Aku dan Kakak

.

.

.

Sehun Advine. Kris Advine

.

.

"Kris selalu mengutamakanku. Itu hal yang kubenci darinya. Aku menyayanginya, tapi dia lebih menyayangiku hingga rela menyerah pada keinginannya sendiri. Tapi setelah kejadian ini, kuharap Kris lebih bisa memikirkan dirinya sendiri. Aku tidak ingin meninggalkannya, tapi hanya dengan ini Kris bisa lebih fokus pada hidupnya dan tidak hanya mengurusi orang sepertiku."

.

.

Brothership. Sehun Point Of View.

.

.

Meringkuk di sudut UKS memang bukan termasuk hal yang ku sukai. Apalagi dengan batuk yang tak juga reda. Dadaku terasa sesak karena terbatuk tak henti dari tadi. Menghembuskan nafaspun terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin ini karena angin yang begitu dingin. Hal ini di mulai sejak tiga tahun yang lalu tapi aku mengabaikannya.

Aku tak ingin mengadu pada Kris. dia hanya akan panik dan menarikku ke Rumah Sakit tanpa memikirkan kondisi kantong celananya.

Detak jantungku berdetak begitu cepat, seolah hendak merangsek keluar dari tubuh. Keringat ke luar dari pelipis dan tangan, membuat bajuku basah oleh keringat. Aku menggigil namun terasa panas dari dalam.

Nafas pun sepertinya datang dengan begitu cepat, seolah aku baru saja berlari mengelilingi kerajaan inggris selama dua jam. Faktanya aku baru saja berada di sini kurang dari satu jam.

Aku terbatuk kuat sekali lagi, tanganku menekan dadaku yang rasanya ingin pecah berkeping keping. Kuusahakan senyum untuk menenangkan diriku sendiri.

Ini hanya flu. Batuk musiman. Batinku meyakinkan.

Namun setelah kembali terbatuk hebat, semuanya menggelap.

.

.

"Apa kau dekat dengan orang tuamu?"

Teman sebangku ku bertanya di saat pelajaran geometri, tidak bisa disebut teman sebenarnya. Kami hanya berasal dari status sosial yang sama, dengan kata lain dia juga di bully. Kevin namanya.

"Tidak, aku membenci ayah dan ibuku."

Kevin melirikku sekilas, "Lalu dengan kakakmu?"

Berhenti mencatat sejenak, aku tersenyum. "Aku lebih membencinya."

Kevin menghela nafas, "Sama denganku."

Satu lagi kesamaanku dengannya. Mungkin kami bisa menjadi teman sungguhan.

.

.

Aku terbangun dengan dada yang terasa sesak dan berat. Juga rusuk yang nyeri ketika mengambil nafas. Aku memandang sekitar dan hanya menemukan ruangan putih, ketika ku lihat tanganku, yang ku temui adalah selang infus yang menyayat kulitku yang membiru.

Tunggu.

Membiru?

Apa ini reaksi alergi ku pada udara dingin yang tiba-tiba?

Pintu ruangan terbuka dan aku menoleh dengan cepat, itu Kris dan Mayumi. Kenapa wajah mereka begitu kusut? Apa yang terjadi?

"Ada apa?" aku bertanya ketika Kris sampai di samping ranjang. Kris mengusap rambutku dan tersenyum pedih.

"Jangan berpikir untuk meninggalkanku, advine."

Ucapan Kris dengan nada datar itu malah membuatku bingung. Kris memang berbakat dalam akting, tapi mungkin lebih baik jika dia tidak memamerkan bakatnya padaku di saat seperti ini. Aku menatap Mayumi meminta penjelasan.

"Kris yang akan menjelaskan pada Sehun." Ucapnya sambil mengaitkan tanganya di lengan Kris. Kris menoleh pada Mayumi yang tingginya hanya sebatas pundak Kris.

"Kris harus mengatakannya pada Sehun, Sehun berhak tahu."

"Tapi ini terlalu cepat, Mayumi." Dengan senyum menenangkannya, Mayumi berhasil membuat Kris yang keras kepala mengangguk setuju. Kris kembali menatapku. Tapi kemudian menghela nafas dan keluar dari ruangan. Mayumi berpamitan padaku dan mengejar Kris yang pergi entah kemana.

Kini giliran aku yang menghela nafas. Ada apa sebenarnya disini?

.

.

Paman Sam belum pernah marah padaku. Aku membuatnya marah ketika aku tertawa begitu keras saat menceritakan kehidupanku yang menyedihkan.

Apa? Aku salah? Bukankah hidupku memang sebuah lelucon?

.

.

Tidurku yang serasa menyiksa terhenti ketika aku mendengar suara berisik dari kiri ranjang. Begitu ku buka mataku, terlihat seseorang yang sepertinya dokter tengah mencoret-coret sesuatu di kertas yang dia bawa. Dokter itu menatapku dan tersenyum.

"Kau sudah bangun?"

Aku mengangguk dan segera bertanya ketika mengingat hal itu.

"Anda yang memeriksa saya tadi?"

Dokter dengan nametag 'Daniel Verla' itu mengiyakan.

"Dokter Verla, apa yang terjadi pada saya?" ucapku akhirnya.

Dokter Verla tampak terkejut dan bertanya apakah keluargaku tidak memberitahu, dan aku tentu menjawab iya, Kris sama sekali tidak mengunjungiku setelah peristiwa itu dua hari lalu. Hanya Mayumi yang menemaniku. Sebenarnya dokter Verla sama sekali tidak ingin memberitahuku karena itu urusan keluarga dengan pasien, tapi sepertinya sifat keras kepala yang menurun dari Kris padaku ada gunanya juga.

"Maaf mengatakannya, tapi anda-..."

.

.

Apa ayah akan bersama dengan ibu di akhirat?

Kalau tidak, bukankah kematiannya sia-sia?

Ayah memang tidak berguna.

Sialnya aku menyayanginya.

.

.

Pulmonari Obstruktif Kronis?

Apa lagi itu? Aku tidak bersekolah di sekolah kesehatan jadi aku tidak mengerti. Apa itu sejenis kue? Oke, aku terlalu mengada-ngada, hanya karena kata Kronis dan Kismis berakhiran sama aku membuatnya begitu mudah.

Aku tidak mendengar apa yang dikatakan Dokter Verla kecuali di bagian 'Penyakit ini pernah menjadi penyebab kematian nomor Tiga' dan 'akan bertambah parah seiring waktu' juga 'Kami akan berusaha yang terbaik.'

Hanya itu yang ku dengar. Dan aku tidak ingin mendengar hal lain. Apa penyakit ini sebegitu pentingnya untuk ku dengarkan? Karena aku tidak pernah mau mendengar sesuatu yang tidak penting. Membuang-buang waktu. Tapi sayangnya ini adalah salah satu hal penting, dan sayangnya aku terlalu kaget untuk mendengarnya.

