BTS - Big Hit Entertainment

Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita

.


.

.

Masih membawa beberapa kantong plastik berisi kotak kue beras, Jungkook mengedarkan pandangan ke lorong jajanan di area kedai timur. Sendalnya diseret pelan meniti jalan sambil sesekali menatap kalau-kalau ada sesosok pria berpenampilan aneh diantara kerumunan pengunjung. Bukan bermaksud mengacuhkan, tapi tingkah ayahnya yang sejak sesiangan bersikeras tak mau ditinggal membuat Jungkook kesal. Pria itu terserang flu berat dan memakai masker bukan alasan aman untuk membiarkannya berkeliaran di festival yang begitu riuh. Siapa yang sanggup menjamin ayahnya akan terjaga sampai acara selesai, mengingat untuk berdiri tegak saja Hoseok tak punya tenaga.

Untuk ukuran pelajar berusia dua belas tahun, Jungkook termasuk yang sangat bertanggung jawab. Sejak pagi dia sudah pontang-panting walau sedang libur musim panas. Mulai dari menelepon salah satu rekan ayahnya di kantor dan memberitahu pria itu bahwa yang bersangkutan berhalangan datang, bebersih ruangan, memasak bubur, menyeduh teh, mencuci pakaian, sampai membeli obat dengan mengayuh sepeda selama dua puluh menit ke apotek di jalan besar. Tadinya Jungkook pun hendak menolak ajakan Jimin dan Taehyung yang ingin ditemani menonton kembang api, tapi kedua anak lelaki itu terus membujuk sembari berkata bahwa mereka tak akan memaksa Jungkook tinggal berlama-lama.

.


'Satu jam pun boleh lho? Kau bisa pulang setelah kita makan sesuatu.'

'Tapi...'

'Ayahmu tak akan mati walau ditinggal sebentar.'

'Shush! Tae!'

'Tidak apa-apa kok, Chim.'


.

Pada akhirnya Hoseok yang sengaja menguping pembicaraannya langsung melompat turun dari tempat tidur, berusaha meraba jalan, kemudian sigap mendekati Jungkook yang tersentak kaget sekaligus berang sewaktu melihat kompres di kening Hoseok jatuh dan meninggalkan bekas basah di petak-petak lantai. Tubuhnya yang jauh lebih kecil tak mengurungkan usaha Jungkook mendorong ayahnya dengan paksa agar kembali ke tempat tidur, menyisakan rengut serta alis berkerut-kerut dari Hoseok yang segera bertitah, "Papa melarang Jungkook keluar rumah!"

Putranya lebih memilih fokus menyeka lantai dan membereskan mangkuk kosong di samping lampu duduk. Sama sekali enggan menoleh meski Hoseok terus saja menuding, "Papa serius! Papa bakal nekat membuntuti kalau Jungkook betulan pergi!"

"Jangan bertingkah," sahut Jungkook kalem, ujung tongkal pelnya digerakkan pelan, menolak memakai panggilan yang menurutnya terlalu modern untuk perawakan Hoseok, "Ayah sedang sakit dan aku tak mau mengambil resiko dimarahi paman Yoongi kalau ayah belum sanggup bekerja atau naik kereta besok lusa. Perlu kupanggil dia kemari biar ayah dibentak juga?"

Hoseok tidak menggeleng atau mengangguk, sudut bibirnya bergerak turun.

"Begini," anak laki-laki itu berbalik sambil setengah mengrenyit, "Ayah bukan anak kecil kan? Berhenti merengek seperti bayi. Toh aku cuma datang sebentar lalu langsung pulang selesai bertemu Tae dan Chim. Dari sini ke lapangan tak sampai tiga puluh menit jalan kaki. Aku pasti sudah kembali sebelum jam sembilan."

Hoseok makin merengut.

"Aku tetap akan ke sana," sergah Jungkook datar, diletakkannya segelas air dan obat di sisi lampu, "Lebih baik ayah tidur supaya pusingnya hilang. Aku tidak menerima bantahan."

"Jungkook jahat sama papa!" gerutu pria itu sembari bergelung memeluk bantal, kedua kaki panjangnya ditekuk membentuk segitiga, "Apa teman-teman Jungkook lebih penting daripada papa?"

