PARALYSIS
By. Reii Harumi
Disclaimer : Masashi Kishimoto©Naruto
Pair : Sasufemnaru slight Nejifemnaru
Genre : Crime, Mistery, Romance, Hurt
Warn! GenderBender,Typo(s),DLDR Warn!
.
Here we go…
/chapter 2 : A Glimmer of Hope/
"Bagaimana jika sekarang kita mencari ke tempatmu?" usul Obito.
Naruto menyerengit dalam, "Tidak ada petunjuk apapun, disana."
Obito menatap malas Naruto yang masih saja menatapnya tajam, "Baka, kau tidak mengerti maksudku huh? Maksudku kita ke tempat kakakmu itu." Ujar Obito seraya mengeluarkan ponsel pintar miliknya.
"Haah?! Untuk apa kita ke sana?!" Tuntut Naruto.
"Memang benar jika tempat tinggalmu yang sebenarnya telah hilang, tapi setidaknya kakakmu pasti menyimpan satu atau dua buah benda peninggalan kedua orangtuamu, dan itulah yang kita cari,"
"Dengar, Kakakku akan sangat marah jika tahu tujuan dari ini," ujar Naruto, nada bicaranya begitu serius.
"Kalau begitu aku saja yang – "
"Cih! Percuma Obito! Kau lupa betapa murkanya Kakakku mengetahui aku keluar dari kedokteran dan diam-diam masuk ke kepolisian? Aku bahkan tidak yakin ia telah memaafkanku atau tidak." Ujar lirih Naruto. Tatapan birunya menyendu sembari menatap mata hitam Obito.
"Ahoo!" Obito menjitak kepala Naruto, "Kau terlalu berlebihan. Tidak mungkin seorang kakak setega itu. Semarah-marahnya kakak, tidak akan sampai hati terhadap saudaranya sendiri." Lanjut Obito yang kemudian beranjak dari tempat yang ia duduki.
Naruto mengelus-elus puncak kepalanya, menghembuskan nafas lelah sejenak, "Baiklah. Kita temui Kakakku. Tapi jangan salahkan aku bila kita diusir, okay?" ujar Naruto, tersirat nada kesal didalamnya.
Obito tersenyum lebar, 'Mudah sekali untuk dibujuk anak ini. Sebentar lagi Ku, adik kesayanganmu akan menemuimu.' Batin Obito.
"Baiklah! 10 menit lagi aku tunggu kau didepan. Jaa." Ujar Obito.
"Eh? T-tungg – "
Sayangnya, Obito telah berlalu meninggalkan Naruto seorang diri. Tentunya juga dengan makian kesal Naruto.
"Naru?"
Sosok tinggi dengan rambut merah ke -orange -an menatap bingung – sekaligus terkejut – dengan kedatangan Naruto dan Obito diapartemennya.
"Konbanwa, Kurama-niisan." Sapa Naruto. Ia sedikit menundukkan kepalanya, menunjukkan rasa sopan dan hormat terhadap yang berusia lebih tua darinya.
"Yo, Ku! Kami datang untuk makan malam bersama," ujar Obito seraya merangkul bahu Naruto.
Mata Naruto membulat, dengan segera ia palingkan kepalanya kearah Obito, "Obito! Apa – "
"Tentu saja. Lagipula aku baru saja pulang dari rumah sakit." Balas Kurama sambil mempersilakan Naruto dan Obito masuk.
"Hehe memang menjadi dokter itu melelahkan, terutama kau. Sudah dokter spesialis bedah, kau juga ketua bedah Rumah Sakit Konoha!" puji Obito yang tentunya mendapatkan tatapan mematikan dari sosok disampingnya. Obito mengabaikan tatapan 'sayang' Naruto padanya. Ia sudah teruji kebal pada tatapan Naruto yang mungkin kalo diilustrasikan bisa saja membunuhnya, tapi nyatanya tidak bukan?
"Hm, ruangan sebesar ini hanya dihuni seorang. Ckck, betapa sangat disayangkan." Ujar Obito sambil meneliti isi ruangan tengah kediaman Kurama. Gayanya saat ini benar-benar tidak terlihat seperti seorang polisi, Naruto saja bingung bagaimana caranya si baka Obito ini masuk ke polisian dan jadi bagian tim khusus pula.
Kurama tertawa pelan, "Ck, ku sudah bosan mendengarmu berbicara seperti itu. Tidak adakah sapaan lain yang bisa kau sampaikan kepadaku? Harusnya kau berkata untuk dirimu sendiri, seperti kau yang tidak saja." sindir Kurama.
Hati Obito terasa berdenyut nyeri. Bukan, dia bukan sakit karena ada penyakit hati, tetapi akibat dari ucapan Kurama padanya.
"Ugh! Kau boleh seorang dokter, tapi mulutmu tidak lebih dari seorang algojo. Aku heran bagaimana bisa pasien-pasienmu selama ini 'bertahan hidup' dengan ucapanmu?" ujar Obito sedikit jengkel dengan ucapan Kurama tadi.
"Kau sudah tahu bukan jawabannya?" ujar Kurama sambil berlalu menuju dapur.