Semua suara di sekitarku menjadi pelan dan tidak terasa. Hanya udara yang mengambang di kanan kiri yang terasa panas. Dan itu karena emosiku. Aku terlalu lemah dan tidak pantas untuk mendampingi Kris hingga akhir. Tapi suatu kelegaan menghampiriku, setidaknya yang menderita penyakit ini adalah aku, bukan Kris. itu membuatku sedikit lega. Jadi Kris bisa melanjutkan hidupnya.

Meski tanpa diriku.

.

.

Terima kasih ibu, kau memberikan sakitmu padaku. Bukan pada Kris.

.

.

Pagi ini Mayumi datang dengan sekeranjang penuh buah-buahan. Dia dengan ceria duduk di sebelah ranjang dan mengupas apel dengan cara memutar. Mayumi terlihat lebih muda dari usianya, setara dengan umur anak SMA kelas satu yang belum tahu apa-apa tentang dunia dewasa. Dengan kaus panjang berwarna biru langit dan rok rampel kotak-kotak biru tua sebatas lutut juga sepatu kets putih.

Bagaimana mungkin Mayumi menjadi kekanakan seperti ini? Meskipun dari awal dia memang kekanakan, sih. Tanpa sadar aku menghela nafas berat. Orang seperti Mayumi ini yang akan mendampingi Kris? aku bisa gila di atas sana jika gadis ini tetap bersikap kekanakan bahkan setelah menikah dengan Kris!

"Mayumi, dimana Kris?"

Mayumi sontak terdiam dan menatap seprai, tidak lagi menatapku. Dia terlihat ragu namun kemudian meletakkan piring berisi potongan apel di meja dan menggenggam tanganku erat, seolah menyalurkan ketegaran.

"Kris masih belum bisa."

Oke, aku mengerti perasaan Kris. aku sama sekali tidak marah padanya. Karena aku-pun akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisi Kris. kami sudah dua kali melihat proses kematian orang yang kami sayangi. Dan mungkin Kris belum siap untuk menerima kenyataan tentang kematian untuk yang ketiga kalinya.

Kematian ibu membuat Kris diam. Kematian ayah membuat Kris terpuruk. Apakah kematianku selanjutnya membuatnya hancur? Ku harap tidak. Jangan sampai. Harusnya aku memiliki harapan hidup, tapi semua terasa begitu berat walau hanya mengedipkan mata karena ada suatu penyakit yang mengendap di tubuhku.

"Semua akan baik-baik saja, Sehun."

Ya, ku harap begitu. Semua akan baik-baik saja.

.

.

"Besok Sehun ingin dibawakan apa?" Mayumi bertanya dari samping ranjangku.

"Tidak perlu."

Aku brengsek, memang. Padahal dia baik padaku.

"Ayolah, setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk Sehun."

Aku memandangnya lama, "Bisa kau buat Kris melupakanku?"

Hingga kini, tak pernah ada jawaban yang kudengar dari Mayumi.

.

.

Seminggu di Rumah Sakit membuatku akrab pada dokter yang merawatku. Dia dokter Verla, beliau kadang datang ke kamar rawatku dan membawakanku salad yang sering dia buat. Kami sering jalan-jalan ke taman RS ketika dokter verla tidak memiliki jadwal. Ah, dokter verla juga sering-sangat-datang ke kamar rawatku ketika Mayumi datang menjenguk. Dokter Verla diam-diam menyukai Mayumi.

Siapapun pasti menyukai Mayumi, dia baik dan ramah juga cantik-meski kekanakan, tapi disitulah daya tariknya. Aku pun-jika kami berkenalan tanpa ada campur tangan Kris- pasti menyukainya juga, tapi tentu tidak lucu kalau aku menyukai calon kakak iparku sendiri?

Apa pantas aku menyebutnya sebagai calon kakak ipar sedangkan sikapku padanya tak juga meluluh? Mayumi-lah yang selalu menemaniku selama di rumah sakit ini, dan dia dengan telaten merawatku seolah adiknya sendiri, tapi aku malah tidak memperlakukannya dengan baik.

Aku hanya perlu keyakinan, yah begitulah, aku tidak mudah mempercayai orang.

Kali ini aku dan dokter berada di taman. Masih sangat pagi, jam bahkan masih menunjukkan angka lima lebih sepuluh. Dokter verla tahu jika aku tidak akan tidur lebih dari jam empat, itu kebiasaanku. Beliau-pun akan selesai shift pada pukul tujuh, jadi untuk menebus waktu siang nanti yang tidak bisa menemaniku,

dokter verla menjemput ke kamar dan membawaku kesini dengan kursi roda yang dia bawa-bawa dari ruang lansia di lantai paling bawah-ruang rawatku berada di lantai empat, itu berarti dokter Verla mendorong kursi roda tanpa penghuni ini sendiri sampai lantai empat. Dokter satu ini memang sedikit lucu jika tidak mau di sebut aneh.

Aku sebenarnya ingin melihat sunrise. Tentu aku akan sangat bodoh jika berharap sunrise di Inggris. Matahari sungguh sulit di jumpai di sini, kecuali aku menyebrang ke negara Asia yang dipenuhi oleh sinar ultra violet itu dan berjemur hingga kulitku menjadi kecoklatan.

Mayumi berjanji akan membawaku ke Jepang jika aku sembuh, ya itu sebenarnya hanya motivasi darinya. Aku tahu tapi aku menghargai usahanya.

Bicara tentang Mayumi-

"Apa dokter menyukai Mayumi?"

Dokter verla tersedak kopi hangat yang sedang di minumnya. Dia buru-buru mengambil sapu tangan di saku untuk menutupi mulutnya. Dokter verla bahkan masih terbatuk dengan muka yang memerah. Aku sedikit tertawa.

"A-apa maksudmu? "

Aku akhirnya benar benar tertawa, suara ku membelah suasana yang sepi. Tapi aku segera menghentikannya karena kurasa rusukku yang sakit. Penyakitku memang begitu merepotkan. Untuk tertawa pun harus dibatasi. Hah, kemarin aku menjalani rontgen dan rusukku retak karena batuk hebat dan sesak nafas.

"Hey, lagipula dia calon kakak iparmu. Bagaimana kau mengucapkannya dengan mudah!"

Aku tersenyum kecil. "Aku bahkan tidak memperlakukannya seperti kakak ipar." Gumamku.

Dokter verla menoleh ke arahku dan tersenyum juga.

"Mungkin belum saatnya, tapi jika kau tidak juga menerimanya. Aku akan merebutnya dari kakakmu." Ucapnya sombong. Aku memicingkan mata padanya.

"Kakakkuku tampan! Dokter tidak akan bisa menyainginya."

Dokter verla terlihat pura-pura tersinggung, kemudian menunjuk mukanya sendiri dengan gerakan yang sangat menyebalkan. Ugh, aku benar-benar akan memukul wajahnya jika dia bukan dokterku.

"Kau pikir bagaimana rupa seseorang di hadapanmu ini? Ini titisan dewa appolo, bung!"

Aku tertawa kembali dibuatnya. Dokter ini sangat jauh dari pikiranku saat SD. Dia sangat ramah dan lucu. Bukan seperti dokter yang merawat ibuku dulu.

