| WRONG |
Disclaimer : all characters that's Masashi Kisimoto own
Genre : romance/drama/hurt
Chapter 8
| The Last |
Maafkan untuk segala bentuk typo ataupun kesalahan lainnya.
Saya akan sangat senang dan mengghargai jika kalian berkenan memfollow, mereview dan memvote jika kalian menikmati setiap cerita yang saya tulis.
Terima kasih..
SELAMAT MEMBACA
WRONG
A STORY BY HEXE
.
.
.
"Bagaimana kabarmu, Sasuke?"
Setelah sepuluh tahun lamanya menghilang, kini suara itu kembali terdengar dengan jelas oleh kedua telinganya. Suara ketukan heels yang terdengar setelahnya bagai pembuka gerbang awal baru bagi Sasuke, dengan gerakan pelan pula, Sasuke bisa menangkap gerak-gerik dari wanita yang sebenarnya ia ketahui sudah mati itu menggeserkan sebuah kursi di sebelah ranjangnya lalu duduk dengan santai dengan kakinya yang di silangkan.
Demi apapun yang terjadi, Sasuke berharap ini bukanlah mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya. Kini wanita yang dicintainya itu ada di depan matanya, duduk dengan santai sambil menatap sayu ke arahanya.
Sasuke bangkit, duduk senyaman mungkin sambil mengucek satu matanya, memastikan jika sosok wanita yang tengah duduk itu memang nyata keberadaannya.
"Hinata? Kau kah itu?"
Satu tangan terulur untuk menyentuh sebelah pipi tirus milik Hinata, namun sebelum permukaan kulit itu menyentuhnya, satu tepisan pelan Hinata lakukan; membuat dada Sasuke sesak seketika.
"Jangan menyentuhku, Sasuke."
Ini bukanlah mimpi, rasa sakit yang menjalari hati dan dadanya sangatlah nyata, tenggorokannya terasa tercekik dengan udara yang kian menipis memasuki pau-parunya. Tatapan sayu yang sebelumnya terlihat kini berubah menjadi datar dan dingin. Sasuke mengepalkan satu tangan yang sebelumnya terulur untuk menyentuh pipi Hinata, mengepal dengan kuat hingga kuku-kuku jarinya nyaris memutih.
"Aku, aku sangat terkejut, Hinata. Aku pikir kau sudah-"
"Mati? Kau pikir aku sudah mati bukan? Ah, semua orang memang sudah menganggapku mati, Sasuke."
Dada Sasuke bergemuruh, semua ini begitu mengejutkan dirinya. Jelas sekali dirinya melihat tubuh Hinata terbaring dengan detak jantungnya yang berhenti sepuluh tahun lalu, dirinya melihat jika Hinata memang sudah tidak bernapas lagi; bahkan dirinya melihat sendiri proses pemakaman yang begitu membuat dirinya hancur berkeping-keping.
Namun sekarang wanita itu datang, datang dengan keadaannya yang terlihat sehat seperti biasa, bahkan wanita itu tetap terlihat sangat membencinya seperti pertemuan mereka sepuluh tahun yang lalu.
"Aku tahu ini pasti sangat mengejutkanmu, tapi kenyataannya aku masih hidup, Sasuke."
Butuh beberapa menit bagi Sasuke untuk terbiasa menerima apa yang sudah ia lihat sekarang, menerima jika ternyata Hinata memanglah masih hidup sampai sekarang. Namun, jika wanita itu memang masih hidup, lantas kemana perginya Hinata selama sepuluh tahun ini? Mengapa wanita itu meninggalkan keluarga dan kedua putera mereka? Pikiran Sasuke mengkusut memikirkan semua itu.
"Kau ada dimana selama sepuluh tahun terakhir, Hinata? Mengapa kau meninggalkan Ryo dan Kensuke begitu saja jika kau memang masih hidup?"
Hinata mengeraskan rahang seketika, mendapati pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin ia jawab pada mantan suaminya.
"Kau tidak perlu tahu."
Sasuke menggeram dengan giginya yang bergemeletuk, merasa kesal dan tidak terima dengan perkataan yang terlontar dari mulut Hinata. Apa wanita itu bercanda? Apa wanita itu mempermaikannya? Jelas sekali jika Hinata memang meninggalkan kedua putera mereka tanpa memikirkan dampak yang akan mereka alami.
