WARNINGS: M-rated Fiction (+17). Lemon for save. Semi-canon. Genre: Mostly drama -it might bored you; maybe considered as angst also. Pairing: NaruSaku as main pairing, slight SasuSaku, slight NaruHina.
Written by a diehard NaruSaku fans. So, if you not an NSL you still have time to leave. No need to waste your time and throw mud over this fic in the review column BECAUSE I'VE ALREADY WARN YOU! Critics are allowed but shitty comments is how you describe the pity of yourself.
Story is took place two years after The 4th Shinobi World War. You might find a little typo(s) here and there. Author's notes is written in the bottom of this page for other information.
Suara derap langkah bergema di antara lorong-lorong dengan tempo cepat. Terdengar tegas dan gontai meski bukan satu-satunya penghasil kebisingan di sana. Terus melantun hingga pemiliknya berhenti tepat di depan sebuah pintu besi. Tatapannya menuju pada pemandangan horor yang terlihat dari sebuah kaca pada pintu itu.
Di balik sana terlihat belasan orang berseragam putih lengkap dengan masker dan penutup kepala sedang mondar-mandir. Beberapa di antaranya mendorong troli besi dan tabung oksigen ke satu titik, ada pula yang nampak menyiapkan sebuah alat yang diketahui sebagai alat kejut jantung. Sedang lainnya sibuk mengerumuni seorang yang terbaring bersimbah darah di atas sebuah kasur.
Sebuah iris hijau merekam semua pemandangan itu. Pupilnya membesar bersamaan dengan sendi-sendi pada lutut yang terlalu ngilu untuk membawa pemiliknya pada beberapa langkah lagi. Paru-paru yang tadinya rakus oksigen setelah berlari seolah tak ingin lagi memompa apapun. Nadi pada sekujur tubuh serasa berhenti dialiri darah. Sedetik terasa mati. Pemilik tubuh itu hampir jatuh.
"Sakura!"
Sebuah suara mengembalikan lagi sang pemilik tubuh pada realita. Dilihatnya pintu yang kini menganga terbuka. Seorang perempuan dari dalam meneriaki namanya.
"Apa yang kau lihat?! Masuk atau dia tak dapat diselamatkan!"
Sakura, nama pemilik tubuh itu, tidak bergeming. Dadanya berdenyut ketika perempuan beriris aqua itu menyebutkan kata 'dia' tepat di depan sebuah kalimat mengerikan. Menjadikannya kalimat antipati.
"Haruno Sakura!"
Suara itu meneriaki namanya lebih keras, sontak mengembalikan sadarnya penuh. Kaki jenjangnya merespon panggilan itu untuk melangkah. Bersama dengan perempuan tadi, Sakura masuk ke dalam ruangan. Ia segera menyambar kasar jas putih yang tergantung pada suatu dinding dan mengenakannya. Surai merah muda sebahu miliknya digelung ke atas asal.
"Apa yang terjadi Ino?" suaranya terdengar lebih parau dari biasa.
"Kita harus mengeluarkan duri yang tertancap di tubuhnya agar cakranya bisa pulih. Aku akan siapkan operasi, kau jaga agar dia tidak kehilangan detak jantungnya!"
Sakura mengangguk cepat. Beberapa langkah membawanya semakin dekat pada pusat ruangannya itu, pada dia. Tak perlu terlalu lama lagi bagi netranya menatap naas dia, Sakura langsung mengaliri cakra pada dada telanjang di hadapannya yang tak terlihat kembang-kempis seperti seharusnya. Tubuhnya bergidik ngeri ketika ia hanya merasakan detak samar-samar dari dalam rongga dada itu.
Ino, perempuan yang meneriakinya tadi kini sudah bersiap dengan segala perlengkapan operasi. Sakura menarik tangannya ketika Ino mulai menancapkan pisau bedah di dada pemuda malang itu. Menggoresnya beberapa kali hingga memperlihatkan isinya yang berdenyut lemah. Tak lama, benda-benda kecil semacam jarum besar berwarna hitam dikeluarkan dari sana.