Ah mungkin tidak, tapi semua dokter yang merawat ibuku membawa pengaruh buruk padaku, mereka selalu terlihat menyerah begitu mengetahui sakit yang diderita ibu yang kian memburuk.

"Aku ingin hidup."

Itu terucap begitu saja, tanpa dikomando oleh otakku. Aku hanya merasa aku ingin hidup. Tanpa penyakit ini. Hidup normal dan melihat Kris menikah, kemudian aku akan menyusulnya beberapa tahun kemudian. Aku ingin merasakan hidup seperti teman-temanku, ah aku lupa, aku tidak memiliki teman.

"Kami akan mengusahakan yang terbaik."

Aku sadar, sakitku memang terasa makin parah. Batuk yang ku alami, keringat dingin, bahkan kulit yang membiru semakin sering terjadi.

Bahkan sakitnya seperti ada yang meremukkan rusukku secara perlahan hingga hancur berkeping-keping dari dalam. Mungkin saja dokter verla sedikitnya sudah pasrah. Dia tidak akan berjanji jika tidak bisa menepatinya. Dan kalimat tadi bukan sebuah janji.

.

.

Aku tidak ingin meninggalkan kakakku yang menyedihkan. Dia terlalu menyedihkan hingga aku tak sanggup berpaling darinya.

Tapi...

Bisakah aku tetap tinggal?

.

.

Nyatanya memang tidak ada yang membaik. Aku memaksa pulang dari Rumah Sakit, selain karena Kris sama sekali tidak menjengukku dan aku tidak bisa bertemu dengannya di hari hari yang bisa dikategorikan sebagai hari terakhirku, juga karena biaya rawat yang pastinya membengkak. Bahkan hingga akan mati pun aku tetap merepotkan Kris.

Aku dibantu oleh Mayumi untuk membereskan baju. Kris sama sekali tidak menunjukkan diri di hadapanku. Dia hanya kadang menitipkan makanan pada Mayumi ketika gadis itu akan menjenguk.

"Sudah?"

Aku mengangguk dan menegakkan tubuh yang tadinya menunduk. Dan saat itu aku bertemu pandang dengan seseorang yang kurindukan. Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum khas-nya.

"Hai, dik."

.

.

"But how do you let go of the person that felt like home?"

Ketika Kris mengatakannya, dia menggenggam tanganku saat sakitku kambuh.

Dan aku merasa ingin mati saat itu juga.

.

.

Sakit itu sama sekali tidak menyenangkan.

Aku menjadi heran pada diriku sendiri, saat SMP aku berharap sakit untuk menghindari ulangan Matematika ataupun pelajaran dari guru yang begitu menyebalkan. Walau hanya flu ringanpun aku akan memaksa untuk tidak berangkat sekolah. Itu dulu sewaktu aku belum menyadari tentang arti sehat.

Saat itu aku berharap sakit padahal ketika masa SMA, aku mati-matian menjaga kesehatan agar tetap masuk dan tidak merugikan usaha Kris selama ini. Tapi kesehatan yang ku jaga itu melemah dengan sendirinya.

Faktor genetik.

Tidak akan ada yang bisa membantah itu. Ibu menderitanya. Kadang kala ketika aku kembali merasa sakit di malam hari, aku berpikir 'Oh seperti ini yang dirasakan ibu? Pantas saja ibu lebih memilih mati dan tidak memperjuangkan kesehatannya.'

Dulu aku mengutuk keputusan ibu untuk keluar dari rumah sakit. Padahal kini aku yang melakukannya. Beberapa tahun lalu aku belum mengerti keuangan kami kecuali keluarga kami yang tidak bisa makan di restaurant mewah, sebuah pemikiran simple anak kecil.

Saat masih hidup, meski sakit ibu akan tetap memasakkan kami makanan sederhana namun begitu lezat. Tapi aku sama sekali tidak melakukan hal berguna beberapa minggu ini. Paling tidak untuk Kris. aku hanya tiduran di kasur dan terbatuk-batu beberapa saat, kemudian tak sadarkan diri hingga malam.

Kris bahkan mengurangi kerja part time nya dan meminta Mayumi untuk menemaniku. Aku ingin menolak tapi tidak bisa. Alasan Kris tentang 'Bagaimana jika kau kambuh ketika tidak ada orang dirumah' memang tidak bisa dibantah. Aku benci mengakui jika aku selemah ini.

"Bagaimana perasaan Sehun?" tanya Mayumi di ambang pintu dengan nampan putih berisi bubur dan cokelat hangat. Dia mendekati ranjangku dan duduk di bagian samping.

Nampan itu di letakkan di nakas samping tempat tidur. tangannya ditaruh di dahiku, mungkin untuk menge-cek suhu tubuh. Aku sempat demam tadi malam.

"Panas Sehun sudah turun." Gumamnya dan membantuku untuk duduk. Mayumi mulai menyuapi ku dengan telaten hingga bubur putih itu habis.

"Kris sudah berangkat?" tanyaku begitu cokelat hangatnya tandas.

Mayumi mengangguk dan membereskan alat makanku. "Beberapa menit yang lalu, Kris tidak tega membangunkan Sehun untuk berpamitan."

Mayumi memberikan obatku dan segelas air putih. Aku menahan tangan Mayumi begitu dia akan beranjak. Dia menatapku heran.

"Terima kasih."

Senyum khas yang dimilikinya muncul. "Sama-sama."

.

.

"Some of the things that we hold onto the most, are the things that we need to let go of." (R. arnold)

Aku ingin mengatakannya keras keras pada Kris

.

.

Two years...

Tidak ada yang tidak aneh. Seperti kenapa jantung berada di sini dan bukan disini, kenapa daun kering harus jatuh? Kenapa tidak saat daun itu masih hijau?

Aku mendebatkan hal-hal itu dengan Mayumi, dan gadis kekanakan itu juga membalas ucapanku. Dalam sekejap kami bisa menjadi sangat akrab ataupun sangat beku. Terlalu berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi. Kami seharian bisa tidak bertegur sapa bahkan dalam satu ruangan. Dan saat itu terjadi, Kris yang akan turun tangan mendamaikan kami.

Kadang kala aku menjadi sangat bodoh dalam suatu hal. Seperti saat ini, saat aku duduk di bawah pohon rimbun di belakang stasiun bersama paman Sam. Sudah beberapa bulan ini paman Sam jarang menemuiku. Beliau sibuk dengan usaha restaurant-nya di LA. Yah, masakan paman memang sangat enak.

Paman baru saja pamit untuk membeli minuman. Entah minuman jenis apa, yang pasti paman akan membelikanku air putih. Aku di larang meminum sesuatu dengan bahan yang tidak aman. Baik oleh Kris, Mayumi maupun dokter Verla. Dokter verla beberapa kali datang ke rumah. Kris selalu tidak dirumah saat dokter Verla menjengukku.

Ah, tidak bisa disebut menjengukku, karena yang ada adalah dokter Verla dan Mayumi akan mengobrol hingga sore di depan pekarangan rumah dengan aku yang duduk di ayunan yang baru di beli Mayumi tiga hari yang lalu. Mereka sudah sangat akrab. Mungkin aku harus memikirkan tentang ucapan dokter Verla tentang mendepak Kris dari posisi kekasih Mayumi.

