WARNING: LEMON in this chapter (please make sure you are 17+). Semi-canon. Genre: Mostly drama -it might bored you; maybe considered as angst also. Pairing: NaruSaku (Main), SasuSaku, NaruHina.

Author's note is below this chapter.


Sakura mengangkat sebuah plastik berisi kacang merah untuk membaca tulisan yang tertera di luar kemasannya. Memastikan isinya adalah benar kacang merah adzuki. Kemudian memasukkannya ke dalam keranjang penuh dengan bahan-bahan makanan dan berpindah menuju rak alat mandi yang berada di dekat pintu masuk supermarket. Pandangannya beredar di setiap barang yang tertata di dalam rak, mencari pasta gigi.

"KYAA! Naruto-senpai!"

Sakura menoleh. Beberapa gadis berteriak histeris di depan pintu supermarket mengelilingi seorang pemuda yang memakai perlengkapan misi khasnya, baju hitam dan celana oranye. Tiga di antara mereka membungkuk bersamaan dan menggumamkan sesuatu –yang Sakura yakini- seperti 'arigatou, Naruto-senpai'. Pemandangan yang dua tahun terakhir menjadi biasa semenjak pemuda itu dinobatkan sebagai pahlawan perang.

Pahwalan dan masih bujangan. Dua titel yang sangat cukup membuat gadis di seluruh penjuru dunia bertekuk lutut pada pemuda itu. Tak ketinggalan dua ibu-ibu di belakang Sakura yang saling berbisik membicarakan pemuda itu.

"Kudengar katanya dia akan menikah dengan putri keluarga Hyuga," kata seorang.

"Sudah kuduga. Kurasa memang tidak ada gadis lain di desa yang pantas untuk menjadi istrinya, ya kan?" sahut seorang lain dibarengi dengan anggukan seorang yang pertama.

Mendengarnya membuat Sakura tak kuasa untuk menghela napas. Satu lagi reminder bahwa Naruto memang tak akan pernah menjadi milikya.

"Seharusnya aku yang berterimakasih atas hadiahnya. Aku pergi dulu ya, jaa ne!"

Sekali lirikan, Sakura dapat melihat pemuda itu melambaikan tangan ke arah kerumunan gadis tadi. Ketika pemuda itu masuk ke dalam supermarket, Sakura terburu mengalihkan pandang ke arah rak di hadapannya. Berharap dia tidak melihatnya memperhatikan.

"Sakura-chan!"

Sakura menoleh. Bertingkah seolah ia barusaja melihat pemuda itu. "Hai! Konichiwa, Naruto!"

Gadis itu sempat melihat kerumunan orang di luar yang masih belum beranjak dari sana. "Makin hari makin banyak saja penggemarmu." godanya.

Naruto berjalan mendekat. Pipinya bersemu merah, senyum sumringah mampir di wajahnya. "Eh? Tidak juga. Same old same old."

Mendengar Naruto terkekeh, Sakura akhirnya ikut tersenyum. "Baru selesai berkencan dengan mereka?"

Naruto memincingkan kepalanya, menatap ke direksi lain sambil membelai dagunya. "Kalau tidak sengaja bertemu dengan tiga gadis di kedai dango dan menraktirnya termasuk kencan, maka, ya, aku barusaja berkencan dengan mereka."

Sakura hanya sekali mengangguk, memilih tidak menimpali. Entah kenapa ada perasaan kesal ketika Naruto bercerita tentang gadis-gadis di seklilingnya seperti itu.

"Ada apa, Sakura-chan?"

"Ah?! T-tidak ada!"

Ia sempat melirik isi keranjang Sakura sebelum bertanya,"Aku tidak tahu kau suka memasak."

"Memang tidak."

"Lalu mengapa beli bahan makanan sebanyak itu?"

Sakura menilik isi keranjangnya dan tersenyum hambar. "Ini untuk acara bridal shower calon istrimu besok, bodoh," ujarnya setengah ketus.

Dua orang itu tertegun. Sakura merutuki nada berbicaranya yang sangat terlihat terpaksa melakukan ini. Kunoichi tersebut dapat menangkap ekspresi kaget mampir di wajah Naruto. Sedetik kemudian diikuti dengan tatapan yang berubah sedikit sendu.

Sakura sedikit merasa bersalah. Matanya kelimpungan mencari objek lain, namun yang tertangkap indera pengelihatannya justru beberapa pengunjung supermarket yang memperhatikan mereka. Tak dipungkiri, pemandangan ini memang akan menuai kontroversi.

