BALAS DENDAM
Roda hidup berputar, menempatkannya di atas angin, di atas para bangsat yang ingin ia jadikan remah-remah. Hyuuga. Setiap mereka adalah iblis bermuka dua, bertingkah ala malaikat tapi licik dari hati. Itu memuakkan Sasuke hingga ke dasar eksistensi. Hyuuga Corp, harusnya bernama Uchiha Group, yang dibangun atas tetesan darah Fugaku dan seluruh Uchiha yang mereka curangi. Manipulasi hukum, mengisolasi dan menghinanya sebagai Uchiha terakhir, adalah makanan sehari-hari Hyuuga. Seluruh Hyuuga tanpa terkecuali.
Kacamata hitam menyembunyikan sorot kemarahan Sasuke. Ia teringat satu Hyuuga yang membuatnya ingin memusnahkan klan itu. Perempuan paling munafik, yang Sasuke hampir tergila-gila padanya. Hampir. Lantaran Sasuke sadar Hyuuga adalah spesies muka dua yang tidak layak cinta. Perempuan itu pernah berjanji untuk selalu menyanginya, tapi apa, tujuh tahun kemudian ia bertunangan dengan pria lain. Meruntuhkan fakta yang pernah Sasuke hormati, Hinata Hyuuga berbeda.
Dahulu, dahulu sekali, Sasuke pernah membayangkan mencintai dan dicintai Hinata. Tetapi itu sudah lama sekali, dan cinta hanyalah bualan orang-orang melankolis. Poros kehidupan Sasuke memang masih Hyuuga, namun tujuannya berbeda. Kehancuran Hyuuga adalah poin yang Sasuke sasar. Ia mengabdikan hidupnya untuk mengacau setiap gen bermata indah itu, berjanji mengacak-acak mereka sampai harga diri keHyuugaan remuk tak berbentuk.
Aksinya dimulai malam itu…
Waktu seolah terikat saat Sasuke menemukan kembali mata itu, dalam sorotnya yang kelabu ia berpaku, dan siapapun bisa melihat, rindu sedang melanda Sasuke dan Hinata. Gaun putih membungkus sosoknya yang indah, Sasuke setuju jika dunia menobatkan Hinata sebagai perempuan tercantik abad ini atau ratusan tahun mendatang. Hinata dalam balutan busana pengantin adalah mimpi busuk semua lelaki. Sayang, Sasuke tidak datang untuk terkagum-kagum, justru sebaliknya, mencabik-cabik kebanggaan gadis cantik yang masih Hyuuga tersebut.
Semua orang menoleh, bertanya-tanya mengapa ada pria bertuxedo yang bertingkah layaknya bajingan, menyaru bagai mempelai pria dan menerabas pernikahan orang. Lalu semua panik, suara tembakan menajamkan ketakukan semua orang, mereka seperti kerumunan semut yang dihantam bah. Sang mempelai wanita sendiri sudah dicengkeram Sasuke, mulutnya dibungkam kain dan tubuhnya digendong semena-mena. Segerombolan pria berbaju hitam menyerbu ruangan, menjerat setiap Hyuuga yang tampak, lalu menggiring mereka seperti tersangka eksekusi mati.
Beberapa jam kemudian…
Bangun Hinata…
Gadis kecilku…
Hime…
Perlahan kelopak Hyuuganya terbuka, cahaya benderang membuatnya mengerjap, kemudian yang pertama didapati adalah Uchiha Sasuke. Pria itu memandangi intens, Hinata merinding karena Sasuke menatapnya seperti predator terhadap mangsa. Ia tersenyum, namun Hinata justru ngeri melihat kesadisan yang menguar dari sana. Saat sadar sepenuhnya, Hinata sudah terlanjur dalam bahaya.
"Sudah sadar, Hyuuga?"
Hinata bisa mendengar penekanan di tiap kata Sasuke, mengirimkan dingin yang merambat dan mencekik kuat. Dingin itu menjadi semakin harfiah, lalu Hinata terperangah, tubuhnya terikat dan kain-kain yang sempat membalutnya indah, koyak.
"Sasuke…"
Geraman terdengar dari mulut Sasuke. Matanya menyala marah, sebelum Hinata sempat bertanya, Sasuke menariknya terduduk.
"Lihat Hiashi. Lihat bagaimana Hyuuga memperkosa ibuku dulu. Mereka memperlakukannya seperti ini."
Begitu kalimat tersebut berkumandang, tubuh Hinata membeku kaget, tak memahami Sasuke yang berubah buas. Helai demi helai terlepas dari tubuhnya, ia dijajah seperti makanan, setelah sempat dipermainkan dengan tak manusiawi. Jemari Sasuke menjamahnya, mencubit, memeras dan menusuknya ganas. Mulut Sasuke juga berperan, menggigit, melumat dan menjilat, melapisi bagian paling tersembunyi Hinata dengan ludah. Hujam keras pada akhirnya mengoyak Hinata dahsyat, darah mengalir dari sana bersama harga diri yang terinjak-injak. Sakit, sakit sekali, Sasuke terus memaksakan dirinya ke dalam Hinata. Tak ada nikmat sedikit pun, Hinata menjerit, menangis karena pengalaman pertamanya lebih berupa pembantaian. Tapi yang tidak tertahankan adalah saat Sasuke memamerkan performa iblisnya di depan sang ayah. Kalimatnya mengiris setiap inci gadis Hyuuga itu.
"Pelacur kecilmu nikmat sekali, Hiashi. Lihat, darahnya keluar dari sini."
Sasuke mempertontonkan perbuatan biadabnya di hadapan Hiashi, di ruangan yang sangat terang, aktivitas mereka lebih dari video beresolusi dewa. Hiashi menangis, merasa bersalah pada putrinya yang tak berdosa. Tapi ia tak bisa melakukan apapun, tubuhnya terikat mati di kursi, mulutnya disumpal kain, namun matanya dipaksa menonton tanpa protes. Rasanya lebih baik mati.
Sementara Hinata, rasa malunya sudah tak terbendung. Ia jijik, Sasuke memperlakukannya seperti binatang. Yang adalah hanya kekerasan, erangan buas dan kebiadaban tak tertoleransi. Tubuhnya lemah, Hinata sedikit senang saat gelap menjemputnya, berharap dengan sangat bahwa itu kematian.
***
Perasaan apa ini, harusnya ia bangga karena berhasil melumpuhkan Hyuuga. Termasuk membawa gadis munafik ini, merendahkannya sampai ke titik binatang. Tapi kenapa, hati Sasuke justru ngilu melihat jejak air mata di pipi Hinata. Air mukanya tampak lelah, tidak, Hinata tampak hancur. Tangan Sasuke menyingkirkan perlahan selimut yang menutup tubuh Hinata, sesaat jantungnya berhenti berdetak, bilur ungu dan bekas gigitan di mana-mana. Ia terpejam sesaat, menoleransi pemandangan kejam yang ia hasilkan. Lalu pemandangan darah, itu memelintir kewarasan Sasuke. Ya, ia sudah ke taraf sejahat itu, mengoyak Hinata tanpa ampun. Setetes air mata Sasuke jatuh.
Tanpa sadar Sasuke berjongkok di samping tempat tidur, mengelus aliran air mata yang membentuk delta di dagu Hinata. Ada sesuatu yang sangat menyiksa, gambaran Hinata terluka menusuk Sasuke sampai ke dasar eksistensinya.
Jangan bodoh Sasuke, dia Hyuuga. Hinata Hyuuga telah menghianatimu.
"Cih, kau pantas menerima ini Hyuuga."
Sasuke berdiri, tak ingin melankolisme sesaat melemahkan hatinya. Sudah cukup bertahun-tahun kebodohan mengharap setia Hinata. Sasuke yang dulu sudah mati. Terkubur bersama masa lalu pahit yang merakit dendam di hati. Tak seorang Hyuuga pun layak menghalanginya.