Aku memilih berbaring dan menjadikan tanganku sebagai alas. Daun yang rimbun berayun pelan di atas sana. Angin musim semi memang menyejukkan, beda dengan musim gugur yang terasa kering. Angin musim semi seperti membawa butiran air kecil yang menyegarkan saat menyentuh kulit. Aku menyukai musim semi.

Seperti yang ku katakan tadi, aku menjadi bodoh sewaktu-waktu. Seperti saat ini, saat aku membandingkan hidupku dengan daun hijau itu. Di pikiranku, daun hijau yang melekat di dahan pohon itu seperti aku. Masih muda dan segar. Oh, dan juga rimbun. Tapi aku tidak rimbun. Rimbun bukan kata yang tepat untuk menggambarkan seorang manusia.

Aku menjadi iri pada daun hijau. Mereka tidak akan gugur dalam keadaan hijau. Tidak seperti ku, aku bahkan masih terlalu muda untuk menghadapi kematian. Oke, aku sudah dua kali melihat kematian. Melihat bukan berarti menghadapi. Karena pada masalah ini, aku lah objek dari kematian itu sendiri.

Mereka-daun hijau, maksudku- akan memberikan manfaat mereka terlebih dahulu, menyejukkan dan menghasilkan oksigen dari proses fotosintesis dengan zat hijau daun yang mereka miliki. Sedangkan aku belum memberikan apapun pada dunia. Tidak perlu untuk dunia, paling tidak untuk Kris, Mayumi, dokter verla dan paman Sam.

Aku hanya ingin mencapai masa tua baru kemudian gugur seperti daun kering. Tidak dalam keadaan seperti ini, muda yang menyedihkan dan penyakitan. Itu bukan hal yang baik. Aku tidak menyukainya.

Aku mendengar suara tapak kaki mendekat, itu paman Sam. Dengan sebotol cola dan air mineral. Apa aku kata.

Paman mengulurkan sebotol air mineral dan kusambut dengan antusias. Memikirkan masa depanku yang bahkan belum tentu ada membuat tenggorokan kering. Bahkan aku menandaskan air itu dalam sekali teguk. Oh, mungkin aku memang sudah haus dari sejak kemari.

"Waw."

Aku menoleh pada paman Sam yang menatapku kagum, ya ya aku tahu, aku memang mengagumkan.

Kemudian paman Sam tertawa hingga lemak di bagian bawah lehernya tertarik karena paman mendongak. Beliau menepuk kepalaku sebelum mengelusnya. Aku tersenyum. Paman Sam sudah seperti pengganti ayah.

Saat tahun-tahun pertama kematian ayah, paman Sam selalu ada di dekat kami. Bahkan tanpa kami minta, paman Sam akan datang ke rumah dengan membawa segala sesuatu yang seharusnya di berikan pada seorang anak. Itu membuatku tersentuh.

"Bukankah sudah saatnya bagi paman mencari istri?"

Aku mengatakannya tanpa berpikir, aku hanya merasa ingin melihat paman menikah sebelum aku benar-benar tidak bisa melihatnya dengan inderaku. Paman belum menikah di usianya yang ke- entahlah aku tidak terlalu tahu, mungkin empat puluh atau empat puluh lima? Entahlah, sepertinya di antara keduanya.

Paman kembali tertawa. Meskipun tidak ada yang perlu ditertawakan, aku ikut tersenyum. Orang inilah yang juga ku sayangi.

"Bukankah sudah terlalu terlambat bagi paman mencari istri?"

Paman balik bertanya dengan nada yang di buat persis sepertiku. Hey, itu penjiplakan! Paman bisa di penjara jika aku melapor! Baiklah, itu terlalu berlebihan.

"Begini sudah nyaman." Ucap paman.

Aku mengangguk dan merapikan rambut pirang turunan dari ayah yang berantakan karena ulah paman Sam. Beliau menatapku intens, membuatku balik menatapnya dan bertanya, "Kenapa?"

Paman tersenyum sekilas, "Makanlah dengan benar,"

Aku mengerti apa yang dimaksud paman, tapi aku tidak ingin menjawab dengan jawaban yang benar.

"Salahkan Mayumi."

"Kau sering membuang makanan itu di tempat sampah, Sehun."

Aku tersentak. Bagaimana paman tahu?

"Berapa banyak kau kehilangan berat badanmu? Kau tidak akan mendapat kekasih jika tampil dengan gaya zombie."

Aku mengangkat bahu, "Aku tidak yakin sampai pada tahap itu." Dan paman hanya diam. Sepertinya beliau memikirkan ucapanku. Aku tidak bermaksud membuatnya sedih, tapi memang begitukan adanya?

"Aku iri pada daun hijau itu."

Ku rasakan paman menatapku lama, kemudian mengerti. Dan mulai berbicara. Nada yang aku suka. Sama seperti nada ketika paman menenangkanku dari mimpi buruk yang ku alami.

"Daun hijau memang di ciptakan untuk gugur saat daunnya kering. Tapi kadang kala memang mereka harus gugur di saat yang tidak tepat. Seperti karena ulah manusia atau burung atau bencana alam? Siapa yang tahu. Kau juga mengalaminya, bukan maksudku mengatakan kau tidak akan mempu bertahan. Jika aku adalah seorang dewa, aku akan memberikanmu separuh hidupku yang kekal, nak. Tapi aku tidak. Kakakmu juga tidak. Kami ingin membantumu. Memberikan semuanya yang kau perlukan untuk hidup. Tapi kami tidak bisa. Jadi bisakah kau berhenti menghitung waktu kematianmu? Itu membuatku takut."

Aku mengerti. Aku tidak perlu iri pada daun. Tidak perlu iri pada teman-temanku. Karena aku memiliki hal-hal yang tidak mereka miliki. Yaitu keluarga yang menyayangiku.

.

.

My life is a joke and I'm not laughing anymore.

.

.

Sudahkah aku bilang bagaimana rupa kris?

Aku memikirkannya ketika dokter verla lagi-lagi mengungkit tentang cinta segitiga -yang pastinya akan dimenangkan kris, namun aku menyetujuinya saja untuk menyenangkan hati dokter verla- antara kris, mayumi dan dokter verla.

Pertama.

Kris itu tinggi.

Faktor utama untuk menjadi seorang model adalah tingginya. Sejak kecil aku tidak pernah sekalipun menandingi atau hanya menyamai tinggi kris.

Lalu, kris juga tampan. Apa memuji kakak sendiri tampan padahal gendermu sama dengannya itu aneh? Jika iya, mungkin aku tidak peduli karena faktanya kris memang tampan.

Kemudi-

"Hey, bocah miskin."

Aku mengangkat kepalaku dan bertatapan dengan livan-salah satu anak kaya di sekolah- memandangku dari dalam mobil hitamnya.

