Aku dan Kakak

.

.

.

Sehun Advine. Kris Advine

.

.

"Kris hanya beberapa tahun lebih tua dariku, tapi aku sangat menghormatinya meskipun tidak pernah memanggilnya kakak. Dia Kakakku, ibuku, sekaligus ayahku. Aku menyayanginya. Tapi aku tidak bisa menemaninya selamanya."

.

.

Brothership. Sehun Point Of View.

.

.

Aku...

Tidak mengerti.

Kenapa aku harus menangis saat sedih? Kenapa daun kering jatuh berguguran? Kenapa aku harus membantu paman Sam untuk mendapatkan semangkuk sup jagung? Ataupun kenapa ayah dan ibu ku tega meninggalkan aku dan Kris sendiri.

Apa salah yang telah ku perbuat? Apa aku lupa tidak berpamitan pada mereka saat aku berangkat sekolah? Apa aku menumpahkan saus mayo di baju putih Kris dan tidak minta maaf? Apa aku lupa tidak menemani ibu di minggu pagi di rumah sakit? Atau apa karena aku memaksa meneruskan Sekolah menengah atas favorit di kota kami?

Tolong seseorang beri tahu aku. Kenapa mereka –Ayah dan Ibu- meninggalkanku? Meninggalkan Kris?

Saat itu aku masih berusia empat belas tahun. Usia yang bisa dikategorikan bukan lagi anak kecil. Tapi aku tidak mengerti. Apa arti dari peti mati. Terlebih lagi saat ibu-mu berada di dalamnya dan ayah juga kakak-mu menyalami tamu yang datang dengan pakaian serba hitam.

Aku hanya berdiri di samping peti ibu dalam diam. Orang-orang menghampiriku dan memintaku untuk tegar dan mengikhlaskan. Aku harus mengikhlaskan apa? Apa karena uang ayah di gunakan untuk membeli benda kotak ini dan bukan untuk membelikanku tas baru seperti yang dijanjikannya?

Andaikan arti tegar dan ikhlas yang dimaksud orang-orang itu adalah seperti yang kusebutkan tadi. Maka aku tidak begitu memikirkannya. Tidak sama sekali. Kami bukan dari keluarga berada, bahkan bisa dikategorikan menengah ke bawah, aku sudah terbiasa untuk mengubur keinginanku dan mengutamakan urusan keluarga.

Tapi beda jika yang dimaksud mereka adalah 'Tegar dan Ikhlas kalau Ibu akan di kubur dalam tanah bersama peti kayu mahal itu.' Bukan fakta peti mahal itu harus terkubur yang menggangguku. Lebih ke 'kenapa ibu dikubur'.

Aku menghampiri ayah dan memanggilnya. Beliau menatapku sejenak, tersenyum dan mengelus kepalaku. Ayah tersenyum sendu dan pergi dari hadapanku sekali itu juga.

Kini aku menghampiri Kris, orang yang begitu ku sayangi. Kris berdiri di samping pintu masuk, membelakangiku. Aku mengernyitkan alis saat melihat pundak Kris yang naik turun tak beraturan. Apa Kris menangis?

Kembali aku memanggilnya. Dan gerakan yang ku tangkap adalah, Kris segera mengusap wajah kemudian menghadapku dengan senyum menenangkan seperti biasa. Seperti Kris yang tetap seperti biasa, ku harap setelah urusan 'Peti mahal', 'Ibu tertidur di Peti', dan 'Ayah terlihat berantakan', semua akan kembali seperti semula, seperti biasa.

"Ada apa, dik?" tanya Kris.

"Kenapa ibu tidur di dalam peti? Kenapa kita harus membeli peti itu, bukankah peti itu mahal, Kris? Kita bahkan tidak punya banyak uang untuk membeli barang tidak berguna seperti itu."

Kris hanya diam dan tidak menjawab. Sampai peti ibu di angkat dan di masukkan mobil Ambulance dengan kami bertiga yang ikut di dalamnya, Kris tetap diam, begitupun ayah. Tidak ada seorangpun yang berbicara.

Hingga pintu belakang mobil terbuka, orang-orang yang mengangkat peti ibu tadi kembali melakukan tugasnya. Aku diam. Tidak lagi bertanya karena tak kan ada yang menjawabku.

Baru kemudian aku mencengkeram tangan Kris yang berada di samping kananku erat begitu peti ibu mulai di masukkan ke dalam lubang tanah.

"Kris! Apa yang mereka lakukan pada ibu!" jeritku histeris. Namun Kris hanya diam dan memegang tanganku erat. Menahanku untuk menerjang orang-orang berpakaian hitam tadi.

Aku terlalu syok hingga tak lagi bicara. Tak mengerti apa yang terjadi.

"Kenapa kau membiarkan ibu di kubur?" tanyaku dengan suara tercekat. Tenggorokanku sakit hanya dengan mengatakan kalimat se-simple itu. Maksud ku simple diucapkan tapi bermakna dalam. Ya. Seperti itu.

Kris kembali tersenyum. Dia menggiringku masuk kembali ke mobil. Kali ini bukan mobil ambulance lagi. Namun mobil seseorang yang ku ketahui sebagai teman Kris. ayah tidak ikut kami. Beliau masih berdiri di gundukkan tanah tempat ibu di kubur tadi saat aku menoleh.

