"TWILIGHT"

Remake dari sebuah novel berjudul TWILIGHT oleh Stephenie Meyer.

Yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Lili Devita Sari

Diremake dengan sedikit perubahan untuk penyesuaian cerita. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari cerita ini. Hak cipta sepenuhnya milik penulis. Dan saya hanyalah me-REMAKE dengan menggunakan penyesuaian.

IT'S SO DAMN YAOI. IF YOU HAVE HOMOPHOBIC/HATE YAOI JUST CLICK BACK AND GO AWAY. IT'S SO EASY.

HUNHAN

RATED: T

Beberapa peran (baik karakter dan nama) akan diubah untuk penyesuaian cerita. Saya mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan.

Dilarang men-copy paste FF ini meski ini hanyalah hasil remake dari sebuah Novel dan bukan cerita hasil dari diri saya sendiri. Kalian mungkin belum pernah merasakan meremake dari novel ke bentuk ketikan secara manual itu sangatlah melelahkan. Jadi mohon tolong dihargai.

Note: karena ada yang review dan bilang masih bingung, atau belum dapat feelnya HunHan. Jadi saya akan merombak ulang remake ini untuk karakternya dari chapter awal, kecuali beberapa orang untuk memudahkan pembaca. untuk setting tidak akan saya ubah. Karena mungkin ada dari kalian yang udah baca dari chapter 1 dan ada sedikit perbedaan dalam cerita. Mohon maaf apabila kurang nyaman.

..Chryssans289..

The most main Character Idetified:

1). Bella Swan /genderbender/: Xi Luhan (male)

2). Carlisle Cullen: Oh Junmyeon

3). Esme Cullen: Oh Esme

4). Edward Cullen: Oh Sehun

5). Emmet Cullen: Oh Chanyeol

6). Alice Cullen: Oh Taeyeon

7). Rosalie Hale /genderbender/: Byun Baekhyun (male)

8). Jasper Hale /genderbender/: Byun Baekhee (female)

9). Luhan's Mom: Xi YiFei

10). Jacob Black: Wu Yi Fan

Other cast is on going..

.

.

Enjoy!

.

.

III: FENOMENA

.

.

Ketika paginya aku membuka mata, ada sesuatu yang berbeda.

Ada cahaya. Masih cahaya hijau kelabu khas hari mendung di hutan, tapi bagaimanapun juga lebih cerah. Aku menyadari tak ada kabut menyelubungi jendelaku.

Aku melompat dari tempat tidur untuk melihat keluar, lalu mengerang ngeri.

Lapisan salju yang sempurna menutupi halaman, melapisi atap trukku, dan membuat jalanan jadi putih. Tapi bukan itu bagan terburuknya. Hujan yang turun kemarin telah membeku—melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola sangat indah, dan menjadikan jalan setapak licin dan berbahaya. Aku sendiri sudah cukup kerepotan agar tidak terpeleset saat jalanan kering; jadi mungkin lebih aman kalau aku tidur lagi sekarang.

Charlie sudah berangkat sebelum aku turun. Dilihat dari berbagai sisi, hidup bersama Charlie bagaikan hidup sendirian, dan aku mendapati diriku sendiri bersorak-sorai dan bukannya kesepian.

Aku sarapan semangkuk sereal dan jus jeruk. Aku merasa bersemangat untuk pergi ke sekolah, dan ini membuatku takut. Aku tahu bukan lingkungan yang menstimulasiku untuk belajar yang membuatku bersemangat, ataupun bertemu teman-teman baruku. Kalau mau jujur, semangatku pergi ke sekolah lebih karena akan bertemu Oh Sehun. Dan itu sangat, sangat bodoh.

Aku seharusnya menghindari pria itu setelah omonganku yang tidak cerdas dan memalukan kemarin. Dan aku curiga padanya; kenapa ia harus berbohong tentang matanya? Aku masih takut dengan sifat permusuhan yang kadang-kadang terpancar dalam dirinya, dan aku masih tak sanggup berbicara setiap kali melihat wajahnya yang sempurna. Aku sangat sadar kelompokku dan kelompoknya sama sekali tidak cocok. Jadi tak seharusnya aku kepingin bertemu dengannya hari ini.

