"STAY WITH ME"

Disclaimer : Nama-nama yang tercantum dalam cerita sepenuhnya milik mereka. Jungkook milik Taehyung. Taehyung milik saya *eh. I own nothing except the whole story line.

Genre : Romance, Drama-Hurt

Main Casts : Kim Tae Hyung x Jeon Jung Kook

Other Casts : Kim Nam Joon | Kim Seok Jin | Min Yoon Gi | Jung Ho Seok | Park Ji Min | Choi Soo Young

Rated : M (Buat Jaga-Jaga)

Warning : Top!Taehyung x Bottom!Jungkook

YAOI, BoyxBoy, Akan ada banyak kisah flashback

Typo everywhere

Chapter 20 – Last Chapter

Jeon Jungkook POV

Musim semi tiba.

Pergantian musim menghantarkanku ke sebuah lembaran baru.

Dingin di musim dingin perlahan sirna. Meski di musim dingin hangat matahari masih bisa kurasa, rupanya mentari di musim semi jauh lebih menyenangkan dari yang kukira. Gelanyar kehangatan itu begitu terasa dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mungkin itu sebabnya banyak orang yang menyukai musim ini. Pemandangan cherry blossom yang bermekaran begitu indah dilihat.

Aku meletakkan handuk yang baru saja kugunakan untuk mengeringkan rambut. Kakiku melangkah ke luar dari kamar mandi. Aku membuka tirai hotel yang kutinggal selama beberapa hari ini. di luar terlihat banyak tamu hotel yang bersua foto di antara pohon sakura. Memang benar kata orang, musim semi memang lebih enak jika dinikmati langsung keluar.

Itu sebabnya aku buru-buru mengambil hair dryer dan mengusap-usap rambutku.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk bersiap. 15 menit saja cukup.

Dengan kamera yang menggantung di leher, sepatu converse hitam, dan bucket hat, dan sedikit lotion, aku siap menjelajahi negara ini.

Kurasa menolak tawaran Yoongi hyung untuk berlibur ke Saipan tak buruk juga. Dengan tolakan itulah aku bisa memiliki me time yang sulit kudapatkan ini.

Saat meminta izin pada appa untuk pergi ke Osaka, jelas tolakan besar yang kuterima. Ia beranggapan jika bepergian sendiri masih cukup membahayakan. Akan tetapi berkat bantuan Yoongi hyung, ayahku itu akhirnya mengizinkanku untuk pergi selama 10 hari sendirian menuju negara ini. Walau berat, katanya udara segar sangat cocok untukku, sama seperti yang dianjurkan Yoongi hyung.

Benar saja. Selepas menjejakkan kaki di kota ini, rasanya pasokan udara segar masuk secara bebas ke dalam paru-paruku. Bernapas rasanya tidak sesesak dulu. Walau masih ada perih yang tersisa. Setidaknya di sini aku bisa melepaskan sejenak pikiran-pikiran yang membelenggu.

Dari sekian banyak negara dan kota yang bisa kudatangi, entah mengapa Jepang dan Osaka adalah pilihanku yang terakhir. Tak ada alasan khusus. Rasanya kota ini jadi tempat yang tepat saja untuk melarikan diri dari semua kerumitan yang kualami. Walau nyatanya negara ini masih berhubungan dengan rasa sakit ini.

"Aku baik-baik saja, hyung. Ini baru akan keluar mencari makan. Kau sendiri bagaimana?"

Aku tersenyum simpul mendengar jawaban Yoongi hyung yang tiba-tiba menelponku. Pria itu berkata jika ia sedang makan dengan seseorang. Tak perlu kutanyakan siapa orangnya. Sudah jelas jawabannya terpeta di pikiranku.

Sebesar apapun upayanya untuk menutupi hubungan itu, nyatanya Yoongi hyung tak pernah benar-benar bisa membohongiku. Selalu saja ada celah yang membuatku tahu jika ia tetap melanjutkan sesi pendekatan dengan Jimin.

Mungkin ia merasa bersalah padaku karena Jimin adalah temannya. Namun dari dalam hatiku jujur saja aku hanya ingin ia bahagia. Apapun pilihannya yang memang menurutnya baik pasti akan kudukung.

"Aku sudah makan ramen yang kau rekomendasikan kemarin. Enak juga. Besok-besok kau harus makan denganku di sini, okay?"

"Tentu saja. Apa kau mau aku menyusul? Aku bisa saja membeli tiket nanti sore. Tak butuh waktu lama."

"Jangan bergurau. Aku datang untuk mencari ketenangan. Yang ada ketenanganku akan rusak kalau kau menemaniku," candaku. Aku berkaca sebentar pada kaca berframe silver yang menempel di dinding hotel. Setelah merasa wajahku baik-baik saja, akupun mengambil sepatu dan mulai memakainya. "Aku harus pergi sekarang. Keretanya tiba 45 menit lagi. Aku tak mau terlambat."

"Jangan lupa minum obatnya. Jangan menatap matahari terlalu lama."

"Arra. Aku pergi dulu."

Setelah memutuskan sambungan telepon, akupun melangkah keluar dari kamar hotel tanpa ragu-ragu.

Benar seperti yang terlihat dari kamar hotel, musim semi benar-benar indah.

Sembari berjalan aku menggunakan kamera yang sudah lama tak gunakan ini. Mulanya aku sedikit ragu dan khawatir. Karena sudah teronggok begitu saja selama 10 tahun, kupikir kamera ini sudah tak berfungsi lagi.

Entah keajaiban apa yang kudapat, kamera ini ternyata masih berfungsi.

Itu sebabnya perjalanan kali ini harus kuabadikan sebanyak mungkin melaluinya. Sudah lama sekali aku merindukan suara shutter yang terdengar begitu merdu di telinga.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk tenggelam dalam kerinduan yang satu ini.

.

.

.

Pikiranku kosong.

Permasalahan yang semula membelenggu itu entah pergi kemana. Musnah. Hilang. Sirna.

Kabut yang semula menutupi semua inderaku itu menipis dan menguap. Cahaya yang ditangkap retina itu seketika tertutupi oleh kegelapan. Bukan kelam malam yang bisa menjadikan sebuah ketenangan, tapi gelap pekat yang terlihat seperti tirai raksasa yang menyelubungi sukma.

Yang kutahu bernapas rasanya begitu sulit di detik ini. Indera penciumanku lumpuh seketika. Tak ada aroma yang terasa. Tak ada rasa yang tercipta.

Aku tak meronta. Tak pula berkata tidak.

Bahkan tangan yang seharusnya kugunakan untuk melepaskan diri rasanya lemas seketika. Kaki yang dapat kugunakan untuk menendang rasanya memuai saat itu juga.

Aku tak tahu lagi. Seharusnya aku melakukan sesuatu daripada hanya berdiam diri seperti ini.

Harusnya aku melarikan diri saat tangan hangat itu mendekap erat tubuhku.

Harusnya aku mengenyahkan afeksi yang membuatku mati rasa.

Harusnya sekali lagi aku mendorong jauh-jauh tubuh yang pernah menjadi candu itu. Mengikis segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Mengembalikan keadaan seperti semula dimana hanya ada diriku seorang saja di tengah bisingnya dunia.

"Aku tidak bohong. Aku tak akan berbohong lagi padamu."

Setelah bibir yang beberapa detik yang lalu melumatku itu berhenti mengejutkanku, iapun berujar lagi dengan suara bergetar. Raut wajahnya jauh lebih kacau dari yang terakhir kali kulihat. Baju yang ia kenakan masih belum berganti. Begitupula celana yang membalut kedua kaki.

"Jungkook... beri aku kesempatan."

Satu jari telunjuk.

Dengan penuh kehati-hatian mengusap bagian bawah mataku.

