Harry merutuki langkahnya sendiri dengan gemas. Ia benci tangga-tangga sialan itu. Seharusnya ia bisa langsung kembali ke asrama dan mempersiapkan diri untuk kelas selanjutnya, tapi tangga batu penghubung dari ruangan Kepala Sekolah ini malah berputar arah seenak jidat dan memaksanya menyusuri koridor terkutuk itu, lagi. Benar-benar kurang ajar.

Bukan apa-apa, tapi belakangan ini Harry memang jadi sentimen setiap harus lewat sana. Label tak kasat mata yang berbunyi "Tersangka Pewaris Slytherin" masih tercetak jelas di keningnya. Meskipun anak-anak Slytherin lain sudah melakukan usaha terbaik mereka dalam menyebar tatap-tatap intimidasi—berani menggosipkan asramaku, kau mati—pada cecunguk-cecunguk tidak tahu diri yang coba-coba memulai konfrontasi, sekolah masih terasa begitu suram. Semua orang jadi paranoid, apalagi kalau Harry ada di dekat mereka, dan hal-hal semacam itu mampu membuat jengkel siapa pun semudah menyalakan api dalam ruang penuh oksigen.

Cowok dengan bekas luka sambaran petir itu baru saja akan menghela napas, mengingat koridor yang sejauh ini dihindari sudah ada di depan matanya, ketika ia menemukan sesuatu—atau seseorang—yang kelewat familiar. Iris hijau Harry segera menyipit. Ia benar-benar tidak bisa percaya pada apa yang dilihatnya. Siapa pula yang bisa percaya bahwa pewaris tunggal klan penyihir terhormat, keturunan darah murni Salazar Slytherin, seorang Draco Lucius Malfoy— sedang berjongkok dan mengintip ke dalam celah pintu kamar mandi anak perempuan?

Kadang Harry merasa harus melongok apa isi kepala pirang bodoh itu.

.

.

.

A STRANGER IN THE MIRROR

.

sequel of Change Me, Malfoy

© GinevraPutri

.

Harry Potter © J.K. Rowling

Saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini

.

.

.

Chapter 9 – Serpensortia

.

"Lebih baik kalian mulai bicara supaya aku bisa mempertimbangkan apa yang harus kulaporkan pada Dumbledore."

"Kami tidak harus menjelaskannya padamu."

"Kalau begitu jelaskan di depan seluruh murid Hogwarts nanti, setelah skandal kecil Gryffindor ini diketahui publik."

Hening. Hela napas terdengar.

"Sudahkah seseorang memberitahukan betapa brengseknya dirimu, Malfoy?"

Hermione Granger menyeka rambutnya yang sudah acak-acakan, mengembang sana-sini, cokelat yang memenuhi pemandangan cermin setiap kali ia memakai dasi di pagi hari. Gadis Gryffindor itu merutuki kesalahannya sendiri, tidak memantrai pintu toilet seperti yang biasa ia lakukan. Benar-benar ceroboh, tapi siapa juga yang menyangka hal ini bakal terjadi?

"Apa yang kudapat dengan menjelaskan ini padamu, Malfoy?" keluhnya pelan, lagi. "Ini sama sekali bukan urusanmu."

"Kau lebih suka ini jadi urusan Dumbledore, kalau begitu?"

"Dia tidak akan mengadukanmu pada Profesor Dumbledore, Hermione." Suara lain dari ambang pintu yang terbuka mencetus. Harry Potter bersandar di kusen, lengannya menyilang, keningnya berkerut. Terima kasih Godric, meski kacamata itu juga kelihatan penasaran berat, setidaknya ia masih memihak Hermione— setelah apa yang terjadi.

Tapi tepatnya apa yang barusan terjadi?

Murni nasib buruk, sepertinya. Hermione dan Ron sedang menjalankan usaha yang sudah mereka tekuni sejak beberapa minggu lalu meski setengah mati berisiko dikeluarkan secara tidak terhormat dari Hogwarts, dan tiba-tiba saja duo Slytherin yang paling mereka antisipasi kehadirannya malah muncul bak ular kobra menyeruak dari balik semak-semak.