Naruto hanya diam menatap interaksi antara Obito dengan Kurama. Jujur dalam hatinya, ia senang bahwa sang kakak menjalani kehidupan dengan normal, tapi ia juga masih merasa canggung berada di dekat Kurama. Naruto ikut duduk disamping Obito yang sudah duluan duduk dengan nyamannya. Dasar, main ninggalin aja nih anak!
"Obito teme, apa yang kau rencanakan huh?" tuntut Naruto kepada Obito yang kini malah asik membaca majalah kesehatan.
"Nothing." Ujar Obito pendek.
Naruto menutup matanya. Ia sedang menetralisir degup jantungnya yang sejak ia meninggalkan apartemen terus berdebar kencang. Ia takut. Hubungannya dengan Sang Kakak tidaklah begitu baik dan Naruto tahu, bahwa ialah yang menyebabkan kecangungan ini berlanjut. Semua berawal dua tahun yang lalu, ketika ia baru saja mengenyam pendidikan kedokteran... Naruto memutuskan untuk menjadi seorang avenger. Ia terpaksa melanggar janji yang ia buat dengan Kaa-sannya ketika sekarat dan janji dengan Kurama untuk tidak berurusan apapun dengan pekerjan Tou-san dahulu.
"Naruto! Apa maksudmu keluar dari kedokteran?! Jelaskan apa tujuanmu!"
"Aku memutuskan menjadi avenger, Aniki. Untuk membalaskan kematian Kaa-san dan Tou-san, aku terjun ke dunia yang sama dengan Tou-san." Ujar Naruto dengan suara datar. Tatapan matanya bukanlah lagi Naruto yang selama ini Kurama kenal.
Mata penuh dendam.
Hati Kurama mendadak sakit, "Balas dendam tidak akan menyelesaikan apapun, Naruto! Kau mau dirimu termakan oleh dendam HAH?! Kemana senyum Namikaze Naruto selama ini?!" ujar Kurama sembari menguncangkan tubuh Naruto.
Naruto tersenyum miring, "Aniki tahu? Selama ini ku hanya bertahan dibalik topeng manisku saja... demi dirimu."
Kurama tercenggang mendengar ucapan Naruto, ia tidak menyangka bahwa kekhawatirannya selama ini adalah benar.
"Awalnya kupikir dengan menjadi 'Namikaze Naruto' yang selalu ceria dengan senyum manis terpantri diwajahnya akan menghapus sedikit demi sedikit dendamku dan tidak membuatmu khawatir denganku. Tapi..." Tangan Naruto terkepal kuat , "Dendam itu tidak hilang Aniki! Lalu aku harus bagaimana?! Rasanya seperti tercekik ketika terus berpikiran bahwa pembunuh Kaa-san dan Tou-san masih bernafas dengan damai!" nafas Naruto tersenggal-senggal. Air mata yang bercampur tatapan kemarahanlah yang terlihat oleh Kurama saat ini.
"Lalu kau ingin menghukum mereka?" Tanya Kurama, dingin.
"Huh! Mata dibalas mata, aku tidak menginginkan hukuman untuk para pembunuh itu. Kematian merekalah yang ku inginkan."
"Terserah padamu, Naruto."
Kurama berlalu dengan setitik air mata turun mengenai pipi kirinya.
'Tenang, Naruto. Dinginkan kepalamu dan ucapkan secara jelas tujuanmu.' Batin Naruto.
"Makan malam sudah siap!"
Naruto membuka kembali kedua matanya, kini ia lebih siap menghadapi kakaknya. Orang yang selama ini ia hindari. Dengan langkah lebar ia berjalan mendekati Kurama.
"Kurama Nii-san, aku – "
"Makanlah dahulu, setelah itu kau boleh menyampaikan apa tujuanmu kemari." Potong Kurama yang sudah duduk pada kursinya.
Naruto kembali menelan ucapan yang ingin ia sampaikan. Kedua tangannya yang berada disisi terkepal dengan erat. Dengan perlahan ia menarik nafas kemudian membuangnya kembali. Naruto mengambil duduk disamping Obito yang duduk berhadapan dengan Kurama. Naruto menatap menu makan malam yang disajikan oleh Kurama. Hatinya terenyuh, dalam diam ia menikmati makan malam yang disajikan.
000
"Jadi, apa tujuan kalian datang kemari?" tanya Kurama. Ucapan yang dikeluarkannya saat ini benar-benar bukanlah nada yang bersahabat.
"Ku, bisakah kau menunjukan sedikit barang peninggalan Minato-san?" Obito mengatakan tujuan dengan sangat jelas, mengabaikan raut wajah Kurama yang berubah.
"Untuk apa? Kasus Tou-san sudah ditutup, tidak ada hal yang harus kalian selidiki lagi." Ujar Kurama, ia sedikit menekankan kata 'kalian' dan 'selidiki' sebagai bentuk ketidaksukaannya.
"Ku, dengar. Aku tahu kau benci, tapi bantulah aku dan Naruto. Kami harus menemukan petunjuk," Ujar Obito, sedikit memberikan pengertian pada Kurama. "Dan kau pikir petunjuk tersebut ada pada peninggalan Tou-san? Konyol." Ujar Kurama sengit, ia mendengus kasar mendengar permintaan Obito.