"Ibu sudah tidak ada, dik." Kata Kris. saat aku akan bertanya kembali, Kris dengan cepat menyela, "Semua tidak akan sama lagi, dik." Lanjutnya.

.

.

Seseorang pernah bertanya padaku,

"Sehun, apa yang membuatmu bahagia?"

Dengan bangga aku menjawab, "Setiap tanggal 20 agustus sudah membuatku bahagia."

Orang itu mengernyit, ya aku tahu jawabanku aneh. Maka dari itu sebelum dia bertanya kembali aku menyuarakan alasanku.

"Itu hari terakhir ibu hidup, beliau memasakkan sup ayam hangat dan kami makan bersama-sama tanpa tahu bagaimana keadaan esok hari."

Aku tidak tahu apa yang aneh dari jawabanku, tapi orang tadi menggenggam tanganku erat dan tersenyum.

Orang itu, ayahku.

.

.

Ucapan Kris tempo lalu memang benar. Semua tidak akan sama lagi. Bahkan seratus delapan puluh derajat berbeda.

Ayah sering melamun di depan perapian kami yang bahkan sama sekali tidak menyala. Kadang ku temukan ayah menangis diam dalam kamarnya yang sedikit terbuka saat aku akan kembali ke kamarku setelah sekolah.

Tentang sekolah, aku benar-benar tak menyangka jika perbedaan kasta begitu tinggi di sana. Dan sialnya aku termasuk dalam kasta terendah. Aku sekarang mengerti kenapa ayah dan ibu tidak ingin menyekolahkanku disana. Apa jika aku berhenti sekolah ibu akan kembali lagi pada kami?

Intinya, kehidupan sekolahku adalah salah satu yang tak akan pernah diinginkan oleh anak manapun. Aku pasti sudah keluar dari sana jika saja aku tidak ingat perjuangan ayah dan ibu.

Aku merindukan ibu.

Kini aku sudah mengerti. Apa arti jika seseorang di baringkan di peti mati dan dikubur. Artinya, aku dan ibu sudah tidak bisa bertemu lagi. Tidak bisa lagi melihat wajah lembut ibu. Tidak bisa lagi mendengar nasehatnya. Tidak bisa lagi merasakan masakan ibu setiap pagi. Dan tidak bisa pergi piknik di bukit sant mount saat akhir pekan.

Tidak ada yang benar-benar membaik setelah ibu meninggal.

Keuangan keluarga kami benar-benar dalam masa kritis. Setelah dua tahun berjuang dengan ibu, kami harus mengikhlaskan semua yang pernah kami korbankan. Semuanya.

Di awal, aku merasa aku begitu membenci ibu. Kami, terutama ayah telah berjuang demi kesembuhan ibu. Menjual perabot, tanah dan rumah lain yang kami punya. Menguras semua tabungan dari berdagang. Semuanya! Dengan satu harapan, agar ibu bisa terus berada di sekitar kami, selalu menemani kami.

Apa yang kami dapat? Tidak ada! Sama sekali tidak ada kecuali keadaan yang semakin dan semakin bertambah buruk setiap detiknya.

Usaha ayah bangkrut. Dan kami hanya bisa bergantung pada paman Sam meski sejujurnya-pasti- kami malu untuk itu. Paman Sam sendiri adalah kakak ibu. Meski paman Sam tampak tidak keberatan, tapi tentu tidak akan nyaman jika merepotkan paman seperti ini.

Kris lebih sering diam jika tidak diajak bicara. Pagi-pagi sekali, Kris pergi entah kemana dan pulang dengan beberapa lembar roti gandum dan dua botol air mineral untuk aku dan ayah sarapan. Kemudian Kris akan masuk ke kamar tanpa mengatakan apapun. Kemudian keluar untuk pergi kuliah dan pulang sekitar jam sembilan tanpa melewati makan malam bersama ku, ayah dan paman Sam yang biasanya dua hari sekali mengunjungi kami, untuk berkutat dengan tugas kuliahnya.

Begitu seterusnya hingga saat itu.

Aku baru pulang dari sekolah ketika ku lihat Kris berdiri di halte bis yang biasa ku singgahi. Matanya kelihatan memerah dengan wajah yang tertekan. Tidak biasanya Kris menjemputku dari sekolah.

Apa yang terjadi?

Kris memelukku dengan erat saat aku telah berada dihadapannya. Seolah-olah jika sedikit saja melonggarkan pelukannya aku akan hilang bersama angin dan meninggalkannya.

"Ada apa?" tanyaku. Kris hanya diam. Bahu kananku terasa basah. Apa Kris menangis? Jika memang iya, lalu Kris menangis karena apa?

"Ayah..." ucap Kris dengan suara yang lebih terdengar seperti bisikan. Begitu lemah nan lirih. Mungkin aku tak akan bisa mendengarnya jika saja aku berada beberapa centi dari Kris.

Aku tercekat memikirkan kemungkinan itu. Apa mungkin ayah...

"Ada apa dengan ayah?" tanyaku tidak sabar. Aku melepaskan pelukan Kris dan menatap wajahnya yang menyedihkan.

"Semua sudah benar-benar berubah." Ucap Kris.

Jika orang lain yang berada di posisiku, mereka mungkin tidak akan mengerti maksud Kris. tapi aku tidak. Aku tahu benar apa yang dimaksud. Ucapan itu sama seperti saat tubuh ibu mendingin dan akhirnya dikubur bersama peti kayu. Itu artinya kematian.

