DEFYING GRAVITY

seluscorpion―2017

Pagi itu, Luhan merasa seluruh dunia bahagia bersamanya. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya, eommanya memperbolehkannya menginjakkan kaki keluar manor dengan syarat pengawasan dari Sehun. Luhan bernyanyi―berteriak―sepanjang pagi dan membuat keributan di semua tempat yang dilewatinya.

"Na~ na~ NA!"

"Luhan hetikan telingaku sakit! Cepat bersiap sana!"

"Roger! He he"

Sehun muak dengan semua ini. Ia ingin pulang. Ia malu mengingat ia membalas pelukan Luhan semalam. Ia juga malu telah menceritakan masalah pribadinya yang selalu ia tutup rapat rapat kepada Luhan. Ah sungguh. Sehun lebih memilih mati daripada mengingat kejadian itu lagi. Ia terlihat seperti orang yang mudah percaya dengan orang lain dengan terlalu dekat dengan Luhan.

Dan hari ini ia juga mual mendengar suara Luhan yang menyanyi semaunya sendiri tanpa berpikir ia akan merobek gendang telinga orang lain.

Yah wajar saja menurut Sehun. Anak manja yang selama hidupnya berada di dalam rumah itu akan mencoba berjalan ke luar rumah hari ini.

Pasti ia senang harapannya terkabul, sungut Sehun

Lalu bagaimana dengan harapanku. Kenapa harapanku tidak terkabul. Huee, kesalnya.

Astaga aku jadi kesal melihat anak itu

Tanpa sadar mata Sehun malah terus mengikuti gerak gerik bocah rusa yang sedari tadi menjadi sangat lincah dan tidak bisa diam. Sehun merasa ingin menggigit Luhan karena gemas.

Eh?

"Sehunna! Lebih baik aku menggunakan bajuku yang ini? Atau yang ini? Oh! Oh! Apa pink akan bagus? Astaga aku bingung sekali! Aku merasa seperti ingin mati saja!"

Tunggu― sebenarnya Luhan sedang excited. Ia tidak menyadari apa yang dikatakannya.

Kalau begitu mati saja, geram Sehun

Mana berani Sehun mengatakannya pada rusa kecil lucu itu.

"Pakai yang mana saja. Jangan pakai pakaian yang terlalu mencolok." Jawabnya datar

S etelah acara pemilihan pakaian yang panjang dan dandan kecil yang tidak terlalu penting―kata Sehun, padahal dia sendiri terpana melihat penampilan Luhan kemudian―. Sehun dan Luhan siap berangkat menuju pedesaan untuk membeli beberapa buku. Itu adalah misi pertama Luhan dari eommanya.

oOo

"Kyaa! Aku tidak sabar!"

Astaga. Sehun sudah lelah mendengar teriakan atau sorakan tidak jelas dari Luhan sedari pagi. Sehun lebih suka ketenangan. Sungguh.

Sebuah kereta kuda berhenti di depan Sehun dan Luhan. Dengan segara, Luhan memasuki kereta kuda itu dan duduk manis di salah satu kursinya yang menghadap depan. Diikuti Sehun yang dengan malas memasuki kereta kuda dan duduk di kursi berlawanan dengan Luhan. Lagipula ia sudah terlalu biasa dengan suasana pedesaan. Apa bedanya pedesaan di Inggris dan di Prancis?

Setelah kedua penumpang masuk. Sang kusir langsung memerintah kuda kudanya untuk berlari menuju pedesaan terdekat dengan manor keluarga Lu.

Di perjalanan. Luhan tidak henti hentinya berhenti berbicara. Ia melihat banyak hal yang belum pernah ia lihat dengan matanya langsung sebelumnya. Ia menyukai apa yang ia lihat sejauh ini. Laut dengan ombak yang melambai lambai pada Luhan―Luhan membalas lambaian mereka hanya untuk kau tahu― Matahari yang bersinar terik. Pepohonan yang rindang dan menari nari. Oh. Luhan benar benar ingin hidup seperti ini selamanya. Melihat segalanya yang ia belum ketahui. Dan mencari tahu rahasia alam ini.

Sehun memejamkan matanya. Menikmati semilir angin yang menyapanya melalui jendela kereta. Mungkin Inggris memang memiliki hawa yang berbeda dengan Prancis. Mungkin Inggris memang lebih baik. Ia membuka matanya. Karena ada Luhan.

"Sehun! Sehun! Apa itu pedesaan?" tanya Luhan. Menunjuk kumpulan rumah yang berjajar rapi.