"Obito tidak pernah bilang petunjuknya ada pada peninggalan Tou-san, Nii-san. Hanya memeriksa saja, setelah itu kami tidak akan memeriksanya kembali." Naruto dengan keberaniannya, ia mencoba untuk menghadapi ketakutannya saat ini.
Ini bukannya saat untuk lari, Naruto! Kau adalah polisi, dan sudah seharusnya bersikap layaknya polisi!, Batin Naruto dengan keyakinannya.
Kurama menatap kedua orang dihadapannya tanpa ekspresi. Tidak sejengkalpun badannya terlihat akan beranjak dari kursi ruang tengah, bahkan kakinya yang ia tumpu secara silang tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. Obito menelan ludah secara perlahan, sejujurnya ia lebih mengkhawatirkan Naruto sejak awal. Ia tahu bahwa Naruto terlalu memaksakan dirinya, tapi ia tidak bisa membiarkan Naruto yang selalu lari dan Kurama yang selalu menyibukkan diri. Terlebih dari ekspresi Kurama, Obito telah memperkirakan bukan hal yang mudah meminta hal ini pada Kurama. Gemas dengan suasana yang kian mencekik, Obito beranjak pertama kali, meski dalam hati ia memaki betapa keras kepalanya si bodoh orange ini.
"Ah, sepertinya tidak berkenan. Maka, aku dan Naruto akan undur diri. Selamat malam, " ujar Obito, memberikan ucapan pamit, "Ayo, Naruto. Kita kembali."
"Duduk, Obito." Suara tegas Kurama berhasil membuat Obito terdiam berdiri.
"Ingat, hanya kali ini saja. Tidak ada lain kali." Ujar Kurama yang menatap Obito dan Naruto secara bergantian. Setelahnya, Kurama beranjak dari kursi menuju suatu ruangan, meninggalkan Naruto dan Obito dengan suara dentuman pintu pelan.
"HAAH! Gila gila gila, Ku sialan!" Desis pelan Obito seraya kembali mendudukan diri dengan kasar kembali.
Naruto tersenyum kecil, tidak disadari oleh Obito, ia bersyukur bahwa Kurama tidak mengusir dirinya dan Obito keluar. Meski samar, Naruto merasa hatinya sedikit menghangat. Setidaknya ia tahu, kakaknya masih memedulikannya. Dan bagi Naruto, itu sudah cukup.
"Maaf menunggu lama." Ujar Kurama yang tengah membawa sekardus berukuran sedang.
Kurama meletakan kardus tersebut diatas meja tengah, "Dari semua, hanya ini yang tersisa. Aku tidak tahu , petunjuk seperti apa yang kalian maksud, tapi silakan kalian periksa," ujar Kurama seraya kembali mendudukan diri.
Obito melirik pada Naruto, Naruto menganggukan kepalanya, "Terimakasih, Nii-san."
Naruto segera membuka penutup kardus dan terlihat olehnya hanya beberapa file, empat buah buku, dan foto album. Dahi Naruto menyerengit, entah perasaan apa yang merasuki, yang jelas isi dalam kardus ini cukup janggal baginya. Satu-satu ia keluarkan barang-barang peninggalan Tou-san. Bersama Obito, mereka memeriksa file-file yang tersisa tetapi masih belum menunjukan petunjuk yang cukup. Naruto meraih salahsatu buku dan secara tiba-tiba ia terdiam.
"Ada apa Nar?" tanya Obito.
Naruto tidak langsung menjawab. Ia menatap sampul buku berwarna merah. Jari telunjuk kanannya mengetuk pelan sampul bagian bawah buku tersebut.
"Obito, Nii-san, bisakah kalian pinjamkan aku cutter ataupun pisau lipat?" Minta Naruto tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tersebut.
"Ini." Kurama menyerahkan sebuah cutter pada Naruto.
Naruto mengambil cutter tersebut dan ia dorong sedikit sampai mata cutter tersebut muncul. Ia arahkan mata cutter tersebut pada bagian atas samping buku dan menariknya kebawa. Setelah menciptkan robekan, Naruto membuka isi dari buku tersebut dan betapa terkejutnya ia terdapat sebuah kaset rekaman beserta kunci didalamnya.
"Ini.." Naruto terlalu terkejut sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Kurama memincingkan matanya, ia sedikit terganggu dengan reaksi Naruto serta Obito yang terlihat sama, "Apakah kalian sebelumnya merasa pernah melihat barang-barang tersebut?"
"Ku, apa buku merah ini kau dapat dari seseorang?" ujar Obito. Ia harus memastikan asal buku ini terlebih dahulu.
"Jawab pertanyaanku dulu, brengsek!" Kurama mengeratkan kepalan tangannya, rahangnya mengeras. "Berhenti bertingkah mencurigakan,"
"Nii-san, maaf bila diriku dan Obito lancang." Naruto mengambil nafas sejenak, ia masih berperang batin dengan pikiran dan hatinya, tapi sekarang ia sudah memantapkan diri.