Calon menantu keluarga Hyuga sedang bersama seorang kunoichi yang pernah dicintainya.

"Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu."

"T-tidak. Suatu kehormatan untuk melakukannya," Sakura mengedar pandang ke sekitar sekali lagi. Masih mendapati beberapa orang yang tampak berbisik sembari masih memperhatikan. "Sebaiknya aku melanjutkan belanjaku, Naruto."

"Terburu-buru sekali?"

"Ya begitulah. Sudah dulu ya," pamitnya sambil mengambil langkah bahkan sebelum pemuda itu menimpali.

Tapi Naruto terkenal ahli dalam mencium masalah. Ia cukup familiar dengan tingkah Sakura barusan. Jadi bukan Naruto namanya jika pemuda itu hanya berdiri memandangi punggung Sakura yang menghilang di persimpangan rak. Ia mengambil langkah menyusul sang gadis, mencoba menyebelahinya.

"Hei, Sakura-chan! Tunggu!"

Sakura mempercepat langkahnya. Ia tidak menghiraukan Naruto yang terus-menerus memanggilnya.

"Sakura-chan! Bisa berhenti sebentar? I need to talk to you!"

Semakin namanya disebut, pengunjung semakin saja mengalihkan atensi ke arah mereka. Bukan sesuatu yang baik untuk reputasi Sakura sebagai kunoichi yang cukup dikenal di Konoha bila kepergok kucing-kucingan dengan calon suami bangsawan Hyuga itu.

"Hei, Sakura-chan! Kau kenapa sih?"

Sakura berusaha menyingkir dari sana meskipun Naruto terus-terusan menghalangi jalannya. Hingga gadis itu berhenti di lorong yang sepi pengunjung. Menatap pemuda di hadapannya tidak suka. "Aku tidak ingin terlihat berduaan dengan calon suami orang! Puas?!"

Naruto tersentak. Sempat mundur selangkah. Ekspresinya tidak dapat didefinisikan. Safirnya memandang kilatan pahit di mata hijau Sakura. Ada sesuatu yang belum dapat ia pahami di sana. Sesuatu yang pernah ia ketahui sebagai kumpulan lara, terakhir ia melihatnya ketika gadis itu memohon padanya untuk membawa Sasuke pulang. Tapi alasan apa yang membuatnya muncul kali ini?

Pandangan Sakura beralih. Kakinya kembali melangkah meninggalkan Naruto.

"Sakura-chan tunggu!"

"Bukankah kau punya keperluan di sini? Pergilah, aku masih harus belanja."

"Aku ke sini untuk mencarimu!"

Sakura mematung. Masih merasa tak perlu untuk menoleh ke arah pemuda itu. "Untuk apa?"

Belum sempat Naruto menjawab, ada perih yang menjalar di tangan kanannya. Nyeri yang tetiba saja berkontraksi mengalihkan atensi Naruto pada lengannya. Ia jatuh bertumpu lutut, sebelah lengan lain berusaha mengusir rasa nyeri itu dengan memeganginya. Tubuhnya bereaksi dengan mengeluarkan keringat dingin. "Kuso!" rintihnya.

Sakura membalikkan badan. Melihat pemuda itu kesakitan, refleks berlari mendekatinya. Berjongkok dan menengok wajah pemuda yang tertutup oleh helaian pirangnya. "Ada apa?" ia bertanya dengan nada khawatir.

"Alasanku mencarimu. Akh! Sialan..." Naruto semakin erat memegangi tangannya itu.

Sakura yang tadinya mati-matian menghindari Naruto mendesah pelan. "Aku akan membayar belanjaanku dulu. Setelahnya kita ke apartemenku, aku perlu memeriksamu."

Naruto mengangguk. Lega karena akhirnya gadis itu melunak.


.

DISCLAIMER

Naruto belongs to Masashi Kishimoto (1999)

Manik-Manik Surga written by Flo Deveraux (2017)

.

"She's torn poems from my flesh, in fights, and love, and sex"

Atticus

.


Sakura menjatuhkan barang bawaannya di meja dapur. Sang gadis langsung menghambur ke kotak pertolongan pertama setelah sempat menyuruh Naruto untuk duduk di sofa ruang tamu apartemennya. Setelah menggenggam beberapa perlatan, ia menyusul pemuda pirang itu dan memposisikan diri untuk duduk di sebelahnya.