Dan kematian itu menghampiri ayahku dengan berbagai alasan yang hanya diri-Nya lah yang tahu.

.

.

Ibu pernah berulang kali memuji rupaku dan Kris. Kami begitu mirip seolah dilahirkan sebagai kembar.

Aku selalu tertawa ketika mendengarnya, berbeda dengan Kris yang menggerutu karena disamakan denganku yang putih menyerupai hantu salju, katanya.

Kris tidak bermaksud seperti itu, dia hanya bercanda, aku tahu.

Tapi kini, ketika mengingat ucapan ibu, aku tidak lagi tertawa. Aku menyadari ada hal lain yang menyamakanku dengan Kris.

Bukan hanya rupa yang mirip, fakta bahwa kehidupan kami menjadi semakin menyedihkan setelah ditinggalkan oleh ayah dan ibu juga adalah kesamaan kami.

Tentu saja, kami kan saudara! Hahaha.

Apakah aku malah terlihat menyedihkan?

.

.

Malam ini begitu sunyi. Tidak ada dentingan sendok dari ruang makan. Tidak ada suara tv yang menyala. Bahkan tidak ada lampu yang biasanya menerangi. Hanya ada warna menyala dari kayu yang dibakar di perapian.

Aku dan Kris duduk berdampingan dengan selimut tebal membalut tubuh masing-masing. Bulan telah memasuki desember dan itu artinya musim dingin akan segera tiba. Mungkin salju pertama akan turun besok atau besoknya lagi atau kapanpun itu aku juga tidak peduli.

Tidak akan ada lagi kado natal dari ayah. Tidak akan ada lagi sweater rajutan untukku dari tangan halus ibu. Tidak akan ada lagi. Setahun sudah kepergian ibu, ku kira ayah baik-baik saja dan bisa tegar, karena biasanya beliau selalu memintaku tegar dan sabar, namun ayah memang sama seperti ibu.

Mereka pembohong yang ulung! Aku benar-benar merasa dibodohi oleh harapan yang mereka berikan. Ku kira satu tahun adalah waktu yang cukup untuk ayah bangkit. Bahkan selama beberapa minggu lalu aku sama sekali tidak mendengar isakan ayah dari kamar.

Aku mengatakannya pada paman Sam saat kami dalam perjalanan pulang dari pemakaman, paman Sam memberitahuku tentang hal-hal orang dewasa yang tidak aku mengerti. Katanya, mungkin ayah memendam semuanya sendiri dan akhirnya lelah oleh perbuatannya. Mungkin benar, ayah memang tidak pernah bercerita tentang ibu lagi pada kami. Mungkin ayah memang benar-benar stress dan mengambil jalan nekat.

Aku tidak mungkin membenci ayah dan ibu karena mereka tidak berada disekitarku lagi. Itu hal yang sia-sia dan membuang waktu.

Paman Sam datang beberapa saat yang lalu. Paman memberikan bungkusan yang sepertinya untuk makan malam kami. Aroma sup jagung menguar dari balik tas karton yang dibawanya. Namun bahkan hanya untuk beranjak dari tempatku saja aku serasa tidak memiliki daya.

"Pergilah tidur, dik."

Itu suara Kris. sedari tadi kami hanya diam dan tidak berbicara sama sekali. Setelah pemakaman ayah, Kris hanya diam dan duduk di depan perapian selama berjam-jam. Dan setelah jam ke-dua, aku ikut menyusul sembari memberikan selimut pada Kris.

"Aku belum mengantuk." Kataku pelan.

Siapa juga yang bisa tertidur lelap disaat hidupnya tengah berada di persimpangan aneh? Aku sudah bisa berpikir dewasa. Tentang bagaimana kehidupan kami nantinya atau bagaimana kami makan sehari-hari. Paman Sam tentu tidak bisa terus kami andalkan.

Aku terlalu banyak bertanya sekalipun itu dalam pikiranku. Aku tidak ingin bertanya kepada Kris. aku cukup mengerti jika Kris pun tengah berpikir keras tentang bagaimana selanjutnya. Saat ayah masih bersama kami, setelah usaha ayah bangkrut, ayah bekerja di taman st. Peterbil.

Tidak bisa disebut pekerjaan. Ayah hanya membantu menyapu area taman kemudian diberi uang saku oleh pihak pengelola. Dan di akhir pekan, ayah akan membawa cake dari tempat kerjanya, hanya saat itu aku bisa merasakan kehidupan seperti dulu. Ibu sering memasak cake saat kami akan berpiknik. Dulu. Ya, itu dulu.

"Malam semakin dingin, kau harus segera tidur jika tidak ingin esok membeku." Ucap Kris.

Aku mengangguk dan segera bangkit. Aku menoleh ke jendela dan menemukan titik titik putih jatuh perlahan.

"Salju." Gumamku. Kris mengikuti arah pandangku dan mengerti.

"Ya, salju pertama. Ku rasa mereka datang lebih awal." Kata Kris menggumam.

Tuhan, aku berdoa malam ini, semoga esok semuanya akan membaik lagi dan lagi.

.

.

Dimata setiap orang, ada tiga kata yang dapat menggambarkan Kris.

Tampan, cerdas dan baik hati.

Tapi dimataku, hanya ada satu kata yang mampu menjelaskan seluruhnya.

'Menyedihkan'

.

.