Butuh kosentrasi penuh untuk bisa sampai dengan selamat ke truk. Aku nyaris kehilangan keseimbangan ketika akhirnya sampai di truk, tapi aku berhasil berpegangan ke kaca spion dan menyelamatkan diriku. jelas hari ini bakal jadi mimpi buruk.

Sambil mengemudi ke sekolah, kualihkan ketakutanku bakal terjatuh dan spekulasi yang bukan-bukan tentang Oh Sehun dengan memikirkan Kai dan Chen, dan betapa berbedanya sikap pria-pria terhadapku disini. Aku yakin aku tampak sama persis seperti ketika di Phoenix. Barangkali pria-pria ditempat asalku telah menyaksikan aku melewati tahap kedewasaan yang masih membuat canggung dan masih menatapku dengan cara itu.

Mungkin karena aku masih baru disini, tempat sesuatu yang baru jarang-jarang ada. Mungkin kecanggunganku dianggap menarik dan bukan menyedihkan, membuatku kelihatan seperti pria yang sedang kesusahan. Apa pun alasannya, sikap Kai yang seperti anak anjing dan sikap Chen yang bersaing dengannya sangat mengganggu. Aku tak yakin apakah aku tidak akan memilih diabaikan saja.

Trukku sepertinya tidak masalah dengan es yang melapisi jalanan. Meski begitu, aku mengemudi sangat pelan, tak ingin tergelincir.

Ketika turun dari truk sesampainya di sekolah,aku tahu kenapa aku nyaris tidak mendapat masalah. Aku melihat sesuatu berwarna perak, dan aku berjalan ke bagian belakang truk—dengan hati-hati berpegangan pada sisi truk untuk menjaga keseimbangan—dan memeriksa banku. Ada rantai tipis saling berkaitan membentuk intan disekelilingnya. Charlie telah bangun entah sepagi apa untuk mengikatkan rantai salju di trukku. Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Aku tak terbiasa diurus, dan perhatian Charlie yang diam-diam ini mengejutkanku.

Aku sedang berdiri di pojok belakang truk, berjuang melawan gelombang emosi mendadak yang ditimbulkan rantai salju itu, ketika mendengar suara aneh.

Itu suara lengkingan tinggi, yang segera berubah sangat keras hingga menyakitkan telinga. Aku mendongak, benar-benar terkejut.

Aku melihat beberapa hal bersamaan. Tidak ada yang bergerak lambat seperti di film-film. Sebaliknya semburan adrenalin sepertinya membuat otakku bekerja lebih cepat, dan dengan jelas aku menyerap detail beberapa hal secara serentak.

Oh Sehun berdiri empat mobil dariku, memandangiku ngeri. Wajahnya tampak mencolok diantara lautan wajah disana, semua membeku dengan ekspresi terkejut yang sama. Tapi yang lebih mengerikan adalah van biru gelap yang meluncur, bannya terkunci dan mengerem hingga berdecit, berputar-putar tak terkendali di lapangan parkir yang tertutup es. Mobil itu nyaris menabrak bagian belakang trukku, dan aku berdiri diantara keduanya. Aku bahkan tak sempat memejamkan mata.

Persis sebelum aku mendengar bunyi tabrakan keras van di badan truk, sesuatu menerjangku, keras, tapi bukan dari arah yang semula kuduga. Kepalaku membentur aspal yang tertutup es, dan aku merasakan sesuatu yang padat dan dingin menindihku ke tanah. Aku terbaring di trotoar di belakang mobil coklat yang terparkir disebelah truk. Tapi aku tak sempat memerhatikan yang lainnya, karena van itu masih meluncur mendekat. Mobil itu berputar-putar mengerikan di dekat belakang truk, masih berputar dan meluncur, nyaris menabrakku lagi.