"Maaf tidak bisa membantumu membawa barang belanjaan."

Sibuk menyiapkan peralatan dan tanpa menoleh, gadis tersebut berujar,"Aku sudah biasa membawa barang-barangku sendiri. Jangan khawatir."

Naruto tersenyum tipis. Tipikal Sakura, wanita independen. "Sudah kuduga jawabanmu akan begitu."

Tidak menimpali. Sakura menaruh peralatan medisnya di meja, kemudian mengalihkan atensi pada tangan kanan Naruto. Ia menekannya dan melihat reaksi Naruto yang mengernyitkan dahi. "Pada skala satu hingga sepuluh, apa yang kau rasakan?"

"Delapan," jawabnya sambil mendesis.

"Baiklah," Sakura menarik diri beberapa senti dari sana. "Kau boleh buka bajumu sekarang."

"Apa?"

Sakura menghembuskan napas. Merasa tak nyaman untuk mengatakannya sekali lagi, ia membenahi posisi duduknya sembari berdeham. Tak absen dari sikapnya pula pengalihan pandang kepada objek selain sosok Naruto di ruangan itu. "Buka bajumu."

Mencium sikap salah tingkah Sakura, pemuda itu tersenyum tipis. "Untuk apa?"

"Aku tidak bisa memeriksa lenganmu jika kau masih pakai baju lengan panjang, baka."

"Oh, begitu. Baiklah," ujar sang pemuda dengan nada menggoda. Ia kemudian bangkit berdiri dan mulai menanggalkan jaket hitamnya, melemparnya ke samping Sakura. Tentu saja membuat gadis itu sedikit menoleh pada Naruto. "Ini juga perlu kulepas?" tanya Naruto sambil menunjuk kaosnya yang juga berlengan panjang.

"I-iya."

Naruto menarik ujung kaosnya dari belakang dan mulai menanggalkannya. Ujung mata Sakura menatap pemandangan itu. Sakura merutuki diri sendiri. Tak terhitung berapa banyak kali dirinya sudah melihat pemandangan itu, namun masih saja menarik untuk disaksikan. Bagaimana tidak? Kesempurnaan terpahat di setiap inci tubuh pemuda itu, selalu berhasil membuat ovariumnya meledak.

"Sudah."

"Kau bisa kembali duduk, biar kuperiksa."

Lima belas menit setelahnya adalah hening dengan Sakura yang nampak fokus menganalisa lengan Naruto. Tanpa berbicara pula gadis itu perlahan membuka perban Naruto dan menampilkan daging putih lengan prostetisnya yang nampak mengeluarkan tetesan darah. Sakura kemudian mengaliri lengan Naruto dengan cakra birunya. Sekejap, Naruto dapat langsung merasakan sensasi dingin membanjiri lengannya.

Hanya saja hening Sakura tidak seperti biasanya. Naruto lebih dari paham soal ini.

"Bukankah ini saat yang tepat untuk memberitahuku hasil analisamu, Dok?"

"Lenganmu terluka karena aliran cakra besar yang dipaksakan keluar melewatinya. Mungkin dampak dari misi terakhirmu. Kau harus berhenti menggunakan rasengan untuk sementara waktu hingga proses regenerasinya selesai dan kondisinya stabil," jelasnya sambil membelitkan perban baru pada lengan Naruto.

"Dan kapan itu akan terjadi?"

"Satu hingga dua bulan mendatang."

"Dan bagaimana aku bisa menyelamatkan orang tanpa rasengan?"

"Pakai tangan kirimu."

Naruto mendesah. "Easy for you to say."

Seperti biasa, gadis itu tak pernah senang setiap kali Naruto mengeluh. "Well, kau masih bisa menggunakan otakmu untuk memikirkan bagaimana cara menyelamatkan orang tanpa rasengan."

"It's your arm that injured afterall, not your brain," sambungnya ketus.

Mendengarnya, Naruto memutar badan untuk menatap Sakura tepat ketika gadis itu hampir menyelesaikan pekerjaannya –membalut lengannya dengan perban. "Hei! Aku belum selesai!" protesnya.

"Apakah aku melakukan kesalahan padamu, Sakura-chan?" nadanya terdengar serius.

"Tidak ada! Kemarikan lenganmu!"

Naruto menahan gerakan tangan sang gadis yang mencoba meraih lengannya. "Kalau tidak ada, kenapa ketus seperti itu sih?"