Aku tak peduli lagi jika kini orang-orang berlalu lalang sembari memandangi kamu. Aku tak memikirkan lagi Americano mengepul yang semula hendak kuberikan pada Yoongi hyung. Minuman itu teronggok menyedihkan dengan tutup terbuka di bawah sana. Cipratannya mengenai sepatu putih yang ia kenakan. Begitu pula sandal rumah sakit yang kupakai. Semula kupikir panas kopi itu bisa mengagetkan dan membakar kulitku. Nyatanya panas itu tak ada apa-apanya dibandingkan kekosongan yang saat ini kurasa. Mati rasa memang ternyata menyakitkan.

Sekali lagi, aku juga tak peduli jika sekali lagi aku terlihat cengeng dan lemah di hadapannya.

Aku tak bersuara sama sekali. Justru malah ia yang melakukannya.

Taehyungie terisak.

"Jungkook..."

"Harus sejauh mana aku harus menolakmu? Apa yang harus kukatakan untuk menghentikanmu?"

Taehyungie menggeleng kuat-kuat. Jari telunjuk itu kembali menghapus air mata yang turun dalam diam dari mataku. Malah ia mengabaikan matanya sendiri yang tak kalah basah dariku, "Tidak—"

"Hentikan ini semua, hyung," ucapku nyaris tanpa suara. Netraku menatap wajah yang dahulu dengan sangat angkuh menolakku. Pria yang pernah memalingkan wajahnya itu kini terlihat begitu putus asa. Begitu berbeda dengan 10 tahun yang lalu dimana rasanya ia menjadi pemilik segala. Jejak keangkuhan itu tak tersisa sedikitpun.

"Kau tahu apa yang paling menjengkelkan bagiku saat ini? Bukan kau yang mengiba padaku untuk memaafkanmu. Bukan juga kau yang memintaku untuk memberimu kesempatan. Tapi kau yang selalu mementingkan keinginanmu."

Ia menggeleng lagi. Menolak mendengarkan fakta tentang dirinya.

"10 tahun yang lalu kau mementingkan egomu dengan memilih pergi dariku. Kau memuaskan keinginanmu untuk bersenang-senang dalam taruhan itu. Apa sempat kau mempedulikan perasaanku?"

"10 tahun kemudian kau masih juga mementingkan egomu dengan berbohong lagi padaku. Kau ingin jika aku tak tahu identitasmu yang sesungguhnya, bukan? Daripada datang dan meminta maaf secara jantan sebagai Kim Taehyung kau malah menjadikanku sebagai mainanmu selama beberapa bulan ini."

"Itu semua karena egomu, hyung. Aku sangat benci itu."

Kedua tangan, kesepuluh jemari panjang yang dulu begitu kukagumi itu meraih kedua pipiku. Dengan masih terisak jari-jari itu menghapus air mataku. Sedikit menekan pipi, wajahnya kini begitu dekat di hadapanku. Taehyungie menyentuhkan hidungnya ke pucuk hidungku.

"Aku memang brengsek, Jungkook. Aku paham betul. Tapi yang terakhir ini... terakhir ini..."

"Jika kau datang untuk meminta maaf, aku memaafkanmu," bisikku. Diam-diam kugigit bibir bawahku dengan kuat dan mengabaikan perutku yang bergejolak aneh sebelum melanjutkan ucapanku. "Semua kesalahanmu di waktu lalu sudah kumaafkan. Sekarang pergilah. Yang kuminta darimu adalah kau pergi sejauh mungkin dariku."

"Aku tak bisa—" geramnya. Ia mencengkeram pipiku. Tidak kuat, tak juga bisa dibilang lembut. Cengkeraman itu benar-benar menunjukkan emosinya.

Taehyungie menjauhkan wajahnya sedikit. Ia menarik napas dan menatap ke dalam mataku.

Kubalas tatapannya, walau tanpa ada emosi sedikitpun yang kurasa.

"Kumohon... jangan minta aku untuk menjauhimu. Jangan, Jungkook—"

"Lihat dirimu, hyung. Kau mengiba."

Tak gentar.

Tak sedikitpun aku gentar untuk membalas tatapannya walaupun wajahnya terlihat kabur karena air mataku.

"Apakah ini deja vu atau jamais vu? Rasanya aku sudah pernah melalui situasi seperti ini sebelumnya. Situasi dimana aku harus mengiba untuk mendapatkan perhatian orang yang sangat kuharapkan. Situasi dimana segalanya terasa begitu membuat frustasi. Rasanya tidak enak bukan menjadi orang yang mengemis untuk dikabulkan keinginannya? Hanya saja kali ini bukan aku tapi kau yang merasakannya, hyung."

Ia terlihat benar-benar kacau. Taehyungie saat ini benar-benar terlihat seperti seorang anak kecil yang merengek untuk dibelikan permen kesukaannya.

Pria itu mendekatkan wajahnya lagi dengan cengkeraman di pipi yang sama sekali tidak mengendur. Tepat sebelum bibir itu menyentuh bibirku aku berucap lagi.

"Kau boleh mengiba, memeluk, atau bahkan menciumku, hyung. Tapi tepat setelah aku membalikkan badan, jangan pernah datang lagi padaku. Hubungan kita benar-benar selesai sampai di sini."

Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya setelah kalimat itu terucap.

Tapi tanpa ragu pria itu kembali mengecup lembut bibirku.

.

.

.

Kim Taehyung POV

"Bangunlah brengsek! Mau sampai kapan kau begini terus?"

Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, akupun membuka mataku perlahan. Sesungguhnya bukan sapaan ramah itu yang menyadarkanku, melainkan lemparan bantal yang tepat mengenai wajahku. Kendati bantal itu terlewat empuk, nyatanya aku masih bisa terbangun juga setelah benda itu mendarat dengan mulus kala kubercumbu mesra dalam tidur tanpa mimpi.

Sial. Kepalaku benar-benar pusing.

Masih mengumpulkan nyawaku yang tercecer, akupun samar-samar mendengar sumpah serapah yang dilontarkan kakakku yang tengah mengumpulkan botol-botol kosong yang berceceran di sekitar kamar.

"Awalnya aku menentang habis-habisan keputusan appa untuk menurunkan jabatanmu sebagai presdir. Aku membelamu mati-matian karena kupikir kau masih cakap untuk menjalankan tanggung jawabmu. Tapi kurasa yang kulakukan tak ada artinya. Kau memilih untuk jadi pecundang, Tae."

Aku menyeimbangkan tubuhku untuk duduk. Walaupun sulit setengah mati namun kini pandanganku bisa sedikit fokus memandangnya.

Namjoon hyung berdiri dengan berkacak pinggang sembari mencengkeram eco bag berisi botol minumanku. 4 buah botol dengan 3 buah kaleng ada di sana. Beberapa bungkus rokok masih tersebar di kaki Namjoon hyung. Kurasa ia terlalu risih untuk menyentuhnya mengingat orang itu tak pernah sekalipun mengisap nikotin tersebut.

Pantas saja rasanya seperti akan mati.

"Hyung—"

"Sadarlah, Tae. Sudah dua tahun ini kau hidup tak berguna. Tak ada hal lain yang kau lakukan selain mabuk-mabukan dan pergi ke bar setiap malamnya," gumamnya penuh emosi. Ia mengambil sebungkus kosong kotak rokok dari ujung kakinya. "Lihat, kau bahkan gila sekali dengan benda berbahaya ini. Kau melalaikan segalanya termasuk hidupmu sendiri. Bangunlah! Jangan begini terus."

Kepalaku berputar hebat. Begitupula lantai, meja, kursi, dinding, dan orang yang berdiri di hadapanku ini.

"Aku pusing."

"Bagaimana tidak pusing jika sebanyak ini yang kau tenggak!" Hardik Namjoon hyung. Dengan satu helaan napas pria itu mendatangiku dan mencengkeram leher kaus yang kukenakan.