"Kau tidak perlu sok tahu begitu, Potter." cetus Draco. "Akan kulaporkan atau tidak itu urusanku, jadi kau sebaiknya diam saja."

Dan ular-ular ini tampaknya berbisa.

"Dengar, Malfoy yang Maha Tahu," Harry balas mendengus keras. "Posisimu sama dengan posisiku di sini karena kita membuka pintu itu bersama-sama dan menyaksikan kekacauan ini bersama-sama. Kalau kau melaporkannya, aku akan menemukan argumen lain untuk menentangmu."

"Dan ingatkan aku ada di pihak mana kau berada?"

"Ini bukan masalah kubu—"

"Oh, jelas ini masalah—"

"Kenapa sih kau selalu—"

"OKE, DIAM, KALIAN BERDUA." Hermione akhirnya menekan suaranya. Iris hazel itu melirik sahabatnya yang sangat, sangat, berguna dalam situasi seperti ini, Ron Billius Weasley. Meringkuk di wastafel pojok dengan wajah memerah, Ron sepertinya ingin bilang tidak, mereka belum tahu apa-apa.

Diam-diam Hermione setuju.

"Baiklah. Baiklah. Bagian mana yang ingin kautahu?"

Draco tertawa hambar. "Harus kumulai dari mana? Bagaimana kalau kau jelaskan kenapa kau membawa seseorang yang bukan perempuan ke toilet perempuan?"

"Yang mana mengingatkanku, tidakkah kita seharusnya pergi dari sini dan bicara di tempat lain?" sela Harry, sedikit gusar. "Omong-omong ada tiga laki-laki di sini."

Hermione mengibaskan tangan. "Tidak ada yang pernah menggunakan toilet ini. Kalau kau tutup pintunya, semua aman."

Harry menarik daun pintu segera. Bunyi pintu tertutup terdengar. "Tapi kenapa tidak ada yang menggunakan toilet ini, Hermione?"

Gadis itu mengangkat bahu. "Myrtle Merana."

Draco tertawa. "Siapa?"

"Aku tidak akan menyebut namanya lagi, siapa tahu dia dengar dan datang kemari. Kalian tidak akan suka." Hermione menghela napas. "Anak-anak perempuan menghindarinya karena dia, yah, kau tahu.."

"Merana?" Harry mengangkat alis.

"Jadi dia ini apa? Hantu?"

Hermione mengangguk tanpa basa-basi. "Dan aku hanya akan menjawab pertanyaan kalian sampai sini saja."

"Bagaimana dengan apa tepatnya yang kalian lakukan berdua di sini?"

"Kubilang, sampai sini saja, Malfoy."

"Baik, kalau itu maumu." Draco tersenyum sinis di sudut bibirnya. "Kurasa hal ini terlalu mencurigakan untuk dibiarkan. Apalagi, kau tahu, letak toilet ini begitu dekat dengan—"

"—koridor itu, tentu saja!" Ron menyembur, emosi. "Kenapa tidak kau jelaskan lebih dulu apa yang kalian lakukan, Malfoy? Berkeliaran di sini? Mencari waktu yang tepat untuk menulis ancaman lain di dinding?"

Draco mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Kau pikir siapa yang menulis ancaman itu, Weaselbee?"

"Oh, tidak perlu diragukan!"

"Ron—"

"Semua tahu kau dan kroni Slytherinmu yang begitu berharga dibesarkan untuk jadi psikopat!"

Oke. Itu jelas-jelas pilihan kalimat yang buruk.

Draco merangsek maju untuk menarik kerah Ron dan membenturkan punggung cowok malang itu ke dinding. Bunyi memuakkan terdengar. Hermione mundur selangkah, menggigit bibir cemas. Harry menghela napas. Benar-benar tidak ada yang bisa mengontrol temperamen pirang platina itu.

"Coba katakan lagi, Weaselbee."