"Ya. Itu dia pedesaan." Mendengar Luhan mengoceh lagi, Sehun jadi pusing. Ia menarik kembali pemikirannya. Ia pikir, Inggris adalah Negara paling buruk karena Luhan berada disana.

"Wah! Apa disana nanti akan ada banyak orang? Apa mereka berbicara satu sama lain dan bahagia?"

"Hahh.. Iya iya terserahmu saja."

Mendengar jawaban malas Sehun, Luhan merasa kesal. Ia menggembungkan pipinya dan bersungut.

Sehun menyebalkan!

Tangannya ia lipat di depan dada dan dengan tatapan matanya yang ia pikir tajam, Luhan menyerang Sehun. Tentu saja Sehun tidak menangkap kode kesalnya. Ia hanya berpikir Luhan sudah lelah mengoceh dan sekarang ia memilih duduk tenang seperti Luhan yang seharusnya.

Yah walaupun sebenarnya ia sedikit terganggu dengan mata melotot―lucu―nya itu.

Selang beberapa menit. Luhan semakin kesal karena Sehun tidak minta maaf atau mengatakan hal yang bagus kepadanya. Malah diam dan melihat keluar jendela.

Hey memangnya Luhan tidak terlihat marah di matanya?

"Yak! Kenapa kau tidak mengerti kalau aku marah?" rengek Luhan

"Oh kau marah?" jawab Sehun melihat Luhan. Mencoba melihat gesture apa yang terlihat marah dari Luhan.

"Kau tidak―Oh! Jadi kau memelototiku karena kau marah?"

Ah. Sehun menyadari sesuatu.

"Apa aku terlihat senang dimatamu?!" jawab Luhan sarkasme.

"Yah.. Hanya matamu yang terlihat tidak biasa―lucu― tapi kupikir kau hanya lelah. Dan ngomong ngomong. Kau terlihat senang sepanjang hari, Lu."

Sehun memberikan pembelaan. Namun Luhan menangkap Sehun seperti penjahat yang mengelak tuduhan yang sudah jelas. Dengan dahi berkerut, Luhan menatap Sehun dan bibirnya mengerucut. Ia berpikir bagaimana cara menyerang Sehun agar ia merasa bersalah.

Sedang Sehun benar benar tidak mengerti apa yang terjadi. Ia juga tidak mengerti ia salah apa. Tapi, sepertinya makhluk mungil di depannya ini akan segera meledak.

Luhan tersenyum seperti mendapat sesuatu yang dapat membuat Sehun benar benar minta maaf dengan penuh penyesalan. Dan Sehun merasa ada hal buruk yang akan datang.

"Sehunna aku membencimu!"

Ah.. Sepertinya serangan kuat namun untuk orang yang salah. Dibandingkan merasa bersalah. Sehun malah berpikir untuk mengerjai Luhan.

"Oh kau membenciku? Kalau begitu bagaimana kalau kita pulang saja?"

Luhan terkejut. Itu tergambar jelas dengan matanya yang terbuka lebar, begitupula mulutnya. Bukan ini. Bukan ini yang seharusnya ia dapatkan. Sehun. Sehun yang seharusnya minta maaf.

"T-tidak mau." Ucap Luhan lirih

Bibirnya melengkung ke bawah. Matanya berkaca kaca siap untuk mengeluarkan rengekan dan tangisan bocah ciliknya.

"Kenapa? Kau 'kan membenciku? Kau ingin ke pedesaan. Tapi kata eommamu syarat kau boleh ke pedesaan adalah pergi denganku. Bagaimana ini?"

Di sisi lain. Sehun semakin gencar melancarkan godaannya kepada Luhan. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Luhan setelah ini. Ah sebenarnya saat ini Luhan terlihat sangat manis dan lucu.

"T-tidak.. Hiks.. Aku tidak membencimu.. Huee! Aku ingin ke desa!"

Tanpa disangka Luhan meledakkan tangisannya. Sehun kelabakan menenangkan Luhan yang menangis. Ia merasa bersalah telah membuat Luhan, walau sebenarnya ia juga senang melihat wajah kesal Luhan yang sangat manis.

"Baiklah.. Baiklah.. Kita ke desa. Dasar bocah."

Sehun menggelengkan kepalanya pelan. Ia hanya sedikit tidak percaya masih ada anak berumur tigabelas tahun yang sangat polos seperti Luhan. Anak kecil itu menatap Sehun dengan matanya yang masih sembab. Lalu mempoutkan bibirnya.

"Benar?"

"Ya.. ya.. Sudah jangan menangis lagi."

"Yeayy! Sehun yang terbaik!"