Nyatanya Tuhan belum memberikan berkahnya kepadaku. Hari ini aku pulang lebih awal, sekolah akan mengadakan acara sebelum liburan musim dingin. Ya, itu keberuntungan sebenarnya. Namun tidak juga.

Aku menemukan Kris sedang duduk di ruang makan dengan lembaran koran yang berserakan di meja. Kris mendongak sepertinya merasakan kehadiranku, dia segera merapikan koran yang berserakan dengan cepat. Aneh sekali.

"Tidak pergi kuliah, Kris?"

Kris berdehem sebentar dan menatapku dengan senyum.

"Ah, jam malam, dik." Ucapnya dengan nada... gugup?

"Naiklah ganti baju, akan ku siapkan makan siang. Paman Sam datang membawa sup kalkun, paman baru pulang dari LA ngomong-ngomong."

Aku hanya diam dan menatap Kris. Kris terlihat aneh. Se-aneh melihat matahari bersinar terik di saat salju sedang turun. Dan itu tidak akan pernah terjadi walaupun di negara sekelas inggris ini. Nope.

"Kau aneh." Benar, Kris tersenyum gugup dan tertawa aneh.

"Hanya saja, ah tidak. Cepatlah ganti baju."

Aku hanya mengangguk menurut dan segera menuju kamar. Ku harap Kris tidak menyembunyikan apa-apa padaku. Ku harap Kris kembali seperti dulu, seperti saat ayah dan ibu masih berdiri disini bersamaku. Ku harap seperti itu.

Tapi harapan memang tak bisa dipaksakan untuk selalu sesuai kenyataan.

Itu harus ku tanamkan dalam-dalam. Pada kenyataannya, Tuhan belum selesai mengujiku dan Kris. saat aku pulang dari sekolah, rumah dalam keadaan kosong. Mungkin Kris masih berada di kampus.

Aku berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Menegaknya setengah sebelum mengisinya kembali dan mengembalikan botol itu ke dalam kulkas. Liburan musim dingin tinggal beberapa minggu lagi. Itu artinya senin akan diadakan ujian kecil kecilan untuk kami para murid.

Aku mengambil buku dari tas dan mulai membaca. Setidaknya membunuh waktu dengan hal yang berguna selain menyalakan televisi dan membuat tagihan listrik membengkak.

Tak berapa lama, ku dengar pintu terbuka dan terlihat Kris dari balik tembok ruang tamu. Dia tampak begitu lelah dengan kemeja putihnya yang basah oleh salju. Kris mendudukkan diri di sampingku sambil meminum air yang telah di ambil dari kulkas sebelumnya.

"Dari mana?"

Kris tidak segera menjawab. Dia mengusap wajahnya lelah dan menghela nafas berat. Seolah seluruh beban di dunia sedang berada di pundaknya. Namun tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan demikian. Kalian tentu tidak lupa bagaimana keadaan keluarga kami.

"Kampus." ucapnya singkat kemudian membuka bungkusan dari dalam tasnya.

Dari dalam kotak terdapat telur mata sapi dan roti tawar, mengingatkanku saat sarapan bersama ayah tempo lalu.

"Aku hanya bisa membawa ini, ayo makan." Ucap Kris. selanjutnya kami tenggelam dalam hidangan masing-masing tanpa perbincangan. Biasanya tidak begini. Kami akan bercerita tentang keseharian kami di sekolah kemudian berlanjut hingga di depan televisi selama berjam-jam.

"Ada apa, Kris?" aku tidak bisa menahan pertanyaanku.

Semua terasa aneh dan mencurigakan bagiku. Kris tidak pernah terlihat benar-benar berangkat ke kampus menurutku. Kris tidak pernah mengambil jam malam. Mungkin kehidupan kami memang mengubah pola hidup Kris, tapi aku sangat tahu Kris. dia tidak menyukai berada di luar rumah ketika gelap. Tidak sekalipun.

"Tidak ada. Berhentilah bicara dan makan. Kau bisa menaruhnya di wastafel jika sudah selesai." Ucap Kris cepat dan meninggalkan meja makan yang kembali hening. Ku rasa Kris butuh waktu lebih. Aku yakin Kris pasti bercerita padaku nantinya. Cepat atu lambat.

.

.

Satu hal yang menyebalkan dari Kris saat ini adalah sifat bertanggung jawabnya.

Aku tidak akan heran kalau esok Kris akan menikah dengan kucing liar hanya karena kucing itu hamil.

Aku ingin Kris berhenti mengurusiku dan mulai memikirkan kebahagiaannya juga.

Namun meskipun aku mengatakan itu, sejujurnya,

...aku takut.

.

.

Mungkin Kris tidak akan menceritakan hal-hal yang menurutku mengganjal pada adiknya. Hingga berjalan sampai dua bulan, Kris tidak bicara dan menyinggung tentang sesuatu itu. Tapi aku bisa merasakannya. Kris menyembunyikan sesuatu dan tidak ingin aku mengetahuinya.

Hari ini aku pulang lebih awal. Ujian sebelum liburan ternyata berjalan cepat hingga sekolah harus bubar lebih dulu dari jam yang diperkirakan. Menahan murid di sekolah dalam suasana menjelang natal tentu bukan kegiatan yang baik.