"Jangan kehilangan fokusmu, Sakura. Setelah ini kau harus kembalikan detaknya," ujar Ino. Ternyata ujung matanya sempat menangkap sosok Sakura yang melamun.
Sakura tak menyahut meski ucapan Ino cukup terdengar olehnya. Irisnya masih terkunci pada sebuah wajah yang tertutup masker oksigen. Embun tipis nampak sesekali muncul di permukaan masker, menandakan masih ada kehidupan di sana.
Atau setidaknya Sakura boleh berharap masih ada kesempatan baginya melihat senyum secerah matahari yang biasa terpatri pada wajah itu.
Gadis itu kembali memasang posisi mengalirkan cakra pada tubuh berbalut kulit coklat di hadapannya. Ino sudah selesai dengan tugasnya, luka operasi juga sudah ia jahit sempurna dan kini giliran Sakura. Sekejap matanya membulat sempurna. Dia tak merasakan lagi ada kehidupan di sana. Tak ada detak, pun sekadar paru-paru yang berdenyut untuk mencari asupan oksigen. Tubuh kekar itu tidak merespon sama sekali.
Jangan lagi!
"Aku tidak merasakan detak. Bersiaplah untuk memberi kejut!"
Dua orang ninja medis di hadapan Sakura mengangguk singkat. Mereka beralih ke sebuah alat kejut jantung yang sudah tersedia di suatu sisi kasur operasi. Seorang kemudian mengangkat sepasang paddle. "Sudah siap," ujar ninja tersebut.
Sakura panik. Butiran peluh sebesar jagung mengalir keluar dari pori-porinya. Ia mengisyaratkan untuk segera mengaliri listrik pada paddle yang kini telah dilekatkan pada dada pemuda itu. Beberapa kali tubuh itu terlonjak ketika listrik berepetisi mengalir di dalamnya.
Kumohon, bangunlah!
Tidak ada denyut-denyut nadi. Kembali listrik mengalir dari paddle ke tubuh itu. Berkali-kali, tanpa ada satupun respon.
Hingga sampailah pada bendungan air mata yang tak dapat tertahan lagi. Tumpah dengan derasnya. Perlahan potongan memori melayang dalam kepalanya. Mengingatkannya pada sebuah sore yang ia sumpah agar tak pernah terjadi lagi. Ia tak pernah menyangka senja yang indah akan berkhianat menjadi sehitam malam kala itu. Ia juga tak pernah tau dirinya bisa selemah hari itu. Hari di mana ia hampir kehilangan harapannya, hangatnya, pelindungnya. Hari di mana Sakura melihat dia hampir tak bernyawa.
Dan kelamnya sore itu kembali dipertontonkan di hadapannya saat ini.
Jangan lagi, aku lelah.
Tiba-tiba inderanya menangkap sebuah bunyi nyaring. Berdengung konstan dan hanya terdapat satu nada. Mendengarnya bagai dirajam ratusan sembilu. Perih menjalari rongga-rongga dada Sakura, membuatnya mulai terasa sesak. Sebuah teriakan tertahan di pangkal tenggorokannya.
Suasana ruangan itu sejenak berubah dingin dan pedih; dua deskripsi yang haus akan cerita-cerita sekelam malam. Meminum sari kebahagiaan pada tubuh Sakura yang bening dan gemetar.
Emeraldnya memandang nanar pemandangan di depannya. Sebuah hembusan napas pendek melesat dari bibirnya yang bergetar –tak mampu berkata. Di dalam deru keheningan yang semakin menyiksa, tangannya terjulur menyentuh puncak kepala dia. Mengelusnya sungguh perlahan, seolah takut melukai helaian itu. Saat itu pula tubuhnya jatuh ke samping dia. Tubuh yang ia kira cukup tegar.