Berlagak tuli, Jungkook menyeret tongkat pelnya dan keluar sambil mendengus.

.


.

Dan mungkin bila paman Namjoon yang berpapasan dengannya di tepi jembatan tidak iseng menyapa sekaligus bertanya, Jungkook tak akan sadar kalau ayahnya yang keras kepala itu benar-benar menyusul pergi. Pandangan Namjoon padanya tampak janggal sementara paman Seokjin yang sedang membawa dua cumi bakar di sebelah pria itu segera menimpali, 'Kami melihatnya di gerbang masuk. Sudah kupanggil, tapi sepertinya tidak terdengar.'

'Malah kukira dia sedang bersamamu lho.'

Maka sembari berterima kasih dan minta maaf pada Taehyung dan Jimin karena pulang jauh lebih awal dari perjanjian, Jungkook bergegas menyusuri hampir setiap belokan. Alisnya ikut menukik, dilema antara merutuk dan khawatir. Masalah apakah dia akan kuat memapah ayahnya jika sampai pingsan di tengah jalan bukan jadi prioritas, yang jadi persoalan adalah kalau flu Hoseok bertambah parah hingga harus istirahat lebih lama. Yoongi pasti akan datang ke rumah dan Jungkook enggan kalau sampai melibatkan kakak ayahnya yang bengis itu dalam persoalan sepele. Mungkin lain kali buburnya perlu diberi obat tidur. Peduli setan dibilang durhaka.

Menemukan Hoseok di tengah hiruk pikuk disertai bising, mengingat tinggi badan Jungkook di bawah rata-rata, tidak lantas membuatnya menyerahkan tugas itu pada kakak-kakak panitia bagian informasi. Biarpun dinamakan festival musim panas yang selalu dipenuhi orang, area dan pembagian stand yang tidak berubah selama tiga tahun terakhir masih dihapalnya di luar kepala. Satu, Hoseok pasti memakai kaus kuning mencolok bercorak bunga sepatu yang disediakan Jungkook di keranjang ganti. Mustahil ayahnya mau repot memilih baju lain dalam keadaan tergesa-gesa. Dua, walau niat awalnya berniat membuntuti kemana dirinya pergi, Hoseok tak akan mampu berjalan terlalu jauh dari wilayah gerbang masuk, atau paling tidak, menunggu di sekitar tempat yang akan dilewati Jungkook ketika pulang nanti. Lain cerita bila pria itu sehat-sehat saja.

Satu pesan dari Jimin yang menanyakan situasi memaksa Jungkook untuk sejenak berhenti dan memeriksa layar ponsel, tepat ketika ekor matanya menangkap sosok yang amat familiar duduk membelakangi di sebuah bangku panjang. Hanya dari gerak bahu yang terantuk-antuk disertai batuk pelan yang terbungkam sesuatu, Jungkook tahu dia tak salah duga.

Dibalasnya singkat pesan tersebut lalu menutup ponsel sembari setengah berdecak. Sekesal apapun dia terhadap Hoseok, ayahnya tetap adalah ayahnya dan jika ingin memutar keadaan, apa yang diinginkan pria itu masih terbilang sederhana. Meskipun samar-samar, Jungkook tak menampik bahwa dia juga menuntut banyak hal kala terbaring sakit. Entah berapa kali Hoseok melarikan diri dari kantor karena dihubungi pengasuh di tempat penitipan atau mendengar rengek manja Jungkook di telepon. Memori masa kecilnya memang bisa disebut merepotkan namun Jungkook meyakinkan diri bahwa dia tak sepenuhnya bersalah, pun yakin jika dia memiliki hak untuk menolak karena sudah mengajukan alasan serta berjanji akan pulang secepatnya.

Tapi yah, Jungkook kembali berkedik, bukan saatnya berdebat tentang siapa terdakwa dan siapa korbannya. Pipinya mulai gatal akibat nyamuk dan punggung ayahnya yang tampak kesepian itu cukup menarik simpati. Diteruskannya berjalan menghampiri bangku dan tanpa permisi langsung duduk di samping pria itu.

"Konon katanya bangku di bawah pohon besar biasanya berhantu," bisik lirihnya memaksa Hoseok berjengit, beruntung suasana ramai di sekeliling mengaburkan mimik mukanya yang terkejut, "Sebaiknya kita pulang."