Aku melangkahkan kakiku pelan di sepanjang monstreal street. Kakiku berhenti melangkah di depan toko yang menjual perlengkapan natal. Pohon cemara sintesis terpajang di etalase depan. Dulu, saat menjelang natal, ayah dan Kris akan berkendara dengan jeep hijau tua ayah ke sini. Ke jalan monstreal untuk membeli beberapa perlengkapan natal dan kado untuk masing-masing dari kami.

Mengenai pohon natal, ibu tidak suka dengan cemara sintesis begitupun ayah. Jadi Kris dan ayah akan mampir ke hutan cemara tak jauh dari monstreal street untuk menebang satu. Meskipun Kris akan mengeluhkan pinggangnya yang sakit, tapi dia tetap tersenyum saat melakukannya. Kris menyukai natal.

Bayangan wajahku dengan topi salju berwarna kelabu terpantul dari kaca, beberapa salju tersangku di poni depanku yang tak tertutupi topi. Apa tahun ini kami tidak merayakan natal? Apa Kris akan membawa cemara asli atau membeli cemara sintesis? Tapi toh, meskipun itu sintesis tidak akan ada yang protes. Ayah dan ibu sudah tidak peduli, kan? Mereka telah tiada.

Aku mengernyit bingung saat dari dalam toko itu terlihat sosok yang ku kenal sebagai Kris. Sedang apa Kris disini? Aku mengangkat tangan guna melihat angka berapa yang ditunjuk jarum jam. Dan ini masih terlalu pagi untuk memulai perkuliahan. Tentu, Kris tidak datang untuk kuliah.

Jadi ku putuskan untuk mencari tahu. Tampaknya Kris tidak akan memberitahuku tentang masalahnya dalam waktu dekat. Tentu tidak akan menjadi masalah besar jika aku mencari tahu, tapi akan menjadi masalah jika Kris tahu kalau aku mengikutinya. Tapi siapa yang peduli, aku hanya penasaran.

Aku menaikkan syal keabuanku sampai hidung, kemudian masuk ke dalam toko. Suasana hangat menyergapku begitu tubuhku masuk ke dalam. Hembusan angin desember tidak terasa disini. Tentu saja, penghangat ruangan disini dipasang beberapa. Aku bahkan bisa melihat alat-alat itu terpasang di pojok-atas dinding.

Aku mengambil tempat di pinggir depan, Kris berada di pojok jika melihat dari sudut ini. Tanganku pura-pura melihat lonceng emas yang ada di rak depan. Berharap semoga Kris tidak mengenaliku.

Kris terlihat sibuk dengan kaus merah panjangnya. Dia berdiri di belakang meja kasir dan tersenyum ramah pada ibu paruh baya dengan sekeranjang lonceng berwarna merah. Kira-kira apa yang akan ibu itu lakukan pada lonceng-lonceng itu? Apa pohon natalnya hanya akan di penuhi oleh lonceng?

Aku terbatuk-batuk entah karena apa. Padahal aku yakin tidak mengalami flu musim dingin, oh, aku sering batuk atau sesak nafas sejak setahun lalu. Dan ini cukup mengganggu, mungkin saja aku mengalami sindrom batuk tahunan? Hahaha, itu terdengar aneh sekalipun aku sendiri yang mengucapkannya.

Jam tangan yang telah ku-set berbunyi pada pukul sepuluh pagi. Aku memang sengaja menyetelnya pada pukul-pukul tertentu. Pada jam ini seharusnya aku tengah istirahat dari jam belajar di sekolah, namun juga bermakna, pada jam ini Kris sudah berangkat kuliah. Aku memang kurang kerjaan dengan menghafal jadwal kuliah Kris.

Tidak terlihat tanda-tanda Kris akan beranjak untuk pergi kuliah. Kenapa Kris tidak berangkat? Ah, mungkin memang Kris mengambil jam malam. Ya, aku harus berpikiran positif. Apalagi pada Kris. Ku putuskan untuk menunggu disini hingga Kris berangkat kuliah. Meskipun aku berusaha untuk berpikiran positif, hal-hal tertentu begitu menggangguku.

Saat jarum jam toko ini menunjuk angka dua, Kris terlihat bangkit dari meja kasir dan memasuki ruangan dengan tulisan 'Hanya karyawan' tak jauh dari meja kasir. Kris keluar beberapa menit kemudian dengan mantel hitam membalut tubuhnya. Itu mantel pemberian ayah natal tahun lalu.

Aku mengikuti Kris, sekedar memastikan apa Kris benar-benar pergi ke universitas atau tidak. Tapi yang ku lihat selanjutnya Kris malah memasuki sebuah restaurant keluarga beberapa blok dari toko natal. Aku hanya mematung di depan pintu. Hingga saat aku masuk ke dalam, Kris sudah tampak dengan kemeja putih dengan rompi hitam dan celana bahan senada dengan warna rompi.

Itu jelas sekali seragam restaurant ini. Aku tahu benar. Karena beberapa tahun yang lalu, di satu hari dalam dua atau tiga bulan, keluarga kami akan datang ke restaurant ini untuk menikmati hasil kerja keras ayah dan ibu.

Apa yang sedang kau lakukan, Kris? Apa Kris tidak berangkat kuliah?

Pertanyaan sejenis itu berputar di kepala. Seolah-olah akan mencekikku saking banyaknya. Kris-pun berlaku seperti pelayan dengan menghampiri setiap meja dan mencatat pesanan.

Aku melangkah pergi dari restaurant dengan kebingungan yang menumpuk di kepala. Satu tujuanku untuk memastikan semua ini. Benar, kampus Kris

.