Dan hanya dalam beberapa detik, anak itu sudah kegirangan lagi.

Dasar anak rusa. Pikir Sehun.

oOo

Bayang desa yang kecil tadi berubah menjadi semakin besar memberitahu kedua anak yang masih berada di kereta bahwa mereka hampir sampai. Bayangan orang orang juga semakin terlihat di sana. Luhan semakin kegirangan. Ia terus menanyakan ini itu yang dibalas seperlunya oleh Sehun.

Ketika kereta mengehentikan lajunya. Sehun menapakkan kakinya keluar. Melihat sekitar lautan manusia yang memenuhi pusat desa. Ah. Sebenarnya tidak sebanyak itu. Hanya saja mungkin karena ini hari libur untuk sekolah umum jadi lebih banyak warga yang berada disana dari biasanya.

Luhan keluar kemudian. Kaki mungilnya yang dibungkus sepatu kulit berwarna coklat. Menapakkan kaki untuk pertama kalinya keluar manor. Entah ada sesuatu yang meletup letup di dalam dirinya. Ia merasa sangat senang, namun juga sangat takut. Takut mimpinya tidak seindah yang diharapkannya.

"Ayo."

Sehun tersenyum. Menggenggam tangan Luhan berjalan melewati kerumunan untuk melihat lihat. Banyak toko toko yang buka di hari minggu. Luhan terperangah. Melihat orang sebanyak ini. Bangunan bangunan yang belum pernah dilihatnya. Sangat menyenangkan.

Dalam penelusurannya Luhan melihat sesuatu yang aneh. Ia menarik tangan Sehun pelan lalu menunjuk badut kelinci besar berwarna biru yang melambai lambaikan tangannya di depan toko mainan anak anak.

"Sehunna.. Apa itu?" tanyanya.

"Itu ba―"

Ah tunggu.. Mungkin lebih baik aku mengerjainya heuheu.. Dia sangat polos dan bodoh.

"Itu dewa para kelinci. Kau tahu? Lihat! Warnanya biru. Itu juga sangat besar. Semua kelinci patuh padanya." Kata Sehun menahan tawanya.

"Eh? Memangnya ada yang seperti itu? Dewa kelinci itu ada sungguhan?!"

Tanpa disangka Luhan berlarj mendekati badut itu lalu menatapnya dengan curiga. Sebenarnya orang di dalam badut itu sudah berkeringat dingin mengira dirinya sudah ketahuan. Yah. Ketahuan pada anak kecil seperti menghancurkan mimpi magis anak anak.

"Hai.. Dewa kelinci?" Sapa Luhan.

Sehun menutup mulutnya menahan tawa lalu menghampiri Luhan.

"Jangan mengajaknya bicara nanti kau dikutuk menjadi kelinci."

Iseng. Sehun memperingatinya dengan wajah yang diserius-seriuskan. Ia bahkan menjaga jarak dengan Luhan dan badut itu untuk membuat aktingnya lebih meyakinkan.

"Benarkah?!"

Mata Luhan membulat lalu Luhan berlari mendekati Sehun dan bersembunyi di belakangnya. Sehun menggigit bibit bawahnya menahan tawa.

"Luhan. Cepat katakana padanya agar tidak mengutuk kita!"

Luhan menatap Sehun tidak percaya. Ia benar benar tidak percaya Sehun membiarkan dia yang mengatakan itu pada dewa kelinci itu. Bagaimana jika dewa kelinci marah dan mengutuknya? Tidak bagus jika pewaris bisnis appanya berubah menjadi seekor kelinci. Lagipula, Sehun 'kan lebih tahu. Ia lebih berpengalaman. Kenapa bukan dia saja yang mengatakannya pada dewa kelinci?

"A-aku? Tidak mau! Aku tidak mau dikutuk!"

"Sudahlah! Cepat. Aku bukan penghuni asli Negara ini. Ia akan membuatku berubah menjadi wortel dan memakanku!" Sehun berpura pura panik.

"Apa? Ah- Aku.. Um.. D-Dewa kelinci! J-jangan kutuk kami!"

Oh. Astaga. Perut Sehun sakit karena menahan tawa. Sedangkan orang di dalam badut benar benar tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang bocah di depannya katakana. Ia hanya ingin menjalani pekerjaannya dengan tenang, Demi Tuhan.

"Oh tidak. Ia akan mengutuk kita! Lihat matanya! Kita harus lari! Kita harus―"

"GYAAA!"