"Mandi dan ikut denganku. Tak ada alasan untuk menolaknya."

"Aku mau tidur."

Bugh!

Satu pukulan menghantam rahang kananku. Kepalaku terpelanting dan tubuhku yang semula duduk ambruk seketika mencium lantai.

"Brengsek! Sadarlah! Tak ada gunanya kau hidup seperti ini. Memang benar Jungkook sudah menikah, tapi bukan berarti hidupmu berakhir setelah ia pergi. Kau harus melupakannya! Tak ada gunanya terpuruk seperti ini!"

.

.

.

Setelah memaksakan diri untuk menuruti keinginan Namjoon hyung, di sinilah aku berada. Duduk di antara pohon mapple yang mulai menggugurkan daunnya. Dedaunan itu jatuh ke tikar yang digelar Namjoon hyung sebagai alas kami berdua duduk. Setelah dirasa sudah pas, Namjoon hyung mempersilakanku untuk duduk.

"Ini, minumlah," laki-laki itu melemparkan satu strip tablet obat berwarna putih padaku. "Pereda nyeri. Untuk rahangmu."

Aku membuka satu tablet itu dan menelannya dengan air putih yang dibawa Namjoon hyung. Tak lama kemudian orang itu bergabung dan duduk di sebelahku.

"Maaf aku sudah menghajarmu tadi."

Tak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk. Kurasa aku berhak menerimanya.

"Seokjin sedang dalam perjalanan ke sini. Ia masak banyak makanan untukmu. Kau harus makan. Berat badanmu turun derastis."

Aku meminum lagi air mineral itu hingga habis. Dengan satu remasan kuat, aku meremukkan botol itu dan membuangnya ke tempat sampah yang berada tak jauh dariku.

"Bagaimana dengan Namsoo? Apa dia bersama eomma?" Tanyaku.

"Eomma menculiknya selama 2 hari ini. Katanya ia sangat ingin menimang cucu perempuan pertamanya itu seharian penuh," ujar Namjoon dengan senyum terkembang. Laki-laki yang sebulan belakangan ini resmi menyandang status sebagai ayah itu selalu terlihat sumringah setiap kali membahas tentang anak perempuannya yang cantik. "Seokjin datang untuk memberikan susu selama beberapa jam sekali. Sebenarnya ia sedikit keberatan anaknya ditahan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, eomma terlalu antusias untuk mengasuh Namsoo."

Aku tersenyum simpul membayangkan betapa bahagianya eomma setiap kali menggendong ponakanku itu. "Aku tak akan menyalahkan eomma. Namsoo sangat menggemaskan. Rasanya ingin kumasukkan ke dalam saku tiap kali melihatnya."

"Dia putri yang sangat cantik bukan?"

"Bersyukur ia sangat mirip dengan ibunya. Coba jika mirip kau, hyung."

Namjoon hyung tersenyum lebih lebar.

Jika di saat-saat biasa ia akan mengelak dan membalas candaanku dengan penuh emosi, kali ini ia hanya mendongak memandang awan sembari menghela napas panjang.

"Aku bersyukur Seokjin melahirkan bayi yang sehat dan luar biasa cantik seperti Namsoo. Kurasa aku adalah ayah terbahagia yang pernah ada di dunia."

"Semua ayah pasti merasa seperti itu, hyung," komentarku.

Aku menyenderkan kepala ke batang pohon mapple dan ikut memejamkan mata. Gemerisik bunyi dedaunan yang berhembus membuat pikiranku jadi segar. Pengar yang semula kurasa perlahan-lahan memudar.

Kini aku tahu kenapa Namjoon hyung bersikeras membawaku kesini. Suara gesekan daun yang berpadu dengan angin sejuk di akhir musim semi ini benar-benar menenangkan pikiran. Belum lagi danau yang dipenuhi dengan tumbuhan air di hadapanku yang membentang luas. Perpaduan yang pas untuk mengusir pusing akibat mabuk yang melandaku.

"Tae, bisakah aku memintamu untuk kembali ke perusahaan di akhir tahun ini?"

Mata yang semula terpejam itu membuka perlahan-lahan. Aku memiringkan kepala dan menatap Namjoon hyung dengan kernyitan di dahi.

"Kita perlu mengakusisi Uno Inc. Sudah sejak lama perusahaan mengincarnya dan aku tak bisa berjuang sendirian. Aku akan meyakinkan appa lagi. Sudah saatnya kau kembali. Dua tahun ini cukup bagimu untuk istirahat. Tak ada alasan lain yang membolehkanmu untuk terus terpuruk begini."

Perusahaan, memimpin, dikelilingi tugas dan tanggung jawab yang besar...

"Aku tak bisa, hyung."

Namjoon hyung menegakkan duduknya dan memandang mataku. Pandangannya benar-benar lurus masuk ke dalam netraku. Ia tidak memperlihatkan tatapan kesal dan penuh hardikan seperti pagi tadi. Tatapannya lebih seperti... memahami.

"Aku tak bisa membiarkan kau terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Kau tidak bisa membalikkan waktu. Sekeras apapun kau mencoba jika takdir berkata tidak kau bisa apa? Jungkook—"

"Aku tak pernah mempercayai jika takdir berkata tidak padaku, hyung. Aku masih punya kesempatan."

"Kesempatanmu sudah selesai. Semua sudah usai. Jungkook sudah memiliki pasangan yang sah. Kau tak bisa mengganggu lagi hidupnya. Biarkan ia bahagia dengan suaminya. Lagipula tak ada yang tahu keberadaan Jungkook saat ini."

"Aku akan menemukannya. Aku pasti menemukannya," tekadku. Aku membalas tatapan Namjoon hyung dengan keseriusan yang teramat sangat. Sudah pasti kakakku itu menganggapku hilang pikiran. Tapi kurasa butuh lebih dari gila untuk membuat Jungkook kembali padaku. "Jungkook hanya pergi sebentar. Ia hanya butuh waktu sesaat untuk menenangkan dirinya. Jungkook pasti akan kembali ke sini, hyung. Dan saat itu tiba, aku tak akan melepaskannya barang sedetikpun."

Kembali satu helaan napas dikeluarkan Namjoon hyung. Ia terlihat sangat menahan emosinya. Hal itu terbukti dari kepalan tangan kanannya yang menguat serta rahangnya yang mengeras. Tak beda jauh denganku.

"Kau sudah dengar sendiri. Sudah dua tahun yang lalu Jungkook menikah. Pemuda pemilik pusat komunitas itu sendiri yang mengatakannya. Ayahnya bahkan mengakuinya. Jungkook tahu itu yang terbaik bagi kalian berdua. Kenapa sampai sekarang kau belum bisa menerimanya?"

Memori saat Yoongi hyung memberitahu pernikahan Jungkook kembali terlintas di benak.

Kala itu musim dingin tiba. Semenjak Jungkook pergi ke Jepang untuk menenangkan diri aku sudah tak bisa menghubunginya sama sekali. Segala komunikasi terputus. Alamat tempat ia tinggal di Jepangpun aku tak tahu. Aku tak bisa menemukannya. Bocah kelinci itu menutupi kepergiannya dengan sangat rapih.

Mulai dari Yoongi hyung sampai ayah Jungkook semuanya menolak memberikan informasi barang secuilpun. Pada waktu itu aku sempat menghargai keputusan Jungkook untuk pergi sementara. Pikirku ia hanya akan pergi untuk berlibur dalam hitungan minggu saja.

Nyatanya sebulan kemudian Yoongi hyung mengatakan jika Jungkook telah dipinang orang lain.

Bajingan brengsek. Bekerja di Kedutaan Besar. Seorang yang memiliki jabatan penting katanya.

