark menatap sekeliling gedung itu. Ia tidak tahu itu adalah gedung apa. Seingatnya, gedung itu hanya gedung kosong yang pernah terbakar lima tahun yang lalu dan pemerintah sepertinya tidak berniat untuk merenovasi atau menghancurkannya. Sekarang tempat itu mempunyai sejarah sendiri karena sering dijadikan tempat syuting film atau pemotretan.

Mark menatap sebal layar ponselnya, ia akhirnya memutuskan untuk menelepon anak itu melalui nomor mengirimnya sms satu jam yang lalu.

"Huh? Nomornya tidak aktif?" Mark menggigit bibirnya, ia benar-benar cemas sekarang. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada anak itu? Bagaimana jika ia tersesat? Terluka? Atau mungkin lebih buruk lagi?

Namun semua kecemasan Mark hilang setelah ia menelepon nomor Haechan yang sebelumnya. Ia sempat panik saat panggilan pertama tidak diangkat, namun Mark menghembuskan nafas lega ketiga panggilan berikutnya diangkat oleh si pemilik.

"Yak! Kupikir kau mengganti nomormu?"

Mark berdecak sebal ketika yang didengarnya sekarang suara lenguhan tidak jelas dari seberang.

"Kau dimana, huh? Apa kau tertidur? Kau bilang ingin menemuiku."

"Apa... yang sebenarnya kau bicarakan hyung..."

"Aish! Kau ini baru bangun tidur ya?!"

"Iya, aku lelah sekali. Aku akan meneleponmu lagi nanti. Bahuku sungguh sakit."

"Jika kau sedang lelah, kenapa kau mengirimiku sms untuk menyuruhku datang ke gedung kosong di belakang sekolah?! Aku juga lelah karena latihan basket dan kenapa—"

"Apa yang sebenarnya kau bicarakan, hyung?"

"Kau membuatku menunggu lama di gedung ini, Lee Haechan." Mark menggerutu sebal.

Hening.

Hening.

Hening.

"Halo? Haechan-ah, kau masih disana?"

"Hyung, sebaiknya kau—"

Pip!

"Ah sial. Baterai ponselku habis." Mark semakin menggerutu kesal. "Baiklah-baiklah, sebaiknya aku menunggu karena pasti dia datang kesini."

Mark kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan bola basket didalamnya. Gedung kosong itu cukup luas, ia akan menghabiskan waktu menunggunya dengan bermain basket disitu.

.

.

.

.

.

.

Panik.

Panik.

Panik.

Kata itu memenuhi isi kepala Haechan sekarang. Setelah panggilannya dengan Mark terputus dan ketika ia mencoba untuk menghubunginya lagi, ponsel seniornya itu sepertinya tidak aktif.

Haechan dengan cepat segera turun dari ranjangnya dan berlari menuruni tangga. Ia tidak mempedulikan penampilannya yang kusut dan berantakan dengan celana training hitam dan kaos lengan pendek berwarna biru gelap.

"Akh!" ia hampir saja jatuh tersungkur dari anak tangga terakhir jika saja sepasang lengan dengan sigap menahan tubuhnya.

"Kenapa buru-buru? Kau mau kemana?"

Haechan membulatkan matanya. "A-appa?"

"Iya, kau ini sebenarnya mau kemana Haechan-ie?"

Haechan segera bangkit dan kembali panik. "A-aku akan segera kembali, Appa."

Sang ayah hanya mengerutkan dahinya bingung ketika Haechan sudah pergi begitu saja.

.

.

.

.

.

Nafasnya terengah-engah karena fisiknya yang sudah lelah dipaksa untuk terus berlari secepat mungkin, sebentar lagi Haechan akan tiba di tempat yang Mark maksud. Ia sudah benar-benar panik dan takut terjadi sesuatu pada teman masa kecilnya itu.

Setelah ini ia ingin berterimakasih pada ibunya yang memutuskan untuk menyekolahkannya di sekolah yang jaraknya tak cukup jauh dari rumahnya.

Haechan sudah tiba di gedung kosong itu, ia berteriak sekencang mungkin agar Mark mengetahui keberadaannya.

"HYUNG! MARK HYUNG!"

Mark diam-diam tersenyum karena ia kagum dengan Haechan yang langsung berlari menemuinya disini.

"K-kau... hahh.. hahh.. hyung!" Haechan langsung berjongkok beberapa meter dari Mark sambil memegang dadanya dan mengatur nafasnya. Ia tidak pernah berlari secepat ini sebelumnya.

Mark akhirnya menghentikan permainan bola basketnya dan membiarkan bolanya menggelinding menjauhinya. Ia kemudian menghampiri anak lelaki yang begitu kelelahan itu.

"Kau tidak perlu sampai berlari seperti ini lagi, kau bahkan berlari kurang dari tujuh menit." Mark ikut berjongkok didepan Haechan dan memegang kedua bahunya.

Namun dalam sepersekian detik ketika Mark menyentuh kedua bahunya, sesuatu yang sangat cepat melintas diatas kepala mereka.

TTSAAKK!