.

Aku masih ingat ketika aku dan Kris sering bertengkar saat kecil.

Sekarang, jangankan bertengkar. Menyinggung perasaannya sedikit saja aku tak sanggup.

.

.

Aku memasuki universitas Kris dengan segala keberanianku. Memasuki kawasan baru yang belum pernah aku jajaki memang membutuhkan keberanian lebih. Setelah bertanya sana-sini tentang ruang dosen merangkap ruang informasi, aku akhirnya sampai di sana.

Setelah mengetuk dan terdengar suara 'Masuk' dari dalam, aku membuka pintu mahoni berwarna coklat mengkilap di hadapanku. Begitu aku masuk, yang kutangkap adalah suasana musim panas yang hangat. Ruangan ini dicat warna krem lembut dengan karpet bulu coklat yang membentang di tengah. Terdapat satu meja besar dengan beberapa kursi yang berjejer di belakangnya. Lampu besar menggantung di dinding yang terlihat kokoh. Guci yang terlihat mahal terlihat di sudut-sudut ruangan. Juga lukisan aliran naturalisme menggantung di beberapa tempat. Satu kata yang ku pikirkan adalah, 'Waw!'

Kampus ini benar-benar keren. Mungkin aku akan melanjutkan ke sini setelah lulus dari menengah atas. Itu jika keuangan kami masih cukup membiayai ku sampai ke jenjang ini. Lulus dari sekolah menengah atas saja sudah sangat beruntung.

Aku berjalan menuju seorang wanita yang sepertinya berumur akhir dua puluh, mungkin tiga puluh satu, entahlah. Dia terlihat ramah dengan kaca mata frame cokelat yang membingkai mata coklat-nya. Hanya wanita ini yang berada di ruangan, otomatis aku berjalan ke sana.

'Namyeon Oh'

Aku membaca nama yang tertera di meja tempat wanita itu. Dari nama-nya, wanita ini sepertinya bukan dari Inggris, dari perawakannya juga seperti dari ras asia.

"Selamat siang." Ucapku sopan.

Wanita itu tersenyum membalasku dan mempersilahkanku duduk.

"Calon mahasiswa? Pendaftaran baru dibuka awal maret." Ucapnya begitu aku duduk menghadapnya. Aku buru-buru menggeleng.

"Oh, maaf." Ucapnya. Aku mengangguk dan bertanya.

"Boleh saya bertanya tentang seorang mahasiswa, Maam." Wanita itu tersenyum lagi dan mengangguk, benar-benar tipe asia.

"Tolong jangan memanggilku Maam, aku merasa tua jika kau menyebutku begitu." Aku mengangguk dan berpikir. Apa aku harus memanggilnya kakak? seolah mengerti, wanita itu berucap, "Up to you," ujarnya dengan gaya kekanakan, orang ini benar-benar membuatku nyaman. Tanpa sadar aku tersenyum.

"Kau boleh tidak memanggilku dengan Namyeon, nama itu memang tidak cocok dengan lidah barat." Guraunya.

"Tentu, Miss Oh." Putusku. Dia tersenyum lagi dan bertanya.

"Baiklah emm... maaf?"

Dengan cepat aku menyahut. "Sehun."

Beliau mengangguk. Tangannya membenarkan letak kacamata di pangkal hidung. "Jadi Sehun, siapa yang kau tanyakan?"

"Tentang mahasiswa bernama Kris Advine, Miss." Ucapku pelan. Beliau terlihat mengernyit seolah mengenal Kris.

"Kau siapanya Kris Advine?" tanyanya. Jeda beberapa lama hingga aku menjawab pertanyaannya.

"Saya adiknya."

Miss Oh memandangku lekat dengan mata cokelatnya. Seperti sedang mencocokkan sesuatu. Mirip saat kau memilih apel di supermarket, ya seperti itu.

"Ah, Sehun Advine?" aku mengangguk. "Pantas kau mirip dengannya."

"Sebenarnya, saya, maksud saya-" aku bingung bagaimana cara untuk mengungkapkan pertanyaan yang selama ini tanpa jawaban. "Maaf, saya hanya bingung untuk bertanya." Ucapku ragu.

Beliau tampak mengerti dan bangkit untuk mengambil air dari dispenser di sudut ruangan dan kembali dengan segelas air putih untukku. Aku meminumnya hingga sisa setengah.

"Kau bisa bertanya semuanya padaku, Kris adalah mahasiswa dibawah bimbinganku." Aku mengerti kenapa dulu Kris begitu semangat kuliah, tentu aku-pun akan semangat jika memiliki pembimbing seperti Miss Oh.

"Pertama, apa Kris..." jeda sejenak. "Apa Kris masih kuliah disini?" lanjutku dengan suara yang lebih pelan.

"Sudah ku duga Kris tidak akan memberitahumu. Anak itu memang keras kepala." Gumamnya cukup keras.

"Maaf?"

"Kris sudah tidak kuliah hampir beberapa bulan ini."

Semua rasa basah air yang kutelan tadi benar-benar tandas. Tenggorokanku terasa kering. Sebuah kenyataan menghantamku lagi. Apa lagi Tuhan? Apa lagi yang akan Kau ujikan padaku? Apa aku harus menanggung berat gunung everest agar Kau puas?

"Maaf?" ucapku meminta penjelasan.