"Tapi, tapi, lho? Lho?" kedua telunjuk Hoseok menuding ke kanan kiri bergantian, maskernya diturunkan hingga dagu, "Bukannya kamu bilang mau bermain sampai jam sembilan?"

Jungkook menggaruk pipi gemuknya sambil melengos, kalau sudah memakai sapaan seperti itu berarti ayahnya sedang tidak berniat melucu, "Lalu kenapa kalau aku mau pulang sekarang? Ayah masih mau duduk di sini?"

Tak segera menjawab, Hoseok beralih memainkan jempolnya seraya memajukan bibir sebal, "Tahu darimana?"

"Paman Namjoon," jawab Jungkook pendek, sudah bosan menerima pujian tentang sikapnya yang terkesan dewasa, "Aku tidak akan bertanya kenapa ayah sungguh-sungguh menyusul kemari, atau kenapa ayah tidak percaya bahwa aku akan kembali tepat waktu. Yang ingin kupastikan cuma satu, ayah sudah minum obat atau belum?"

"Huh," pria itu melipat tangan lalu membuang muka, "Biar saja sakit terus, kan anaknya tidak peduli."

Menggeleng mencoba sabar, Jungkook mengetukkan ujung sendal kirinya ke tanahbeberapa kali sembari menumpu siku, "Kalau aku tidak peduli, ayah sudah kutinggal untuk bersenang-senang. Aku kan cuma bertemu teman, seperti kalau ayah meneleponku dari kantor dan bilang akan pulang terlambat karena diajak minum oleh atasan. Kadang malah minta dijemput ke stasiun karena terlalu mabuk. Dan kalau aku benar-benar tidak peduli, sudah kubiarkan saja ayah tergeletak di teras rumah kemarin siang. Memapah orang dewasa itu pekerjaan sulit lho? Tae sampai nyaris jatuh karena ikut membantu. Mana harus membelikan obat, memasak, bersih-bersih pula," seloroh Jungkook berentet tanpa ekspresi, sepolos intonasinya yang nyaris tanpa nada, "Seandainya Chim tidak merengek, aku juga tak berminat pergi kemana-mana. Terbayang bagaimana akibatnya kalau flu ayah makin parah gara-gara masuk angin? Meskipun ini musim panas, orang bisa saja jatuh sakit karena ceroboh."

Melirik canggung, mengingat Jungkook jarang mengeluarkan begitu banyak kalimat, Hoseok balas menurunkan lengan sambil menghela napas panjang. Rambutnya yang acak-acakan menutupi sebagian wajah sementara hidungnya berangsur memerah, "Papa tidak melarang Jungkook bertemu teman-teman. Papa hanya tidak senang rumahnya sepi. Papa kan cuma punya Jungkook."

"Aku tahu," potong anak laki-laki itu sambil menggerutu, dia benci suasana melankolis, "Aku minta maaf karena sudah bersikap kurang sopan pada ayah. Mungkin lain kali mereka akan kuajak mampir sebagai ganti kalau-kalau aku tidak bisa pergi, walau aku berharap ayah sehat-sehat saja supaya bisa datang melihat kembang api seperti sebelumnya."

"Osh!" sergah Hoseok seraya mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi, bola matanya berbinar maksimal, "Papa akan berusaha supaya tidak terkena flu tahun depan!"

"Aku tidak banyak berharap sih," Jungkook bergumam dingin, "Bisa kita pulang sekarang? Di sini banyak nyamuk."

Bergegas menurut, Hoseok berdiri melewati bangku dan spontan terhuyung akibat bergerak terlalu tiba-tiba. Lengan Jungkook menopang bahunya selagi pria itu terkekeh menanggapi tatapan tajam bercampur sinis. Dilingkarinya badan kecil Jungkook menggunakan sebelah lengan lalu tertawa lebar, "Kue berasnya buat papa?"

"Tentu saja tidak, mau kuberikan pada Tae."

"Papa sayang Jungkook lho."

Alih-alih menjawab, anak laki-laki itu hanya mendengus pelan dan menyodorkan salah satu plastik ke tangan Hoseok. Bibirnya menolak untuk tersenyum.

"Asal tidak minta disuapi."

"Aish, pelit."

.


.

.