Haechan yang mengetahui benda apa yang barusan melewatinya refleks segera meraih lengan Mark dan menariknya untuk segera lari.

"Yak! Haechan!"

Mark mencoba menatap ke belakang, berusaha mencari sesuatu yang membuat keduanya harus berlari. Namun ia tidak bisa melihatnya karena Haechan terus menariknya untuk tetap berlari.

"Haechan-ah!" lalu Mark terpaksa menghentikan tarikan pada lengannya sehingga membuat keduanya berhenti tepat di gang kompleks perumahan mereka. Mereka sudah cukup jauh berlari dari gedung tersebut.

"Kau ini sebenarnya kenapa? Mengapa kau menarikku untuk berlari?"

Haechan menatap dalam mata Mark yang tampak panik namun kebingungan.

"K-kau tidak melihatnya?"

"Huh? Melihat apa?"

Haechan menghela nafas kasar.

"Dengar, ya. Aku tidak mengerti sesuatu apa yang harus kulihat sehingga membuatmu panik dan berlari seperti ini. Aku tidak tahu apa yang kau maksud karena tidak ada siapapun di gedung tadi. Kau yang tiba-tiba menarikku untuk berlari, Haechan."

Haechan kembali menghela nafasnya yang belum teratur. Ia jadi dibuat bingung pula.

"Haechan-ah, sepertinya kelelahanmu sudah sangat ekstrim. Kau sangat aneh hari ini, mengirimiku sms, memintaku untuk bertemu di gedung tua itu namun kau malah ketiduran dan kita yang berakhir dengan berlari untuk menghindari sesuatu yang bahkan tidak jelas, apakah kau yakin kau tidak berhalusinasi?"

Haechan hanya mendengar omelan itu tanpa membalas apapun karena ia sedikit tidak fokus. Kedua tangannya yang bergetar menyentuh kepalanya yang berdenyut karena berlari kencang dua kali.

"Sepertinya benar. Kau tampak begitu kelelahan. Aku akan mengantarmu pulang." Mark merangkul bahunya namun Haechan justru menampiknya.

"Blok kompleks rumah kita berbeda, hyung. Kau tidak perlu mengantarku. Aku tahu kau juga lelah."

Percakapan mereka sore itu berakhir begitu saja. Mark hanya bisa menatap punggung Haechan yang semakin lama semakin menjauhi pandangannya.

"Apa dia marah padaku?"

.

.

.

.

.

.

"Apa kau tidak suka makanannya?"

Haechan yang tahu jika pertanyaan yang dilontarkan ibunya itu untuknya hanya bisa diam, lalu tersenyum kecil.

"Aku hanya sedang tidak nafsu makan, eomma."

Remaja itu lalu merengut ketika ayahnya meletakkan beberapa potong daging dalam piringnya.

"Kau butuh tambahan protein karena kau seorang atlet. Habiskan dagingnya."

"Appa benar, kau itu seorang atlet jadi kau harus tetap membuat tubuhmu sehat. Saat kau pulang tadi kau bahkan tampak pucat seperti mayat hidup." Anak sulung keluarga itu, Taeyong ikut berbicara.

Haechan tidak menjawab apapun. Ia memang sedang lelah, namun bukan itu yang membuatnya menjadi tak nafsu makan. Entah kenapa pikirannya sedang sangat berantakan karena kejadian sore itu.

Kejadian yang baginya sangat mengerikan.

Tidak ada percakapan lagi dari keluarga Lee itu. Selanjutnya hanya ada suara sendok dan garpu yang berdenting dengan piring.

.

.

.

.

Haechan sungguh tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Ini pukul satu malam dan matanya sunguh tidak bisa dipaksa untuk tidur. Ia berani bersumpah kakinya sedikit pegal dan tubuhnya sudah sangat lelah. Namun kepalanya benar-benar tidak bisa berhenti berpikir.

"Dengar, ya. Aku tidak mengerti sesuatu apa yang harus kulihat sehingga membuatmu panik dan berlari seperti ini. Aku tidak tahu apa yang kau maksud karena tidak ada siapapun di gedung tadi. Kau yang tiba-tiba menarikku untuk berlari, Haechan."

Kalimat dari Mark terus terngiang-ngiang di kepalanya.

"Haechan-ah, sepertinya kelelahanmu sudah sangat ekstrim. Kau sangat aneh hari ini, mengirimiku sms, memintaku untuk bertemu di gedung tua itu namun kau malah ketiduran dan kita yang berakhir dengan berlari untuk menghindari sesuatu yang bahkan tidak jelas, apakah kau yakin kau tidak berhalusinasi?"

"Tidak... aku tidak berhalusinasi..."

Ia mencoba memejamkan matanya lagi, ia merapatkan selimutnya hingga menutupi lehernya

"Kenapa semua ini begitu de javu..."

Selang beberapa detik kemudian, ia terbangun lalu terduduk.

"Tidak, aku tidak berhalusinasi. Jelas-jelas aku melihat benda itu! Aku melihat sebuah panah melintas diatas kepalaku dan nyaris saja mengenai kepala Mark hyung jika saja dia tidak ikut berjongkok di hadapanku!" ia bermonolog sambil mencengkeram bantalnya.