Suara mengumpat pelan membuatku sadar ada seorang bersamaku, dan tak mungkin aku tidak mengenali suara itu. sepasang tangan putih yang panjang terulur melindungiku, dan van itu bergetar hingga berhenti hanya sejengkal dari wajahku, tangan-tangan besar itu untungnya pas dengan rongga badan van.

Lalu tangan-tangannya bergerak sangat cepat hingga tampak samar. Yang satu tiba-tiba mencengkram bagian bawah van, dan satunya menarikku, mengayun-ayunan kakiku seakan-akan aku boneka mainan, sampai kakiku menabrak ban mobil coklat itu. Suara gemuruh besi beradu memekakan telinga, dan van itu berhenti, lalu terdengar suara gelas pecah berhamburan ke jalanan—tepat ditempat kakiku berada satu detik sebelumnya.

Benar-benar hening untuk waktu yang lama sebelum terdengar jeritan. Dalam kekacauan yang tiba-tiba, aku bisa mendengar lebih dari satu orang meneriaki namaku. Tapi lebih jelas lagi daripada semua teriakan itu, aku bisa mendengar suara pelan dan waswas Oh Sehun di telingaku.

"Luhan? Kau baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa." suaraku terdengar aneh. Aku mencoba duduk dan menyadari ia memegangiku sangat erat di satu sisi tubuhnya.

"Hati-hati," ia mengingatkan ketika aku menggeser tubuhku, "Kurasa kepalamu terbentur cukup keras."

Aku menyadari rasa sakit yang amat sangat di atas telinga kiriku.

"Aduh," kataku, terkejut.

"Itulah yang kupikirkan." Anehnya suara Sehun terdengar seperti menahan tawa.

"Bagaimana bisa..." suaraku perlahan menghilang. Aku berusaha menjernihkan pikiran, mengumpulkan kekuatan. "Bagaimana kau bisa sampai di sini secepat itu?"

"Aku berdiri di sebelahmu Lu," katanya, nada suaranya kembali serius.

Aku mencoba duduk dan kali ini ia membiarkanku, melepaskan pegangannya di pinggangku dan mundur sejauh mungkin di ruang yang sempit itu. Aku memandang wajahnya yang waswas dan polos, dan sekali lagi aku merasa bingung karena kekuatan matanya yang berwarna keemasan. Apa yang kutanyakan padanya tadi?

Lalu mereka menemukan kami, kerumunan orang dengan air mata membasahi wajah mereka, saling berteriak, berteriak pada kami.

"Jangan bergerak," seseorang memerintah.

"Keluarkan Tyler dari bawah van!" terdengar teriakan lain. Banyak sekali kesibukan di sekeliling kami. Aku mencoba bangkit, tapi tangan Sehun yang dingin menahan bahuku.

"Sekarang jangan bergerak dulu."

"Tapi dingin," aku mengeluh. Aku terkejut ketika ia tertawa kecil. Ada kegetiran dalam suaranya.

"Kau ada di sebelah sana." Tiba-tiba aku ingat, dan tawa kecilnya langsung terhenti. "Ku ada di sebelah mobilmu."

Ekspresinya berubah kaku, "Tidak."

"Aku melihatmu." Sekeliling kami kacau. Aku bisa mendengar suara orang-orang dewasa yang lebih keras mendekat. Tapi aku tetap bersikeras mendebatnya; aku benar, dan ia akan mengakuinya.

"Luhan, aku sedang berdiri bersamamu, dan aku menarikmu dari sana." Ia menyalurkan kekuatan pandangannya padaku, seolah berusaha memberitahu sesuatu yang penting.

"Tidak." Rahangku mengeras.

Warna emas dimatanya berkilat-kilat, "Kumohon, Luhan."

"Kenapa?" desakku.

"Percaya padaku," ia memohon, suaranya yang lembut menggodaku.

Aku bisa mendengar suara sirine sekarang. "Maukan kau berjanji menceritakan semuanya nanti?"

"Ya," tukasnya, tiba-tiba terdengar putus asa.

"Oke," aku mengulanginya dengan nada marah.