***
Saat Sasuke memanggilnya, Hinata tidak tahu akan masuk ke sarang para srigala yang tengah berpesta pora dengan makanan mereka. Bak rusa kecil, Hinata menjadi pusat perhatian dari mata-mata lapar. Pandangan mereka menelanjangi Hinata dari ujung kepala sampai kaki. Di sana, para srigala itu memiliki mangsa berupa perempuan seksi di pelukan dan pangkuan mereka.
Termasuk Uchiha Sasuke. Rasanya Hinata bagai disiram air raksa, darahnya mendidih oleh pemandangan yang Sasuke pamerkan. Pria itu duduk memangku perempuan berambut pink, berciuman mesra sambil menatapnya penuh ejek. Tatapan yang menyiratkan bahwa Hinata sama sekali tak istimewa. Setelah perbuatan keji yang Sasuke lakukan semalam, Hinata masih tak menyangka cinta masa kecilnya akan menggilas habis harga diri yang sudah direnggut paksa.
Hinata tak ingin menangis, tidak sudi lebih tepatnya. Namun melihat bibir yang menciumnya semalam menjelajah tubuh wanita lain sudah keterlaluan . Seberapa banyak lagi rasa sakit yang akan Sasuke berikan? Hinata memang berdoa agar Sasuke menolongnya dari perjodohan tak masuk akal dengan pewaris Namikaze, tapi Sasuke sekarang bahkan berpuluh kali lipat lebih mengerikan dari Hiashi. Ia seperti berusaha melukai hati Hinata ke titik yang tak bisa diselamatkan.
Sasuke tersenyum disela cumbuannya. Ia sempat menyaksikan air mata Hinata menetes sebelum memalingkan muka. Sedikit banyak menghibur jiwa jahat Sasuke.
"Wah wah, siapa gadis manis ini Uchiha?"
Gaara, pria berambut merah yang memperhatikan sejak Hinata memasuki ruangan, bertanya dengan nada penuh minat. Ia takjub mendapati selera Sasuke yang sama sekali baru, tampak lugu, tak tersentuh namun rapuh. Seperti gelas kristal mewah yang siap pecah kapan saja. Di atas itu semua, ia tertarik dengan bahasa tubuh Hinata yang jauh dari kata binal. Berbanding terbalik dengan tipikal perempuan sang Uchiha.
"Gadis? Dia sudah tak perawan Sabaku. Segelnya sudah kubuka semalam, rapat dan wangi." Sasuke menyunggingkan senyum miring.
Wajah Hinata merah padam. Sasuke baru saja membicarakan tubuhnya seolah ia barang yang siap dimainkan kapan saja. Tiap kalimat Sasuke melubangi hatinya yang sudah berongga oleh kejadian semalam. Lalu datanglah kalimat perintah yang membuat Hinata ingin musnah.
"Namanya Hinata. Untuk ukuran pelacur baru dia sangat bagus di ranjang. Dia menjual sikap innocent dan erangan polos yang mengingatkanmu pada sosok lugu. Ini rasa baru, Sabaku. Coba saja kalau mau." Sasuke mengatakannya sambil lalu. Kembali mencium gadis rambut seraya memperhatikan Hinata yang nampak hancur.
"Baiklah." Seru Gaara. "Kalau begitu aku pinjam."
Tak ada yang peduli Gaara membawa Hinata kemana. Pria berambut merah itu mendorong Hinata ke sebuah kamar dengan pencahayaan minim. Namun, Hinata yang tubuhnya gemetar heran ketika Gaara tak melakukan apapun. Hanya mengamati seperti peneliti yang mengobservasi objeknya. Ia menganalisis Hinata, mencari hal apakah yang mungkin Sasuke inginkan dari gadis ini. Setelah tak menemukan apapun, selain wajah Hinata yang sangat cantik dan sekaligus polos, Gaara menyerah.
"Tak perlu takut, aku takkan menyakitimu."
"Setidaknya, tidak sekarang."
Satu kelegaan berembus dari Hinata. Pria ini tak semengerikan yang ia duga. Tetapi, seperti ada udang di balik batu, Hinata terus merasakan aura bahaya.
"Katakan apa hubungan dengan Uchiha Sasuke. Aku yakin kau bukan pelacur seperti yang mulut kotornya katakan."
Gaara geram mendapati Hyuuga di depannya tutup mulut. Selain cantik, gadis ini juga sangat menjengkelkan sampai ke titik Gaara ingin meremukkannya. Ia tidak berucap sepatah kata pun, mata cantiknya terus menunduk, seolah lantai tempatnya berpijak terbuat dari mutiara. Gaara lalu mengangkat dagu Hinata, menemui warna mata sangat langka yang memandangnya dengan tak terbaca. Sekilas Gaara terhanyutoleh keindahan mata itu.
"Katakan! Atau kau lebih suka aku menyentuhmu saja?"
Satu menit menunggu Gaara hilang kewarasan. Ia mulai melancarkan sentuhan menjijikan untuk membuka mulut gadis itu. Hangat, basah dan lembut. Seperti hidangan istimewa yang jarang disuguhkan pada orang lain. Herannya, Gaara menyukai betapa perempuan di depannya bergetar. Ia bisa merasakan kulit dingin di bawah kulitnya, ketakutan seolah merembes dari sana. Dan ia mulai mencicipi asin air mata yang turun ke bibir perempuan ini. Benar, dia seperti perempuan yang phobia sentuhan laki-laki. Pasti Uchiha brengsek itu yang melakukannya.
Satu pukulan mendarat di pipi Gaara, tubuhnya diseret menjauh. Uchiha Sasuke berdiri di depannya, sungguh, belum pernah Sasuke terlihat semarah itu. Gaara tersenyum dalam hati, terbongkar sudah, bagaimana pelipis Sasuke yang berdenyut dengan wajah merah padam. Itu cukup membuktikan, perempuan yang Sasuke bilang pelacur ini, adalah kunci kehancurannya sendiri.
"Sorry, dude. Aku masih belum bosan dengannya."
Gaara berpura santai, ia mengusap darah di sudut bibirnya. "Okay, nikmati santapanmu." Ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata pada Hinata.
Sasuke berbalik. Kemarahan menggeletuk di sela giginya, apa yang telah mereka lakukan sampai Gaara berani mengedip mata, memberi kode pada Hinata.
"Puas bermain-mainnya, pelacur?"
Kalimat Sasuke menyulut rasa sakit yang Hinata tekan sedari tadi. Seperti bensin bagi api, kemarahan Hinata akhirnya berkobar, tangannya bergerak memberi Sasuke pelajaran. Tidak, Hinata sedang menampar monster berduri dalam diri Sasuke.
"Beraninya kau!"
"Lancang menamparku kau Hyuuga." Sasuke merangsek maju. Kelebat ketakutan Hinata sedikit melemahkannya, namun diabaikan begitu saja. "Kau pikir kau siapa, ha?"
"Ma-maaf Sas- sasuke-kun."
Kejadian semalam membumbung di benak Hinata. Tubuhnya menggigil mengingat sakit itu, pelecehan dan kesewenang-wenangan yang Sasuke timpakan pada tubuhnya. Hinata belum sembuh, Sasuke tidak boleh melakukannya lagi.
"Jangan panggil namaku, Hyuuga. Ingat, kau cuma budak tak berharga. Panggil aku tuan." Sasuke menyeret tubuh Hinata ke sofa. Monster dalam dirinya sedang mengamuk, tak terima melihat Hinata bersama Gaara, meski Sasuke sendiri yang memulai.
"Am-ampun tuan."
Hinata harusnya tahu, Sasuke bukan lagi yang dulu. Hinata harusnya sadar, segala yang Sasuke lihat padanya adalah kehinaan. Hinata harusnya mengerti, untuk tidak terlalu sakit saat Sasuke menyiksanya. Ia bukan siapa-siapa. Tidak lagi.