"Nii-san, apakah masih mengingat tentang kasus kematian teman Tou-san, Uchiha Mikoto?" Naruto memulai pembukaan. Ia melirik sekilas raut Obito yang menunjukan ketidaksetujuan. Sayangnya, tekadnya sudah bulat.
Kurama menarik nafas dan merilekskan dirinya kembali. Ia menyesali kontrol emosinya yang kelepasan tadi.
"Uchiha.. Mikoto?" Dahi Kurama menyerengit. Ia merasa pernah mendengar nama tersebut sewaktu kecil, "Ah, Mikoto-san. Aku tahu. Lalu?"
"Aku tidak bisa menjelaskan detailnya seperti apa, secara garis besar aku berada dalam misi yang berhubungan dengannya. Seperti Nii-san tanyakan sebelumnya, baik aku dan Obito belum pernah melihat langsung benda ini," ujar Naruto seraya menaikkan sedikit buku tersebut. "Ini hanya asumsiku saja, kunci ini milik keluarga Uchiha."
"Apa?"
"Makanya Obito menanyakan apakah Nii-san mendapatkan ini dari seseorang atau tidak." Lanjut Naruto.
"Tapi bisa saja tidak, Naru." Balas Kurama.
Tubuh Naruto sedikit meremang mendengar panggilan "Naru" padanya, "Sudah kubilang kan, ini hanya asumsiku saja."
Obito melirik kembali Kurama, sedikit kedutan muncul didahinya ketika raut wajah kurama yang tidak menunjukkan apa-apa, "Oi, Kurama,"
"Buku itu... kudapatkan dari Orochimaru."
"Hah?! Orochimaru? Si Dokter aneh bagian otopsi itu?!" Obito terkejut bukan main.
Siapa yang tidak kenal dengan Orochimaru. Ia adalah dokter yang menangani otopsi-otopsi setiap kejadian, ia dokter aneh dan suka sekali membicarakan hal-hal berkaitan dengan hidup dan mati. Ia sangat terkenal dikalangan kepolisian dari divisi manapun.
Kurama mengangguk pelan, "Ia secara langsung menemuiku dan menyerahkan buku itu ketika aku selesai mengambil barang peninggalan yang tersisa."
"Apa yang ia katakan, Nii-san?"
"Ia hanya berkata, 'Simpanlah dan ini akan berguna untuk kedepannya.' Begitu."
000
"Cih! Si Orochimaru itu! Bagaimana bisa ia memiliki barang tadi?" Obito masih menggerutu dalam mobil selepas pergi dari kediaman Kurama.
"Bagaimana bila sekarang kita ke kantor? Orochimaru-san pasti masih berada di labnya saat ini," usul Naruto setelah melirik jam digital di dalam mobil.
"Bodoh! Mana bisa,"
"Apa maksudmu? Ini kan – "
Naruto tersadar dan ia menepuk keras dahinya, ia lupa. Ia lupa jika mendatangi lab Orochimaru saat ini hanya akan berakhir dengan ceramah panjang dari Hiruzen. Orochimaru tidak suka bila sedang meneliti kemudian diganggu.
"Cih."
"Besok aku dan Kakashi akan menemui si Orochimaru itu. Kau fokus saja pada tugasmu, Naruto." Ujar Obito,
"Baiklah. Segera kabari aku."
"Okay."
000
Sama seperti hari – hari biasa lainnya, hanya duduk mendengarkan guru, mencatat, kemudian istrirahat. Di saat anak lain berkumpul dengan teman – temannya sekedar untuk bercuap – cuap atau menikmati makan siang. Naruto memakan roti melon dengan tenang pada taman kecil dipinggiran sekolah. Sekotak susu yang telah ditancapkan sedotan, ia raih dan didekatkan ujung sedotan pada bibir peachnya. Ia menikmati sekali keheningan disekitar, ia berharap suatu hari ini ia bisa menikmati ini seutuhnya, tidak seperti sekarang.
"A-anoo..."
Kepala pirang Naruto menengok ke sebelah kirinya. Ia melihat dua orang siswa berbeda warna rambut mendekat kepadanya. Yang satu terlihat malu- malu , sedangkan yang lainnya terlihat santai.
"Ya?"
"B-boleh kita makan siang bersamamu?" tanya si gadis malu-malu tersebut.
Senyum Naruto merekah, "Boleh. Kemarilah."
"Ah, kalian panggil saja aku Naruto. Yoroshiku." Lanjut Naruto.
"N-namaku Hinata, dan ini sahabatku, Tenten." Ujar Hinata – gadis malu malu – setelah mendudukan diri di dekat Naruto.
"Oh, kalau tidak salah aku tidak sengaja menabrak itu kan? Jadi namamu Hinata ya? Nama yang cantik."
Pipi Hinata sedikit bersemu, ini pertama kalinya setelah Tenten ada orang yang berbicara begitu santai padanya.
"Naruto-san, kau satu kelas dengan Neji,bukan?" ujar Tenten. Matanya memincing tajam tanpa adanya senyuman. Benar – benar tidak menunjukkan kesan yang baik.