Sakura menatap pemuda di hadapannya, dengan senyum terpaksa. "Tidak ada, Tuan Serba-Ingin-Tahu Uzumaki."

"Aku mengenalmu sejak lama, dokter Haruno. Aku tahu kapan kau berbohong."

Sakura memutar bola matanya. Sekilas ia menatap safir biru yang memindainya, meneliti setiap inci gerakan wajahnya. Naruto benar, pemuda itu mengenalnya terlalu lama untuk semudah ini mencium bau kebohongan pada tingkahnya. Tapi apa yang dapat ia lakukan? Mengakui perasaannya pada pemuda itu dan menghancurkan rencana pernikahannya? Yang benar saja!

Kini Sakura berada pada titik di mana ia merasa perlu untuk bersandar pada sofa dan memejamkan mata. Bukanah dirinya menantikan saat-saat ini terjadi? Dia dan pemuda itu, berdua, mengumpulkan kepingan puzzle cerita mereka utuk dirangkai kembali. Tapi justru detik ini juga ia harus kehilangan kata-kata untuk dia.

Sekali lagi, Sakura menghela. Ia menyisir rambutnya hingga ujung kepala dan mulai menariknya perlahan. Menyusun dirinya. Tanpa membuka kelopak mata, ia bertanya,"Apa yang membuatmu ingin menikah dengan Hinata?"

Sebaris kalimat itu terdengar tak basa-basi, bergetar namun langsung menuju pada intinya dan tentu berbuah ekspresi terkejut di wajah Naruto. "Apa yang membuatmu ingin tahu soal itu?"

Apa? Sakura bahkan sudah tahu jawabannya. Namun, masih tak sedikitpun nyali keluar dari bibir Sakura tentang rasa itu. Padahal ia berharap Naruto akan langsung menjawabnya tadi, sehingga gusar ini cepat pergi.

Lalu apa? Bahkan ketika terpejam Sakura dapat melihat jelas mata biru langit itu. Bagian yang mungkin mustahil baginya untuk dimiliki lagi. Bagian yang menaruh dirinya pada batas antara apa yang berwujud dan tidak berwujud, cinta. Sesederhana itu. Sakura mencintainya sesederhana tatapan pemuda itu ketika melihatnya dan menciptakan hangat pada relung-relung hatinya yang remuk.

Dia terlalu mencintainya untuk sekedar mengakuinya.

"Sakura-chan?"

Bariton pemuda itu lagi. Masih setia menunggu dirinya yang belum tersusun sempurna. Sakura membuka mata, masih tak kuasa untuk menoleh ke arah Naruto. "Karena... sepertinya aku belum bisa kehilanganmu."

Setiap detik Sakura berusaha mengatakannya adalah hal yang paling meresahkan seumur hidupnya.

"Jadi jawab saja pertanyaanku, apa yang membuatmu ingin menikahi Hinata."

Sekejap ketika Sakura memilih untuk menghadap pemuda itu, ia mendapati senyum lebar bertengger di wajahnya. Tidak ada satu hal di dunia yang dapat menandingi betapa tampan paras berkulit tan itu ketika tersenyum demikian. Tidak seorang Sasuke Uchiha pun, baginya. Hal berikutnya yang terasa seperti Eden (1) adalah bagaimana pemuda itu meraih tangannya, menggenggamnya begitu erat seolah tak akan pernah melepasnya.

Dengan lembut, Naruto akhirnya menjawab,"Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Sakura."

"Kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja... Kau tahu, pernikahan bukan hal yang kupikir akan kulakukan secepat ini."

"Hanya tinggal satu bulan sebelum kau menjadi suami Hinata dan kau malah berpikir demikian?"

Naruto menghembuskan napas, hembusan napas yang penuh dengan rasa frustasi. Menyandarkan punggungnya ke sofa. "Paman Hiashi memintaku untuk menikahi Hinata," jelasnya sebagai pembukaan. Sakura tak urung untuk memperlihatkan ekspresi terkejutnya.

"Memastikan garis keturunan Hyuga aman dengan menikahkan putrinya kepada seorang yang memiliki titel setara bangsawan, sebagai putra Yondaime Hokage dan sebagai Konohagakure no Eiyu. Dan hal itu bahkan bukan bagian terburuknya."

"Bagian terburuknya adalah aku tidak pernah mencintai Hinata. Hiashi-sama menyampaikan rencana ini kepada para Daimyo dan mereka menyetujuinya! Dan Kakashi-sensei tak bisa melakukan apa-apa tentangnya!"