***
Ketakutan menjalari tubuh Hinata. Ia tahu ini pasti terjadi. Setelah Sasuke menyiksanya secara seksual untuk pertama kali, pria itu terus melesakkan benih tiap kali ingin, tanpa repot-repot menggunakan pengaman. Kini benih yang ditanam tumbuh, mewujudkan diri sebagai janin satu bulan yang membuat Hinata merasa sakit. Tidak salah lagi, ia bahkan lupa kapan terakhir datang bulan.
Perlahan hatinya berdebar, ada makhluk yang tumbuh di perutnya, bagian lain dari pria yang Hinata cinta. Ralat, pernah cinta. Hinata yakin seribu persen Sasuke akan mengebiri anak jadah ini, membinasakannya sebelum lahir. Dia mana sudi memiliki anak dari perempuan yang terus-menerus ia sebut jalang. Aw, hati Hinata seperti diremat. Sasuke akan menambahkan lagi satu julukan, jalang tak tahu diri.
Tapi Hinata harus mengatakannya. Pria itu harus tahu kejahatannya sudah menjejak tak terhapus. Tidak dalam kehidupan manapun Hinata tega membunuh bayinya sendiri. Ya, meski ia harus mati di tangan Sasuke.
Mengendap-endap Hinata memasuki ruang kerja Sasuke. Pria itu di sana, duduk di singgasananya dengan angkuh, serius menghadapi tumpukan kertas seolah sedang ujian. Lalu mata tajamnya melirik, sesaat jantung Hinata berhenti berdetak, belum apa-apa tubuhnya sudah menggigil ngeri.
"Ada apa?" Suara Sasuke mengirim sejuta remang.
"A-ano Sas-su aku..." Kalimat Hinata tersangkut rasa takut. Sasuke menatap jengah, gadis ini selalu saja menghabiskan waktunya yang berharga.
"Cepat katakan atau pergi saja." Sasuke bukan saja dingin, tapi ia dalam kesibukan teramat dan tak ingin diganggu.
Hinata mendekat menyerahkan testpack yang Sasuke respon dengan menaikkan satu alis. Kelamaan wajah Sasuke berubah gelap, ada raut benci di sana.
"Aku hamil."
Mata Sasuke langsung memerah marah. Lancang, pikirnya siapa gadis ini, ia tidak sudi memiliki anak berdarah Hyuuga. Bukankah ia sudah bilang ingin membantai semua Hyuuga dan Hinata tinggal menunggu waktu saja? Tidak terima, dilemparkannya tespack itu mengenai dada Hinata. Dalam selangkah ditariknya rambut sang Hyuuga.
"Berani-beraninya. Kau pikir kau layak mengandung benihku?"
"Aw! Sa-sakit Sasu."
Panggilan itu semakin menyulut kemarahan Sasuke. Didorongnya keras Hinata ke lantai, beraharap janin di dalamnya terguncang lalu mati.
"Jangan panggil aku dengan mulut kotormu, Hyuuga. Kau tidak lebih dari seorang budak. Panggil aku tuan." Sasuke kembali mencengkeram rambut Hinata kemudian menamparnya.
"Gugurkan, atau kubunuh sendiri dengan tanganku."
Hinata merintih. Kekerasan inilah yang membuatnya lupa sosok Sasuke dulu. Lelaki muda yang lembut dan menyayangi berubah menjadi monster. Tak ada lagi senyum yang selalu Hinata rindu. Bocah remaja yang dulu memandangnya penuh damba telah sirna sempurna.
Sasuke kesal melihat Hinata yang bersimpuh di kakinya. Ia kesal karena ada bagian dirinya yang ingin menggendong Hinata dan memeluknya, menghapus air mata yang sangat ampuh melemahkan hati.
"Minggir." Hardik Sasuke.
"Tu-tuan. Anda boleh melakukan apapun, menyiksa atau memperlakukan saya seperti binatang. Tapi tolong, biarkan bayi ini hidup. Dia tidak bersalah." Hinata memohon dengan memeluk kaki Sasuke, persis seperti orang menghamba.
Perasaan asing menyusup lagi, melumpuhkan separuh hati Sasuke. Entah kenapa ia tak suka melihat Hinata merendah di kakinya. Lebih tepat, ada setitik perih melihat perempuan yang pernah dekat dengannya memposisikan diri di bawah kaki, seolah pasrah diinjak-injak. Tapi menatap mata putih Hinata, ingatannya kembali pada embel-embel Hyuuga yang melekat pada perempuan itu. Tidak, Hyuuga bukanlah spesies yang layak belas kasih.
"Minggir."
Hinata menghela nafas lega saat Sasuke melangkahinya. Tak ada lagi perdebatan, setidaknya Sasuke meloloskannya kali ini. Senyum kecil terukir, mungkin akan sulit berjuang sampai bayi di perutnya lahir. Tapi ia akan berusaha sekeras baja, tak terpengaruh badai apapun yang Sasuke kirimkan untuknya. Hinata memiliki prioritas, bayi di perutnya akan segera jadi poros kehidupan.
***
Sudah satu jam Sasuke mencoba terlelap. Tapi tutur kata Hinata selalu berhasil menyeret kesadarannya lagi dan lagi.
Aku hamil.
Kalimat itu senantiasa mengulang dirinya di kepala Sasuke. Bagian tubuhnya yang lain, hati, berdebar-debar ke arah bunga-bunga.
Ia akan menjadi ayah.
Hinata hamil anaknya.
Anaknya.
Menjadi ayah dari bayi Hinata adalah impiannya sebagai remaja. Masih terbayang jelas memori saat Hinata merajuk, gadis lima belas tahun yang dicemooh karena belum berpacaran satu kali pun. Pada kasus Hinata, Sasuke melarangnya.
"Sasuke-kun." Hinata bersandar di dada Sasuke, masih dengan seragam SMP sementara Sasuke sudah menjalani beberapa semester di Konoha University.
"Hn?"
"Tadi aku diledek."
"Kau memang terlahir untuk itu." Sasuke tertawa saat Hinata mencubitnya.
"Jahat." Sungut Hinata. "Ngomong-ngomong, aku sudah lima belas tahun. Bolehkah aku pacaran?"
Hinata heran saat Sasuke memeluknya, ia sama sekali tak dapat mempelajari ekspresi muka yang hampir murka. Heran saja, kenapa Sasuke harus murka? Apa ini yang dirasakan seorang kakak lelaki ketika adiknya beranjak remaja? Dasar protektif, pikir Hinata.
"Untuk apa, kau memilikiku."
"Ck, itu beda. Semua teman-temanku berpacaran. Aku tidak ingin diam saat semua orang membicarakan ciuman pertama mereka. Aku juga ingin tahu rasanya di-"
Hinata tak tahu apa yang terjadi saat hal asing menyentuh bibirnya. Hangat, basah dan jantungnya seakan meledak. Matanya terbuka, menatapi Sasuke yang menempel pada wajahnya. Matanya yang gelap tertutup, hidungnya menusuk pipi Hinata dan bibir itu bergerak di atas bibirnya.
Sasuke menjauh, menatap Hinata yang hampir semenit tak berkedip. Mereka berpandangan heran, jantung Sasuke sendiri menggila. Ini juga ciuman pertamanya.
"Ap-apa itu tadi?"
Terkekeh Sasuke melihat wajah Hinata merah padam. Ia menjadi tak tahan untuk tidak mengecup pipi bulat tomat di hadapannya.
"Ini yang dibicarakan teman-temanmu."
"Ciuman."
Hinata menunduk, baru kali ini ia malu menghadapi Sasuke. Harusnya seperti biasa, dia kan seumur Neji, Sasuke adalah kakaknya yang lain. Tapi apa ini, jantungnya bahkan berdebar keras, untuk apa?
"Jadi. aku pacar Sasuke-kun?"
"Hahaha" Sasuke tak tahan lagi. Apa yang ada di batok kepala Hinata, kenapa ia bisa sepolos kertas putih dan tanpa basa-basi menanyakan status mereka.
"Sasuke-kun."
Sasuke beranjak untuk memberi teka-teki pada Hinata.
"Sasuke-kun tungguu."