Oke, aku memang terlihat menyedihkan dengan duduk di bangku taman dengan sweater buluk dan sepatu kets usang, tapi mungkin supir Livan juga tak perlu ikut memandangku dengan kasihan seperti itu.

Kupikir keadaan kita sama, mr. Driver. Batinku kesal.

Oke, faktanya aku tak tahu maksud pandangan supir Livan itu kasihan karena keadaanku atau kasihan karena harus berhadapan dengan anak nakal seperti Livan. Tapi ayolah, aku juga ingin bersikap sombong sesekali.

"Menunggu kakak gigolomu memberimu makan?"

Sudahkah ku bilang kalau Livan salah satu anggota kelompok bob?

Mereka memiliki satu kelompok mayoritas dengan kasta tinggi yang berisi makhluk makhluk berisik menyebalkan seperti bob dan livan. Juga ada beberapa anak nakal yang membuatmu ingin menendang mereka karena ucapan mereka yang sama sekali tidak bisa diterima hati.

Menyebalkan sekali mengingat tentang mereka.

"pulanglah miskin, karena si gigolo itu tidak akan pulang membawa apapun kecuali penisnya yang layu!"

Jika kerajaan inggris memberikan gelar ksatria untuk orang tersabar, mungkin aku akan menjadi kandidat tunggal yang amat kuat.

Aku telah berjanji pada Kris tak akan terlibat perkelahian lagi. Lagipula, anak seperti livan tidak akan berhenti kecuali kekayaannya tiba tiba tersedot oleh cacing besar alaska dan menjadikan si bodoh livan lebih miskin dari siapapun di kerajaan inggris.

Livan tertawa begitu keras hingga kepalanya kembali tenggelam di kaca jendela hitam yang ditutupnya, meninggalkan aku yang seperti orang bodoh karena tak melakukan apa apa setelah dikatai. Lupakan si livan sialan itu, sehun advine!

Aku menggosok pelipisku dengan telunjuk saat mengingat apa yang tadi kupikirkan sebelum livan datang.

Oh, ya! Tentang kris.

Kris memiliki rambut pirang yang sama denganku, namun miliknya lebih panjang hingga menutupi tengkuk. Rambutnya halus. Paman sam selalu mengejeknya karena rambut kris lebih indah dari rambut wanita.

Iris mata Kris berwarna hijau, berbeda denganku yang berwarna biru. Kekanakan memang, aku sempat marah pada ibu karena menurunkan matanya pada Kris dan bukan padaku.

Lalu, Kris memiliki garis rahang yang tajam. Bukan bermaksud menyombong, ibu selalu mengatakan tentang kemiripian kami, selain rambut tentu saja garis rahang kami hampir serupa. Dengan kata lain, aku juga tak kalah tampan darinya.

Oh! Fokus Sehun Advine! Kau disini untuk memikirkan segi mana tampannya kris!

Baiklah, secara keseluruhan -termasuk bagaimana sikap dan sifat- Kris lebih cocok menjadi pangeran inggris dari pada menjadi kakakku.

Di kehidupan selanjutnya, aku akan sangat bangga kalau Kris lahir menjadi orang kaya atau pangeran inggris atau semacamnya.

Dokter Verla tentu tidak bisa menyaingi Kris dari segi manapun -kecuali dari finansial-. Aku yakin seratus persen kalau dokter Verla tidak akan bisa membuat Mayumi tergerak.

Jadi mungkin dia harus menyerah dan-

"Sehun, apa yang kau lakukan disini?"

Kris berdiri di depanku dengan sekeranjang koran di sepedanya. Hari ini kris mengantarkan koran untuk kompleks kami. Kris mengambil banyak pekerjaan paruh waktu yang aku sendiri lupa jenisnya.

"Mencari udara." balasku.

Kris menoleh kekanan dan kekiri, membuat rambutnya berayun pelan, hal kecil yang selalu kuperhatikan darinya.

"Sendiri?" tanyanya dengan nada khawatir.

Oh, mulai lagi. Kris dalam mode khawatir benar benar sangat ingin ku hindari. Maka dari itu aku buru buru menambahkan.

"Baiklah aku akan pulang."

Aku tidak pernah marah dengan sikap kris yang seolah membatasi ruang gerakku. Karena aku tahu maksudnya. Aku mengerti alasannya.

Seperti ucapan kris tempo dulu. Cinta dan rindu, itu hal yang tidak perlu dipertanyakan asal kau mengerti, semua akan baik baik saja.

"Selamat bekerja, Kris."

.

.

Kalau saja Kris tidak selalu memandangku khawatir setiap lima detik sekali, mungkin aku sudah melupakan penyakitku dan bahagia sebentar.

Sekarang aku hanya memiliki empat detik untuk bernafas lega dan seolah lupa akan beban kami.

Hanya empat detik.

Kris sialan.

.

Dua tahun bukan waktu yang cepat. Mungkin lebih tepatnya lima tahun. Aku berjuang dengan penyakit ini dalam lima tahun. Berjuang di malam-malam gelap dengan tangan Kris yang menggenggam tanganku ketika sakit itu mendera. Ketika sesak seolah mencekik setiap organ penyalur oksigen milikku.

Aku berharap masih bisa bertahan. Tapi obat-obatan itu seolah hanya memberikan deklarasi jika aku akan baik-baik saja karena meminum obat. Nyatanya tidak seperti itu. Semuanya seolah melemah. Seluruhnya.

Hari ini entah karena apa tempat Kris bekerja meliburkan Kris. entah karena apa kedai milik Mayumi kehabisan stok hingga harus ditutup, entah karena apa paman tidak jadi berangkat ke Los Angeles karena kehabisan tiket, entah karena apa dokter Verla mendapat cuti tahunan padahal itu masih sebulan lagi. Dan entah karena apa aku merasa begitu merindukan ayah dan ibu.

Aku bangun tidur dengan wajah paman Sam yang pertama kali ku lihat. Beliau mengangsurkan segelas air untuk ku minum. Aku menerimanya dan meminumnya secara perlahan. Paman mengambil gelas kosong itu dan meletakkannya di meja samping kasur.

"Mau berjalan-jalan hari ini, jagoan?"

Paman Sam sering mengatakan hal itu ketika aku masih berusia lima tahun. Dan kami akan menghabiskan waktu seharian di taman bermain. Tapi masa itu sudah lewat beberapa tahun lalu, tidak akan menarik jika seorang paman tua tidak laku dan seorang remaja penyakitan bermain-main di atas kincir ria. Tidak sama sekali.

"Kris dimana?"

"Supermarket bersama kekasihnya, bahan makanan habis." Aku mengangguk kemudian menggeleng.

"Aku tidak ingin pergi, aku ingin sup jagung buatan paman."

"Aye captain, sup jagung akan siap dalam sepuluh menit!"

Kemudian paman menghilang dari balik pintu. Aku tertawa tertahan melihatnya, paman sudah tidak pantas lagi bersikap seperti itu. Sudah terlalu mengerikan untuk di bayangkan.

Aku bangkit menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh muka kemudian turun ke meja makan dan mengamati bagaimana paman Sam bekerja. Paman begitu telaten, tentu saja, hidup sendiri memaksanya harus seperti itu.