Tak ada teriakan, pun isakan. Hanya Sakura dan butiran kristal yang tak berhenti meluncur pada dua sisi pipinya. Ia meraih tangan nya, dingin. Membuka paksa telapak yang sedari tadi hanya mampu terkatup, mengarahkannya pada pipinya sendiri. Sedikit banyak Sakura berharap jemari kokoh itu bergerak dan menghapus jejak air matanya seperti hari-hari lalu. Meski Sakura tahu, jemari itu akan tetap membeku.
Sekuat tenaga Sakura menjaga matanya yang mulai berkunang-kunang untuk tetap terbuka. Ia ingin memandangi pemuda itu lebih lama lagi. Bukannya tak pernah, tapi belakangan Sakura hanya sanggup menatap pemuda itu dari jauh. Ia membuka masker oksigen yang menghalangi wajah dia. Semakin banyak butiran keluar dari pelupuk matanya melihat wajah itu tak berekspresi.
Sakura tidak pernah berhasil menjaganya seperti ketika dia selalu menjaga Sakura. Tidak pernah bisa, dan hari ini adalah buktinya.
"Gomen," bisiknya pada telinga milik dia –masih berharap akan sebuah keajaiban. "Kumohon, buka sekali lagi matamu."
Ia dapat mendengarkan lirihnya sendiri. Menyerah, Sakura memilih membuat netranya terpejam. Tenggorokannya kini mulai sanggup meloloskan isakan-isakan dan teriakan-teriakan parau. Berharap raga-raga dia yang sudah terbang entah ke mana kembali pada tubuh itu.
Lama Sakura bertahan pada posisi itu hingga ia tak sadar sebuah hangat menjalar dari telapak kokoh yang ia genggam. Jemarinya berkedut, membangunkan gadis merah muda dari rengekannya. Sakura bangkit ketika sebuah mesin tak lagi melantunkan nada-nada konstan. Air wajahnya berubah sedikit cerah ketika mendapati dada itu bergerak naik turun. Tubuh itu bernapas.
Sakura baru saja akan berkata-kata ketika pintu ruang operasi terbuka tanpa aba-aba. Sebuah surai indigo muncul dari sana, di depan beberapa orang yang Sakura sungguh familiar.
"Naruto-kun!"
.
DISCLAIMER
Naruto belongs to Masashi Kishimoto (1999)
Manik-manik Surga written by Flo Deveraux (2017)
.
Special for people whom arts are inspired by Naruto and Sakura's love story
.
Sakura menerjap-nerjapkan matanya. Rasanya baru sebentar ia tidur tapi ruangan itu sudah kembali terang lagi. Ia meraih jam tangan yang tergeletak di samping tempat tidurnya. Sudah pukul tujuh. Ia teringat satu jam lagi ia sudah harus berada di kantor Hokage. Rokudaime menyuruhnya untuk datang ke sana pagi ini. "Membicarakan sesuatu yang serius," katanya tempo hari.
Ia bangkit, kini terduduk di ranjang. Sempat menoleh ke samping dan mendapati sebuah punggung membelakanginya. Sakura memeriksa tubuhnya sendiri. Ia masih mengenakan pakaian tidurnya lengkap, sama dengan punggung yang masih berbalut kaos biru dongker itu. Tanda bahwa semalam tak terjadi apa-apa.
Kembali mengamati punggung itu. Tangannya terulur dan mengguncangkan tubuh itu pelan. "Sasuke-kun..."
Tubuh itu menggeliat sejenak. Sakura memilih untuk mengguncangkan tubuh itu dengan intensitas lebih. "Sudah pagi, bangunlah."
Pemuda yang ia panggil Sasuke itu kini membalikkan badannya. Matanya menyipit ketika usaha untuk membukanya langsung diserbu cahaya yang mengintip dari balik tirai. Setelah membiasakan diri dengan pagi, Sasuke memilih menatap Sakura. Gadis itu masih setia menunggu dirinya sadar.