Hinata mulai merajuk. Ia menarik baju Sasuke, membuat keduanya berhadapan, namun langsung menunduk saat mata kelam itu menatapnya. Seperti biasa, saat gugup ia memainkan jari di depan dada. Hinata terkesiap saat jemari Sasuke membelai pipinya, membuat tengadah.
"Pacaran atau tidak sama saja. Kau milikku. Hinata Hyuuga milik Uchiha Sasuke."
Cengiran lebar menghiasi wajah Hinata. Ia mengangguk mantap, sekarang memiliki kekasih untuk dipamerkan, terlebih kekasihnya pemuda tampan berusia matang.
Lalu Sasuke heran melihat senyuman itu luruh. Berganti ekspresi bingung, cemas tetapi juga senang. Apa lagi yang dipikirkan Hinata.
"Sasuke-kun, apa nanti aku akan hamil? Kita sudah berciuman!"
Tawa menggema di kamar berukuran luas, kenangan itu selalu sukses menggelitik hati Sasuke, sudut matanya sampai mengeluarkan air karena tertawa.
Namun hubungan mereka bukan tentang rasa suka lagi. Hinata benar-benar hamil sekarang. Dan ia tidak bisa menerima kalau sampai menambah keturunan Hyuuga di muka bumi. Neji belum mati dan sekarang Hinata berani-beraninya mengandung. Apa gadis itu bodoh sekali sampai tak tahu pil pencegah kehamilan? Harusnya Sasuke ingat, kekolotan mengalir dalam DNA Hyuuga.
Tidak, Sasuke takkan membiarkan itu terjadi. Biar saja Hinata hamil, setelah waktunya melahirkan nanti, Sasuke akan memastikan sendiri bayi itu mati. Harus mati.
Meski ketakutan Sasuke sesungguhnya adalah ia takut luluh. Ia takut bayi itu mengikat hatinya untuk berbelas kasih pada Hinata. Tidak, balas dendam merupakan tujuannya, dan Hinata tetap seorang Hyuuga. Sasuke takkan tunduk pada Hyuuga kedua kali.
Begini rasanya, mencintai orang yang harusnya kau benci?
***
Kita baru merasa kehilangan saat milik kita sudah berpindah tangan. Kekosongan yang menyertai kepergianlah yang membuat segala sesuatu menyiksa. Sekarang Sasuke paham betul rasa itu. Mansionnya kosong, sepucuk surat kurang ajar telah mencacah hatinya berkeping-keping. Hinata diculik, dan Sasuke tahu persis pelakunya, serigala berbulu domba bernama Gaara.
Hinatamu yang berharga kuambil, Sasuke. Berdoa saja agar dia tidak mati.
Tak ada satu pun masuk di akal. Ia menyakiti Hinata berkali-kali, menegaskan dengan huruf kapital bahwa perempuan itu hanya budak seks yang menghangatkan ranjangnya. Tetapi, nyatanya Sasuke gusar, ingatan bahwa Hinata hamil delapan bulan membakar habis seluruh kewarasannya. Bagaimana jika Gaara melukainya, oh tidak, itu sudah pasti. Tapi yang membuat resah, bagaimana jika Gaara menyentuh miliknya, Hinatanya? Sementara memori tentang percobaan pemerkosaan Hinata tempo dulu sudah sangat menyiksanya. Diakui atau tidak, Sasuke khawatir, ia akan membunuh Gaara jika terjadi sesuatu pada bayinya. Bayi… makhluk kecil di perut Hinata yang adalah darah daging Sasuke, makhluk yang ia hina dengan teramat.
"A-ano. Uchiha-san, maafkan kakakku."
Sasuke yang sedari tadi membenamkan kepala dilulut mendongak. Tubuh Sasuke sangat bau, Neji dan kawanannya menyiram Sasuke dengan air pel yang dicampur sisa makanan. Rambutnya juga bau karena diludai beberapa mulut kurang ajar. Sementara wajah Sasuke babak belur, bengkak dan penuh luka. Ia pasti menjijikan sekali sekarang.
"Mau apa kau, Hyuuga?" Sasuke bertanya sinis.
Namun anak kecil yang lebih muda lima tahun di darinya bergeming. Ia tak terpengaruh oleh tatapan mengancam Sasuke. Tepatnya, gadis kecil itu sudah kebal, jangankan Sasuke, ayahnya sendiri pun memperlakukan demikian.
Tanpa Sasuke bertanya, ia tahu bahwa anak di depannya adalah Hyuuga. Matanya indah. Sasuke marah sejenak pada dirinya karena terpesona.
"Bolehkah aku mengobati lukamu? Anggap saja untuk menebus kesalahan Neji-nii."
Sasuke meringis saat Hinata membersihkan lukanya dengan alkohol. Ia sudah menepis kasar tangan itu. Tapi kemudian pasrah karena ada sesuatu dalam diri Hinata yang memaksanya berhenti kasar. Gadis ini lembut dan rupawan.
"Aku Hyuuga Hinata. Maaf sudah berani. Uchiha-san perlu diobat."
"Kau menghasihaniku."
Hinata menggeleng, tak terbersit perasaan itu sedikit pun. Ia boleh saja lebih muda, tetapi Hinata mengetahui persis rasanya menjadi Sasuke. Dipinggirkan dan tidak dianggap. Hinata seperti sedang bercermin, dan ia tidak bisa melihat orang lain bersedih tanpa memiliki siapapun. Setidaknya ada satu orang untuk menghapus luka, dan Hinata ingin menjadi orang itu bagi Sasuke.
"Aw. Sakit!" Dengus Sasuke marah.
Ringisan maaf Hinata entah kenapa terasa konyol bagi Sasuke. Lalu ia sadar, belum pernah satu manusia pun memperlakukannya seperti Hinata. Ada sesuatu yang terbit dalam hati Sasuke, namun entah apa.
"Aku ingin menjadi teman Uchiha-san."
Tak ada jawaban. Tetapi Sasuke membiarkan Hinata menyentuh lukanya adalah ajaib. Ia tahu pintu lain sedang terbuka. Pintu pertemanan, akhirnya ada orang yang sudi berteman dengan Hinata Hyuuga.
Entah berapa lama Sasuke tertidur di kursi kerjanya. Namun matanya langsung terbelalak saat tangan perempuan mengusap wajahnya lembut.
"Hinata!" Sasuke tersentak kaget dan menangkap tangan itu.
"Apa-apaan, ini aku sayang."
Harapan Sasuke menguap saat yang didapatinya adalah perempuan berambut pink, tanpa malu sudah duduk di pangkuannya. Sakura menyengir kuda, lalu merebahkan wajahnya di dada Sasuke, berharap lengan kokoh segera melingkupinya. Namun tak terjadi apa-apa, Sasuke justru tampak menegang, seperti menahan marah.
"Ada apa?"
Pertanyaan Sakura dibalas dengusan kasar. Ia merindukan Hinata, kenapa yang datang malah perempuan yang bukan pilihan?
"Sasuke aku ke sini tidak untuk dicueki ya."
"Terserah."
Suasana tegang keduanya diinterupsi dering ponsel Sasuke. Pria itu menjauh, tampak berbicara serius di telepon. Sasuke mengernyit, kemudian menjadi sangat marah karena wajah Sasuke melembut sementara telinganya mendengar nama Hinata disebut. Apa-apaan!
Sakura berjalan kasar ke arah Sasuke, merebut ponselnya lalu berbicara dalam nada paling menantang.
"Bunuh saja pelacur itu. Kami tak peduli." Sakura berteriak mengakhiri telepon.
"Sakura!"
"Apa? sejak kapan kau peduli pada pelacur itu? Aku di sini Sasuke, jangan pikirkan yang lain."
Kemarahan Sasuke merebak. Berani benar perempuan ini menyebut Hinatanya pelacur. Sasuke menahan dorong untuk merobek mulut Sakura. Sebagai ganti leher Sakura dicengkeram erat, seperti ingin meremukkannya dalam genggaman.