Belum selesai perkataan Sehun, Luhan sudah melarikan diri dengan semua kekuatannya. Ia takut setengah mati. Ia hanya ingin lari. Lari dimana dewa kelinci tidak dapat menemukannya. Lari kemanapun dimana tempat yang aman dan terbebas dari badut itu.

Sehun tidak dapat menahan tawanya lagi. Setelah meminta maaf pada badut yang ia nistakan. Ia segera mengejar Luhan―dengan tawa yang masih menyertai setiap nafasnya―. Jadilah mereka saling berkejaran dengan satu orang yang di depan menangis dan yang di belakangnya tertawa terbahak bahak. Luhan tidak mengerti kenapa Sehun tertawa. Ia mengira Sehun sudah dikutuk dan sedang menyebarkan kutukannya. Jadi ia semakin menangis terisak dan melarikan diri dari Sehun.

Ah jangan dibayangkan.

"Eh adik kecil. Kenapa kau menangis?"

Seorang pemuda bermata bulat yang kebetulan berada di depan toko menghampiri Luhan yang menangis dan menggendongnya. Laki laki itu berambut hitam dengan apron berwarna kuning yang menutup kaos putih dan celana jeans panjangnya. Di mata Luhan, orang yang menggendongnya adalah seorang penyelamat.

"AAH! PENCULIK!"

..Dan Sehun mengira ia adalah penculik.

"Hey! Hey! Aku bukan penculik."

Pemuda itu panik. Semua orang menatapnya dengan tatapan tajam seakan ia adalah pedofilia yang menculik anak anak kecil untuk nafsunya semata. Ia tersenyum canggung dan mengatakan saya tidak menculiknya. Saya hanya ingin menenangkannya. Berkali kali.

Seorang pemuda lain keluar dari toko dengan suara gemerincing bel saat pintunya dibuka. Laki laki berkulit tan dengan mata mengantuk dan rambut coklat yang acak acakan itu menghampiri pemuda bermata bulat.

Sehun melihat semuanya. Dan penampakan laki laki tan itu membuatnya yakin kalau Luhan diculik.

"Hey!"

Sehun menarik apron merah yang dipakai lelaki berkulit tan. Pemuda itu memprotes tindakan Sehun dengan menarik kembali apronnya.

Terdengar kekanakan memang.

"Kembalikan Luhan. Jangan menculik Luhan."

Yah.. Bagaimanapun. Sehun juga anak kecil yang polos.

"Kai-ya, jangan begitu dengan anak kecil."

Pemuda bermata bulat itu memberikan gesture tidak boleh dengan menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Kai yang sengit menatap Sehun. Pemuda berkulit tan itu―Kai―menatap lelaki satunya dengan penuh tanya.

"Kyungsoo-ya,siapa anak itu?" tanya Kai

Tatapannya beralih pada Luhan yang masih sedikit terisak di gendongan Kyungsoo―pemuda bermata bulat―

"Anakmu?" lanjutnya.

"YAK! Kai bodoh! Tidak mungkin aku mempunyai anak!"

Wajah Kyungsoo entah kenapa memerah semerah tomat. Sehun sedikit bingung dengan dua penculik yang ada di depannya ini.

Kenapa mereka tidak lari? Apa mereka tidak takut ditangkap polisi karena menculik anak kecil?

"Ah.. Baiklah. Lalu yang ini?"

Kai menunjuk Sehun yang memiliki tinggi jauh lebih pendek darinya. Lalu menatap Kyungsoo.

"Anakmu?" tanyanya lagi.

"Aku sudah bilang aku tidak punya anak, bodoh!"

Kyungsoo menggembungkan pipinya. Gemas dengan Kai yang begitu bodoh. Entah hanya mau menggodanya atau benar benar tidak tahu. Itu sedikit menyebalkan.

Kai menghela nafas. Ia mengerucutkan bibirnya lalu memutar bola matanya kesal.

"Lalu apa yang kudapat dari kerja kerasku setiap malam.." rengeknya

Kyungsoo tidak tahan lagi. Ia ingin memukul Kai. Sungguh. Satu satunya hal yang membuatnya bahagia saat ini adalah memukul Kai. Ia tidak tahu saja ia menderita―nikmat―setiap malam. Tapi ada dua anak disini dan yang satu sudah menganggapnya sebagai penculik. Apa yang akan terjadi jika ia memukul Kai disini? Ia bisa dilaporkan anak berwajah datar itu ke polisi dan mendekam di pengasingan selama hidupnya.

TIDAAAAK!