"Mark hyung tidak melihatnya karena aku langsung menariknya untuk berlari..."

Haechan kini mencengkeram rambutnya sendiri. Ia yakin dan ia sadar jika ia tidak salah melihat. Objek yang dilihatnya sore itu adalah sebuah panah yang membuatnya refleks menarik Mark untuk lari.

Ia langsung mencari ponselnya dan menelepon Mark.

"Ha—"

"Kau bilang tadi siang aku mengirimimu sms? Untuk pergi ke gedung itu?"

"Astaga, Haechan-ah... apa kau tidak tahu ini jam berapa?"

"Jam satu malam, aku tahu."

Suara kekehan terdengar di seberang. "Suaramu judes sekali sih. Untung saja aku belum tidur jadi aku tidak marah padamu yang menelepon di jam—"

"Hyung aku sedang serius. Kirimkan screenshot pesan yang kau maksud tadi siang dalam waktu dua menit atau aku tidak akan berbicara lagi padamu."

PIP!

Haechan menjatuhkan punggungnya di ranjangnya sambil menghitung detik-detik notifikasi ponselnya.

Hingga kurang dari semenit kemudian pesan Mark di kakaotalknya sedikit mengejutkannya. Terlampir screenshot yang ia inginkan dan disusul notifikasi beruntun. Mark menambahkan pesan lain.

"Aku tidak mengerti kenapa kau memintaku untuk screenshot pesan ini..."

"Tidurlah... aku tidak mau kau sakit."

"Jangan lupa mimpikan aku~~~~~"

"Good night my full sun^^"

Haechan tersenyum hangat dengan pesan manis itu. Namun ia tidak berniat membalas pesan itu. Sekarang waktunya memeriksa screenshot pesan misterius itu.

"Murk hyuuunngg~ bisakah kau tunggu aku di gedung belakang sekolah? Ada yang ingin kubicarakan padamu ^^"

DEG.

"Ti-tidak mungkin."

Ia membaca ulang pesan itu.

Haechan langsung turun dari kasurnya. Ia mengambil sebuah kotak berwarna biru langit dari kolong kasurnya.

Benda yang diambilnya tersebut adalah sebuah ponsel yang hampir sama seperti miliknya sekarang, hanya saja layarnya sudah tergores dan sedikit retakan. Namun ponsel itu masih berjalan dengan baik ketika ia menyalakannya.

Haechan langsung membuka pesan terkirim pada ponsel lamanya itu. Ponsel tersebut adalah ponsel miliknya lima tahun yang lalu.

"Murk hyuuunngg~ bisakah kau tunggu aku di gedung belakang sekolah? Ada yang ingin kubicarakan padamu ^^"

Pesan itu adalah pesan yang sama yang pernah dikirimnya lima tahun yang lalu, pesan untuk Mark hyung-nya. Namun pesan itu kembali dikirimkan lagi setelah lima tahun berlalu pada Mark dengan nomor asing.

Kedua pesan yang dikirimkan di tahun berbeda itu benar-benar mirip, seperti sengaja disalin lalu dikirimkan kembali.

Haechan melihat tanggal tepatnya ketika ia mengirimkan pesan itu, lima tahun yang lalu.

Terkirim pada tanggal 12 April 2012

Tangannya semakin bergetar. Namun Haechan refleks melihat tanggal hari ini pada ponsel miliknya.

12 April 2017.

"Ti-tidak!"

"TIDAK! INI BUKAN AKU! TIDAAAKKKK!"

Haechan membanting kedua ponsel miliknya ke kolong kasur. Ia berteriak histeris sambil menggelengkan kepalanya. Tubuhnya memberikan respon yang luar biasa histeris.

Berbagai ingatan masa lalunya yang kelam langsung memenuhi isi kepalanya. Ia menutup kedua mata dan telinganya ketika suara-suara ledakan dan teriakan memilukan menghantui pikirannya.

"AAAAKKHH!"

BRAK!

"HAECHAN!"

Pintu kamarnya terbuka dengan kasar dan sontak Taeyong langsung meraih tubuh adiknya yang panik histeris.

"TIDAK! ITU BUKAN AKU! BUKAANN!"

"Haechan! Kau kenapa?! Haechan, sadarlah!"

Di belakang, kedua orang tua mereka dan juga Johyuk langsung menghampiri keduanya.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?"

Taeyong sendiri tidak mampu menjawab apapun karena ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada adik satu-satunya itu. Ia hanya bisa memeluk Haechan yang menangis ketakutan.

Suasana kembali mencekam ketika Taeyong merasa tangisan adiknya berhenti dan Haechan menumpukan seluruh berat tubuhnya padanya.

"Haechan-ah!"

Haechan lebih memilih untuk tenggelam ketika kegelapan mengambil kesadarannya.

.

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

HAAAIIIII hehe aku author newbie, ini cerita pertamaku yang castnya markhyuck^^ aku gatau ini bakal end di chapter berapa wkwk. Tolong reviewnya yaaa~

DELETE or NEXT?