"Jangan sebut Hinata dengan mulut kotormu!"
"Akh." Sakura tersedak, ia terkejut karena untuk pertama kalinya Sasuke berubah kasar.
Hampir saja Sakura mati oleh cekikan Sasuk,e beruntung ia memiliki sesuatu yang lebih penting untuk diurus. Hinata dan bayinya.
"Mau kemana Sasuke-kun?" kejar Sakura.
"Bukan urusanmu!"
"Ini urusanku karena kau lebih peduli pada jalang itu."
Sasuke yang sudah mencapai pintu berbalik. Telinganya berdengung mendengar kalimat nyleneh Sakura. Ia tak terima, tidak ada yang boleh menghina Hinatanya.
"Berhenti kurang ajar pada Hinata." Sasuke sangat marah sampai telinganya memerah. Ia sangat marah meski Hinata tidak di sampingnya.
"Ap-pa."
"Hinata bukan jalang. Kaulah yang pelacur, aku menggunakanmu untuk membuat Hinata cemburu."
Retakan tercipta di hati Sakura, sejak kapan, sejak kapan Sasuke berpaling pada gadis pemalu menjijikan itu. Sejak kapan Hinata lebih unggul di hati Sasuke dan ia hanya mainan. Tidak!
Sakura meraih lengan Sasuke, mendekapanya erat, berpikir jika Sasuke melewati pintu berarti ketakutannya benar. Sasuke mempermainkannya.
"Tidak. Sasuke kau tidak boleh melakukan ini. Kau mencintaiku!" Teriak Sakura.
"Aku bisa Sakura, meninggalkanmu, heck itu hal termudah di dunia." Tanpa banyak kata Sasuke berpacu keluar pintu. Namun di langkah terakhirnya ia berbalik menancapkan pisau katanya lebih dalam ke hati Sakura.
"Satu lagi, aku mencintai Hinata."
***
Kaki Sasuke memasuki ruangan remang, lembab dan sama sekali tak layak untuk sepatu mahalnya. Mata elangnya menyorot tajam, mencari sosok perempuan berperut besar yang mengandung darah dagingnya. Ketemu. Di salah satu tiang, Hinata berdiri, lebih tepatnya diikat tangan dan kaki. Sesaat, Sasuke nyaris tak mengenal perempuan itu, rambut panjangnya lepek menutupi wajah. Kulit muka yang selalu Sasuke kagumi, lebam seperti bekas tamparan, atau bahkan pukulan? Ia tak berdaya, jika bukan karena diikat, mungkin Hinata sudah ambruk ke tanah. Yang paling mengenaskan, daster hamilnya kusam dan robek menunjukan bekas pemaksaan.
"Hinata…"
Satu air mata lolos dari pelupuk sang Uchiha. Ia tak kuat melihat kondisi mengenaskan Hinata. Hatinya seperti diremas. Dosa apa yang perempuan itu lakukan, kenapa penderitaan seolah mendarah di dagingnya, mengikuti kemana pun Hinata beranjak.
Prok… prok… prok
Tepuk tangan menggema di ruangan. Sosok berambut merah keluar, mendekati Hinata yang masih tak bergerak. Senyum mengejek terpampang di wajahnya, tampak puas, seolah raut sedih Sasuke adalah ekstasi.
"Ck..ck..ck .. lihat Hime, pahlawan kesianganmu baru datang."
Hime? Berani-beraninya! Hanya Sasuke yang berhak menggunakan panggilan itu.
Gaara melepas ikatan Hinata, membuat perempuan itu nyaris roboh jika tak langsung ditahan. Sasuke melangkah khawatir, tapi ia geram karena Hinata lemah sekali, mau-maunya disentuh tangan kotor Gaara.
"Kenapa Uchiha? Merasa tak berguna?"
Ingin sekali Sasuke melenyapkan seringai brengsek itu, juga mematahkan lengan yang lancang memeluk himenya. Perasaan ini hadir lagi, betapapun Sasuke meremehkan Hinata, rasa panas selalu muncul kapanpun perempuan itu bersama pria lain. Apalagi Sabaku Gaara, musuh nomor satu Sasuke.
Perlahan mata Hinata terbuka, mencari-cari jikalau pahlawannya memang datang. Dan benar, Uchiha Sasuke memang di sana, tapi ia tak memandangnya seperti yang Hinata duga. Paling tidak, ada sedikit saja sorot sedih melihatnya tak berdaya. Perempuan yang jelas-jelas mengandung anaknya butuh pertolongan. Hinata berharap, setitik belas kasih atau cinta yang tersisa ada di mata Sasuke. Sayang, lagi-lagi ia harus kecewa, didapatinya Sasuke memandangi seperti biasa. Jijik dan remeh, seolah Hinata makhluk hina yang sudah seharusnya diinjak-injak. Sasuke tak terpengaruh, ia justru terlihat marah, sangat marah seakan Hinata melihat api berkobar dari matanya. Mungkin bagi pria itu, penculikan Hinata sekadar adegan pengganggu kehidupannya yang sempurna. Picisan. Tidak mungkin seorang tuan menyelamatkan budaknya yang hampir mati. Apalagi cuma budak seks tak berharga yang didapat dari hasil menghancurkan dinasti bisnis Hiashi. Hinata hanya peliharaan yang jika mati, Sasuke juga yang repot, makanya sedikit rela meluangkan waktu. Pemikiran horror itu memukul telak segala perasaan Hinata. Sasuke memang tak pernah menginginkannya semenjak semula.
Sasuke melihat itu, raut Hinata yang kecewa dan entah kenapa ia paham. Hinata sedang sangat sakit, Sasuke pernah melihatnya sekali, raut serupa yang Hinata perlihatkan ketika ibunya meninggal. Sasuke mengerti bahwa gadis pemalu ini hanya memendam sendiri rasa sakit yang dialami, tapi wajah tak pernah berbohong.
Di sisi lain, keberadaan Gaara membuatnya risih, menimbulkan rasa ingin mencuci bersih seluruh tubuh Hinata. Menggantikan dengan sentuhannya, karena Hinata hanya milik Uchiha Sasuke. Oleh sebab itu ia marah. Sekali lagi memandang Hinata sebagai gampangan. Lebih jauh, Sasuke juga tak ingin Gaara mengetahui kelemahannya. Ia harus membuktikan bahwa Hinata bukan apa-apa, sehingga Gaara bisa melepaskan. Meski kenyataannya, setiap sel dalam diri Sasuke mendidih oleh api cemburu. Cih, Sasuke ahli dalam berpura-pura bukan?
"Akh.." Hinata berteriak lemah. Rambutnya ditarik kasar oleh Gaara sampai mendongak.
"Duh.. duh, sakit? Kenapa tidak minta tolong pangeranmu saja? Mana omong kosongmu, buktikan kalau Si brengsek yang kau panggil –kun itu bisa melawanku!"
"Jangan macam-macam. Sasuke-kun akan membunuhmu jika berani menyentuhku!"
Hinata menyesali bualannya sendiri. Sasuke masih di sana, tak tersentuh sandiwara Gaara sedikit pun. Lebih parah, ia malah memperlihatkan seringai remeh. Detik itu juga Hinata tertampar fakta, hatinya akan segera terluka oleh hinaan Sasuke. Lebur menjadi butiran cinta tak terakui.
"Haha. Perempuan ini melawak. Sejak kapan aku sudi mengotori tanganku demi menyelamatkannya." Sasuke terkekeh geli, tapi tak seorang pun menyadari, air mata Hinata menggores hatinya dalam.
"Begitukah?"
Sasuke manggut-manggut, masih berniat meneruskan kekejaman kalimatnya pada Hinata. "Aku sudah pernah bilang, bukan? Ambil pelacur ini jika kau mau."
Gaara tidak sebodoh itu. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat Sasuke untuk mempelajari kelemahannya. Hinata terus diinjak seperti sampah, tapi Gaara tahu, Sasuke memiliki perasaan tak terukur pada perempuan yang berada di pelukannya kini. Sasuke hanya mencoba bersikap jahat, dan Gaara juga tahu, itu melukainya sama persis seperti orang-orang masokis. Sama halnya melukai diri sendiri.