Saat paman Sam meletakkan sup jagung di hadapanku, aku langsung memakannya seperti orang yang tidak makan selama bertahun-tahun. Tapi itu tidak masuk akal, baiklah, aku ralat. Seperti orang yang tidak pernah makan makanan yang lezat kecuali batu dan kayu. Itu juga tidak masuk akal, ah terserah. Semua ini membuatku pusing.

Begitu sup ini tandas. Aku menyerahkan mangkuk kosong itu pada paman. "Aku ingin bertemu dokter ver-..."

"Merindukanku manis?"

Aku sontak menoleh. Dan disana sudah ada dokter verla dengan sekeranjang penuh guava. Mataku tak lepas dari guava-guava yang terlihat menggiurkan itu.

"Kau lebih merindukan mereka dari pada aku? Tak ku kira!"

Aku mendengus tanpa mengalihkan pandanganku dari buah itu. "Jangan berlebihan, dokter. Itu membuatku mual."

Dokter verla tertawa, meletakkan buah tadi di meja setelah menggumam 'Sudah ku cuci,' kemudian duduk di sampingku dan mengobrol dengan paman Sam.

Aku memang sering memakan guava khas Asia ini, pertama kali di ruangan Miss. Oh. Ah, aku merindukan beliau. Mungkin setelah ini aku bisa bertemu dengannya. Dokter Verla bilang guava ini bagus untuk paru-paru. Dan dengan ini aku berharap setidaknya memperpanjang hidupku walau hanya sehari.

"Aku ingin jadi dokter." Aku kembali mengatakannya secara refleks. Dokter verla menoleh padaku-paman pamit ke kamar mandi karena terlalu banyak makan sup tadi.

"Tentu, Sehun."

Tapi kemudian aku menggeleng, "Tapi apa mungkin?"

Dokter verla tidak menjawab. Dia hanya menatapku dalam sebelum berucap tegar, "Seberapa mungkin pun itu, saat kau jadi dokter. Kau harus bisa mengalahkanku."

Aku tertawa. "Aku tidak akan bisa mengalahkanmu, dokter."

Ya, aku tidak akan bisa mengalahkanmu. Menjadi dokter juga tidak bisa. Bukan karena keuangan, ya mungkin itu juga, tapi lebih ke waktu. Aku tidak yakin bisa bertahan di pendidikan kedokteran dalam waktu lama dengan kondisiku.

"Dokter bisa mengantarku ke suatu tempat?" tanyaku. Dokter Verla mengangguk dan berkata menunggu di luar karena aku akan bersiap.

Berganti baju dan menyisir rambut cukup untuk membuatku jauh lebih baik-dari segi penampilan. Aku mengetuk pintu toilet dan berpamitan pada paman.

"Paman aku akan keluar sebentar, paman selesaikan urusan paman lebih dahulu dan aku menyayangi paman." Ucapku cepat dan segera berlari ke depan. Aku jarang mengatakan perasaanku pada paman. Seperti aku menyanyanginya atau merindukannya, tapi kali ini entah kenapa aku merasa begitu ingin mengatakannya.

Tak peduli apapun itu. Aku menyayangimu paman.

.

.

Kapan terakhir kali kita tertawa bersama, Kris?

Aku sudah melupakannya.

.

.

Kebetulan sekali dokter Verla juga berniat ke tempat ini. Tempat Miss. Oh, universitas Kris. dokter bilang akan ada dokter magang dari kampus Kris. dan dokter verla harus mengurus beberapa keperluan di jurusan kedokteran. Jadi aku pergi ke ruangan Miss. Oh sendiri.

Dua tahun berlalu universitas juga dirombak. Ruangan Miss. Oh kini terpisah, begitupun dengan ruang dosen yang lainnya. Ruang informasi di pindah di dekat lorong masuk dekat kantor tata usaha. Namun suasana musim panas tetap ada di ruangan Miss. Oh.

Aku terakhir kali bertemu beliau sekitar tahun lalu. Miss. Oh tidak banyak berubah, mungkin hanya selera pakaiannya saja yang berubah. Atau sepertinya tidak. Aku sering bertemu Miss. Oh yang mengenakan mantel tebal meskipun itu di dalam ruangan. Kini beliau hanya mengenakan kemeja dan blazer hitam juga rok. Miss. Oh bilang, sudah saatnya dia belajar menjadi lebih ke'inggris'an.

Rambut cokelat Miss. Oh disanggul ke belakang. Dia terlihat lebih segar dan berseri. Saat ku tanya kenapa, beliau dengan semangat mengatakan.

"Sudah lama sekali kau datang, sekarang aku sudah memiliki bayi, Sehun."

Aku ikut bahagia mendengarnya. "Selamat, Miss. Oh. Tapi sepertinya aku tidak akan sempat menjenguk bayinya. Anda memberi nama siapa?"

Aku hanya merasa tidak akan sempat, bukan karena sibuk. Entahlah, aku merasa aneh.

"Tidak apa-apa, mungkin lain kali. Suamiku memberi nama Arie, tapi aku ingin memberikan nama Sehun di sana. Dan suamiku setuju, nama anak kami Sehun Oh." Ucapnya berseri.

"Saya tersanjung sekali, terima kasih Miss. Oh."

Kami berbicara banyak hingga ruangan diketuk dan dokter Verla muncul dari sana, dokter mengatakan sudah waktu nya pulang dan aku mengangguk.

"Saya ingin mengatakan kalau, mungkin ini tidak sopan hanya saja, anda sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri. Semoga Sehun anda bisa memberikan ketenangan dan kedamaian bagi hidup anda. Terima kasih atas semuanya." Ucapku kemudian memeluk Miss. Oh.

"Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa tidak akan bertemu denganmu. Namun apapun itu, aku sangat menyayangimu, nak. Aku menyayangimu, Sehun Advine."

.

.

"The strongest hearts have the most scars." (Jeff Hood)

Ya, dan itu milik Kris.

.

.

Dokter Verla telah pulang untuk mengurus pasien yang mendadak datang di hari cutinya, meski dengan mendumal, dokter Verla tetap pergi ke rumah sakit dengan tergesa. Paman Sam telah pulang karena diare, Kris tengah berada di dapur untuk membuat makan malam. Kini aku dan Mayumi duduk di ayunan depan rumah.

"Tadi ada banyak boneka bebek di SuperMarket, tapi Kris tidak memperbolehkanku membelinya, padahalkan aku ingin memberikannya pada Sehun-..."

Aku tersedak ludahku sendiri saat mendengar ucapan Mayumi.

"Mayumi, aku tidak suka boneka bebek." Ucapku mencoba keren.

"Tapi aku menyukainya." Ucapnya polos. Aku menghela nafas lelah. Mayumi bisa menjadi sangat menyebalkan tanpa dia sadari.

"Kau yang menyukainya, aku belum tentu menyukainya. Kecuali kita kembar identik dengan satu hati dan rasa." Ucapku ketus.

"Tapi aku menyukai Kris dan Sehun juga menyukai Kris."