Tapi ia tak pernah memberitahu identitas dari suami Jungkook. Yang aku tahu Yoongi hyung berujar jika mereka sudah menikah di Jepang dan Jungkook akan mengikuti suaminya untuk bertugas dari satu negara ke negara yang lain.

Semua orang meyakinkanku jika Jungkook benar-benar sudah melupakanku.

Akan tetapi pikiran bebalku selalu menyangkal fakta menyakitkan itu.

"Aku tak ingin kau hilang akal karena ia meninggalkanmu. Kau sudah menyakitinya sejauh itu dan itulah hukuman yang Jungkook berikan padamu. Carilah orang lain. Mulai hidup baru dengan melupakannya."

Tidak. Jungkook tak akan melakukan hal itu.

Ia pasti hanya pergi sebentar.

Jungkook akan kembali atau aku yang akan menemukannya. Tak ada rencana melupakan. Tak ada keinginan menggantinya.

Aku hanya mau Jungkook.

"Jika memang benar ia sudah menikah, akan kuhabisi sendiri nyawa bajingan yang berani merebut Jungkook dariku. Akan kulangkahi mayatnya—"

"Seokjin datang ke pusat komunitas milik Min Yoongi itu seminggu yang lalu. Min Yoongi akhirnya memberikan ini pada Seokjin," ujar Namjoon hyung lirih. "Aku menahan diri untuk tidak menunjukkannya padamu. Aku khawatir kau akan makin kacau jika melihatnya."

Tangan Namjoon hyung terulur dan memberikan sebuah foto berukuran 4 x 6. Foto itu menampilkan wajah seorang bayi lucu yang tersenyum lebar ke arah kamera. Bayi itu menjalani pemotretan dengan kostum wortel dan aksesoris perkebunan lainnya seperti gerobak, sekop, dan pot. Bayi tersebut memiliki rambut hitam tebal dan mata bulat yang tidak asing...

Mata Jungkook.

"Itu buah pernikahan mereka. Sekarang lupakan Jungkook. Biarkan dia bahagia dengan keluarga kecilnya."

.

.

.

Jeon Jungkook POV

"Iya, appa. Kami baru saja makan. Aku tergila-gila sekali dengan risotto."

Sembari menyuapkan suapan terakhir jamur berbalut krim pekat ini akupun tertawa mendengar celotehan appa tentang hobi barunya. Ayahku itu kini tengah menggandrungi kegiatan memancing. Ia bilang jika ia baru saja pergi memancing bersama teman kantornya. Akan tetapi bukan ikan yang didapat melainkan lobster besar yang cukup mengenyangkan perutnya yang membuncit.

"Aku tahu, appa memang yang terbaik," ujarku.

Dengan melirik sekilas ke arah kaca jendela ruang makan akupun memastikan lagi jika penampilanku baik-baik saja kali ini. Tak ada lagi mata cekung seperti kemarin. Kantung mata yang semula menghiasi bagian bawah indera pengelihatan ini mulai pudar.

Aku harus berterima kasih pada Yoongi hyung karena sudah memberikan eye cream itu.

"Yoongi hyung datang semalam. Sekarang mereka sedang pergi. Yoongi hyung mengajaknya pergi ke pameran. Aku akan menyusulnya."

"Bagaimana bisa seorang bayi diajak ke pameran? Memang bisa paham?"

Aku tertawa ringan. "Entahlah. Katanya aku harus melatih kepekaan seninya sedini mungkin," ucapku.

"Terserah dia sajalah. Orang itu memang unik," ujar appa seraya tertawa. "Omong-omong sebulan lagi ulang tahun Ryuna. Kau mau membawa cucuku itu pulang ke Korea tidak?"

Sudah kuduga appa pasti akan menanyakan hal ini.

"Aku sangat merindukannya. Ingin kubawa ke kantor kalau kau pulang bulan depan. Teman-teman sudah menanyakan setampan apa cucu yang sangat kubanggakan itu."

Tanganku meraih ransel yang berisi botol susu, biskuit, dan mini termos. "Baiklah. Aku pulang bulan depan. Untuk sehari appa bisa mengajaknya berkeliling kantor."

Appa tertawa riang. Tak pernah aku mendengar tawa seriang itu selama bertahun-tahun ini.

"Anak baik... anak baik... Terima kasih sudah mau pulang. Aku akan membelikan banyak mainan untuk Ryuna!"

"Hanya sehari saja, appa," tegurku.

"Iya, iya. Sehari juga cukup," ucapnya.

Aku bangkit dan mengenakan ransel itu di punggung. Piring yang sudah kosong itu kuletakkan ke dalam bak cuci yang terisi botol susu, mangkuk sereal, dan beberapa piring kotor lain. Ugh, aku akan mencucinya selepas pulang nanti. Semalam penuh aku terjaga karena Ryuna tak henti menangis. Entah apa sebabnya. Padahal ia tidak sakit dan semuanya terlihat baik-baik saja.

"Ya sudah. Aku pergi dulu, appa. Mungkin Ryuna sudah menunggu susunya."

Masih dengan nada riang, appa mematikan sambungan telepon.

Setelah memastikan semua pintu terkunci, akupun meninggalkan apartement dan berjalan menuju bus station. Tak butuh waktu lama hingga bisku tiba.

Aku meletakkan ransel di pangkuan. Hatiku selalu menghangat kala melihat isi tas yang jauh berbeda dari setahun yang lalu. Jika dulu isi tas yang kubawa tak jauh-jauh dari kebutuhan pribadiku, kini space itu kubagi dengan sosok malaikat kecil yang sangat kusayangi.

Semakin hari pertumbuhan Ryuna semakin mengesankan. Ia benar-benar anugerah yang datang. Suatu mukjizat dan kebahagiaan yang tiada tara yang kurasakan.

Kuharap aku bisa bahagia seperti ini selamanya.

.

.

.

"Jadi berapa hari rencananya kau akan tinggal?"

Dengan tangan yang masih mendekap erat Ryuna, akupun membenarkan tali gendongan yang kendur di bagian bahu kiriku. "Mungkin... 7 hari? Ryuna tak bisa jauh-jauh dari ayahnya. Kurasa jika terlalu lama nanti dia bisa rewel. Gawat jika Ryuna menangis terus menerus. Aku tak bisa menelpon Jamie jika ia sedang bekerja."

Yoongi hyung mendorong stroller berwarna donker itu. Sulit untuk meletakkan Ryuna ke dalam stroller jika ia baru saja tertidur seperti ini. Bayi lucuku ini bisa langsung terbangun dan menangis karena merasa tidurnya terganggu. Jadi mau tak mau aku harus menggendongnya hingga ia benar-benar pulas.

"Aku benar-benar berterima kasih kau sudah mau membantuku membawa barang-barang ini, hyung. Apa jadinya jika aku pulang sendiri tanpa Jamie? Untung kau datang di saat yang tepat."

"Itulah gunanya sahabat, bukan?" gumam Yoongi hyung. Pria itu menarik koper dengan tangan kanan dan mendorong stroller dengan tangan kirinya. Tampilannya saat ini benar-benar seperti baby sitter.

Aku sangat bersyukur ia masih mau menolongku selama ini.

"Nah, akhirnya sampai jug—"

Jantungku berhenti berdetak. Senyum yang semula begitu hangat kurasakan perlahan-lahan memudar. Lengan yang semula memeluk Ryuna dengan santai, kini semakin kueratkan. Hening seketika merasuk dan berpadu dalam suasana tegang yang sangat mengejutkan ini.

Benar-benar pilihan yang salah untuk pulang...

... karena saat ini Kim Taehyung berdiri tegak di ambang pintu rumahku.

.

.

.

Kim Taehyung POV

Aku menyantap beberapa makanan yang dibawa Seokjin hyung tanpa selera. Bukan karena masakan ini tidak enak. Sudah bertahun-tahun pasangan Namjoon hyung itu membuktikan jika kemampuan memasaknya setara dengan chef di hotel yang mereka kelola. Makanan yang dibuatnyapun merupakan makanan favoritku.