Naruto mengingat kembali sosok bernama 'Neji' itu, "Ah, iya."
"Menurutmu bagaimana?"
"Eh?"
Naruto mengerjap bingung. Apa-apaan dia ini?, batin Naruto.
Garis bibir Tenten mulai terbentuk, ia akhirnya memberikan sedikit senyumannya. "Ah, kurasa aku salah menilaimu. Ku pikir kau salahsatu dari 'orang – orang idiot',"
"Tenten!" Hinata memanggil Tenten dengan cukup keras, sepertinya ia takut Tenten akan berbuat masalah pada Naruto.
"Orang – orang idiot?"
"Itu loh, yang menjadi fans – fans untuk orang semacam Neji atau Uchiha itu." Ujar Tenten.
Bibir Naruto berkedut sedikit. Ternyata ada juga gadis yang membencinya ya, batin Naruto sedikit lega bahwa masih ada siswi yang berpikiran rasional.
"Ohya, tadi aku bilang salah menilaiku. Memang kenapa kau berpikir aku salahsatu dari'nya'?" tanya Naruto. Well, Naruto tidak marah kok, lagian memang ini pertemuan pertama mereka. Ia hanya ingin tahu alasannya saja.
Tenten menatap Naruto, "Kau cantik."
"A- ah, terimakasih. Tapi kurasa itu bukan sebuah .. "
"Benar kok! Semua yang berparas cantik pasti termasuk golongan-golongan itu. Makanya tadi aku salah menilaimu, kupikir kalian sama." Ucap Tenten dengan jujurnya.
Naruto tertawa kecil. Hinata dan Tenten saling bertatapan heran, "Apa yang lucu, Naruto-san?" Tanya Tenten.
"Ah, maaf. Tadi kau bilang yang berparas cantik akan menjadi golongan itu, tapi kalian memiliki paras cantik ini kenapa tidak?" ujar Naruto. Ini pertama kali semenjak ia pindah ke sini dapat berbicara sesantai ini. "Ah, panggil saja Naruto, tanpa –san, Hinata, Tenten."
Ternyata berbicara santai bersama teman wanita itu menyenangkan juga ya, batin Naruto, sedikit meringis bahwa kenyataannya ia sangat jarang memiliki teman wanita yang bisa diajak berbicara ringan begini.
"Cih, lebih baik aku jadi fansnya Guy-sensei saja daripada jadi pengagung mereka." Ujar Tenten cepat.
"Mou, Tenten. Tidak baik seorang gadis mendecih seperti itu," Tegur Hinata.
"Baiklah, baiklah, didikan Hime memanglah berbeda ne Naruto?" Tenten melirik Naruto, ia tengah mencari sekutu ketika Hinata sudah mengomeli ucapannya yang kadang suka kasar ini.
Naruto tersenyum kecil, "Aku baru tahu bahwa kau di didik ala putri, Hinata."
Tubuh Hinata sedikit menegang, sedikit samar tapi di mata biru Naruto sangat terlihat jelas. Tentu saja Naruto sudah mengetahui siapa sosok didepannya ini. Ia adalah Hyuuga Hinata. Merupakan adik sepupu dari ketua kelas Naruto, Hyuuga Neji. Dari data yang diberikan oleh Kapten Hiruzen, hubungan Neji dengan Hinata tidak begitu baik. Hanya data itu saja yang diberikan, mungkin masalah hubungan itu adalah rahasia dalam suatu klan, jadi tidak boleh sembarang orang mengetahui.
"I-iya," ujar Hinata pelan, "Ayo kita segera makan, sebelum bel istirahat selesai." Hinata segera membuka bento yang ia bawa dan memasukan menu makanan ke dalam mulut kecilnya.
000
Pelajaran terakhir hari ini telah usai. Bersamaan perginya sensei, ruang kelas kian ricuh seperti saat pagi hari. Naruto merapikan alat tulis dan buku miliknya dengan telaten, satu –satu ia masukan ke dalam tas hitam miliknya. Hari ini ia berencana akan menginap diapartemen senpainya bersama Obito mengingat tempatnya baru-baru ini disadap, ia akan menyelidiki isi kaset rekaman yang ditemukannya kemaren.
"Uzumaki."
Pergerakan tangan Naruto terhenti di udara. Pandangan matanya mendongak hingga bertatapan dengan sosok jangkung yang berdiri didepan mejanya. Tatapan mata intimidasi milik sosok itu tidak membuat Naruto gentar.
"Ada perlu apa, Uchiha-san?" tanya Naruto dengan nada lembut.
Sasuke mengeratkan rahangnya, "Ikut denganku keatap. Sekarang."
"Baiklah. Tapi, kurasa kau harus menunggu dahulu luar. Karena sekarang aku sedang sibuk." Ujar Naruto tenang. Ia tidak boleh kelepasan emosi mengahadapi bocah seperti Sasuke. Dan ia telah memiliki asumsi tentang apa yang ingin dikatakan oleh Sasuke saat ini padanya.
"Tidak. Kita pergi bersama."