"Jangan bercanda! Kau meninggalkan putera kita dan kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada mereka setelah kau dimakamkan! Kau tidak mengetahui penderitaan-"
Plak!
Hinata bangkit dan menampar pipi Sasuke dengan keras, membuat tubuh Sasuke sedikit terhuyung ke samping. Rasa perih dan panas menjalari permukaan kulit pipinya yang putih, tamparan yang dilayangkan Hinata membuat dirinya terdiam seketika.
"Kau! Kau tidak tahu apa yang terjadi padaku setelah insiden penembakan yang di dalangi oleh Isteri tidak berguna milikmu! Kau tidak tahu penderitaan yang kurasakan selama lima tahun terombang-ambing dalam ambang kematian! Kau tidak tahu bagaimana rasanya tidak bisa berbicara, bahkan kau tidak merasakan bagaimana sakitnya hanya untuk menggerakan satu jari milik dirimu sendiri!"
Napas Hinata terengah dengan dadanya yang kembang kempis dengan tidak beraturan, Hinata tidak menyangka jika dirinya akan meluapkan semua amarahnya yang ia tahan sejak dirinya melihat keadaan Sakura.
"Hi-hinata ..."
Sasuke mencoba mengulurkan satu tangannya kembali, ingin menggapai dan merengkuh tubuh Hinata yang mulai bergetar hebat dengan keringat yang sudah keluar dari keningnya. Namun Hinata memundurkan langkahnya, menjauhkan dirinya dari uluran tangan Sasuke.
Sasuke mencabut jarum yang menancap di pergelangan tangannya dengan kasar, membuat cipratan darah keluar dan mengotori seprai dan lantai. Pria Uchiha itu berjalan untuk mendekati Hinata, Sasuke berhasil merengkuh tubuh Hinata ke dalam pelukannya.
"Aku minta maaf, Hinata. Aku minta maaf karena kau harus mengalami semua penderitaan selama ini."
Satu tetes air mata keluar menuruni kedua pipi Sasuke, memeluk dan mengelus punggung Hinata yang bergetar dengan penuh suka cita. Tidak ada penolakan yang dilakukan Hinata, wanita Hyuuga itu hanya meremas baju bagian depan milik Sasuke dengan isak tangis yang mulai terdengar.
Hati Sasuke hancur untuk yang kesekian kalinya ketika mendengar suara isak tangis dari Hinata. Semua penderitaan yang Hinata alami adalah mutlak kesalahan dirinya, kesalahan yang membuat dirinya ikut menderita.
"Aku mencintaimu, Hinata."
Hinata mendorong dada Sasuke ketika mendengar penuturan pria Uchiha itu padanya, membuat satu sayatan perih dalam hati Sasuke. Hinata mengusap air matanya dengan pelan, mencoba menenangkan dirinya yang terbawa suasana karena sudah mengingat kejadian-kejadian menyedihkan di masa lalu saat dirinya masih dalam ikatan pernikahan dengan Sasuke.
"Cukup, Sasuke. Aku kesini hanya untuk memberitahukan bahwa aku sudah menemui Sakura tadi siang, bukan untuk memaafkan semua kesalahanmu."
Hinata berbalik, tidak ingin lebih lama lagi bertatap muka dengan Sasuke.
"Tunggu, Hinata! Tidak bisakah kau memberikanku satu kesempatan lagi? Tidak bisakah kau memaafkanku dan kembali memulai semuanya?"
Hinata menggigit bibir bawahnya dengan keras, mencoba menahan isak tangis yang mungkin saja akan keluar. Dirinya tidak bisa berlama-lama dan kembali larut dalam perasaan terkutuknya karena masih mencintai Sasuke sampai saat ini. Hinata tidak bisa, wanita Hyuuga itu tidak bisa menghilangkan rasa cintanya yang kuat hingga membuat dirinya harus menderita selama bertahun-tahun.