Selera makanku hilang tak bersisa setelah melihat foto makhluk kecil berbalut baju wortel itu.

Menerima kenyataan jika Jungkook sudah menikah saja aku tak bisa. Sekarang tiba-tiba Namjoon hyung memberitahu tentang anak Jungkook; balita bermata bulat yang ayahnya sangat ingin kuhabisi saat ini juga.

"Makanlah lebih lahap, Tae. Kau suka japchae, kan?"

Kepalaku mengangguk dengan lesu. Menolak tak bisa, memakannyapun butuh usaha. Aku tak ingin mengisi perutku dengan substansi ini sementara di luar sana orang yang paling kusayang sedang bercengkerama dengan keluarga kecilnya.

Apa ia sudah benar-benar melupakanku?

"Kau tahu dimana ia tinggal, hyung?"

Seokjin hyung yang sedang menyuapkan potongan buah peach itu menghentikan tangannya di udara. Untuk sepersekian detik terlihat mata lelahnya nyaris terkatup setelah mendengar pertanyaan tak berujungku. "Tak ada yang tahu keberadaan Jungkook, Tae. Aku tak bisa mengorek informasi secuilpun dari koneksi yang kupunya."

"Namjoon hyung bilang suaminya bekerja di Kementerian. Apa tidak bisa dicek satu per satu?"

"Mengecek satu per satu staff kementerian di seluruh dunia? Maaf, aku bukan mata-mata," tolaknya. Seokjin hyung menerima gelas dari Namjoon hyung dan menyesapnya sedikit. Dengan anggun lelaki itu meletakkan gelas di atas tikar seraya menatap mataku tajam. "Kau, Namjoon, aku, bahkan appa, sudah berusaha sebisa mungkin untuk menemukan Jungkook. Nyatanya hasilnya nihil. Anak itu berpindah tempat tinggal sesering mengganti bajunya," seraya meraih tanganku, Seokjin hyung berujar dengan tatapan yang terlewat lembut. "Kumohon, lepaskan saja dia. Kasihanilah dirimu sendiri, Tae."

Darahku benar-benar mendidih. Aku muak dengan ucapan-ucapan menyebalkan itu.

"Kenapa semua orang memintaku untuk melupakan Jungkook? Kenapa tak ada satupun yang paham akan perasaanku!"

Aku melempar sumpit yang semula kugenggam kuat-kuat. Sumpit itu terbang dan jatuh setelah menabrak batang pohon di hadapanku.

Aku bangkit dan mengenakan lagi converse di tepi tikar. Tanganku mencengeram erat kepala dan menarik rambutku kuat-kuat sebelum berteriak bagaikan orang gila.

"Aarrrggh!"

"Baiklah, bodoh. Dengarkan aku," Namjoon hyung menahan tanganku yang tengah meraih piring kosong bekas makanan. Sebelum piring itu bernasib sama dengan sumpit tadi, Namjoon hyung sudah membantu menurunkan tanganku dan mencengkeramnya kuat.

"Aku dapat info jika Jungkook akan pulang ke rumahnya akhir minggu ini. Tak tahu pasti hari apa. Yang jelas ia akan datang untuk merayakan ulang tahun anak laki-lakinya."

.

.

.

Setiap hari semenjak 4 hari yang lalu aku mendangi rumah Jungkook. Rumah bercat putih itu masih terlihat sama kosongnya seperti hari-hari yang lalu. Aku tahu di dalam sana hanya ada ayah dan ibu tirinya beserta kumpulan asisten rumah tangga. Semenjak pukul 4 pagi hingga 3 petang aku menanti di dalam mobil. Sesekali kembali ke rumah untuk keperluan kebersihan dan kembali lagi dengan bergelas-gelas kopi.

Jika Jungkook sudah sampai aku pasti akan tahu. Lampu-lampu di rumah itu akan lebih banyak menyala daripada sebelumnya.

Mataku melirik ke arah kaca spion. Aku benar-benar terlihat kacau. Sangat berbeda dengan Kim Taehyung yang dulu kukenal. Rambut hitamku sudah mencapai tengkuk paling bawah. Poninya bisa menutupi seluruh dahiku penuh. Belum lagi kumis dan janggut yang sama sekali belum kucukur selama sebulan ini. Kendati aku bukanlah pria yang suka menumbuhkan banyak bulu di wajah, namun untuk sekedar mengambil pisau cukur dan membabat habis bulu di wajahku saja aku tak bisa. Rasanya luar biasa sulit.

Saat ini jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah hari sabtu. Rumah Jungkook masih sama kosongnya. Satu jam yang lalu ayah Jungkook keluar bersama istrinya. Kurasa mereka tak akan pergi jauh karena pakaian yang dikenakanpun tak terlalu formal. Belum lagi dari beberapa eco bag yang dibawa Nyonya Sooyoung. Mungkin mereka akan pergi berbelanja.

Netraku menatap lekat rumah itu. Rumah yang pernah memiliki kenangan tersendiri. Rumah dimana aku bebas menjaga dan memperhatikan Jungkook selama mungkin. Rumah yang sangat ingin kudatangi saat ini.

Kupikir aku sudah gila. Mungkin benar aku ini tak waras.

Tanpa mempertimbangkan hal lainnya, tanganku membuka pintu mobil dan kaki kananku melangkah keluar. Diikuti dengan kaki kiri dan seluruh tubuhku yang nyaris limbung menutup mobil tanpa tenaga.

Aku berjalan mendatangi rumah itu.

Memang benar akal sehatiku hilang entah kemana, terlebih saat aku menekan kata sandi rumah itu dan padlockpun terbuka.

Sial, mereka tidak mengganti passwordnya.

Haruskah aku... masuk?

Pertanyaan itu tak perlu kujawab karena langkah kakiku yang menjadi jawabnya.

Aku melangkah masuk dan mengamati isi rumah dengan saksama. Tata letak, cat, aroma, aura, dan segalanya masih saja sama. Rasanya tak ada perubahan sama sekali semenjak 2 tahun yang lalu aku melangkah pergi dari sini. Yang menjadi perbedaan signifikan hanyalah dipasangnya foto Jungkook dan Hoseok hyung semasa kecil.

Foto kakak beradik itu dipajang dalam pigura besar berwarna putih. Jungkook dan Hoseok hyung tengah berlari di antara putihnya pasir pantai dan deburan ombak yang menenangkan. Hoseok hyung memegang sebuah layangan berbentuk bunga matahari sementara tangan mungil Jungkook berusaha menahan balon kelincinya supaya tak terbang terbawa angin. Keduanya mungkin masih berusia di bawah lima tahun.

Kesayanganku terlihat sangat menggemaskan.

"Nah, akhirnya sampai jug—"

Tubuhku berbalik saat itu juga.

Degup jantungku bertalu tak beraturan. Kaki yang semula kuyakini bisa menompang kuat tubuhku itu nyaris tertekuk karena tidak kuat. Tanganku yang semula hangatpun kini sebeku salju...

Jungkook berdiri di hadapanku dengan seorang bayi mungil yang digendongnya erat-erat di dada.

Jungkook tak banyak berubah. Ia masih sama cantik dan manis seperti yang kukenal. Yang membedakan hanyalah tubuhnya yang kini terlihat lebih segar. Tidak kurus seperti dulu melainkan lebih berisi. Terbukti dari pipinya yang semakin menggembung dan hilangnya jawline yang semula sangat kentara.

Lebih dari apapun, aura menyenangkan dan bahagia sangat terpancar dari raut itu. Berbeda dari 2 tahun yang lalu dimana ia terlihat begitu dirundung kesedihan dan rasa putus asa.

Jungkookku...

"Hyung..."

"Taehyung?"

"Kau pulang..."