Butuh enam petugas paramedis dan dua guru—Mr Varner dan Pelatih Clapp—untuk memindahkan van itu cukup jah dari kami sehingga tandunya bisa dibawa mendekat. Sehun dengan kasar menolak, dan aku berusaha melakukan hal yang sama, tapi Sehun si penghianat memberitahu mereka kepalaku terbentur dan mungkin mengalami gegar otak. Aku nyaris mati karena malu ketika mereka memasang penyangga di leherku. Sepertinya seluruh sekoah ada di sana, menyaksikan ketika mereka mengangkutku ke dalam ambulans. Sehun naik di depan. Menjengkelkan.

Yang membuat segalanya lebih parah, Kepala Polisi tiba sebelum mereka membawaku pergi dengan selamat.

"Luhan!" ia berteriak panik ketika menyadari aku ditandu.

"Aku baik-baik saja, Char—Dad," keluhku. "Aku tidak apa-apa."

Ia beralih ke petugas paramedis di dekatnya untuk menanyakan keadaanku. Aku berusaha tidak mendengarkan karena kepalaku sudah penuh dengan berbagai pertanyaan. Ketika mereka megangkatku menjauh dari mobil, aku melihat lekukan dalam di bemper mobil coklat itu—lekukan sangat dalam yang sesuai dengan kantur bahu Sehun... seolah-olah ia telah menahan mobil itu dengan tenaga yang bisa merusak bingkai baja itu...

Keluarganya tampak di kejauhan, ekspresi mereka beragam, mulai dari protes sampai marah tapi tak ada sedikitpun kepedulian akan keselamatan saudara mereka.

Aku berusaha mencari solusi masuk akal yang bisa menjelaskan apa yang baru saja kulihat—solusi yang menghilangkan asumsi bahwa aku gila.

Tentu saja polisi mengawal ambulans itu menuju rumah sakit wilayah. Aku merasa konyol ketika mereka menurunkan aku. Yang membuatnya lebih buruk, Sehun bisa melewati pintu rumah sakit tanpa bantuan sama sekali. Aku menggertakkan gigiku.

Mereka membawaku ke UGD, ruangan panjang dengan barisan tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai berpola warna pastel. Seorang juru rawat meletakkan alat pemeriksa tekanan darah di lenganku dan termometer di bawah lidah. Karena tak ada yang bersedia menarik tirai agar aku mendapatkan privasi, kuputuskan aku tak perlu lagi mengenakan penyangga lehe bodoh itu. ketika juru rawat pergi, aku cepat-cepat melepaskan Velcro itu dan melemparnya ke kolong tempat tidur.

Lalu datang pasien lain, sebuah tandu diangkut ke tempat tidur di sebelahku. Aku mengenali Tyler Crowley, temanku di kelas pemerintahan, balutan perban bernoda darah tampak erat membungkus kepalanya. Tyler kelihatan seratus kali lebih parah daripada yang kurasakan. Ia menatapku waswas.

"Luhan, maafkan aku!"

"Aku tidak apa-apa, Tyler—kau tampak buruk, apa kau baik-baik saja?" Ketika kami bicara, para juru rawat mulai melepaskan perban dikepalanya, memperlihatkan luka gores yang jumlahnya banyak di sekujur kening dan pipi kirinya.

Ia mengabaikanku. "Kupikir aku bakal membunuhmu! Aku mengemudi terlalu cepat, dan mobilku selip..." ia meringis ketika salah seorang juru rawat mengelap wajahnya.

"Jangan khawatirkan itu; kau tidak mengenaiku."

"Bagaimana kau bisa menyingkir secepat itu? kau ada di sana, lalu kau menghilang..."

"Mmm... Sehun menarikku."

Ia terlihat bingung, "Siapa?"

"Oh Sehun—dia berdiri di sebelahku." Aku tak pernah pandai berbohong; aku sama sekali tidak terdengar meyakinkan.

"Sehun? Aku tidak melihatnya... wow, kurasa semuanya berlangsung cepat sekali. Apa dia baik-baik saja?"

"Kurasa begitu. Dia ada di sini entah di mana, tapi mereka tidak mengangkutnya dengan tandu."