Sasuke langsung mengambil kasar barang – barang diatas meja Naruto dan memasukkannya dengan kasar ke dalam tas. Ia langsung pergi dari meja Naruto bersama tas milik Naruto.
"Berhenti Uchiha Sasuke!" teriak Naruto.
Dengan langkah kaki lebar ia menyusul Sasuke yang sudah seenaknya menyabotase tas miliknya menuju tempat yang telah mereka sepakati tadi. Kejadian tadi tentu membuat seisi kelas 2-B tercenggang. Sakura yang sejak awal mengamati, tentu ia cemburu tapi ia juga tidak bisa melakukan apa –apa. Membocorkan identitas Naruto sama saja mengingkari janji ia dengan Paman Fugaku. Dan Sakura tidak suka bila nanti Paman Fugaku beralih menjadi tidak menyukainya.
"Hei, kira – kira apa yang sudah dilakukan oleh si Uzumaki itu terhadap Sasuke?" Tanya Kiba. Ia sangat tertarik dengan Naruto sejak awal, menurutnya Naruto sangat berbeda dengan gadis lain. Gadis yang tidak takut terhadap ucapan orang dan tidak tunduk pada siapapun.
"Ne, Sakura. Jangan – jangan Sasuke –kun mu itu – "
"Kau lanjutkan lagi ucapanmu itu, ucapkan selamat tinggal pada persahabatan kita, Ino." Putus Sakura. Ia kesal tapi bisa ia luapkan .
Sialan! Shanaro!, batin Sakura murka.
Ino hanya mengendikan bahunya, "Aku hanya bilang, sayang. Bukan berarti itu kenyataan kan? Atau kau memang menginginkannya?"
"Ino!"
"Okay okay! Enough Sakura, cuman bercanda." Ujar Ino dengan gerakan kedua tangan diatas, seolah menunjukkan bahwa ia menyerah.
Kiba terkikik kecil melihat wajah Sakura yang memerah menahan amarah dengan gestur tidak peduli Ino. Sebuah kombinasi persahabatan yang aneh tapi nyata adanya.
"Ne, Neji. Menurut bagaimana?"
Neji menatap Kiba tajam, "Bagaimana apanya?"
"Jangan bersikap pura – pura, bodoh. Kau tahu apa maksudku Neji." Ujar Kiba, dahinya berdenyut menanggapi tanggapan tak bersahabatnya Neji.
Neji mendengus kasar, "Bukan urusanku."
Neji melangkahkan kakinya dengan segera menuju pintu kelas. Tangan kanannya mendorong pintu geser dengan cukup kuat sehingga menimbulkan dentuman pintu yang memekak.
"Hinata?"
Hinata tersentak kaget karena ia memang persis didepan pintu kelas. Sekarang ia lebih terkejut melihat Neji didepannya.
"Neji – niisan." Cicit Hinata. Ia segera menundukan wajahnya, menghindari tatapan tidak suka Neji.
"Maaf sudah mengganggu!" Ujar Hinata cepat dan membalikan badannya sebelum Neji mengucapkan perkataannya.
Neji menatap dingin kepergian Hinata dan menghiraukan berbagai sindiran Kiba kepadanya.
000
"Kemarikan tasku, Uchiha-san."
Naruto dan Sasuke sedang berada diatap sekolah. Sasuke benar-benar telah menyiapkan tempat ini yang dirasa Sasuke menguntungkan. Pintu akses telah dikunci oleh Sasuke dan berada ditangannya. Sehingga orang lain tidak bisa mengganggu dan Naruto tidak mungkin kabur. Kemudian suasana yang cukup hening dan luasnya tempat cukup untuk menyamarkan pembicaraan mereka dari orang-orang.
Dalam hati Naruto mengakui kepintaran Sasuke, meski sekeliling terlihat menguntungkan bagi Sasuke, Naruto telah menyiapkan segala hal yang mungkin akan terjadi. Mata birunya menatap dalam Sasuke yang berdiri berhadapan tak jauh dari ia berdiri. Kedua tangannya ia masukan ke dalam saku. Dikedua bahunya tersampirkan tas miliknya dan Naruto. Awalnya ia meragukan rencana mengambil tas Naruto, mengingat ia seorang polisi. Tidak disangka bahwa Naruto akan mengejar hanya untuk tasnya, sedikit senang rencananya berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Sasuke melemparkan tas Naruto, tepat dihadapannya. "Ambil."
Angin berhembus cukup kencang. Meliuk-liukan rambut pirang Naruto yang bersinar terang akibat paparan sinar mentari sore. Tidak sedikitpun Naruto bergerak mengambil tasnya, tidak semenjak tas tersebut dilemparkan.
"Tadi kau memaksa dikembalikan, sekarang diam. Apa yang kau takutkan?" ucapan Sasuke terdengar merendahkan. Tatapannya masih belum lepas dari gerak gerik Naruto.
Naruto tersenyum kecil, "Bukankah itu kau?"
"Kau sengaja melemparkan tasku dengan memperkirakan bahwa aku akan mendekatinya dan setelah itu dengan serangan cepat kau akan memojokanku. Bukankah begitu rencanamu, Uchiha-san?" ujar Naruto, membeberkan rencana Sasuke hanya berdasarkan gerakan dan gestur tubuhnya.