Hinata harus menahan dan membunuh perasaan itu, karena masih ada pria yang selalu mencintainya dengan setulus hati yang harus ia bahagiakan sekarang. Dan tentunya, pria itu bukanlah Uchiha Sasuke, bukan mantan suaminya yang sudah membuat hidupnya menderita selama ini.
Dengan langkah yang mulai menjauh, Hinata meninggalkan Sasuke yang memandang dengan tatapan penuh kecewa ke arahnya. Semua ini adalah kesalahan, seharusnya dirinya tidak datang dan menemui Sasuke disini, seharusnya Hinata langsung ikut dengan Neji ke mansion Hyuuga. Namun, perasaannya menghianati akal sehatnya dan memutuskan untuk menemui Sasuke terlebih dahulu daripada menemui kedua puteranya dan Naruto.
.
.
.
"Ah, paman Neji. Lama tidak bertemu dan kau semakin terlihat tua saja."
Ryousuke memeluk tubuh jangkung milik Neji dengan senang, membuat pria yang dipeluknya itu terkekeh sambil mengelus surai hitam miliknya dengan lembut.
"Oh, kau bertambah tinggi saja, Ryousuke."
Ryousuke melepaskan pelukannya dengan senyum yang mengembang di wajahnya, membuat Hiashi dan Hanabi yang melihat senyuman itu kembali mengingat Hinata. Setelah pelukan itu terlepas, Neji memeluk Kensuke dan Naruto secara bergantian. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Kensuke, hanya senyuman tipis penuh makna yang di perlihatkannya sebagai tanda bahwa pria muda itu merindukan sosok pamannya.
"Paman Neji!"
Semua orang yang berada diruangan itu menoleh ke sumber suara, dilihatnya seorang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun itu berlari diikuti oleh seorang pria tinggi berambut cokelat cepak. Pria itu tersenyum lalu membungkukkan badannya.
Hanabi yang melihat kedatangan mereka langsung berjalan menghampiri keduanya, namun anak perempuan yang berlari itu mengabaikan dan melewati dirinya begitu saja. Anak perempuan itu menghambur kepelukan Neji sambil tertawa dengan riang.
"Halo Yuki-ku yang cantik, apa kau merindukanku?"
Neji tertawa ketika kedua lengan bocah perempuan bernama Yuki itu melilit lehernya dengan keras.
"Bagaimana kabarmu, Kak Neji?"
Neji mengangguk sambil tersenyum kearah pria yang kini berdiri bersisian dengan Hanabi. Pria itu Sarutobi Konohamaru, suami dari Hanabi dan Ayah dari bocah perempuan yang sedang di gendong oleh Neji.
"Ah, karena kalian sudah datang, sebaiknya kita langsung makan saja."
Seruan dari sang kepala keluarga Hyuuga itu membuat semua orang yang berada di ruang tengah beranjak dan berjalan ke ruang makan.
Hyuuga Hiashi menatap bahagia, melihat seluruh anggota keluarganya kembali berkumpul dan saling bercanda memenuhi mansion yang sudah sepi selama bertahun-tahun. Hati pria tua yang berlubang itu menghangat, keberadaan mereka cukup membuat luka hati yang dirasakannya atas meninggalnya Hinata terobati. Meski tetap saja, Hiashi selalu mengingat dan merindukan sosok puterinya itu dalam hati dan pikirannya.
Yang tersisa hanyalah kedua cucu laki-lakinya, kedua cucu yang sangat berharga peninggalan dari Hinata. Setidaknya, dirinya masih bisa melihat Hinata dari kedua cucunya dan hal itu sangat berharga baginya.
Hiashi ikut terkekeh melihat perdebatan konyol di antara mereka. Bahkan pria itu ikut tertawa dengan terbahak mendengar cucunya, Ryousuke menyebut jika Neji adalah seorang yang tidak laku karena belum juga menikah. Suasana makan malam merka berlangsung dengan penuh tawa. Hingga saat Hiashi menjatuhkan gelas yang dipegangnya ketika melihat Hinata yang berjalan kearah mereka dengan senyuman kecil yang tercetak jelas di wajahnya.
Suara tawa yang sebelumnya menyelimuti terhenti ketika suara pecahan gelas terdengar disusul dengan berdirinya sang kepala keluarga Hyuuga yang tampak terkejut. Semua orang menatap khawatir ke arah Hiashi yang kini berjalan dengan langkah pelan sambil menggumamkan nama Hinata.