Aku tahu aku tidak sinting. Apa yang terjadi? Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang telah kusaksikan.

Lalu mereka mendorongku pergi dengan kursi roda untuk merontgen kepalaku. Kukatakan pada mereka aku baik-baik saja, dan aku benar. Aku bahkan tidak mengalami gegar otak. Aku bertanya apa aku bisa pergi, tapi juru rawat bilang aku harus berbicara dulu dengan dokter. Jadi, aku terperangkap di UGD, menunggu, terganggu dengan Tyler yang terus-menerus meminta maaf dan berjanji akan melakukan apa saja untukku. Tak peduli berapa kali aku mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, ia terus saja menyiksa dirinya sendiri. Akhirnya kupejamkan mataku dan mengabaikannya. Ia terus menggumamkan penyesalan.

"Apa dia tidur?" aku mendengar suara yang merdu bertanya. Mataku langsung terbuka.

Sehun berdiri diujung tempat tidurku, nyengir. Aku memandanginya. Tidak mudah—akan lebih wajar jika aku mengerling padanya.

"Hei, Sehun, aku sangat menyesal—" Tyler memulai.

Sehun mengangkat tangan untuk menghentikannya.

"Tidak ada darah, tidak seru," katanya, memamerkan gigi-giginya yang sempurna. Ia beranjak dan duduk di ujung tempat tidur Tyler, namun menghadap kearahku. Ia nyengir lagi.

"Jadi, apa kata mereka?" ia bertanya padaku.

"Aku baik-baik saja, tapi mereka tidak mengizinkanku pergi," aku mengeluh. "Bagaimana kau bisa tidak ditandu seperti kami?"

"Itu cuma soal siapa yang kau kenal." Jawabnya. "Tapi jangan khawatir, aku datang untuk menyelamatkanmu."

Lalu seorang dokter menghampiri, dan mulutku menganga melihatnya. Ia masih muda, pirang... dan lebih tampan daripada bintang film mana pun yang pernah kulihat. Meski ia begitu pucat, tampak lelah, dengan lingkaran dibawah matanya. Dari apa yang dideskripsikan Charlie, ini pasti ayah Sehun.

"Jadi, Luhan," Dr Oh berkata dengan suara sangat merdu, "Bagaimana perasaanmu?"

"Aku baik-baik saja," kataku, mudah-mudahan untuk terakhir kali.

Ia berjalan ke papan foto rontgen di dinding di atas kepalaku, dan menyalakannya.

"Hasil rontgenmu bagus," katanya. "Apa kepalamu sakit? Kata Sehun, kepalamu terbentur cukup keras."

"Tidak apa-apa," aku mengulangi sambil menghela napas, lalu menatap Sehun geram.

Jemari dokter yang dingin meraba tulang tengkorakku. Ia memerhatikan ketika aku meringis.

"Sakit?" tanyanya.

"Tidak juga." Aku pernah mengalami yang lebih parah.

Aku mendengar suara tawa, dan melihat Sehun tersenyum meremehkan. Mataku menyipit.

"Well, ayahmu ada di ruang tunggu—kau bisa pulang dengannya sekarang. Tapi kembalilah kalau kau merasa pusing atau mengalami masalah sekecil apa pun dengan pengelihatanmu."

"Bisakah aku kembali ke sekolah?" tanyaku, membayangkan Charlie bakal kelewat perhatian padaku.

"Mungkin sebaiknya kau beristirahat hari ini."

Aku menatap Sehun, "Apakah dia boleh pergi ke sekolah?"

"Harus ada yang menyebarkan kabar gembira bahwa kita selamat." Kata Sehun pongah.

"Sebenarnya," dr Oh meralat, "Sepertinya seluruh penghuni sekolah ada di ruang tunggu saat ini."

"Oh tidak," erangku. Menutupi wajahku dengan tangan.

Alis Dr Oh terangkat. "Kau mau tinggal di sini?"

"Tidak, tidak!" aku berkeras, menurunkan kakiku ke sisi tempat tidur dan langsung melompat. Terlalu cepat—aku terpeleset, dan Dr Oh menangkapku. Ia tampak waswas.