"Kau tidak ke kantor Hokage, eh, Sakura?"
"Habis ini aku akan bersiap. Sudah jam tujuh," jawab Sakura sambil menunjukkan jam tangannya. Gadis itu tersenyum manis sebelum kembali berujar. "Arigatou sudah mau menemaniku."
Onyx menaut zamrud dengan lembut. Sebuah lengkung tipis dapat terlihat di sudut bibir pemuda itu. "Tak masalah, selama membuatmu lebih baik."
Senyum tipis itu berbalas. Pandangan Sakura kemudian mengekor gerak-gerik pemuda itu bangkit dari kasur dan meninggalkannya tanpa ada percakapan lebih lanjut di antara mereka. Meninggalkannya termenung di ranjang sendiri untuk entah sarapan, atau langsung keluar dari apartemennya, atau melakukan kegiatan lain yang Sakura tak akan tahu karena percakapan tadi selalu menjadi akhir pertemuannya dengan sang pemuda. Pertemuan selanjutnya Sakura sendiri tak akan tahu kapan.
Situasi sama yang terjadi berulang selama beberapa bulan ini.
Sakura menuju kamar mandi dan membiarkan tubuhnya disiram air hangat dari pancuran. Lamunan tentang Sasuke membawanya dalam sebuah ingatan tentang malam-malam panas yang pernah dirasakan bersama sang Uchiha. Di mana Sakura akan menemukan pemuda itu pada suatu perjumpaan tak terduga. Keduanya akan saling melempar sapa, bahkan cerita-cerita tentang kehidupan ketika sebuah jarak membatasi mereka. Lalu akan berakhir pada malam untuk dilalui dengan saling memagut dan saling melempar kepuasan di bawah satu selimut yang sama.
Hanya saja kepergian Sasuke yang terlampau lama dan sering telah mengubah semua. Cukup lama dan sering bagi Sakura untuk akhirnya menyadari bahwa dirinya lebih menyukai sebuah hangat matahari, cerahnya pagi dan wangi-wangi citrus yang segar. Sangat tipikal seseorang yang akan selalu menyebut namanya disela-sela gelak tawa.
Belakangan Sakura semakin merindukannya saja. Jangankan untuk mendengar nama Sakura disebut dengan ceria, memandangi wajahnya dari jauh saja Sakura sudah bersyukur. Tanda bahwa dia baik-baik saja.
Dia memang sudah bahagia, bukan?
Terpejam. Sakura biarkan segala risaunya luluh bersamaan air yang jatuh ke lantai kamar mandi. Sudah lama saling mengenal, tak pernah sefrustasi ini memikirkan soal dia. Atau Sakura hanya terlalu sering menghiraukannya?
Jangan tanya pada Sakura tentang bagaimana caranya memasak yakisoba. Tanyakan saja Sakura tentang dia; Sakura tahu semua. Terutama bagian tentang bagaimana dia mengajari Sakura untuk tersenyum pada dirinya sendiri meski tak ada lagi alasan untuk tersenyum.
Penyesalan hadir mengingat betapa dia selalu membutuhkan lelaki itu namun lebih banyak Sakura mengacuhkannya. Egonya terlampau tinggi, terbang bersama mimpi-mimpi ala negri dongengnya tentang Sasuke. Tak pernah sadar bahwa lelaki itulah yang membuatnya mengerti soal cinta lebih dari siapapun. Kenyataan bahwa kini Sakura hanya dapat menatap tubuh kekar –yang biasa menjadi tamengnya terkapar di rumah sakit, seolah mengoyak hati Sakura dengan katana.
Sakura kemudian menyudahi acara mandinya. Kini bersiap diri untuk memenuhi panggilan Rokudaime. Ia sempat melirik dapur yang tak ada siapa-siapa di sana. Sasuke sudah pergi lagi. Tangannya menyambar satu roti isi coklat di meja dapur dan membawanya keluar.