Neji yang menyadari kedatangan Hinata hanya tersenyum kecil. Semua orang kecuali Neji menatap shock kearah Hinata yang kini berdiri tak jauh dari meja makan. Hanabi menutup mulutnya dengan derai air mata yang menghambur keluar dari pelupuk matanya, Ryo dan Kensuke membulatkan kedua manik hitam mereka tak percaya, sementara Naruto hanya mematung dengan tubuhnya yang kaku.
Hanya Hiashi yang bisa menggerakkan tubuhnya untuk berjalan dan menghampiri Hinata, langkah pria tua itu bertambah cepat seiring air matanya yang mulai berhamburan keluar. Hinata ikut melangkahkan kakinya dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan dari sang Ayah.
"Ya Tuhan, Hinata, puteriku."
Pelukan itu mengerat, membuat perasaan Hinata semakin sesak dan tidak terkendali. Hiashi melepaskan rengkuhannya dan menangkup kedua pipi Hinata menggunakan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat.
"Benarkah ini kau, Hinata? Ya, Tuhan. Aku tidak percaya ini."
Hiashi kembali memeluk tubuh Hinata, sementara Hinata hanya menganggukkan kepalanya sambil terisak pelan.
"Ini aku, Ayah. Aku sudah kembali."
"Apa yang sebenarnya terjadi, puteriku? Bagaimana bisa kau-"
Hinata tersenyum tipis sambil mengusap air matanya, "Aku ceritakan nanti, Ayah."
Hiashi yang merasakan euforia kebahagiaan hanya mengangguk lalu kembali memeluk Hinata dan menciumi puncak kepalanya.
"M-mommy?"
Suara cicitan yang berasal dari Ryousuke menguraikan pelukan keduanya, kedua putera kembar Hinata berjalan dengan langkah limblung, bahkan Ryousuke hampir tersandung oleh kakinya sendiri saat hendak berjalan menghampiri Hinata.
"Ryo, Ken. Putera-puteraku yang tampan."
Derai air mata dan isak tangis pecah seketika, kedua pemuda itu menghambur kepelukan Hinata layaknya bocah kecil yang kembali menemukan Ibunya. Memang benar, mereka kembali bertemu dengan Ibunya setelah sepuluh tahun terpisah dengan meninggalkan luka yang membekas di keduanya. Hinata bahkan harus sedikit menengadahkan kepalanya karena kini tinggi kedua puteranya sudah melebihi tingginya.
Ryousuke meraung dengan tubuhnya yang bergetar, sementara Kensuke hanya terisak kecil dengan kedua telapak tangannya yang meremas baju bagian belakang milik Hinata.
"I-ibu, benarkah ini Ibu?"
Suara Kensuke yang tersendat membuat siapa saja yang melihat dan mendengarnya merasakan kepiluan yang sama. Sosok dingin dan acuh yang selalu diperlihatkan pemuda itu menguap seketika, menyisakan sesosok bocah berusia sebelas tahun yang merasa patah hati karena ditinggal oleh Ibunya.
"Kau tumbuh dengan sehat, Kensuke. Terima kasih karena telah tumbuh dengan sehat, kau juga, Ryou. Aku sangat merindukan kalian berdua."
Naruto yang mulai sadar dari keterkejutannya, langsung menghampiri mereka dan langsung memeluk ketiganya dengan perasaan yang meluap-luap. Hanabi yang menyaksikan itu semua hanya menangis di bahu Konohamaru, sementara Yuki, puterinya; hanya menatap bingung ke arah Ibunya yang terisak.
"Ya Tuhan, Hinata; sayangku! Bagaimana bisa?"
Naruto melepas pelukannya, begitu juga dengan kedua putera Hinata yang menguraikan pelukan mereka. Ryo dan Kensuke sedikit memundurkan langkah keduanya untuk membuat ruang bagi Hinata dan Naruto. Meski sebenarnya keduanya tidak ingin melepas pelukannya pada Hinata.
Hinata tersenyum sambil menghapus air mata yang keluar dari kedua manik biru milik Naruto, "Aku disini, Naruto. Terima kasih karena telah merawat mereka selama ini."