"Aku baik-baik saja," aku meyakinkannya lagi. Tak perlu memberitahunya bahwa keseimbanganku tak ada hubungannya dengan kepalaku yang terbentur.

"Minum Tyfenol untuk mengurangi rasa sakitnya," ia memberiku saran sambil memegangiku.

"Sakitnya tidak separah itu kok," aku berkeras.

"Kedengarannya kau sangat beruntung," kata Dr Oh, tersenyum sambil menandatangani statusku dengan gerakan berlebihan.

"Aku beruntung Sehun kebetulan ada di sebelahku," aku menekankan ucapanku dengan menatap Sehun lekat-lekat.

"Oh, well, ya," ujar Dr Oh, tiba-tiba menyibukkan diri dengan kertas di depannya. Lalu ia berpaling memandang Tyler, dan menghampiri tempat tidur sebelah. Intuisiku tepat, sang dokter sedang memikirkannya.

"Aku khawatir kau harus tinggal bersama kami lebih lama." Ia berkata kepada Tyler, dan mulai memeriksa luka-lukanya.

Begitu dokter memunggungiku, aku bergeser ke sisi Sehun.

"Bisakah aku bicara denganmu sebentar?" aku berbisik, ia mundur selangkah. Rahangnya sekonyong-konyong mengeras.

"Ayahmu sudah menunggumu." Katanya sepelan mungkin.

Aku memandang Dr Oh dan Tyler.

"Aku ingin bicara berdua saja denganmu, kalau kau tidak keberatan," desakku.

Ia menatapku jegkel, lalu berbalik dan berjalan menyusuri ruang panjang itu. aku nyaris berlari agar bisa mengejarnya. Begitu kami berbelok di sudut menuju lorong pendek, ia berbalik menghadapku.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyanya jengkel. Tatapannya dingin.

Sikapnya yang tak bersahabat mengintimidasiku. Kata-katau mengalir tak seketus yang kuinginkan. "Kau berhutang penjelasan padaku," aku mengingatkannya.

"Aku menyelamatkan hidupmu—aku tidak berhutang apa-apa padamu."

Aku tersentak mendengar amarah dalam suaranya. "Kau sudah janji."

"Luhan, kepalamu terbentur, kau tak tahu apa yang kau bicarakan." Nada suaranya tajam.

Emosiku meluap-luap sekarang, kutatap dia tajam-tajam.

"Tak ada yang salah dengan kepalaku."

Ia balas menantang, "Apa yang kau mau dariku, Luhan?"

"Aku mau tau yang sebenarnya." Kataku. "Aku mau tahu kenapa aku berbohong untukmu."

"Apa menurutmu yang terjadi?" sergah Sehun.

Lalu semua terlontar begitu saja.

"Yang kutahu kau tidak ada di dekatku—Tyler juga tidak melihatmu, jadi jangan bilang aku mengarang semuanya. Van itu mestinya sudah menghancurkan kita berdua—tapi nyatanya tidak, dan tanganmu meninggalkan lekukan di badan mobil itu—juga di mobil yang lain, dan kau sama sekali tak terluka—dan van itu seharusnya menghancurkan kakiku tapi kau menahannya..." aku bisa mendengar betapa itu terdengar sinting, dan aku tak bisa melanjutkannya. Aku begitu marah sehingga bisa merasakan air mata mulai menggenangi mataku; aku berusaha menahannya dengan menggertakkan gigiku.

Ia menatapku tak percaya. Tapi wajahnya tegang, tampak bersalah.

"Kaupikir aku mengangkat mobil van dari atas tubuhmu?" nada suaranya mempertanyakan kewarasanku, tapi itu justru membuatku semakin curiga. Itu seperti kalimat yang dibawakan dengan baik sekali oleh aktor berbakat.

Aku hanya mengangguk sekali, rahangku mengeras.

"Tak ada yang akan memercayai itu, kau tahu." Suaranya terdengar mengejek sekarang.