"Lalu bagaimana dengan janin ini." Gaara menyingkap pakaian Hinata, memperlihatkan perut besar yang segera ia gerayangi dengan semangat. "Aw, dia menendang. Apapun yang berdarah Uchiha memang selalu brengsek, bukan begitu Sasuke?"
Sasuke membuang muka, Gaara tahu betul cara menyiksanya. Tapi, Hinata juga salah karena lemah, ia tampak seperti perempuan yang pasrah. Sasuke benci.
"Siapa bilang dia Uchiha. Bisa saja perempuan murahan ini hamil dengan pria lain di luar sana. Atau bahkan kau sendiri, Sabaku?"
Shot!
Tiba-tiba Sasuke menyesal mengeluarkan kalimat itu. Ia sudah meggoreskan luka lebih dari yang perempuan mana pun sanggup terima. Sasuke tahu, di balik ketertundukkan Hinata, ada luka yang semakin membunuh mereka berdua. Dan sumbernya adalah Sasuke sendiri.
"Baiklah. Kalau begitu tidak masalah jika kau melihat ini."
Perut yang tadi diraba kini ditepuk keras oleh Gaara, lalu diremas tanpa belas kasih.
"AKH!"
Hinata menjerit. Rasanya seperti bayi diperutnya langsung dibekukan, diam tak ada pergerakan. Perut Hinata sakit luar biasa.
` Jeritan dan eskpresi kesakitan Hinata mengiris hati Sasuke. Ia memejamkan mata, tak kuat melihat perempuan itu tersiksa lebih jauh. Seluruh tubuhnya menegang merasakan sakit Hinata dan janinnya. Tangannya terkepal, buku jari memutih bersama kemarahan yang menggelegak.
"Shh jangan menangis. Buang-buang air mata. Kau dan bayimu sama sekali tidak berharga. Lihat, Sasuke saja masih terdiam seperti bajingan. Jadi tidak apa kalau kalian mati." Gara berbisik di telinga Hinata. "Oia, kudengar payudara perempuan hamil itu sangat indah."
Sasuke tak tahan lagi ketika Gaara melakukan itu. Bibirnya mencium kasar leher Hinata yang tengadah karena dijambak, tangan lainnya masuk ke daster dan meremas dada yang menampung ASI.
"BRENGSEK!"
Saking marahnya Sasuke, ia menyerang Gaara, lupa bahwa tubuh Hinata sangat lemah. Menyebabkan perempuan itu jatuh berdebam ke tanah. Darah segar mengalir dari selangkangannya. Sasuke terperangah takut.
Melihat Sasuke lengah, Gaara bersiul memanggil kawan-kawannya. Punggung Sasuke dipukul dengan selang besi hingga terjatuh tepat di depan Hinata. Tanpa pertimbangan, tubuh Sasuke diseret ke tengah ruangan. Disiksa bersama-sama, ada yang menggunakan tangan kosong, besi, pemukul bisbol dan alat apapun yang menyumbang luka berdarah di tubuh Sasuke.
Dalam kesakitannya, Hinata masih begitu kalut melihat Sasuke dikeroyok. Ia harus mencari cara gara pria itu selamat. Namun belum bergerak, tangannya ditarik berdiri secara kasar.
"Bangun, perempuan lemah! Kau juga harus mati bersama pria brengsekmu."
Mata Sasuke menangkap bayangan Hinata yang diperlakukan kasar. Sudah cukup, perempuan itu terluka terlalu banyak. Tak ada lagi yang boleh melukainya. Ia harus membawa pulang Hinata dengan selamat. Melakukan hal-hal yang sudah semestinya Hinata dapatkan, termasuk permohonan ampun dan cinta Sasuke.
Kesadaran akan Hinata membangkitkan semangat Sasuke. Satu persatu pengeroyoknya ia hantam, pukul mundur dengan tenaga tersisa. Dari 4 lawan 1, sekarang Sasuke memegang kendali. Ia menghabisi tubuh terakhir yang menghalangi. Sasuke meludah darah sambil tersenyum remeh.
"AWASS!"
"DORR"
Tubuh Sasuke lemas mendengar teriakan yang dibarengi suara tembakan. Saat berbalik, Sasuke merasa ingin mati saja. Badan Hinata rubuh ke arahnya, darah bersimbah, sebagian muncrat ke wajah Sasuke. Mereka sangat dekat, Sasuke juga tidak tahu sejak kapan Hinata berada di belakanganya, yang jelas perempuan itu menghadang peluru yang ditujukan untuknya.
"Oh tidak. Hinata!"
Mata Sasuke menyala emosi. Ia berjanji akan mematahkan tangan siapapun yang menembak Hinata. Perempuan yang hampir seluruh tubuhnya memerah karena darah. Membanjir di punggung, perut, wajah hingga mulai memerahkan Sasuke pula.
Dipeluknya Hinata erat-erat. Sasuke gila melihat wajah Hinata sangat pucat, kontras dengan cairan yang terus keluar dari lukanya. Mata Hinata separuh tertutup, seperti menahan sakit yang amat sangat.
"Hi-hinata… Tidak! Kau akan selamat. He-hey jangan tutup matamu. Ya Tuhan! Lihat, lihat aku Hinata. Kumohon bertahanlah."
Suara Sasuke bergetar dan terbata. Baru kali ini ia mengerti apa yang dinamakan takut. Sesuatu yang mengerikan saat semua harapanmu seolah tercabut. Berganti kecemasan akan ketidakpastian, kehilangan.
Tidak, Hinata akan hidup. Harus hidup. Dia belum mendengar pernyataan cintaku.
Segera Sasuke menggendong tubuh Hinata ke mobil, memangkunya di jok belakang sembari mati-matian memaksa supir. Dibelainya wajah Hinata yang semakin pucat dan jantung Sasuke tercekat, perempuan itu tersengal kesulitan bernafas.
"Hinata jangan… jangan tinggalkan aku. Buka matamu, tatap aku Hinata, kumohon." Perempuan di pangkuan Sasuke mengerjap dihujani air mata. Tapi ia semakin sulit merasa apapun, bahkan pelukan hangat Sasuke yang amat dirindukannya. Juga tidak bisa melihat Sasuke memandanginya dengan segala yang pernah ia harap, pandangan cinta. Detik demi detik menarik cahaya dari matanya menuju gelap.
"Bertahanlah Hinata. Tolong, jangan menghukumku terlalu berat. Aku… aku-"
Sasuke tidak meneruskan kalimatnya karena Hinata terus tersengal dan menggigil. Semua warna memudar, diserap darah yang Sasuke berharap jika itu miliknya saja. Demi Tuhan, ia tidak sanggup.
"Tu-tuan…Di-dingin, gelap."
Di antara semua hal, panggilan Hinata memukulnya paling telak. Perempuan itu sering lupa memanggilnya –kun, yang akan ia hina habis-habisan, tapi kenapa harus sekarang? Ia sangat jahat pada perempuan yang sebetulnya nomor satu itu, nama yang dirindu di setiap helaan nafas. Hinata adalah ratu di hatinya, bukan budak seks seperti yang selama ini ia beberkan. Hinata berarti dunia bagi Sasuke.
Tatapan Hinata mulai kosong. Sasuke mengirimkan ciuman basah ke bibir Hinata. Ia ingin bibir itu memberinya harapan, bukan ketakutan. Didekapnya erat tubuh Hinata, berusaha menyalurkan kehangatan pada tubuh mungil yang selalu Sasuke siksa. Oh Tuhan, aku tahu dengan dosa sebanyak ini tak layak meminta, tapi kumohon beri satu kesempatan saja.
Tak sengaja tangan Sasuke turun ke perut Hinata, bagian bawah roknya menggenang darah. Lalu jantungnya berdesir saat tak merasakan pergerakan apapun. Bayinya. Jangan, jangan ini juga.