"Itu berbedaaaa~" aku menggeram di akhir kalimat. Mayumi tertawa dan aku baru sadar jika dia mengerjaiku.

"Awas kau," ucapku memperingatkan. Mayumi hanya tersenyum polos dan menatapku seolah menantang. Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Kami malah bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Mungkin bisa ditolerir jika itu aku, tapi Mayumi bahkan sudah berusia duapuluh tiga dan sikapnya masih seperti anak-anak.

"Jangan lagi bertingkah kekanakan." Ucapku terengah. Kami tengah berbaring di atas rumput hias milik Kris di pekarangan. Biarlah Kris kesal, bagiku-bagi kami sebenarnya- itu terlihat lucu.

"Kenapa?" Mayumi menoleh ke arahku.

"Seorang istri yang kekanakan akan menjadi mengerikan jika bersanding dengan Kris yang dewasa."

Mayumi segera membuang pandang dariku dan menatap ke atas. Aku menoleh dan ku dapati mukanya memerah hingga telinga.

"Ku pikir kau lolos, Mayumi." Aku senang membuatnya kebingungan seperti ini. Itu lucu.

"Kau bisa terus bersama Kris. aku menerimamu."

Dia tersenyum lucu dan memelukku dari samping. Membuatku salah tingkah adalah hobi-nya. Aku tidak pernah dekat dengan lawan jenis kecuali ibu dan Miss. Oh dan sentuhan fisik oleh Mayumi seperti ini membuatku gugup.

"Rumput hiasku!"

Kami buru buru mendongak begitu mendengar pekikan Kris. Mayumi memandangku dan tertawa, seolah tersihir aku mengikuti tawanya. Muka Kris terlihat lucu dan itu membuatku tak henti tertawa.

Baru setelah Kris mengatakan jika kami tetap menertawakannya, tidak ada makan malam untuk kami, baru tawa itu terhenti. Mayumi bangkit dan mengulurkan tangannya padaku, membatu untuk bangkit. Aku menerimanya dengan senang. Saat kami berjalan beriringan, dia mengatakan sesuatu yang membuatku terhenti.

"Hanya saja, jangan mati Sehun." Ucapnya dengan nada serak menahan tangis, Mayumi berbalik ke arahku dan matanya telah berkaca-kaca dengan air mata yang menggenang di pelupuk. "Jangan mati, jangan tinggalkan Kris, jangan tinggalkan aku."

Aku tidak tahan. Aku menariknya dalam rengkuhanku. Mengelus rambutnya yang panjang nan lembut. Tinggi Mayumi setara dengan hidungku, tidak terlalu pendek jika dibanding tingginya saat bersama Kris. Kepalanya bahkan hanya menyentuh bahu Kris.

"Terima kasih, kak Mayumi."

.

.

Being able to survive it doesnt mean it was ever okay.

.

.

Mayumi pamit pulang setelah makan malam. Dia berkata ada yang harus di urus. Padahal sebenarnya karena Mayumi akan menangis lagi jika dia berada di sini lebih lama. Dan menghadapi Kris saat Mayumi menangis adalah hal yang sangat sulit baginya. Detektif akan kalah oleh tindakan Kris saat itu. Pernah sekali aku melihat Kris mengintrogerasi Mayumi saat gadis itu menangis. Dan itu benar-benar menggelikan menurutku. Mungkin tidak bagi orang lain, tapi menurutku itu lucu.

Aku dan Kris duduk berdampingan di sofa. kami menonton film yang diberikan oleh Mayumi sore tadi. Dengan cokelat hangat kesukaan kami dan semangkuk popcorn yang tak tersentuh dia tas meja. Kris duduk bersandar di sadaran sofa dengan aku yang tidur di pahanya. Aku sering melakukan ini pada ibu dulu.

"Kris, apa kau merasa keberatan dengan kehadiranku?" tanyaku tiba-tiba membuat Kris mengernyitkan dahi. Tangan Kris yang panjang merapikan poniku.

"Ya." Oh, tidak.

"...-tapi aku tidak akan mengerti arti dari tanggung jawab jika kau tidak ada. Lagipula kau adalah adikku. Adikku yang manja." Ucap Kris setengah bercanda. Aku menghela nafas lega. Ku kira Kris serius.

"Tapi sungguh, Sehun. Kau sama sekali tidak menjadi beban. Aku bahagia. Karenamu aku bisa bertemu Mayumi, bisa mengerti tentang kehidupan dan menjadi kepala keluarga yang benar. Kau sangat berarti bagiku. Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak karena aku menyayangimu. Aku memang pernah merasa lelah, tapi itu bukan karenamu. Aku baik-baik saja walaupun kau membutuhkan puluhan ribu pounds asal kau tetap menjadi adikku."

Aku tersenyum lega. Semua pertanyaan terjawab hanya dengan ucapan Kris tadi.

"Terima kasih, Kris." Kris hanya diam. Tapi dari bawah, dapat ku lihat garis bibir Kris yang melengkung ke atas. Aku menyamankan diri dalam tidurku.

"Kupikir, awalnya aku tidak akan bisa tanpa ibu. Tapi ternyata aku bisa. Kemudian aku kembali merasakan hal itu, namun kenyataannya aku tetap bertahan meski tanpa ayah. Terima kasih, kris. Karena kau menjadi kakak yang terbaik untukku."

Aku merasakan kepalaku di elus pelan oleh tangan Kris. itu membuatku mengantuk. Rasa lelap seolah menyergapku, namun diiringi oleh dingin dari ujung kaki.

"Aku merasa dingin." Aduku pada Kris.

"Semua akan baik-baik saja." Aku memejamkan mataku erat. Rasa dingin semakin menjalar hingga dadaku, tapi aku diam saja. Rasa sakit di dadaku sedikit demi sedikit seperti menghilang

"Aku menyayangimu, kakak."

Hingga semua menggelap

.

.

Kris, maafkan aku.

.

.

Kris Point of View

"Kupikir, awalnya aku tidak akan bisa tanpa ibu. Tapi ternyata aku bisa. Kemudian aku kembali merasakan hal itu, namun kenyataannya aku tetap bertahan meski tanpa ayah. Terima kasih, Kris. Karena kau menjadi kakak yang terbaik untukku."

Sehun mengatakan itu dengan suara pelan, aku bahkan hampir tak mendengarnya jika sedikit saja aku berpaling. Sungguh, Tuhan. Aku menyayangi anak ini. Tolong jangan ambil dia da-...

"Aku merasa dingin."

Kalimat itu seolah menjadi hantaman bagiku. Semua doa yang akan kurapalkan tertelan begitu saja. Tuhan tidak akan mengabulkan doaku kali ini. Meskipun dalam hati aku tetap berharap, namun perasaan ini lebih mendominasi. Takut dan entahlah.

"Semua akan baik-baik saja." Aku mengucapkannya dengan suara tercekat. Aku membenci diriku yang seperti ini. Begitu lemah dan menyedihkan.

Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi kenangan kami tiba tiba mendadak teringat di kepalaku. Bagaimana Sehun selalu menempel kepadaku ketika dia masih empat tahun, bagaimana Sehun tertawa ketika kami terjatuh dari sepeda dan membuat bunga hias paman Sam rubuh, bagaimana cengirannya ketika kami kabur dari jadwal bersih bersih rumah dan menghabiskan berjam jam di bioskop hingga lewat tengah malam, dan yang lainnya.

Aku baru menyadarinya sekarang, hal yang disayangkan selain masa depan yang belum tentu ada adalah kenangan indah masa dulu yang bahkan tak pernah ku ingat lagi sejak kematian ibu.

Aku ingin menjaga Sehun selamanya, atau mungkin sedikit lebih lama. Aku ingin melihatnya menikah dan menimang cucu. Aku ingin mati duluan dengan keadaan bahagia setelah Sehun memiliki keluarga.

Sehun, maafkan kakak yang tak bisa melindungimu.

"Aku menyayangimu, kakak."

Setelah itu tidak ada lagi suara dari Sehun. Aku tidak ingin kehilangan kontrol lagi seperti saat itu. Dengan perlahan aku mengangkat kepala Sehun dan memposisikannya dengan nyaman. Ku selimuti tubuhnya yang dingin dengan selimut yang pernah kami bagi bersama kala dulu. Setelah itu aku duduk di bawah-di atas karpet- dengan menyandarkan kepalaku pada ruang di dekat kepala adikku. Aku tidak terlelap. Sama sekali tidak terlelap semalaman.

.

.

Author Point Of View

Pagi ini akhir dari musim semi. Kini daun-daun hijau berguguran dan terbang ke berbagai arah. Memenuhi setiap ruang dengan warna cokelat rapuhnya.

Kris bangkit dari posisinya semalaman. Lehernya terasa kaku tapi dia enggan bersuara, mata biru-nya menatap lekat pada sosok adiknya yang terlelap di sofa. Kris seolah tak disana. Matanya menatap kosong tanpa nyawa. Tidak ada suara yang terdengar. Cicitan burung juga tak menembus telinga.

Bahkan hingga Mayumi telah berada di sampingnya pun dia tak juga buka suara.

"Kenapa kalian tidur disini? Tidak baik untuk kesehatan Sehun." Ucap Mayumi, dia membenarkan letak selimut Sehun dan tersentak saat tangannya bersentuhan dengan kulit Sehun yang dingin.

"Sehun sangat dingin, mungkin terkena flu. Kita harus membawanya ke kamar, Kris."

Kris menoleh pada Mayumi dengan senyum. Senyumnya hambar tanpa makna. Hanya seperti tarikan di kedua sudut bibir, senyum itu tak menyentuh matanya. Tak seperti senyum Kris yang biasanya. Tidak seperti itu.

"Sehun tidak demam."

Mayumi mengernyit. "Maksud Kris? Sudah jelas jika Sehun sakit, ayo bangunkan Sehun dan bawa ke kasur."

"Sehun tidak tidur, Mayumi."

Mayumi semakin heran dengan tingkah kekasihnya ini. Jelas-jelas Sehun tertidur, bahkan tubuhnya telah... mendingin?

'Tidak!' batin Mayumi mengelak.

"Sehun, dia mati."

Semua terasa berputar. Bagi Mayumi ataupun bagi Kris. Ini guncangan besar. Sangat besar hingga keduanya serasa ikut masuk dalam pusaran itu. Seolah membawa jiwa mereka terbang jauh dan menjatuhkannya tanpa parasut. Itu menyakitkan.

Dan kini...

"Aku tidak pernah menyukai musim gugur." Ucap Kris tenang. Terlalu tenang hingga terasa menyakitkan.

"Kris."

"Kita harus memberitahu paman Sam dan dokter Verla. Juga Oh umma." Kris merapikan selimut Sehun sebelum mengelus rambutnya.

"Kita juga harus mengabari gereja, mungkin paman Sam bisa membantu membeli peti, dan kurasa pembalsaman bisa dilakukan di rumah, bukan begitu Mayumi?"

Mayumi sudah sampai batasnya. Dia menghambur memeluk Kris dan meraung di dadanya. Meluapkan tangis. Setidaknya Mayumi telah mewakili Kris untuk menangis. Karena dia tahu, lelakinya itu terlalu terpukul bahkan hanya untuk menangis.

"Sehun, dia sudah bahagia. Sudah tidak merasakan sakit lagi. Semuanya... akan baik-baik saja."

"Dont lie to yourself.

Admit it hurts.

Cry out to the universe if you have to, but acknowledge it.

Pain is funny that way.

It demands to be felt.

To deny it, is to give it free room and board, because its not going anywhere until you've felt its flames.

-Alfa.

.

.

"Apa kau pikir dikehidupan selanjutnya aku dan Sehun akan tetap menjadi kakak dan adik?"

Paman Sam merangkul Kris erat ketika peti Sehun mulai diturunkan ke dalam tanah. Tak banyak yang datang ke pemakaman Sehun. Hanya beberapa orang yang dekat dengan mereka yang berjejer di kanan kiri.

Entah kenapa diantara orang orang itu ada Bob dan Livan yang tampak mengusap matanya yang basah.

"Kita akan dilahirkan sebagai keluarga lagi, Kris. Aku, kau dan Sehun."

Kris dapat merasakan angin menyapu rambut di kepalanya, membuat rasa dingin yang berbanding dengan hatinya yang seolah terbakar.

"Aku ingin kita terlahir Kaya, paman." kris tertawa kecil.

Pria tua disebelahnya tergelak dalam keperihan, "Tentu, kita akan terlahir kaya dan bersenang senang dengan banyak hal."

Kris mengusap setetes air matanya yang jatuh tiba tiba, dengan mata hijaunya Kris memandangi telapak tangannya yang basah. Menyadari kalau dia telah menangis dengan alasan yang sama tiga kali, hal menyebalkan datang bertubi-tubi.

Kris melirik pria disebelahnya, dalam hati merapal doa agar tidak lagi menghadapi kematian orang terdekatnya dengan begitu tragis dan dalam jangka waktu berurutan seperti ini. Paling tidak, Kris juga ingin waktu untuk memulihkan hatinya lalu kembali menjalani kehidupan sebagaimana pemuda tanggung inggris yang berapi api.

"Aku ingin paman menjadi ayahku." ucap Kris serak.

Paman Sam ganti mengelus kepala Kris penuh kelembutan, "Aku akan jadi ayah tersuper untuk kalian berdua."

Rencana Tuhan tidak ada yang tahu. Mereka hanya dapat berharap.

.

.

END.

.

.

"Sehun, bangun dan bawa mobilmu ke bengkel!"

"Kris sialan, shut the fuck off!"

"Please kids, daddy baru saja pulang dari Costarika dan aku tidak berharap disambut dengan perkelahian kalian. Watch your voice, kids!"

.

.

.

End.

Rencana author juga tak ada yang tau kecuali Tuhan, hohoho~ #apasih sok misterius deh gw, selamat berasumsi

Dan dari sanalah Oh Sehun berasal! Hoho

Sampai jumpa di ff saya yang lain, arigatou minna-san!