"Tapi Kris beberapa kali datang untuk mendengarkan lewat jendela, dia sebenarnya bisa mengambil jalur beasiswa tapi dia terlalu keras kepala untuk diarahkan." Ucap Miss Oh tampak putus asa.

Apa Kris berhenti kuliah untuk membiayai kami? Tentu saja. Kris pernah suatu kali mengatakan padaku kalau kami tak bisa terus bergantung pada paman Sam. Tapi apa yang dimaksud Kris juga termasuk berhenti kuliah? Aku tahu bagaimana Kris berjuang untuk dapat kuliah. Saat ibu sakit, Kris bahkan mengambil kerja paruh waktu untuk membiayai kuliah sendiri agar ayah tidak terlalu terbebani.

"Tentang keluargamu, aku turut berduka."

Aku hanya diam. Terlalu sibuk dengan pikiranku. Kris, apa yang kau lakukan? Kenapa kau buat perjuangan ayah dan ibu sia-sia? Kris memang bukan orang yang egois, tapi kurasa Kris berhak egois untuk pendidikannya.

"Kau tahu, kau bisa bercerita padaku. Kris sering kali melakukan hal yang sama."

Aku sudah tidak kuat menahannya sendiri, tidak ada tempat untukku berbagi. Aku terlalu kasihan pada Kris jika aku menceritakan perasaan menyedihkan ini.

"Saya hanya merasa hidup tidak adil pada saya." Ucapku memulai cerita. "Seperti fakta tentang kematian ibu saya yang menguras milik kami, juga ayah yang pengecut dengan meninggalkan anak-anaknya sendirian melewati hidup. Mereka adalah sisi egois.

Berbeda dengan saya dan Kris yang tidak tahu lalu dipaksa untuk menelan semuanya mentah-mentah. Kami harus merangkak untuk mengumpulkan kebahagiaan kami sendiri. Sedangkan ayah dan ibu sudah tidak perlu lagi berurusan dengan keuangan yang mencekik kami dulu." Aku berhenti sejenak dan menghela nafas.

"Saya hanya ingin kami-saya dan Kris- berakhir bahagia, ah tidak, maksud saya berjalan bahagia. Bangun tidur tanpa hal yang perlu dipikir keras, tidak seperti ini. Saat membuka mata hal yang terpikir adalah 'Bagaimana aku menyambung hidup?' seperti itu. Selama beberapa tahun saya membenci keluarga saya. Tapi semua kebencian itu tidak akan tersalurkan karena mereka bahkan tak lagi bersama saya. Tidak ada gunanya.

-Saya memulai hidup saya kembali, yang saya inginkan bukan lagi tas baru dan SMA favorit, namun kebahagiaan Kris. dari dulu saya memang menyayangi Kris, dan semakin bertambah karena fakta bahwa saya hanya hidup dengan Kris didunia ini. Lalu saat saya mulai bangkit, takdir seolah membuat saya kembali jatuh. Kris keluar dari kuliah, dari hal yang begitu diimpikan olehnya dan itu karena saya dan hal tentang sekolah sialan saya. Saya hanya merasa semuanya selalu pahit ketika saya yang mengecapnya. Tuhan tidak menyayangi keluarga saya." Ucapku mengakhir cerita.

Aku terbatuk sebentar dan menandaskan air di gelas. Miss Oh menawari air lagi, aku menolak, rasanya ada yang tidak beres dengan paru-paruku. Tapi bukankah lebih baik untuk positive thinking?

Miss Oh hanya memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti. Perlahan senyum terbit dari bibirnya. Miss Oh mengusap kepalaku, hal yang sering ibu lakukan saat beliau masih di dunia.

"Kau anak yang kuat, nak." Itu kata pertama yang beliau ucapkan. "Semua hal berjalan memang mengikuti takdir, dan itu tidak bisa di pungkiri. Kematian ibu-mu bukan salah siapa-siapa, karena jika tidak begitu mungkin ibu-mu akan lebih merasa menderita. Itu artinya Tuhan sayang padanya. Ayahmu pergi juga bukan salahnya, membenci beliau bukan perbuatan yang benar, beliau nekat karena beliau tidak punya sandaran."

Miss Oh berhenti sejenak untuk menggenggam tanganku.

"Seharusnya kau dan Kris bertanya pada ayahmu tentang perasaan dan penderitaan yang dia alami. Yang menderita karena kematian ibumu bukan Cuma kau dan kakakmu, tapi juga ayahmu yang bahkan lebih lama hidup bersama ibumu. dan mengenai kakakmu, menurutku, keputusannya juga bukan hal yang salah meskipun sangat disayangkan."

Bagaimana mungkin keputusan Kris tidak salah?

"Dia, Kris maksudku, pernah bercerita tentang adiknya. Dia bilang, adiknya memiliki mata biru jernih yang menenangkan. Katanya, aku akan menyukai adiknya dalam sekali lihat. Dan kakakmu tidak salah. Sebelum kematian ayah dan ibumu, dia pernah berkata, bahwa dia menyayangi keluarganya terutama si adik. Kau mengerti maksudku?" aku mengangguk.

"kakakmu bahkan rela melakukan apapun demi dirimu, Sehun."

.

.

"Tuhan tidak pernah memberikan ujian yang hambanya tak sanggup melewati."

Aku percaya hal itu.

Aku hanya sebuah ujian untuk Kris.

.

.