Sakura memandang pemuda itu iba. "Kenapa tidak bilang saja bahwa kau tidak ingin melakukannya?"

"Aku tidak bisa. Daimyo menyetujui hal ini karena Hyuga dalam bahaya, Hinata dalam bahaya. Dia memerlukan seseorang yang melindunginya dari bahaya."

"Bahaya?"

"Otsusuki adalah misiku sebelumnya. Mereka mengincar kekuatan besar untuk membuat tentara meneruskan cita-cita Madara Uchiha."

"Kekuatan besar seperti Kyubi?"

"Yap. Dan Byakugan. Itu artinya seluruh trah Hyuga."

Alis Sakura bertaut. Ia tak habis pikir dengan apa yang barusaja Naruto katakan. "Jadi, semua ini atas nama politik? For God's sake!"

"Mereka berpikir bahwa aku dan timku dapat bertahan setelah misi adalah karena cakra Kyubi dan caraku melindungi diri. Hiashi-sama hanya ingin melindungi putrinya dengan cara menikahkan Hinata kepada yang paling mengerti caranya melindungi."

Naruto kemudian menoleh ke arah Sakura. Gadis itu sepertinya tidak memiliki hal lain untuk dikatakan. Satu-satunya yang dapat dilihat Naruto adalah perasaan campur aduk gadis itu yang terpatri di wajahnya. "Kurasa kau harus tetap kehilanganku ya?"

Masih hening, masih tidak ada kalimat keluar dari bibir sang gadis. Naruto meraih pipi gadis itu. "Maafkan aku, Sakura-chan. Aku harap kau mengatakan hal itu lebih awal."

Kemudian Naruto berdiri, memungut kaos dan jaketnya. Siap untuk mengenakannya lagi sebelum gadis itu menyela kegiatannya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku?"

"Kau berharap untuk mengatakan hal itu lebih awal. Apa maksudnya?"

"Bukankah kau sudah mengerti apa maksudnya?"

"Tidak."

Naruto memutar bola matanya, kegiatan yang biasanya dilakukan Sakura. "Isn't it obvious? Aku mencintaimu, Sakura! Dulu dan sekarang. Dan mungkin untuk seumur hidupku, entahlah. Aku berharap kau mengatakannya lebih awal sehingga aku tidak perlu menyetujui pernikahan bodoh ini."

Mendengar pernyataan Naruto, Sakura berdiri dalam sekejap. Menghadapi pemuda yang kini makin jangkung dari dirinya semenjak perang usai. "Kau sudah tau sekarang, I've said it. Kenapa tidak kau batalkan saja?"

Sakura terdengar tak lebih dari seorang yang berada di dalam pengaruh alkohol sekarang. Setengah mirip dengan orang yang kehilangan akal sehatnya. Hal ini mengundang Naruto yang langsung memberikan tatapan tidak percaya. "Kau gila? Ini bukan tentangku, Sakura-chan. Ini tentang Konoha dan semua orang di dalamnya."

"Oh, jadi begitu. Konoha tidak dapat menghadapi satu saja Otsusuki tanpamu?"

"Tidak, Sakura-chan. Kalau Otsusuki tahu aku menikah dengan Hinata, dia akan berpikir dua kali untuk melawan Konoha hanya untuk mendapatkan Hyuga. Dia sudah melihat apa yang dapat kulakukan!"

"Lalu apa? Kau akan menyerahkan diri kepadanya?"

"YA!" tanpa sadar Naruto membentak Sakura. Bentakan yang lebih terdengar seperti auman kesakitan –yang mungkin langsung Naruto sesali setelahnya. Karena sedetik berikutnya pemuda itu menjatuhkan dirinya kembali ke sofa, mengusap kasar wajahnya dengan baju yang hingga saat ini belum jadi ia kenakan.

Dan Sakura masih di atas sana. Berdiri di atas kaki jenjangnya bersama segala hal tentang kebingungan. Bingung harus berkata apa, bingung harus bersikap seperti apa, bingung harus menenangkan pemuda itu dengan cara yang bagaimana. Ia pikir dirinyalah yang paling mederita. Tapi memandang Naruto di bawah sana, ia tidak dapat melihat apa-apa selain jiwa yang tersiksa.

"Mungkin ini saatnya kau memikirkan sesuatu tentangmu."