"Aku sudah mengirim dua regu Anbu serta Sai sebagai supervisor misi ini untuk membantu Sasuke menangkap kriminal itu," tukas Kakashi –Rokudaime Hokage, dari balik tangannya yang bertaut. Sebelah matanya mengabsen para jounin yang berdiri di hadapannya. "Kita beruntung dia sempat terluka di penyerbuan terakhir, membuatnya akan lebih mudah ditangkap."
Kakashi meraih sepucuk kertas dari ujung meja dan menyodorkannya pada seorang laki-laki dikucir tinggi. Bola mata laki-laki itu membulat setelah membaca tulisan teratas pada kertas itu. "Ini-?"
"Ya, aku baru saja meningkatkan misi ini menjadi S-rank. Aku dengar orang itu punya kemampuan menggerakkan jutaan kloning semacam zetsu selain menembakkan duri pelemah cakra. Meskipun ia terluka, aku ingin memastikan bahwa ia tidak dapat menggerakkan kloningnya."
"Lalu apa tugas kami, Hokage-sama?" tanya Ino dengan nada yang terdengar cukup serius.
"Aku ingin desa kita dipastikan aman dan untuk memastikannya aku sangat butuh kalian, Konoha Sebelas. Buatlah regu berisikan para jounin yang namanya ada pada kertas itu dengan kalian sebagai koordinator regu dan bangun perimeter di sekeliling desa."
Semua anggota Konoha 11 di ruangan itu bersama mengangguk mengerti.
"Apa kami juga perlu menyisir daerah di luar Konoha, Hokage-sama?" tanya laki-laki berkuncir tinggi tadi.
"Sebaiknya begitu, Shikamaru. 100 mil dari Konoha harus dipastikan aman."
Kertas yang kini di tangan Shikamaru berpindah ke tangan Sakura. Retinanya tidak menangkap nama Sakura di bawah paragraf yang menerangkan siapa saja yang menjadi koordinator regu. Ia kemudian menatap Kakashi bingung. "Ne, Kakashi -sensei, kenapa namaku tidak ada di sini?"
Kakashi tampak menaikkan alis. "Ah, ya!" serunya. "Aku hampir lupa. Kau akan punya tugas istimewa Sakura."
Sakura memincingkan kepalanya, masih menatap Kakashi bingung. Begitu pula hampir seluruh orang di sana.
"Kriminal itu diketahui mengincar cakra Kyuubi demi membuat pasukan yang lebih banyak. Jadi tugasmu adalah berada di rumah sakit dan memastikan Kyuubi beserta majikannya aman ya," sambung Kakashi. Matanya terlihat melengkung, menandakan ada sebuah senyum di balik masker biru itu.
Entah kenapa Sakura tidak tahan untuk tidak merona mendengarnya. Otaknya berputar untuk mencari alasan agar dirinya tidak harus berhadapan dengan dia. Sebuah ide muncul tatkala pandangannya menangkap perempuan bersurai violet sedang menundukkan kepalanya. Kemungkinan karena tidak setuju dengan keputusan Hokage.
"K-kenapa tidak H-hinata saja, Hokage-sama?" tanyanya hati-hati.
"Ah," Kakashi terlihat kaget kali ini. "Aku tidak tahu Hinata juga medic-nin," sahutnya sarkas. Membuat perempuan berambut violet itu kini hanya dapat tersenyum masam pada Sakura.
Sakura hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah kali ini. "Baiklah, akan kulakukan."
"Semangatlah, Sakura-chan!" sahut seorang dari belakang Sakura. Matanya berbinar ketika menyuarakan kalimat-kalimat penyemangat. "Kita ini Konoha Sebelas, pahlawan perang dunia shinobi! Konoha tidak boleh hancur lagi selama kita masih ada di sini! Yosh!"
"Cih, kau jangan banyak bicara Lee. Lakukan dulu tugasmu!"