Naruto menggeleng dengan keras, kembali memeluk Hinata dengar erat, seolah dirinya akan hancur jika tidak melakukannya saat ini juga.
"Hinata, aku, aku. Aku sangat merindukanmu. Aku tidak percaya kau ada disini sekarang. Ya Tuhan, Hinata. Aku sangat merindukanmu."
Hinata mengangguk sambil mengelus punggung Naruto dengan pelan, hatinya dibanjiri oleh perasaan hangat karena pria itu ternyata selalu menunggu dan merindukannya selama ini.
"Aku juga merindukanmu, Naruto. Terima kasih karena kau tetap mencintaiku."
Naruto menyusuri penggung Hinata lalu memegang leher belakang wanita itu dengan satu tangannya. Detik berikutnya, mulut pria bersurai pirang itu memangut bibir Hinata dengan perasaannya yang membuncah. Naruto memangut bibir Hinata beberapa kali, berusaha menyampaikan kerinduan yang pria itu rasakan selama ini.
Hiashi yang melihat mereka berdua hanya menutup kedua matanya dengan senyum tipis di wajahnya, sementara Ryo dan Kensuke memalingkan kedua wajah mereka ke samping. Pangutan itu tidak berlangsung lama, Naruto melepaskan tautannya dan kembali membawa kepala Hinata agar menempel di dadanya yang bergemuruh karena perasaan bahagia.
Hinata menguraikan pelukan Naruto dengan perlahan ketika kedua manik ametisnya menangkap sosok Hanabi yang tengah melirik kearahnya.
"Hanabi..."
Hinata berjalan menghampiri, kedua wanita itu berpelukan, melepas rindu dengan keterkejutan yang masih dirasakan Hanabi karena kedatangan Hinata yang tiba-tiba.
"Kau bisa jelaskan semua ini nanti malam, Neji."
Neji menoleh dan mendapati tatapan tajam dari Hiashi, dengan senyuman kecil, sulung Hyuuga itu menganggukkan kepalanya.
"Tentu, Ayah."
Detik berikutnya, semua orang kecuali Konohamaru dan puterinya, yang berada disana berkumpul dan memeluk Hinata secara bersamaan.
Naruto menghirup aroma yang paling dirindukannya dengan rakus, menghirup sebanyak-banyaknya sampai paru-parunya merasa puas. Meski sebenarnya dirinya tidak akan puas untuk merasakan aroma itu sampai kapanpun. Kini keduanya sedang duduk di atas kursi di taman, menikmati semilir angin malam yang menerpa kulit mereka yang terbuka.
Semua orang sudah terlelap sekarang, menyisakan keduanya yang melepas rindu setelah sepuluh tahun lamanya terpisah dan tidak bertemu. Hinata menyenderkan kepalanya di satu bahu milik Naruto. Kedua tangan mereka bertautan, berbagi kehangatan dengan saling menggesekkan permukaan kulit keduanya.
"Kau tahu Hinata? Aku sangat bahagia sekarang."
Hinata tersenyum tipis mendengar penuturan dari Naruto, "Aku juga, Naruto."
Naruto mengeratkan rangkulan tangannya, merapatkan tubuhnya agar lebih menempel dengan tubuh Hinata.
"Hinata, menikahlah denganku."
Hinata menengadahkan kepalanya dan memandang Naruto dengan seksama. Letupan bahagia meramaikan hatinya, pandangan mata biru itu selalu menyejukan dan menenangkan hatinya. Dengan gerakan pelan, Hinata menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari ajakan yang di tawarkan Naruto padanya.
Senyum bahagia merekah di wajah tan milik Naruto, pria bermanik biru itu semakin menegeratkan rangkulannya sambil berbisik,
"Terima kasih, Hinata."
Seharusnya, Hinata yang berterima kasih. Berterima kasih pada Naruto karena pria itu sudah setia mencintainya sampai saat ini, karena pria itu sudah menjaga dan merawat puteranya dengan tulus, karena pria itu sudah menjaga cintanya dengan tidak menjalin dan mencoba mencintai wanita lain selain dirinya, karena pria itu sudah ada dan datang di hidupnya.