Naruto tak bergeming.

"Mungkin ini saatnya kau berhenti memikirkan orang lain dan mulai memikirkan dirimu sendiri. Bagaimana kau hidup bahagia."

Naruto masih tak bergeming. Sakura memilih untuk berlutut tepat di hadapan pemuda itu. Ia meraih tangan kekar itu dengan lembut dan meremasnya.

"Kau pahlawan kami, Naruto. Bukan berarti seluruhnya adalah tanggunganmu. You deserve more than this."

Naruto tidak melakukan apapun selain mengarahkan matanya pada iris emerald milik Sakura. Dan pada satu waktu itu, seluruhnya seolah berhenti. Biru bertemu hijau. Bumi bertemu surga.

Bukan. Bukan hanya karena apa yang barusan Sakura katakan adalah benar, tapi dirinya menyadari bahwa, akhirnya, gadis itu membalas perasaannya. Separuh hidupnya adalah tentang bermimpi bahwa Sakura akan membalasnya. Kenyataan bahwa perasaannya dibalas, bahkan ditatap oleh gadis itu dalam jarak sedekat ini akan selalu jadi mimpi terliar baginya. Suatu yang mustahil yang akhirnya terjadi. Naruto tak pernah merasa hidupnya terasa selengkap ini dalam satu detik pandangan mereka bertemu. Lekuk wajah itu, rona merah yang berusaha menembus kulit pipinya, bibir ranumnya, adalah hal yang membuat Naruto semakin mengagumi seleranya akan wanita.

"Kau adalah gadis tercantik yang pernah aku lihat."

Sakura meluangkan waktu untuk mencerna barisan kalimat itu. Kalimat yang mana sangat ingin ia dengar, namun bukan tanggapan yang tepat untuk topik yang sedang mereka bicarakan saat ini. Di saat yang sama, mengagumi bagaimana cara pemuda itu melakukannya –membuat hormonnya mendidih.

"You killed me." (2)

Dan detik-detik berikutnya adalah ekstasi.

Sakura tak dapat menahan dirinya untuk tidak mencium Naruto. Tidak butuh waktu lama bagi pemeran pria dalam dramanya itu untuk segera membalas ciumannya.

Tangan Naruto menarik bagian belakang leher Sakura ke arahnya. Sakura dapat merasakan nafas pemuda itu membara kala ia memutuskan untuk beranjak dari posisinya sekarang. Gadis itu berpindah ke pangkuan sang pemuda, di mana ia kemudian dapat merasakan salah satu lengan kekar Naruto menyusup ke dalam pakaiannya. Membaca hieroglif di setiap gerakan tubuh Sakura.

Atmosfer di ruangan itu terasa semakin intens dan Naruto memilih untuk membawa Sakura ke fase berikutnya. Ia turun dari bibir ke rahang, lalu berhenti di leher sang gadis, menjelajahi lekukannya, menyesap dalam-dalam aroma tubuh gadis itu sehingga membuat Sakura mengerang. Dirinya adalah kunoichi terkuat di desanya, namun di bawah pria itu dia sungguh tak berdaya.

"Naruto..."

Pemuda pirang itu tak pernah meminta apapun dari Sakura. Apalagi meminta namanya disebut di sela-sela desisan erotis gadis itu. Bersama dengan fantasi tentang bagaimana scene ini akan berakhir, Naruto menyesap dalam-dalam kulit leher Sakura dengan mulutnya. Menandai teritorinya di sana. Desahan Sakura adalah candu terbaru. Testosteron memaksanya untuk tak hanya puas mendengarnya. Ia ingin lebih. Ia ingin memiliki gadis itu utuh.

Naruto menghantamkan tubuh Sakura ke sofa. Menciumi seluruh bagian yang dapat ia raih dari gadis itu. Sementara tangan Sakura sibuk mengagumi otot-otot yang mengukir torso sang pemuda.

Naruto kembali memagut bibir ranum Sakura, kali ini meminta lebih. Entah bagaimana, disela-selanya, pemuda itu berhasil menanggalkan pakaian atas Sakura. Meninggalkannya tak lebih dari kulit porselein gadis itu. Naruto memamerkan deretan gigi putihnya dibalik seringai yang membuat Sakura bergidik. Iris safirnya menatap tubuh Sakura dengan rakus, haus, dan penuh gairah. Jemarinya sudah berpindah pada dada kanan Sakura. Dibelainya dengan sugguh hati-hati. Di sisi lain, dikecapnnya dengan sepenuh hati sebelum kembali pada bibir merah Sakura yang tak berhenti mengeluarkan desahan.