"Hinata maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku." Diciumi wajah Hinata frustasi. "Aku berbohong tentang semua. Semuanya. Kau bukan mainan Hinata, bukan budak. Kau adalah Hinataku. Perempuan satu-satunya yang membuatku jatuh cinta Hinata. Tolong, tolong bertahan untukku." Sasuke tersedak air matanya sendiri.
Terlambat, segalanya terlalu terlambat. Sasuke akan menjadi cinta bertepuk sebelah tangan. Hinatanya sudah hilang kesadaran, menghunuskan perasaan sedih yang dalam di memori Sasuke.
"Tidak… HINATA! Bangun."
Di balik kemudi, Sai menitikkan air mata. Selama ini ia menganggap Sasuke kuat dan kejam, bagai baja yang tak leleh di suhu air mendidih. Tapi Hinata adalah titik lebur Sasuke sejak semula. Meski pria itu sendiri tak menyadarinya. Sai sering memergoki Sasuke menangis setelah membuat Hinata pingsan, bahkan membersihkan sendiri luka gadis itu padahal ada puluhan maid. Sasuke hanya tak sadar, dendam dan benci menjadi kerdil saat dihadapkan pada cinta yang bersabar. Cinta Hinata yang tak mengenal pamrih, sekalipun hati Sasuke hanya bisa ditawar oleh nyawa. Hinata takkan mati sia-sia. Ia pernah hidup di hati Sasuke, dan dengan ini, justru kekal di dalamnya.
***
Satu tidak mencerminkan seluruh, dan seluruh tak selalu semakna dengan yang satu.
Harusnya Sasuke tahu.
Hinata masih sama seperti bertahun-tahun lalu, gadis yang dari matanya Sasuke menemukan rumah dan bersamanya adalah pulang.
Hinatanya yang pemalu, dan bukan jalang.
Tapi Sasuke menggunakan kata itu semena-mena, hanya karena ia Hyuga.
Melukai Hinata dengan segala benci yang Hyuga torehkan.
Sesaat ia merasa puas: air mata, teriakan, luka fisik Hinata menggodanya seperti candu.
Tapi,
Sasuke lupa satu hal: Hinata menggenggam hatinya.
Sasuke lain dalam dirinya tercambuk berkali-kali
Dan Hinata membuatnya menyerah, kalah atas cinta lama yang mati-matian ia bunuh.
Aku kembali, Hime.
Sasuke tersenyum lembut menatapi perut hamil di depan mukanya. Sesekali tangannya mengikuti gerakan halus yang diciptakan makhluk kecil di dalam sana. Ia menikmati keajaiban ini, ada bagian dirinya yang tumbuh dan bergerak di dalam tubuh istrinya, Hinata. Hati Sasuke berdesir memikirkan satu hal, kehamilan Hinata membuatnya merasa jantan dan senangnya, itu sudah terjadi dua kali. Ia merasa sempurna sebagai pria, dan kehidupan kecil di rahim Hinata membuat Sasuke semakin cinta, dengan cara tak terjelaskan. Sebuah perasaan intim yang membuat siapapun lebih dari sekadar bahagia.
Lagi-lagi perut itu menonjol di satu sisi, di bawah pusar tepatnya. Sasuke tak tahan untuk tidak mengecup tonjolan yang tampak seperti telapak kaki. Kaus yang disingkap di bawah dada membuat Hinata geli merasakan kontak bibir Sasuke dengan kulit perutnya. Kecupan-kecupan ringan yang konstan itu terasa seperti gelitikan.
"Apa yang kau lakukan?" Hinata menjauhkan wajah Sasuke dari perutnya. Menatap geli sang suami yang berbaring di pangkuannya sambil bertindak sesuka hati.
"Apa? Aku sedang bermain dengan Sasuke junior." Jawab Sasuke tanpa memalingkan wajah. "Hai sayang, sedang apa di sana? Sudah malam kenapa masih bergerak-gerak." Kini giliran tangannya yang mengelus lembut perut Hinata, membuat tonjolannya sedikit memudar.
Jemari Hinata mengusap rambut Sasuke, membuat pria itu sesekali memejamkan mata terlena. Ia tidak menyangka hal semacam ini bisa terjadi di hidupnya. Tepatnya, Hinata tak menyangka manusia yang seolah kehilangan hati akhirnya kembali. Menciuminya, mencintainya lebih dari yang mampu ia harap. Iblis dalam diri Sasuke telah mati, berinkarnasi menjadi malaikat yang selalu berdiri di depan Hinata untuk melindungi. Menjadi suami dan ayah yang hebat bagi anak-anak mereka. Benar kata pepatah, jangan pernah menyerah pada harapan sendiri, Hinata sudah membuktikan di detik terakhir saat segala sesuatu tampak sirna. Ketika orang-orang berpikir Hinata berkorban dengan menghadang peluru yang disasar untuk Sasuke, sebenarnya ia sedang memperjuangkan harapan terakhir. Memperjuangkan cinta mereka dengan nyawanya sebagai taruhan.
"Kau melamun."
Pikiran sepintas Hinata disabotase oleh tangan yang mengusap pipinya lembut. Saat menunduk, matanya bertemu dengan mata tajam Sasuke. Mengherankan, sudah bertahun-tahun tetapi jantung Hinata tetap berdetak kencang tiap menatap mata itu, sepasang mata yang seolah memandang jiwanya. Tanpa siapapun sadari, Sasuke bahkan hampir menahan nafas tiap kali memandang Hinata, menjaga segala sel dalam tubuh untuk berfungsi normal. Entah, siapa lebih mencintai siapa di antara mereka.
"Bagi pikiranmu denganku, hm?"
Yang diterima Sasuke hanya gelengan kepala serta senyum kecil. Di saat seperti ini, ia paling merasa bersyukur, memiliki istri secantik bidadari yang setenang biarawati. Hanya ketenangan Hinata yang mampu meredam gairahnya yang meletup-letup seperti gunung berapi.
"Aku hanya tidak menyangka kita bisa seperti ini. Berada sangat dekat tanpa kau yang membenciku. Dulu, rasanya sangat utopia, karena setiap berdekatan denganmu aku harus mencari cara untuk mencintai tanpa terbunuh." Kekeh Hinata.
Sebenarnya Hinata berniat bercanda. Ia masih belum lupa betapa iblisnya Sasuke, dan ya, menurut Hinata dia bisa mati kapan saja jika berada di dekat bungsu Uchiha. Hanya menurut Hinata. Karena bagi Sasuke, melukai Hinata adalah cara lain menjadi masokis, hatinya selalu berteriak tiap melihat perempuan itu menangis. Pemikiran kecil Hinata nyatanya mampu membuat Sasuke takut. Tanpa sadar genggamannya di telapak tangan Hinata mengerat.
"Jangan bicarakan itu lagi Hinata. Aku… aku tidak mengerti harus menghukum diri sendiri dengan cara apa."
Seketika Hinata tersenyum, betapa sensitif hati suaminya. Atau memang bercandanya sangat tidak lucu hingga Sasuke langsung muram.
"Yang jelas…" Tiba-tiba Sasuke menatap lekat Hinata, memohon dengan sangat lewat pancaran mata yang sendu. "Jangan hukum lebih dari yang aku mampu, Hinata. Jangan pernah melakukan hal bodoh lagi. Lebih baik aku yang mati daripada melihatmu meregang nyawa demi bajingan sepertiku. Jangan, jangan pernah." Sasuke membawa telapak tangan Hinata ke bibirnya, menciumi penuh perasaan.
"Aku tidak bisa melihatmu menderita."
"Oh ya?" Hinata berniat melanjutkan candaannya yang tak lucu. "Tapi kau menyiksaku, Sasuke-kun. Berkali-kali."