Sepulang dari universitas Kris, aku hanya mengurung diri di kamar hingga petang menjelang. Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh, sudah cukup malam dan Kris tidak juga pulang. Seberapa banyak pekerjaan yang Kris ambil?

Saat terdengar pintu yang terbuka aku langsung berlari keluar. Dan itu memang Kris. dia terlihat melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal. Tangannya membawa bungkusan yang sepertinya berisi makanan.

"Kris, aku ingin-..."

"Makan dulu." Ucapnya dengan senyum.

Aku mengangguk dan menuruti perintah Kris. Selama beberapa saat kami makan dalam diam, namun tak berlangsung lama karena Kris bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan kecil seperti biasa. Kris berubah dengan sangat cepat.

Setelah selesai makan malam, aku ingin segera bertanya. Tapi Kris menyuruhku menunggu di depan televisi sedangkan Kris mencuci piring kami. Aku tak banyak protes dan menunggu sambil mempersiapkan pertanyaan yang akan ku tanyakan.

Kris duduk di sampingku dan menyerahkan segelas cokelat hangat. Kris tampak tenang, aku sedikit ragu untuk bertanya dan berakhir merusak ketenangannya.

"Senang berjalan-jalan seharian ini, dik?"tanya Kris tiba-tiba. Aku sontak terkejut, bagaimana Kris tahu? Atau mungkin...

"Aku tak menyangka kau pergi ke restaurant milik uncle Tamo, ku kira kau tidak pernah menyukai puding-nya."

Aku mengerti, ucapan Kris memang berniat bercanda. Tapi aku seolah tertangkap basah karena mencuri properti hotel mahal bintang lima!

"Kris, maaf-..."

"Tidak, tidak." Kris dengan cepat menyela. "Kau tidak perlu minta maaf, dik."

Setelah ucapan itu, hening melingkupi ruangan. Kris masih terlihat tenang, berbeda denganku yang merasa bersalah entah karena apa.

"Aku malu untuk mengatakannya padamu." Ucap Kris akhirnya. "Aku terlalu lama berpikir hingga rasanya malu untuk mengatakan kalau aku berhenti kuliah. Padahal aku yang dulu selalu menasehatimu tentang pendidikan, tapi malah aku yang memberikan contoh tak baik. Aku memang kakak yang gagal." Lanjut Kris dengan tawa kecil yang terkesan pedih.

"Tapi kita tidak akan bisa menyelesaikan ini semua tanpa pengorbanan, dik."

Tapi bukankah ada penyelesaian lain? Ada kemungkinan!

"Kau juga tidak perlu berhenti kuliah, Miss Oh bilang kalau kau bisa mengambil jalur beasiswa. Kita bisa mengusahakan uang bersama." Kris menatapku sejenak sebelum kembali menundukk menatap kakinya.

"Kau sudah bertemu dengan Oh umma." Kris memanggil Miss Oh apa tadi?

"Aku sudah memutuskan, dik. Kau pasti mendengar dari Oh umma jika aku-pun tidak mau. Tidak akan ada yang berubah dari keputusanku."

Aku masih bersikeras. Tidak seperti ini akhirnya, Kris tidak bisa seperti ini.

"Pendidikanmu masih tersisa dua tahun, kita bisa minta bantuan paman Sam. Dan-..."

"Kau tidak malu pada paman? Kita telah merepotkan beliau sejak ibu meninggal, dik. Berpikirlah tentang itu." Kris melanjutkan ucapannya karena aku yang terdiam. "Ini pengorbananku."

Aku mengangkat muka dan menatap Kris tepat pada matanya. "Kalau begitu aku akan berhenti sekolah juga."

Ekspresi Kris terlihat kalau dia tidak setuju. "Tidak boleh."

"Tapi Kris, aku bisa membantumu bekerja, tidak adil bagimu jika aku hanya diam dan menikmati hasil usahamu."

"Pekerjaan apa yang bisa kau dapatkan tanpa ijazah SMA? Kau mau seperti ayah?"

Aku tidak mau.

Tidak sama sekali.

"Lagipula, ini tugasku sebagai seorang kakak. kau harus tetap berangkat sekolah apapun keadaan keuangan kita. Biarkan aku yang mengurus semuanya, dik."

Tbc.

Sebenarnya saya ngetik ini sambil hati saya trecep-trecep(?)

Karena saya nempatin diri di keadaan Sehun terus kaya ngebatin, duh sakit banget kalo keadaan saya yang kaya gini.

For the first time in forever (nyanyi bareng anna) saya bikin ff brothership. Rasanya kangen momen2 KrisHun yang dulu. Yang kalo jalan bareng dari samping mirip banget huhuhu~ comeback to me, please~ (duet bareng Yixing)

Rasa kangenku sama brothership-annya KrisHun menetaskan sebuah FF yang bikin aku pundung sendiri. Jarang jarang ada abang yang kek Kris gini (Di ff ini maksudnya) yang be like "Here, take my life, take my opportunity, brother. Let me handle this, you just need to happy for me and I will become stronger and stronger again." Ke Sehun.

Oh, FYI nih, mereka berdua itu orang barat (saya jerit2 sendiri ngebayangin how sexy they'are with blonde hair and blue eyes, aaaa.)

Dan saya begitu menyukai saat Kris manggil Sehun 'dik'. Rasanya tuh adem(?) (apa Cuma selera saya yang aneh disini)

So, hey guys, I need ur opinion, can U write some review for this fic?

Thank u.

.