"Naruto...?" sekuat tenaga Sakura mengeluarkan suara agar terdengar biasa. Namun justru membuat Naruto makin kehilangan akalnya.

"Hm?"

"Jika kita teruskan... there's no way going back."

"Bagus," Naruto menyeringai dalam ciuman itu. "Aku ingin tahu sejauh mana kita dapat melakukannya."

Hingga tiba di mana nikmat itu membutuhkan level selanjutnya.

Sakura mendorong dada Naruto, mengisyaratkannya untuk mundur. Kemudian buru-buru melepaskan kancing celananya. Melihat pemandangan itu, Naruto melakukan hal yang sama. Kini tak ada selembar pun selain kain pembungkus pinggul yang mereka kenakan.

Naruto berhasil melucuti celana dalam yang merupakan pertahanan akhir Sakura. Dan tatapannya kembali mengisyaratkan bagaimana pemuda itu sungguh mengagumi tubuh Sakura. Di sana, terdapat kuncup tubuh gadis yang sedang mencobainya. Naruto kembali menyentuh Sakura yang sudah sungguh basah dengan bulir-bulir kenikmatan. Pemuda itu tahu cara menyentuh akordnya untuk mengubah sang gadis seperti melodi. Sakura menggelinjang ketika nikmat luar biasa berdesir di dalam darahnya pada momen itu. Ia menggigit bibirnya, pemandangan yang memuaskan mata Naruto.

Naruto memutuskan untuk menarik dirinya ke bawah Sakura. Meposisikan wajahnya sejajar dengan inti gadis itu. Dengan satu gerakan lembut, menyesapnya. Meninggalkan Sakura dengan erangannya yang lebih keras. Pemuda itu melumat liang hangat Sakura yang basah seolah menjilat madu yang tumpah dari toplesnya. Jemari Sakura yang berada di antara helaian rambutnya kini mendorong kepala pirangnya untuk merasuki dirinya lebih dalam lagi di bawah sana.

"Hhh, Naruto, I want more."

Mendengar kalimat itu, Naruto menyudahi gerilyanya. Ia kembali mencium Sakura dengan mesra. "Apa yang kau inginkan?"

Sakura membuka matanya yang tertutup hampir di separuh adegan ini. Tatapan sayu –termenungnya menambah seratus persen titel seksi yang disematkan Naruto padanya. Pemandangan yang akan selalu dipuja Naruto seumur hidup mulai sekarang.

"I want you... hn, inside me," dengungnya di telinga Naruto.

Sakura tak tahan. Hasratnya meletup-letup di dalam dada, mengemis untuk segera dipenuhi. Dengan kekuatan monsternya, gadis itu mendorong Naruto hingga terjatuh ke bagian lain dari sofa Sakura. Gadis itu memanjat tubuh Naruto, jemarinya melucuti celana sang pemuda. Kemudian membagi kakinya untuk berada di kedua sisi pinggul Naruto. Kini berada di atasnya seperti singa betina yang angkuh lengkap dengan seringaian penuh dosa, menatap mangsa nya di bawah sana.

Ia melancarkan aksi berikutnya dengan mengelus gumpalan daging dan otot yang semakin mengeras di antara selangkang Naruto. Atraksi yang membuat Naruto mengerang dan semakin mengeras. Tentu saja, sudah seharusnya ia mengeras. Keinginan Sakura sudah seperti bendungan retak di tengah badai yang siap untuk memuntahkan isinya sekarang. Tapi ia ingin menguji naluri hewaninya lebih lagi. Dengan berhati-hati menggoda batang Naruto yang bertambah ukuran itu –menggesekkannya ke kulit bawah Sakura dengan tempo seritmis metronom. Membawa mereka berdua kepada halusinasi lain.

"Akh- Bisakah kau... hhh, lakukan sekarang?"

Di saat yang sama ketika Naruto berhasil menyelesaikan pertanyaan tersebut, Sakura berhasil membawa nafsu hewaninya ke tahap berikutnya. Bendungannya telah roboh, gelombanngnya mengaliri raganya deras dengan kenikmatan.

Ia tak pernah dapat mengukur betapa ia menginginkan pemuda itu hingga hidupnya sampai pada titik ini. Titik di mana ia akhirnya mengklaim bahwa lawan mainnya itu adalah pria miliknya.