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menerjang dan memeluknya seerat mungkin. Aku tak ingin dia takut. Terlebih ada anak yang menempel di dadanya. Bisa saja anak itu terbangun...

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya lambat-lambat.

Beribu kata yang semula tercipta sangat sukar untuk keluar. Lidahku menjadi kelu dan mataku tak bisa berhenti memandang bayi tampan itu. Wajah bayi itu mirip sekali dengan Jungkook.

Tanpa diduga Yoongi hyung yang sedari tadi diam saja kini meraih bayi yang Jungkook gendong. Pria itu sepelan mungkin memindahkan si bayi ke dalam keretanya.

"Bicaralah kalian berdua. Akan kuberikan waktu dan ruang."

.

.

.

"Kenapa kau menghindariku?"

Setelah berhasil membujuk Jungkook untuk pergi ke taman kecil yang dipenuhi lampu bohlam temaram yang berada tak jauh dari rumahnya, itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutku. Kami berjalan bersama dalam diam. Setidaknya Jungkook mau pergi denganku dan membicarakan masalah kami yang masih rancu. Aku bersyukur karenanya.

Pemuda itu menghela napas pelan sebelum menjawab pertanyaanku. "Aku tidak menghindarimu. Urusan di antara kita berdua sudah selesai." Jungkook tak menatap ke arahku. Ia menjawab seraya memandang tanah di kakinya.

"Kau pergi begitu saja. Hilang kontak. Kau menolak membiarkan ayahmu ataupun Yoongi hyung memberitahu keberadaanmu padaku. Kau benar-benar menghilang tanpa jejak, Kook. Aku mencarimu kemana-mana. Aku mengikuti jejak yang kau tinggalkan tapi tetap saja tak bisa menemukan jawabnya. Kemana sebenarnya kau pergi?"

Orang yang kusayang itu mengalihkan pandangannya menatap ke arah jungkat-jungkit yang letaknya tak jauh dari kami. "Tak pahamkah kau dengan apa yang kubicarakan? Tak ada lagi urusan di antara kita berdua. Semuanya sudah selesai. Aku bebas melakukan apapun yang kumau."

"Jungkook... Aku tahu kau menganggapnya sudah usai. Tapi tidak denganku," ujarku penuh keyakinan. Mungkin saat ini aku terdengar sangat tidak tahu diri tapi toh aku tak mempedulikannya. Yang kumau hanyalah ia kembali padaku bagaimanapun caranya. "Aku tak pernah menganggap ini selesai. Sampai kapanpun kau masih milikku. Kenapa kau menjauhiku?" aku berjalan mendekatinya. Jungkook yang tengah duduk di atas ayunan itu akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku yang kini berjongkok di hadapannya. "Kenapa kau menikahi orang lain?"

Netra bulat itu bergetar. Aku tahu Jungkook menahan banyak gejolak yang dirasakan. Aku kenal betul ekspresi itu.

"Itu bukan urusanmu." Geramnya.

"Itu urusanku karena kau masih dan selamanya akan menjadi milikku. Tak ada yang bisa menikahimu selain aku."

"Kau benar-benar egois, hyung. Kau tahu itu?"

"Aku mencintaimu."

"Tak ada tempat untukmu."

"Siapa brengsek yang berani mengambilmu dariku?" tanyaku dengan sekuat tenaga menahan amarah. Kendati saat ini juga rasa ingin menguliti pria itu sangat menggelegak namun kupaksakan kesabaranku sedikit bekerja sama. "Tinggalkan dia. Berpisahlah. Aku bisa menerimamu dengan anakmu. Menikahlah denganku, Kook."

"Kau gila."

"Panggil aku gila sesukamu. Aku tahu kau juga masih menyimpan rasa untukku. Kenapa kau tak jujur pada dirimu sendiri?"

Aura bahagia dan menyenangkan yang semula terpancar dari wajahnya kini sirna.

Jungkook mulai menitikkan air matanya.

Satu tetes.

Dua tetes

Dan puluhan tetes lain karena sekarang ia benar-benar terisak.

Aku meraih kedua tangan itu dan menggenggamnya erat. "Katakan kau masih mau melanjutkan hubungan ini, Kook. Katakan kau masih mencintaiku."

Jungkook menggeleng kuat-kuat. "Kenapa kau seperti ini, hyung? Kenapa kau membuatnya... semakin sulit bagiku? Sudah cukup kau... melukai perasaanku," ujarnya terbata.

Kedua tangannya kubawa ke bibir dan kukecup dengan penuh kehati-hatian. "Aku tahu kau masih mencintaiku. Masih ada tempat bagiku di hatimu walau kau berkali menyangkalnya. Kumohon Jungkook... Bukan inginku seperti ini. Aku hanya ingin menjagamu dan memang caraku salah. Seharusnya aku jujur padamu tentang perasaanku. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu dan datang lagi dengan penuh kebohongan seperti dulu. Aku benar-benar meminta maaf. Tolong jangan pergi lagi. Dua tahun ini rasanya begitu sulit untuk bertahan hidup tanpamu..."

Isakan Jungkook semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar menangis hingga sesenggukkan.

"Kau pikir ini juga mudah bagiku? Kau penyebab semua kekacauan ini. Karena kaulah aku jadi buta, eomma dan Hoseok hyung pergi dan kau juga yang membuatku kehilangan kesempatan untuk berduka. Aku ingin membencimu karena kau sudah mengacaukan hidupku..."

"Pada saat itu... kaulah orang terdekatku... aku sulit untuk benar-benar mengenyahkanmu. Aku seharusnya lebih berduka karena kepergian mereka... tapi karena penyebabnya adalah... orang yang sangat kusayang... kesempatan itu hilang tanpa kusadari!"

"Aku berpihak padamu seperti orang bodoh sebelum aku tahu semua faktanya. Aku sangat malu."

Jungkook tak mempedulikan lagi bahkan saat kedua tangannya tak henti kukecup. Isakannya semakin kencang. Mata cantik itu untuk kesekian kalinya tertutupi air mata.

Aku membenci diriku sendiri yang selalu membuatnya menangis untuk kesekian kalinya tapi aku benar-benar tak bisa melepaskannya.

"Kau tahu apa yang lebih menyebalkan dari ini? Yaitu fakta bahkan setelah aku mencoba untuk pergi dan meninggalkanmu dua tahun ini, nyatanya masih sama sulitnya seperti pertama kalinya. Aku terlalu bergantung padamu. Aku terlewat menyayangimu. Dua tahun ini hidupku sama hampanya seperti sebelum kau datang. Bagaimana bisa aku masih bergantung pada orang macam kau? Harus sejauh mana aku jatuh padamu?"

"Jungkook..."

Jungkook mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Dengan satu tarikan napas ia mulai bertutur lagi. "Aku bertemu Jamie. Dia pria yang baik. Kami bekerja sama untuk pemotretan di Gedung Kedutaan Besar Italia. Jamie sangat perhatian padaku. Ia bertanggung jawab, pekerja keras, tak pernah berhenti memberiku kejutan setiap harinya, dan ia serius berniat meminangku."

"Aku seharusnya menerima pinangannya. Dia sosok sempurna yang bisa dijadikan pemimpin dalam keluarga. Aku harusnya menerima cincin itu," ia memberi jeda sejenak. Tangan kanannya ditarik dari genggamanku dan digunakannya untuk menghapus air matanya. "Aku benar-benar mempertimbangkannya sebagai pasangan hidup. Aku nyaris mengatakan iya."

"Tapi bayangan dirimu dan semua yang telah kita lakukan merusak rencanaku. Untuk sekali lagi aku bersikap bodoh karena menjaga perasaanku untuk orang sepertimu. Aku bodoh. Benar-benar bodoh. Tapi entah mengapa aku tak menyesalinya."