"Tidak lama lagi, Malfoy." geram Ron rendah. "Tidak lama lagi dan semua misi busukmu akan terbongkar."

Draco mengeratkan cengkeramannya. Ron tampak menelan ludah.

"Kalaupun akumelakukannya, idiot, bagaimana caramu membuktikannya?"

"Kau tidak perlu tahu." Ron mengepalkan tangan, telinganya nyaris berasap. "Tapi yang jelas, ramuan ini akan membongkar semuanya."

Sedetik. Dua detik.

"Ramuan?" sambar Harry tiba-tiba. "Ramuan apa yang kaubicarakan?"

Sial. Hermione mengusap wajah.

"Oke, hentikan. Itu bukan urusanmu, Harry. Juga bukan urusanmu, Malfoy." Tatapannya jatuh pada Draco. Pirang platina itu mendecih, menyentak lepas kemeja Ron dan mengarahkan tangannya ke wastafel. Jemarinya memutar kran untuk mencuci tangan, tapi rupanya kran itu mati. Draco mengerang jengkel. Ia baru saja akan beralih wastafel ketika pandangannya justru jatuh pada sesuatu yang menggelegak di dekat sepatunya.

Sebuah kuali ramuan.

"Jackpot."

Seringainya perlahan terbit, sementara iris abu-abu itu menatap Hermione tajam dari pantulan cermin. "Apa Profesor Snape masih mencari siapa yang mencuri bahan-bahan ramuan dari lemarinya?"

.

"Tidak, Malfoy, kubilang tidak." Harry berhenti memutar-mutar pena bulu di antara jemari, menoleh ke arah Draco yang duduk di sebelahnya dengan jengkel. Perpustakaan malam itu tidak terlalu hening seperti biasa.

"Apanya yang tidak, Potter?" Walaupun sudah berbisik-bisik, sarkasme itu kentara sekali meluncur mulus. Si pirang memutar mata, memfokuskan diri pada esai Sejarah Sihir yang mulai tadi digarap tapi tidak rampung-rampung juga.

Sementara yang dicueki memang sudah terlahir sentimental. "Mereka bisa dikeluarkan kalau kau mengadukannya!" Nah, kan, seratus persen sentimen. "Sejak kapan sih kau jadi tukang adu-adu begini?" Ditambah dua ratus persen ofensif.

"Bukannya justru bagus kalau mereka dikeluarkan?" Si pirang akhirnya menukas kesal. Pena bulunya bergerak di atas perkamen, menorehkan tinta keperakan mahal dengan kasar. "Setidaknya kita tidak bakal terancam oleh ramuan mencurigakan itu."

"Ya, tapi mereka sudah berjanji bakal berhenti memproduksinya kalau kita mau tutup mulut."

"Demi Salazar, Potter, ramuan itu sudah setengah jadi! Kau pikir mereka akan berhenti begitu saja hanya karena kita tahu? Sudah jelas mereka menjadikan kita target, karena mereka pikir setidaknya kita lah yang bertanggung jawab atas insiden Kamar Rahasia, dan kau masih berupaya melindungi dua cecunguk Gryffindor sialan ini?"

Harry menatapnya ragu-ragu. "Hanya saja.. mereka hanya melakukan apa yang menurut mereka benar. Mereka juga ingin tahu siapa dalang di balik semua ini, Malfoy, sama seperti kita."

Draco mendengus keras. "Kita? Oh, jangan menghitungku. Aku tidak mau ikut campur dengan penyelidikan bodohmu ini, Potter. Aku tidak mau tahu dan tidak peduli siapa Pewaris Slytherin, selama dia melakukan tugasnya dengan baik."

"Melakukan tugasnya dengan baik?" Kali ini Harry terpancing. Matanya berkilat karena emosi. "Kau pasti tidak merujuk pada tugasnya membantai Kelahiran-Muggle, kan? Sebab kalau ya, aku benar-benar tidak bisa mengerti apa yang ada di kepalamu."