Lee menoleh ke sebelahnya. "Ini untuk menyamangati Sakura-chan, Kiba! Semua tugas yang diberikan Hokage sama-sama beratnya. Aku hanya ingin Sakura-chan tidak mengeluh!"
Kiba hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sekarang.
"Baiklah kalau begitu, pertemuan ini kuakhiri. Lakukan tugas kalian!" tukas Kakashi kemudian.
"Hai!" jawab seluruh jounin yang ada di ruangan itu. Semua orang berbalik dan segera menuju pintu untuk keluar. Sakura mengekor di belakang, baru saja akan melangkah lebih jauh ketika Kakashi memanggilnya.
"Sakura!"
Sakura membalikkan badan, membiarkan teman-temannya mendahuluinya keluar. "Ada apa, sensei?"
"Bagaimana keadaan nya?" nada suara Kakashi terdengar sedikit lebih dalam. Menyiratkan sebuah kekhawatiran.
Sakura paham apa yang dimaksud gurunya itu. Air wajahnya berubah sayu seketika. Ia hanya dapat menggeleng lemah dan menjawab,"Belum ada kemajuan."
"Belum juga sadar?"
Sakura kembali menggelengkan kepala. "Sudah dua hari. Biasanya tak memakan waktu lama seperti ini baginya untuk pulih."
"Kau benar," Kakashi bangkit dari kursi dan mendekati Sakura yang tampak lesu. Ia menepuk pundak kunoichi muda itu, membuatnya mendongak menatap Kakashi. "Kau yang paling memahaminya, tidak aku, Sasuke atau bahkan Hinata sekalipun. Aku percaya dia berada di tangan yang tepat selama bersamamu."
Gadis itu hanya tersenyum simpul mendengarnya. Sakura tidak yakin dirinya sehebat apa yang Kakashi katakan. Apakah dia sekarat berkali-kali karena selalu ingin melindungi Sakura termasuk ke dalam definisi 'berada di tangan yang tepat'? Ia rasa tidak. Ditambah menurutnya keputusan Hokage lebih memilih dirinya daripada kekasih dia pasti akan membuat semua makin rumit.
"Hei," panggil Kakashi lembut. "Berilah dirimu itu sedikit kepercayaan, Sakura. Aku yakin dia akan senang jika tahu kau yang merawatnya."
Ah, senseinya itu selalu tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tapi mungkin Kakashi benar, Sakura harus sedikit percaya pada dirinya sendiri. Lagi pula ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa Sakura juga bisa menjaga dia dengan baik.
To be continue...
AUTHOR'S NOTE:
Hi there fella readers! Welcome back to another story of mine!
FYI, sekuel Sunset Kinda Orange yang saya janjikan sebenarnya akan dibuat full oneshoot dengan pairing Sasuke dan Hinata. Berhubung masih dalam tahap pematangan ide, saya ga bisa janji akan ada NaruSaku lewat di sana.
Yang satu ini, apakah sudah terasa angst nya? :') Or I need to leave it on drama only?
Is it too short or is it long enough? Do I need to keep it at 2k words or you need me to write more? Write your thoughts!
Since this one will be a multichaptered fic; I've already working on the chapter 2 actually, tapi masih sangat butuh masukan dari Anda semua. Request dan angan-angan segaje dan seliar apapun boleh ditulis di kolom review! Mungkin akan jadi masukan buat saya untuk melanjutkan. Silakan tulis review sepanjang apapun karena saya lebih senang baca review yang panjang hahah!
Oh ya, untuk tahu apakah saya sedang on-progress atau hiatus, saya sedang mencoba untuk selalu update status atau tulisan lainnya di bio profil saya. So if you really need to know my "existence" please regularly check my bio hehe. Ada informasi juga fic apa yang sedang saya kerjakan.
Sekian. Salam hangat,
Flo Deveraux
(July 01th, 2017. 12:30 AM)