Suhu tubuhnya memanas. Kulitnya mencair bersama dengan gairah yang lepas ke langit-langit apartemennya. Ia menaik-turunkan pinggulnya lebih cepat lagi. Ia merasakan kedua tangan Naruto yang membantu pinggulnya untuk bergerak. Sakura mengintip dari balik kelopaknya yang bahkan sulit untuk sekedar terbuka. Tak pernah ada pemandangan yang lebih menggoda dari kesempurnaan tubuh pria yang berkeringat di antara paha porseleinnya sekarang. Hanya butuh beberapa detik saja bagi Sakura untuk dimabuk oleh pengelihatan di bawah sana.

"You're so heavenly addictive, Sakura," suaranya adalah campuran melenguh dan terengah.

"Shh~ Biarkan aku menyelesaikannya," kata Sakura menimpali. Sama terengahnya.

Sebuah desiran menggelitik kaki Sakura sebelum akhirnya sensasi itu merangkak ke torsonya. Semakin lama sensasi itu semakin membengkak di tenggorokannya. Sakura kembali membuka matanya, menatap tajam iris Naruto yang sedang berlari liar menelusuri tubuhnya. Mengisyaratkan satu hal yang akan dicapai Sakura sebentar lagi.

Naruto lebih dari paham. Lebih dari tidak peduli. Pandangannya semakin kabur, fantasinya semakin menjadi, darahnya berdesir hebat di puncak kepalanya. Kejantanannya diremas hebat liang wanita Sakura yang berdenyut.

Hingga tiba saatnya nafsu Sakura mencapai klimaksnya. Meledak-ledak bak konfeti. Detik berikutnya ia jatuh di atas Naruto. Di waktu yang sama ketika Sakura merasakan pemuda itu melepaskan cairan hangat di dalam dirinya.

Rasanya utuh. Sakura menemukan rangkaian dirinya yang tersebar di semesta. Naruto merangkainya. Satu hal yang selalu ia pinta dijawab sudah. Cinta sang pemuda terhadapnya tak pernah pudar barang sedikit.

Malam itu mereka mengakhirinya dengan ciuman hangat.


Naruto mengusap punggung Sakura. Sebelah tangannya memangku berat kepalanya. Pandangannya tertuju kepada langit-langit apartemen Sakura. Mereka masih belum beranjak dari posisi sebelumnya meski keringat di sekujur tubuh mereka mulai mengering.

Sakura, di lain sisi, termenung di atas dada Naruto. Memikirkan baik-baik konsekuensi pilihan mereka malam ini.

"Sekarang apa?" tanyanya memecah keheningan.

Pria itu terdiam. Tak menjawab namun malah menciumi rambut merah muda miliknya. "Akan kupikirkan nanti, kurasa?"

Sakura mendongak untuk menatap wajah Naruto. "Kaurasa? Aku barusaja bercinta dengan calon suami orang, Naruto. Kalau kau tidak memikirkannya sekarang, lalu kapan?"

"Dengar," suara Naruto melembut. "Kau adalah hal terindah yang pernah terjadi di dalam hidupku. Tentu aku tak ingin semua berakhir begitu saja."

Naruto mengelus puncak kepala Sakura. Diberikannya senyuman paling indah untuk gadis yang paling dicintainya itu. "Aku masih harus menikah dengan Hinata. Tapi jika kau percaya tentang kita, takdir akan membawaku kembali padamu."


To be continue...


AUTHOR'S CORNER:

(1) Eden; describe as a "garden of God" by the Bible which written on the Book of Genesis.

(2) Reference to a line said by Jim Preston (portrayed by Chris Pratt) in the 2016th Passenger movie.

I'm sorry for taking me so long to finish this chapter. I really can't decide wether it had to be a sex scene or another sad story of Sakura. As I wanna give some development to their relationship, so I choose this. And if you've been reading another story of mine, I always having trouble to write some sex scene. So...that's why lol.

I'm sorry if you're thinking this might be a bit too rushed, but this is just because I wanted it finish under 7-8 chapters. Chapter berikutnya akan lebih menjurus ke bagaimana they sort things out to make their relationship works.

Thanks buat semuanya yang sudah review dan sudah nungguin. This is all for you guys! Let me know if you have critics, story idea, or anything. I would love to see your long review there!

Regards,

Flo.

(January 21th, 2018. 00:42 AM)