Rahang Sasuke kembali mengetat. Tangannya terkepal didalam saku celananya, ia tidak rela mengakui bahwa gadis didepannya ini rupanya cerdas. Membaca salahsatu rencana dengan hampir sempurna. Seringai kecil muncul dibibir tipis Sasuke.
Tidak menyenangkan bukan bila lawanmu mudah dikalahkan, Batin Sasuke picik.
"Kurasa kau tidak mengerti situasimu, Uzumaki. Tanpa harusku memojokan dirimu, kurasa aku tetap akan mendapat apa yang ku mau," ujar Sasuke tanpa menghilangkan seringainya.
"Hee.. begitu? Kalau begitu, menurutmu aku akan diam saja? Jangan sombong, Sasuke! Kau hanya seorang anak SMA yang bahkan masih dalam naungan ayahmu." Ujar Naruto. Saat ini Naruto menghadapi Sasuke layaknya profesional. Bahkan ia tidak memanggil dengan Uchiha-san.
"Kau! Memangnya apa yang kau tahu tentang diriku sialan!" Kemarahan Sasuke tersulut akibat ucapan Naruto yang sangat mengganggunya.
"Memang benar aku tidak mengenal dirimu, tetapi harusnya kau sadar! Kelakuanmu tidak hanya berdampak padamu tetapi juga pada sekitar." Naruto menaikan suaranya. Tidak membentak, hanya mengencangkan pita suara pada sosok bebal didepannya.
"Ayahmu telah mengetahui aktivitas ilegalmu dengan hampir meretas dokumen pribadi kasus ibumu." Lanjut Naruto.
"Ilegal? Aku melakukan demi ibuku! Itu hanya akal-akalan si pak Tua itu saja agar menjauhkanku dari fakta menyangkut kematiannya." Ujar Sasuke. Emosinya masih meluap-luap.
"Aku mengerti perasaanmu, Sasuke." Ujar Naruto. Ia bukan menunjukan rasa iba karena senasib dengannya, ia hanya ingin meredakan amarah Sasuke yang masih meluap.
"Mengerti ?" Sasuke tertawa sangat keras, "Dimana bagian kau mengerti hah?! Aku benci dengan fakta bahwa pak Tua iu memberikan ku seorang baby sitter, tapi aku lebih benci kau yang sok mengasihaniku! Aku tidak butuh simpatimu."
"Aku bukan bersimpati padamu, bukan juga mengasihani." Balas Naruto.
"Berhenti dari pekerjaan ini. Kau hanya akan mengganggu bila terus menghalangiku."
"Uwah, lancang sekali mulutmu, Sasuke. Tapi maaf saja, aku tidak akan mundur."
Sasuke menghempaskan tasnya dengan kasar. Ia bergerak mendekati Naruto dan berdiri tepat dihadapannya.
"Kau benar-benar gadis bebal, usuratonkachi." Desis Sasuke. Mata hitamnya memincing.
"Itu nama tengahku." Jawab Naruto disertai dengusan kecil.
Sasuke mencengkram kencang kerah baju Naruto. Sedikit tubuh Naruto terangkat, Naruto mencengkram erat pula kain kemeja sekolah Sasuke dibagian lengan bawah.
"Bila dengan berbicara tidak mempan, tampaknya dengan paksaan mungkin lebih bisa membuka matamu, Uzumaki." Ujar Sasuke. Seringainya makin lama terlihat makin keji.
Tangan Naruto semakin mengencang erat. Dengan perlahan ia naikan kaki kanannya hingga sepantaran dengan perut Sasuke. Sedikit ia ayunkan badannya ke belakang, kemudian dengan gerakan cepat ia menendang kuat sampai cengkraman pada kerah leher terlepas. Sasuke terbatuk kasar dengan tangan kiri memegangi perutnya yang berdenyut nyeri. Ia tertendang cukup keras, untungnya tidak mengenai ulu hati.
"Brengsek!" maki Sasuke pada Naruto yang sama masih terbatuk-batuk akibat cengkramannya tadi.
"Harusnya aku yang bilang begitu Teme! Beraninya melakukan kekerasan terhadap perempuan." Balas Naruto. Nafasnya masih belum teratur, deru nafasnya terdengar cukup keras.
Sasuke bangun perlahan, tangan kirinya masih setia memegangi perut. "Berhenti menceramahiku Dobe!"
Bibir Naruto berkedut samar, "Teme! Akh!"
Naruto masih mengusap lehernya yang memerah. "Sasuke, kuberi kau satu penawaran, terserah mau kau ambil atau tidak."
Sasuke terdiam tanpa melakukan apa – apa. Menunggu lanjutan ucapan Naruto.
"Mari kita bekerja sama. Kau akan kuberi kebebasan menyelidiki kasus ibumu, dengan syarat kau tidak mengganggu pekerjaanku. Bagaimana? Kau bebas mendapatkan informasi, dan aku dapat segera menyelesaikan tugasku. Dengan begitu, semakin cepat pula kita akhiri hubungan konyol ini."