.
.
.
"Ayah, apa Ayah baik-baik saja?"
Sarada menyimpan kantung kresek yang dijinjingnya di atas lantai, gadis itu menghampiri Sasuke yang tengah duduk di atas sofa dengan kepalanya yang menunduk. Bercak darah yang mengering terlihat di pergelangan tangan Sasuke, membuat Sarada mengambil tisue basah dan mulain membersihkannya dengan pelan.
"Sarada, apa kau membenciku?"
Gerakan tangan mungil itu terhenti, dugaannya memang benar; wanita yang berpapasan dengannya secara sekilas di elevator ternyata memang Hinata, mantan Isteri Ayahnya yang dinyatakan meninggal sepuluh tahun yang lalu.
"Aku sempat berpapasan dengannya, Ayah. Bibi Hinata, apa dia datang kesini?"
Sasuke mengangkat kepalanya yang tertunduk, menatap sedih kearah puterinya yang kini memandang dirinya dengan mata yang berkaca.
"Ya, dia masih hidup, Sarada. Dan Ayah merasa senang karenanya."
Sarada meremas tisue yang dipegangnya, gadis itu bisa merasakan perasaan yang dirasakan Sasuke sekarang. Dirinya tahu jika Ayahnya itu sangatlah mencintai Hinata, mantan Isterinya.
"Apa yang telah aku lakukan di masa lalu adalah sebuah kesalahan terbesar, Sarada. Aku menyakiti Hinata dan Ibumu dengan keegoisanku. Aku yang membuat Hinata menderita selama ini, aku juga yang telah membuat Sakura menjadi seperti sekarang. Aku yang membuat Sakura nekat melakukan pembunuhan pada Hinata, aku juga yang telah-"
"Cukup, Ayah. Jangan diteruskan lagi, kau mohon."
Sarada menghentikan perkataan yang terlontar dari mulut Sasuke dengan segera merengkuh tubuh Ayahnya kedalam pelukannya.
"Aku tidak membencimu, Ayah. Tidak sama sekali."
Sasuke membals pelukan puterinya dengan erat, air mata kembali mengalir di kedua pipinya.
"Terima kasih, Sarada. Karena kau sudah menyayangi Ayahmu yang tidak berguna ini."
Sarada menggelengkan kepalanya, "Tidak Ayah, kau tidak perlu berterima kasih."
Sasuke semakin mengeratkan pelukannya dengan isakan tertahan yang keluar dari mulutnya. Semua ini adalah balasan baginya, dirinya sadar jika semuanya tidak mungkin bisa di ulang. Baik itu hubungannya dengan Hinata beserta kedua puteranya, ataupun mengembalikan keadaan Sakura seperti sedia kala. Sasuke tahu, jika semua ini adalah hukuman atas kesalahan yang telah ia perbuat di masa lalu. Kesalan dengan menyakiti kedua wanita yang pernah dicintainya, kedua wanita yang telah memberikannya keturunan, kedua wanita yang sudah sempat membuat hidupnya merasakan perasaan dicintai.
Mungkin, dirinya harus berhenti dan menerima semua ini demi kebahagiaan dari Hinata. Membiarkan wanita itu untuk memulai kehidupannya yang baru dengan pria lain. Setidaknya, jika melihat Hinata bahagia, dirinya akan merasa lega dan senang. Karena mencintai Hinata adalah hidupnya, meski harus merelakan wanita itu dengan pria lain, akan Sasuke lakukan.
Semua itu karena dirinya mencintai Hinata, dan sebagai penebusan dosanya di masa lalu. Namun, Sasuke selalu berharap, jika kedua puteranya akan menerima dirinya dengan sepenuh hati sebagai Ayah kandung dari mereka. Entah kapan itu akan terjadi, Sasuke akan tetap menunggu datangnya saat-saat itu, bahkan sampai nyawanya terenggut, Sasuke akan menantikannya.
.
.
.
THE END
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada readers yang sudah setia dan menanti fic ini sampai selesai. Terima kasih juga atas dukungan kalian karena terus mengikuti kelanjutan fic ini sampai selesai.
See you next fic
Salam hangat
Hexe