"Ia paham dengan keputusanku. Jamie sangat menghargai perasaanku. Kamipun melanjutkan hubungan baik yang akrab tanpa adanya romantisme," kembali Jungkook terdiam selama beberapa saat. Sebelum melanjutkannya ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sepelan mungkin. "Kemudian Jamie tahu tentang kehamilanku. Ia menjagaku sejak masa hamil, kontraksi, melahirkan, dan membesarkan Ryuna. Hingga saat ini Jamie sudah terlihat seperti ayah kandung Ryuna. Ia menyayangi anakku sebesar ia menyayangiku."

Seseorang harusnya menampar diriku sekeras mungkin.

Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

Ia tidak menikah? Lalu anak itu...

"Padahal ayah kandungnya sendiri tidak tahu jika ia ada di dunia ini."

Aku tahu aku telah membuat kesalahan fatal lain.

.

.

.

Jeon Jungkook POV

Aku sudah yakin jika akal sehatku pergi entah kemana.

Tak lama berselang setelah V mengungkapkan perasaannya padaku, kamipun saling berkecup untuk pertama kalinya.

Setelah 10 tahun kini afeksi menyengat itu hadir kembali, menggelitikku untuk menerima dan menikmatinya dengan sepenuh raga.

Pria itu meraih lembut pipiku dan melumat bibir bawahku terlebih dahulu. Napas hangatnya menerpa hidungku saat ia berganti mengulum bibir atasku. Afeksi panas ini membuatku secara otomatis melingkarkan tanganku ke lehernya. Walau aku tak bisa melihat, nyatanya mataku terpejam dengan sendirinya. Tangan yang kuulurkan itu juga menempel secara pas di tengkuk panasnya.

Tubuhnya benar-benar panas.

Dengan ragu-ragu aku membalas kecupan V. Bibir kenyal itu terasa sangat memabukkan. Sejujurnya segala sesuatu tentang perawatku itu semakin membuatku kehilangan kendali. Aku hanya ingin terus menerus melakukan kegiatan panas ini bersamanya entah sampai kapan.

"Ugh, V..."

Pria itu menggeram sembari menggigit kuat-kuat pundakku. Tangan yang semula bertengger di pipi kini bergerilya melepas piyama yang semalam ia kenakan padaku.

"Jungkook... aku... aku..."

"Jangan—" ujarku tercekat. Pelukan di leher semakin kueratkan dan kakiku mendendang sendiri celana yang menyangkut di tumitku. "Jangan berhenti, V..."

Aku tahu kali ini kesalahan besar telah kuciptakan.

Karena setelahnya yang terjadi adalah ia memakanku bulat-bulat.

Dimulai dari celana, atasan, trunks yang kini entah ada dimana, V mengukungku dengan terus memberikan cumbuan di seluruh tubuh. Sesekali ia menggigit di beberapa bagian seperti leher, dada, pundak, dan perutku. Aku tak tahu setan apa yang merasukiku karena telah membiarkan orang ini menelanjangi dan melukiskan gigitannya di kulitku. Yang kurasakan hanyalah euforia tak tertahankan. Sensasi menyenangkan saat pria itu menyentuh kemaluan hingga jemarinya berakhir di dalam lubang itu seakan membunuhku. Bukan mati dalam keadaan menyakitkan namun mati karena tak kuat menahan gairah yang membuncah.

Sentuhannya terasa begitu akrab. Seperti sosok di masa lalu yang pernah kukenal.

"V... hggnhh... sakit..."

Satu ujaran itu membuat dua buah jemari V yang semula mengobrak abrik lubangku itu berhenti. Aku bisa merasakan deru napasnya yang memburu. Tangannya mengusap lembut rambutku sementara di bawah sana sesuatu yang keras dan basah berusaha memasukiku.

Aku tidak bodoh untuk tahu apa saja yang akan terjadi jika ia melakukannya.

Dan aku tak berkata tidak.

Sepuluh jemari, semuanya meraih kedua tanganku. Genggamannya dibawa ke sisi kanan dan kiri kepalaku saat ia mulai melesakkan miliknya dengan hujaman yang terlewat pelan. Setiap kali aku akan berteriak ia selalu membungkamku dengan ciuman. Permainan lidah yang saling menyesap membuatku nyaris frustasi saking nikmatnya. Ia memompa tubuh kami berdua sementara lidahnya tak henti menari di belah bibir. Aku bahkan bisa merasakan anyir darah karena ia terlalu keras saat menggigit bibirku.

Dengan semua dekapan, cumbuan, ciuman, gigitan, dan sentuhan di sekujur tubuh, aku tak bisa menahannya lebih lama lagi.

Aku tak bisa melihat sedikitpun apa yang terjadi namun aku tahu jika V juga merasakan apa yang kurasa. Kejantananku yang ia urut sekuat tenaga akhirnya memuntahkan muatannya. Aku keluar di tangannya.

Hal yang sama juga berlaku pada V. Ia menggeram kuat-kuat saat badai orgasme menghantamnya. Cairan lengket itu ia keluarkan dengan satu hujaman kuat. Aku sampai harus mendongakkan kepala karena tak bisa menahan hasrat yang kurasa. Analku terasa penuh dan hangat. Beberapa bahkan kurasakan mengalir begitu saja dari belah pantatku.

Aku tak ingat lagi apa yang terjadi karena ketidaksadaran menghantamku tak lama setelahnya.

.

.

.

"Kenapa kau tak mengatakannya?"

Aku berdiri dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Rasa malu, putus asa, sedih, dan kehilangan bercampur menjadi satu. Taehyungie hyung tidak berhenti untuk meraih tanganku supaya bisa ia genggam.

"Kenapa kau tidak bilang kalau kau hamil, Jungkook?"

Aku menyentakkan tangan itu dan menjauh beberapa langkah darinya. Semua kenangan akan cumbuan beberapa tahun yang lalu itu memang selalu kukutuk. Aku mengutuk hari dimana aku memberikan kenikmatan padanya. Memberikan kenikmatan pada penipu ulung yang selama ini mengelabuiku. Pantas saja sentuhannya benar-benar tak asing. Pantas saja aku seperti pernah melalui hal itu dengan orang yang sama. Kenyataannya orang itu memang ia. Si brengsek yang tidak tahu diri yang kini berdiri dengan mata berkaca-kaca di hadapanku.

"Ryuna... anakku, bukan?"

"Kau sudah tahu kebenarannya. Sekarang tinggalkan kami, kumohon."

"Tidak—" ia menahan tubuhku yang berbalik hendak meninggalkannya. Pria bodoh yang merusak hidupku itu menarikku dalam pelukan erat.

Aku memberontak sekuat tenaga. Sebisa mungkin aku memukuli dadanya yang terdapat tepat di depan wajahku. Memukuli tubuh yang sialnya sangat kurindukan selama dua tahun ini sembari tak bisa menghentikan isakan. Aku benci diriku yang masih tak bisa melupakannya. Aku benci kebodohan karena masih memikirkannya bahkan setelah sosok penggantinya datang dan menawarkan kebahagiaan lain yang tak bisa kudapat darinya. Aku benci aku masih bergantung padanya.

"Jungkook... Sshhh... tenang—"

"Aku benci kau, hyung! Aku ingin ini semua usai..."

"Kook... Kook... hey..." Taehyungie hyung menahan pukulan dengan menekan kedua bahuku. Ia memaksa mendongakkan kepalaku supaya aku bisa memandangnya. "Maafkan aku... sshhh... maafkan aku, sayang—"

"Apa yang kau mau? Katakan apa yang kau mau, sayang. Apa kau benar-benar ingin aku pergi? Apa benar itu yang harus aku lakukan? Aku akan melakukan semuanya asalkan kau mengikuti kata hatimu. Jangan pernah membohonginya. Aku memang benar sosok brengsek. Maafkan aku karena tidak tahu tentang kehamilanmu. Maafkan aku karena kau harus melaluinya seorang diri, Kook..."