"Aku takkan memberitahu siapa-siapa." Aku mengucapkan setiap kata dengan pelan, hati-hati mengendalikan amarahku.

Wajahnya tampak kaget. "Lalu kenapa kau mempermasalahkannya?"

"Ini penting buatku," desakku. "Aku tak suka berbohong—jadi sebaiknya ada alasan yang baik mengapa aku melakukannya."

"Tidak bisakah kau berterimakasih saja dan melupakannya?"

"Terimakasih." Aku menunggu, marah dan berharap.

"Kau takkan menyerah kan?"

"Tidak."

"Kalau begitu... kuharap kau menikmati kekecewaanmu."

Kami saling menatap marah dan hening. Akulah yang pertama bicara, mencoba tetap fokus. Perhatianku nyaris teralihkan oleh wajahnya yang pucat dan menawan. Rasanya seperti menatap malaikat penghancur.

"Kenapa kau bahkan peduli?" tanyaku dingin.

Ia berhenti, dan sesaat wajahnya yang indah tak disangka-sangka beruah rapuh.

"Aku tak tahu," bisiknya.

Lalu ia berbalik dan menjauh.

Aku sangat marah, hingga butuh beberapa menit agar bisa bergerak. Setelah bisa berjalan, aku melangkah pelan menuju pintu keluar di ujung lorong.

Ruang tunggu lebih tidak menyenangkan dari yang ku khawatirkan. Sepertinya semua wajah yang kukenal di Forks ada di sana, menatapku. Charlie bergegas ke sisiku; aku mengangkat tangan.

"Aku tidak apa-apa." Kuyakinkan dirinya dengan nada jengkel. Aku masih kesal, tak ingin berbasa-basi.

"Apa kata dokter?"

"Dr Oh memeriksaku, dan katanya aku baik-baik saja dan bisa pulang." Aku menghela napas. Kai, Jessica dan Chen ada di sana. Mulai bergabung dengan kami. "Ayo," pintaku.

Charlie meletakkan lengannya di punggungku, tidak benar-benar menyentuhku, lalu membimbingku ke pintu keluar yang terbuat dari kaca. Aku melambai malu-malu ke arah teman-temanku, berharap bisa menunjukkan bahwa mereka tak perlu khawatir lagi. Rasanya sangat lega—itulah pertama kalinya aku mengatakannya—berada di mobil patroli.

Sepanjang perjalanan kami berdiam diri. Aku begitu larut dalam pikiranku sampai-sampai tidak menyadari keberadaan Charlie di dekatku. Aku yakin sikap defensif Sehun di lorong tadi merupakan jawaban atas hal-hal aneh yang kusaksikan, yang masih tak bisa kupercaya.

Ketika kami tiba di ruma, Charlie akhirnya bicara.

"Mm... kau harus menelpon YiFei." Ia menunduk bersalah.

Aku terkejut. "Kau memberitahu Ma?!"

"Maaf."

Aku membanting pintu mobil patroli sedikit lebih keras daripada seharusnya ketika keluar.

Tentu saja ibuku histeris. Aku harus memberitahukannya sedikitnya tiga puluh kali bahwa aku baik-baik saja sebelum ia bisa tenang. Ia memohon supaya aku mau pulang—melupakan kenyataan bahwa saat itu rumah kosong—tapi permohonan Ma lebih mudah kutolak daripada yang kubayangkan. Aku asyik dengan misteri yang disimpan Oh Sehun. Dan agak lebih terobsesi kepada Sehun. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku tidak terlalu ingin meninggalan Forks sebagaimana seharusnya, sebagaimana yang seharusnya diinginkan orang normal dan waras.

Kuputuskan akan tidur lebih cepat malam ini. Charlie terus memerhatikanku dengan waswas, dan itu membuatku kesal. Aku menyambil tiga Tyfenol di kamar mandi. Obat ini lumayan membantu, dan begitu rasa sakitnya mereda, aku tertidur pulas.

Itu adalah pertama kalinya aku memimpikan Oh Sehun.

.

.

.

BAB II: End.

.

.

.

Chryssans289

21/07/2017