Kyungsoo memilih menyimpannya kekesalannya sendiri kali ini. Menelan bulat bulat kekesalannya, Kyungsoo berjongkok menyamakan tingginya dengan Sehun. Lalu menatapnya berusaha terlihat meyakinkan―walau dengan mata bulatnya itu ia lebih terlihat menyeramkan― lalu mengajak Sehun masuk dulu ke tokonya.

Ternyata Kyungsoo membuka toko kue. Saat Sehun masuk ke dalam toko. Aroma kue yang enak langsung menyapa hidungnya dan membuat perut Sehun keroncongan. Sehun kesal melihat kue kue yang tertata rapi dan hamper mematahkan teorinya kalau orang orang ini adalah penculik.

"Hmm.. Pandai juga kalian. Membuka toko kue untuk menarik perhatian anak anak."

Kyungsoo yang tidak menyadari maksud tersembunyi dari pujian Sehun hanya tersenyum dan mendudukkan Luhan di salah satu kursi dan menggendong Sehun untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan Luhan. Sedang si pemalas Kai sudah bersiap mendapatkan tidur siangnya lagi di tempat duduk di samping jendela.

Sebenarnya Kyungsoo sudah tidak tahan ingin memecatnya kalau saja ia tidak ingat toko kue ini juga milik Kai.

"Benar benar umpan yang bagus untuk menculik 'kan? Kyungsoo hyung." Celetuk Sehun

Kyungsoo pikir Sehun sudah percaya padanya dan tidak menganggapnya sebagai kriminal. Yah.. Ternyata anak satu itu memang sangat keras kepala.

"Sehunna.. Kyungsoo hyung bukan penculik." Kata Kyungsoo berusaha meluruskan kesalah pahaman.

"Yah.. Tidak ada penculik yang mengaku penculik lagipula. Hati hati saja. Aku akan menelepon polisi jika hyung mulai melakukan sesuatu yang mencurigakan."

Astaga..

Kyungsoo membiarkan Sehun berpikir apa yang dianggapnya benar. Tidak ada salahnya bersikap waspada lagipula. Ia memilih mengambil Kue Strawberry dan memberikannya pada Luhan yang sudah berhenti menangis dan melihat lihat tokonya dengan raut wajah yang sangat bahagia.

"Jangan dimakan Lu. Siapa tahu itu diberi ra―"

Sebelum Sehun menyelesaikan perkataannya, Kyungsoo menyodorkan kue coklat di depan Sehun dan membuat mata Sehun jadi berkilauan. Oh ya. Darimana Kyungsoo tahu kalau Sehun maniak coklat.

"Selamat makan!" seru kedua bocah itu kemudian larut dalam acara memakan kue dan meminum teh yang sangat menyenangkan.

oOo

"Terima kasih makanannya!"

Dengan perut kenyang keduanya berada dalam mood yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka mulai bermain atau berbincang walau kadang perbincangannya tidak masuk akal dan lebih didominasi dari ocehan kekanakan Luhan dan sok dewasa Sehun.

"Oh iya. Orangtua kalian dimana?", tanya Kyungsoo kemudian.

"Eomma?" jawab Luhan menatap Kyungsoo menanyakan apakah eomma yang dimaksud dengan orangtua.

Kyungsoo mengangguk mengiyakan.

"Ya. Eomma dan Appa."

"Oh.." Luhan berpikir sebentar. Seperti akan menceritakan suatu cerita yang panjang.

"Eomma mungkin di manor kalau Appa.. Aku tidak tahu."

"Tunggu.. Tunggu.. Manor? Kau tinggal di manor? Manor di atas tebing itu?"

Kyungsoo memastikan. Itu sesuatu yang fantastis Luhan mengangguk. Tidak mengerti apa yang bagus dari tinggal di dalam manor yang membuat mata Kyungsoo semakin membulat dengan kilat ketertarikan.

"Berarti.. Kau anak penyihir?!"

"EH?!"

To be continued..

Ngebosenin nggak sih? Pantes dilanjutin nggak sih TT TT Takut banget kalau jelek dan nggak memuaskan. Oh ya ini nanti rate M ya. Hehe nanti kalau udah selesai lebaran. Heuheuheu.

Jadi.. Saya minta pendapatnya dan reviewnya buat selanjutnya. Oh iya kalau ada yang mau nyumbang ide cerita. Langsung pm aja atau dm ke instagram seluscorpion. Kalau ada yang mau kenalan juga nggak papa hehe. Siapa tahu kita sama sama jomblo /eh/ maksudnya siapa tahu kita bisa deket. Jangan khawatir saya nggak nggigit kok hehe.

Buka Q&A juga ya~ Kalau ada yang tanya ke kotak review aja. See you next chapter~~