"Hanya itu saja? Ku tolak." Ujar Sasuke cepat. Ia bukan hanya sekedar untuk tahu, ia ingin membalaskan dendam juga. Pada orang yang merenggut ibunya. Siapapun itu.
"Kau bisa menangkap pelakunya, tentu dengan arahanku."
"Tidak. Aku ingin menanganin sendiri bila pelakunya tertangkap."
"Baiklah! Kau bisa menangkap pelakunya sendiri dan memberikan sedikit hukuman padanya. Puas?" ujar Naruto. Ia tidak akan menyerah untuk 'mengendalikan' anak satu ini.
Sasuke tersenyum kecil, "Sedikit hukuman? Kau yakin?"
"Ya, tapi tidak sampai menghilangkan nyawa. Sampai pengadilan menyatakan hukuman yang pantas diterima, seorang tersangka tidak boleh terbunuh baik sengaja ataupun tidak. Kecuali dalam kondisi tertentu, Teme."
"Baiklah. Ku terima tawaranmu," ujar Sasuke, Naruto sedikit lega bahwa tawarannya mulai diterima. "Tapi, aku juga ingin menambahkan tawaran tadi. Dengan begitu impas."
Dahi Naruto merengut dalam, "Impas? Tawaranku tadi sudah impas untuk berdua, mau tambah apa kau?"
"Bantu aku hentikan perjodohanku."
"Apa?! Oi, Teme, tawaranmu itu sungguh lucu! Menggagalkan perjodohanmu? Kau saja sendiri yang membatalkan, tidak usah membawaku serta." Sembur Naruto.
"Berhenti mengomel, Dobe! Aku hanya butuh jawaban ya atau tidak, bukan omelanmu." Balas Sasuke sengit, "Kau yang tadi menawarkan kerjasama, harusnya menerima saja."
Kepala Naruto terasa pening luar biasa. Uchiha satu ini benar – benar lebih menyebalkan, rasanya seperti menghadapi 10 orang Obito. Keras kepala dan pemaksa. Hembusan nafas kasar dari Naruto membuktikan betapa lelahnya ia menghadapi si Uchiha bungsu ini.
"Baiklah! Ku bantu, tapi jika tidak berhasil kuharap kau menerima saja takdirmu dijodohkan, Teme." Ujar Naruto dengan datarnya. Ia sudah hampir kehilangan kontrol, maka dari itu ia mengalah.
Sasuke mendengus kecil, "Deal."
"Kau ingin gadis seperti apa untuk dijadikan dalam sandiwaramu?" tanya Naruto. Saat ini juga ia akan cari gadis tipe Sasuke agar kerjasama yang mereka sepakati dalam segera terlaksana.
Mata hitam Sasuke memutar malas, "Untuk apa mencari bila sudah ada."
Naruto terdiam mendengar ucapan Sasuke. Tunggu! Jangan bilang bila ...
"Maksudmu aku?!"
Sasuke menampilkan seringai kecilnya kembali.
"Brengsek Sasuke!"
Naruto mendekat kearah Sasuke dan menarik dasi sekolah Sasuke sampai wajah mereka sepantaran. "Apa maksudmu melibatkanku? Cari saja yang lain!"
"Kalau begitu, batalkan saja kerjasama tadi. Biar kuingatkan kembali, kau yang setuju akan membantuku. Kau juga tidak bertanya sebelumnya tentang gadis mana yang akan kugunakan. Kenapa kau harus marah sekarang?" balas Sasuke dengan datarnya.
Naruto mengeratkan eratan pada dasi Sasuke, "Kalau kau berharap denganku akan berhasil, lupakan. Kau hanya akan gagal."
"Tidak akan tahu sebelum mencobanya."
Naruto menghempaskan kasar tubuh Sasuke. Ia tidak akan mengatakan apa – apa lagi dan membalikan badannya mengambil tas miliknya diatas lantai.
"Cepat buka pintunya Uchiha." Perintah Naruto.
"Sasuke. Panggil aku Sasuke."
"Ck! Cepat buka pintunya Sa-su-ke."
Tanpa diduga Sasuke mencium sekilas ujung bibirnya. Mata biru Naruto membulat horror. Tangannya sedikit bergetar menyentuh ujung bibirnya yang 'ternodai'. Sasuke terkekeh pelan melihat reaksi Naruto.
Wanita tetaplah wanita, batin Sasuke merasa menang.
"Yoroshiku ne, Do-be."
Sasuke melanjutkan langkahannya menuju pintu dan memasukkan kunci pintunya. Ia tarik pintu atap hingga menimbulkan derit suara yang cukup kencang.
"Ingat dobe, melanggar kerjasama kita. Ucapkan selamat tinggal untuk semua." Ancam Sasuke dan setelahnya ia menghilang dibalik pintu.
"BRENGSEK KAU UCHIHA!" Teriak kencang Naruto diatas atap sekolah Konoha Academy dilatari oleh langit orange keunguan.
.
.
TBC
Haii~
Chapter kedua telah rampung yey~
Untuk ini sedikit lebih panjang hehe, semoga suka yaa
Ditunggu review, foll, dan fav nyaa~~
Bye byeee