Seketika ingatan Sasuke melayang pada sejuta penderitaan yang ia berikan pada wanita ini. Direndahkan dengan kata-kata, dilukai dengan perbuatan dan dicabik-cabik harga diri Hinata dengan tindakan asusila. Terkadang Sasuke heran, bisa-bisanya Hinata menerima lagi sampah menjijikan seperti dirinya, laki-laki yang lebih pantas mendekam di penjara atau Rumah Sakit Jiwa.
"Aku memang gila Hinata. Menyiksa perempuan yang kucintai karena memelihara dendam. Tapi, aku lebih baik mati daripada hidup di dunia yang tidak dihuni olehmu. Kau tahu, waktu melihatmu tumbang oleh peluru, rasanya seolah aku yang mati. Aku benar-benar takut Hinata, setiap detik eksekusi di ruang operasi, seperti ribuan tahun. Dan jika kau pergi saat itu, aku yakin akan bunuh diri." Hinata menyadari tangannya basah. Sasuke menangis?
"Jangan lakukan itu lagi padaku Hinata. Aku tidak akan mengampuni diriku sendiri jika kau terluka olehku."
Dalam hati Hinata tertawa geli, sejak kapan Sasuke semellow ini. Rasanya lucu melihat pria yang hobi menyakitimu, berubah menjadi orang yang tak bisa hidup tanpamu. Hinata masih tak menyangka.
"Hinata, aku tidak ingin kehilanganmu. Sudah cukup tahun-tahun yang kujalani dengan kebencian menyiksa ini." Sasuke memeluk perut Hinata, menyembunyikan air mata yang berderai memalukan. Tapi cerita kelam mereka selalu membangkitkan tangisnya.
Isakan kecil Sasuke membuat Hinata terkesiap. Ia jadi merasa bersalah menghancurkan momen intim mereka.
"H-hei kenapa menangis, Itu kan sudah bertahun-tahun lalu. Nyatanya aku hidup sekarang, bahkan mengandung anakmu lagi." Hinata mengusap punggung Sasuke.
Hening. Sasuke nyaman berada di pelukan Hinata, seperti itu tempat terbaik di dunia yang disediakan Tuhan untuknya. Tak ada lagi yang Sasuke inginkan. Hinata sudah di dekapannya, memberikan bayi-bayi lucu dan segala yang seorang pria impikan dalam list panjang. Semua terasa cukup.
Perempuan yang pernah disakitinya habis-habisan inilah yang merubah Sasuke. Menanamkan kembali cinta yang pernah ia bunuh, menyiraminya dengan kasih sayang seperti bertahun-tahun lalu, saat Sasuke menjadi anak paling malang. Lagi-lagi hati Sasuke berdesir, tidak menyangka gadis kecil pemalu yang mengobati lukanya dengan takut-takut, telah memberikannya kehidupan. Gadis yang memperlihatkannya mata tercantik di dunia, juga memperlihatkannya cara keluar dari neraka bernama dendam. Sasuke bersyukur perempuan itu Hinata. Miliknya.
"Mamaaa."
Dua orang dewasa yang sedang saling mencintai bertatap muka, kaget mendengar teriakan dari kamar sebelah. Saat hendak beranjak, Sasuke mencegah Hinata.
"Biar aku saja."
Hinata tersenyum melihat Sasuke kembali dengan menggendong Naoki. Bocah lima tahun itu menangis sementara Sasuke menepuk-nepuk punggungnya lembut. Bagi Hinata, ini adalah pemandangan terindah di dunia. Pria tinggi itu, suaminya, menggendong anak yang memiliki wajah persis sama. Anak laki-laki yang lahir dari rahim Hinata dengan penuh perjuangan. Janin yang menumbuhkan semangat Hinata untuk mengembalikan Sasukenya dulu.
Sasuke tampak piawai, seolah sudah ratusan tahun menjadi ayah, bocah lelakinya bahkan sudah tenang dalam beberapa menit saja.
"Kenapa tertawa?" Sasuke bingung, tapi rasanya rela mempermalukan diri demi tawa itu.
"Kau terlihat profesional. Seperti bapak rumah tangga."
"Memang. Bapak rumah tangga untuk ibu hamil yang jelita."
Betapa gombal. Entah sejak kapan pria itu belajar membual, yang jelas selalu berhasil menerbangkan Hinata ke awan. Sasuke membaringkan putranya yang langsung memeluk Hinata. Ia sedikit kesal, kembaran kecilnya ini benar-benar rival nomor satu, Sasuke terkadang kalah dalam kompetisi menggaet perhatian Hinata.
"Aku mau tidur sama mama."
"Tsk. Naoki kan sudah besar, sudah mau punya adik. Masa tidur sama mama terus."
Naoki cemberut, matanya yang tadi menangisi mimpi buruk kini menangisi Sasuke yang menarik-narik tubuhnya untuk bangkit. Hinata hanya terkekeh melihat ayah dan anak di depannya. Dengan perut besar ia tak mampu memeluk siapapun erat, tapi Naoki dan Sasuke justru bertarung sengit untuk itu.
"Baik, Naoki-chan boleh tidur di sini. Tapi jangan sampai menendang adik ya. Naoki kan kakak pintar."
Kepala berambut raven kecil mengangguk semangat. Adiknya adalah harta berharga, ia berjanji akan menjaganya seperti yang Hinata ajarkan. Tangan kecil Naoki mengelus perut Hinata, membuat Sasuke iri besar-besaran. "Naoki sayang adik."
Perlahan Hinata ikut terpejam kendati tangannya terus menepuk-nepuk pantat Uchiha Naoki yang pulas. Namun dehaman keras membuatnya kembali tersadar. Bayi besarnya belum tidur, lebih parah, merajuk marah. Sangat lucu melihat Sasuke yang orang bilang bermuka datar, menekuk wajahnya karena harta berharganya direbut paksa, oleh anak sendiri.
"Hinata aku tak bisa tidur seperti ini."
"Lalu?" Hinata pura-pura bodoh.
"Ck" Sasuke bangkit, pindah posisi di belakang Hinata, membiarkan putranya di ujung ranjang. Ayah egois.
"Berbaliklah." Perintah Sasuke.
"Tidak mau. Sasuke-kun, kembali tidur yang benar, Naoki bisa jatuh kalau begini."
"Jadi kau lebih peduli bocah nakal itu." Giliran Hinata yang tertawa geli. Benarkah ini Sasuke yang menyiksanya beberapa tahun lalu? "Hinata, aku serius."
"Please…"
Dengan kesulitan Hinata berbalik, nafasnya langsung tercekat mendapati Sasuke sangat dekat. Hidung mereka bersentuhan, mata saling memandang dalam.
"Nah begini." Sasuke tersenyum lembut, bisa melihat wajah cantik istrinya. Diciumnya bibir Hinata dalam. Obat pengantar tidurnya. "Aku mencintaimu, Hinata. Selalu."
Wajah Hinata memerah tomat. Entah butuh berapa tahun untuk terbiasa dengan Sasuke yang ini. Sasuke yang sempurna dengan cinta.
Tapi acara romantis mereka terusik, lagi-lagi ulah Naoki.
"Mama" Bocah tampan itu merengek dengan mata tertutup. Hinata buru-buru berbalik, menepuk-nepuk kembali pantat gembul putranya, meninggalkan suami yang frustasi. Sebenarnya sih sedang menyembunyikan rasa malu.
"Arrgh." Erang Sasuke.
Tapi kemudian pria itu tersenyum. Memeluk Hinata dari belakang dan sepertinya akan begitu sampai pagi.
"Selamat tidur, Hime." Sasuke mengecup pipi istrinya. Lalu tangannya turun ke perut Hinata. "Calon anakku." Terakhir mengusak rambut Naoki, bocah itu memeluk pinggang ibunya posesif. Mau tak mau membuat Sasuke geli juga. "Dan Uchiha nakalku."
Diam-diam, Hinata mensyukuri segala yang terjadi di hidupnya. Tidak peduli sejarah hitamnya dengan sang suami. Ia menerima itu sebagai tahap sulit sebelum indah. Semua terasa lengkap, dan Hinata tak ingin apapun lagi.