Kata-katanya terdengar bagaikan gaung tak jelas di telingaku. Aku tak bisa dengan jelas menangkap ujarannya karena ketidaksadaran menghantamku saat itu juga.

.

.

.

Kim Taehyung POV

Jika ada brengsek yang paling brengsek sedunia mungkin akulah orangnya.

Dua tahun ini aku berkubang dalam rasa sedih, putus asa, dan kecewa saat Jungkook memilih pergi begitu saja. Dua tahun ini kurasa aku hanya memikirkan diri sendiri dan mengasihani diri sendiri bagaikan seorang pecundang. Dibandingkan apa yang sudah dialami Jungkook rasanya aku tak lebih dari seonggok sampah tak berguna yang harus secepatnya dilenyapkan. Aku sama sekali tidak berjasa dengan kehamilan Jungkook. Padahal akulah yang membuatnya jadi begitu. Bodohnya aku sama sekali tak tahu.

Sesaat setelah membawa Jungkook ke dalam UGD, Yoongi hyung mengatakan semuanya. Ia bilang jika Jungkook pertama kali mengetahui kehamilannya saat sedang berada di Osaka. Ia merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya dan akhirnya memutuskan untuk memeriksakannya. Lima hari kemudian ia baru memberitahu Yoongi hyung dan ayahnya mengenai kondisinya. Tak lama kemudian ia pulang dan bersama dengan Yoongi hyung mereka pergi ke Italia.

Di sanalah ia bertemu dengan Jamie yang lebih seperti seorang ayah bagi Jungkook. Jamie berusia 10 tahun lebih tua darinya. Jamie sendiri menjadi staff kementerian luar negeri. Sudah lebih dari tujuh kali ia dan Jungkook berpindah-pindah tempat tinggal mulai dari Mesir, Yunani, Vietnam, Australia, Kongo, Dubai, serta Barcelona. Mereka hidup berdua selama dua tahun ini.

Jungkook memutuskan untuk menutupi kehamilannya karena ia tidak ingin membuka lembaran yang sudah usai terlewati. Ia ingin memulai hidup baru walau tanpa kejelasan dengan Jamie. Kata Yoongi hyung fokusnya saat ini hanyalah membesarkan Ryuna dengan kehidupan yang ia miliki saat ini.

Membayangkan Jungkook menjalani kehamilan dengan ditemani sosok asing itu memang membuat darahku mendidih. Akan tetapi sisi baiknya ia tidak sendirian. Jungkook dikelilingi orang yang memang peduli padanya.

Bukannya sosok yang selalu menuntut sepertiku.

"Kapan aku boleh bertemu Ryuna, hyung?"

Yoongi hyung menggelengkan kepalanya pelan. "Itu biarlah Jungkook yang memutuskan. Ia selalu bilang untuk tidak menunjukkan Ryuna padamu jika suatu saat nanti kalian bertemu. Aku hanya melakukan apa yang ia mau."

"Baik. Aku bisa paham apa—"

Ucapanku terhenti saat tangan yang sedari tadi kugenggam itu mulai bergerak-gerak. Seiring dengan pergerakan itu, mata Jungkook yang terpejampun perlahan-lahan membuka.

"Aku tunggu di luar," ujar Yoongi hyung berbisik. Pemuda itupun berjalan keluar tepat setelah Jungkook membuka matanya.

"Sayang..."

"Ryuna!"

Aku menahan tubuh Jungkook yang terduduk seketika. "Sshh... tenang... Ryuna bersama ayahmu. Aku tidak bertemu dengannya sesuai permintaanmu."

Dengan embusan napas pelan, Jungkookpun kembali merebahkan tubuhnya di ranjang rumah sakit ini. "Dimana aku?"

Bibirku mengecup lembut punggung tangan itu. "Rumah sakit. Kau pingsan di taman tadi. Dokter bilang kau hanya kelelahan jadi istirahatlah sebentar."

Jungkook bernapas pendek-pendek. Tak lama kemudian ia memiringkan tubuhnya menghadap padaku. "Kenapa kau di sini?"

"Aku sudah dengar cerita lengkapnya dari Yoongi hyung. Tak ada secuilpun hal benar yang kulakukan. Aku membuat banyak kesalahan, Jungkook. Aku sudah menyakitimu dan Ryuna. Aku ayah yang tak patut dicontoh. Tapi, sayang—" aku mempererat jemari yang sedari tadi kugenggam. Jungkook tidak menolaknya sedikitpun. Raut wajahnya terlihat sangat lelah. Dan ribuan pisau menghujam dadaku yang penuh rasa bersalah. "—jika kau mengizinkanku... izinkan aku... beri aku kesempatan untuk jadi ayah yang baik bagi Ryuna. Walau bagaimanapun ia perlu sosok ayah yang sebenarnya. Izinkan aku pula untuk menjadi pasanganmu. Selamanya. Kita mulai semuanya dari awal. Mulai lembaran baru denganku..."

Aku akan bersumpah seumur hidupku jika ini terakhir kalinya Jungkook meneteskan air mata kesedihan karena perlakuanku. Aku akan melakukan apapun untuk membahagiakannya...

... dan Ryuna...

"Kenapa sangat sulit bagiku untuk melepaskanmu? Apa sedalam ini rasa yang kumiliki untukmu, hyung?" tanya Jungkook sambil terisak. Netra bening sosok yang kusayangi itu memandangiku lekat.

"Aku mencintaimu. Sedari dulu mencintaimu. Aku tahu kau juga menyayangiku. Kita berdua sama-sama kehilangan. Kaupun merasakan jika dua tahun ini hidupmu sama hampanya sepertiku. Kita merasakan perasaan yang sama, Kook. Mengapa tidak bersatu saja?"

"Aku tak mau berharap lebih, hyung. Setiap kali aku berharap maka hasilnya akan jauh berbeda dari apa yang kudoakan..."

"Kau tak akan berdoa sendiri. Ada aku. Harapan itu bisa tercipta jika kita bersama-sama membangunnya, sayang—" sekali lagi aku mengecup tangannya yang dingin. Tanganku kemudian terulur untuk menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Kau mau menikah denganku?"

Keraguan, kesedihan, keputusasaan, kekecewaan, ketakutan, dan... harapan... berkumpul menjadi satu di mata Jungkook. Mata indah. Mata yang sinarnya kuhilangkan. Mata yang kini sama indahnya seperti saat pertama kali aku bertemu padanya di lapangan itu bergetar. Tetes-tetes air mata terlihat bak butiran agung yang tak seharusnya keluar. Aku yang akan menghentikannya. Aku yang akan menggantinya dengan tangis bahagia. Aku yang akan menyayanginya dengan cara yang benar...

"Aku mau."

.

.

.

THE END

.

.

.

OH MY MY MY

Finallyyyyyyy satu FF ini usai sudah kutulis. Sejak awal FF ini kuupload di Fanfiction Net 2 tahun yang lalu sudah banyak sekali perkembangan yang muncul. Mulai dari awalnya yang review Cuma 3 orang, yang baca masih sedikit, sampai niat nulis yang sekali dua kali hilang dan muncul. Rasanya lega sekali Stay With Me sudah selesai. Terima kasih buat semua reader, reviewer, yang follow dan jadiin cerita ini sebagai favorit kalian. Plum sangat berterima kasih atas waktu yang kalian luangkan T.T. Pokoknya tanpa kalian maka cerita ini tak akan pernah selesai.

Untuk chapter terakhir ini silakan tulis review sebanyak dan sedalam mungkin karena akan ada giveaway yang bisa kalian ikuti. Syaratnya apa saja? pantengin aja akun instagram Plum di summer_plum (double underscores).

Love you to the moon and back.

Summer Plum.