"Santai saja." Draco memutar mata sebal. "Aku juga tidak paham apa yang ada di otak ala-ala detektifmu itu."

"Pokoknya jangan melapor," tukas Harry. "Kita bahkan tidak tahu ramuan apa itu—"

"Yeah, karena mereka sendiri tidak mau menjelaskannya. Kau tahu kenapa? Supaya mereka bisa melanjutkan proyek mengerikan itu dan entah bagaimana bakal memojokkan kita."

"Cukup dengan imajinasimu, Malfoy." keluh Harry. "Kau dan aku tidak seharusnya takut kalau memang tidak berbuat apa-apa."

"Dan apa maksudmu bilang begitu?"

Harry menahan diri. "Maksudku adalah, kau harusnya tidak melapor karena takut akan ramuan itu, kalau kau memang tidak ada sangkut pautnya dengan Kamar Rahasia."

Draco meletakkan pena bulunya. Iris abu-abunya dipusatkan ke kacamata menantang milik Harry. "Aku jelas-jelas bersamamu saat insiden kucing bodoh itu terjadi!"

Harry mengangkat bahu. "Aku yakin seorang pewaris pasti punya caranya sendiri."

"Kalau aku pewarisnya, Potter, aku tidak akan memilih kucing itu untuk jadi korban pertamaku. Dan Hogwarts tidak akan begitu ramai lagi saat ini." Draco balik menukas. "Dengar. Aku tahu kau entah bagaimana mencurigaiku. Tapi, Potter, setidaknya pikirkan dulu siapa saja yang masuk dalam daftar tersangkamu." Volumenya merendah menjadi bisikan. "Karena aku pasti bukan satu-satunya, kan?"

Harry berusaha mempertahankan wajahnya tetap datar.

"Misalnya, bagaimana dengan Hermione Granger?" Draco mengangkat bahunya tak acuh. "Kau tahu dia seorang kutu buku, anti-Slytherin, dan Darah Lumpur. Bagaimana kalau dia sengaja memulai semua kekacauan ini, dengan mitos Kamar Rahasia yang, entahlah, dia temukan di buku kesayangannya? Motifnya jelas. Untuk menanamkan label bahwa Hogwarts terancam oleh kehadiran Pewaris Slytherin. Slytherin bakal digeledah, Darah Lumpur bakal dilindungi, praktisnya semua yang dia inginkan terwujud."

Harry nyaris kehabisan kata-kata. "Apa maksudmu dengan teori gila itu, Malfoy?"

"Hei," tawa Draco kecil. "Teori tadi sama gilanya dengan teorimu tentang aku sebagai Pewaris Slytherin."

"Tidak lucu."

"Aku tidak berusaha melucu."

"Kau—" Harry menahan dirinya. Matanya terpejam. "Kau tidak menganggap ini serius kan, Malfoy?"

"Apa?"

"Kau pikir kau bisa main-main dengan masalah ini, karena kau tidak akan tersentuh."

Draco menghela napas lelah. "Aku tahu kau sama sekali tidak setuju soal misi Pewaris Slyther—"

"Tentu tidak!" potong Harry tegas. "Misinya adalah membunuh, Malfoy. Sadarlah. Itu bukan sesuatu yang harus disetujui atau apa."

"Ayahku selalu bilang, jangan perhatikan detail. Kau harus lihat gambaran yang lebih besar." Draco mengedikkan bahunya. "Dunia sihir sudah dicemari, Potter. Seseorang harus membersihkannya, menegakkan batasan antara yang murni dan yang lumpur. Berterimakasihlah karena bukan kau ataupun aku yang memikul tanggung jawab itu."

Harry tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Aku benar-benar muak dengan sistem kasta tololmu ini. Yang kita bicarakan adalah nyawa manusia!" desaknya. "Seharusnya kau tidak menghentikan Ron waktu ia menyebutmu psikopat."

"Katakan semaumu." Draco membalas dengan lugas. "Tapi sebaiknya kau tidak mengatakannya di depan murid Slytherin lain. Karena kau harus tahu, Potter, mereka tidak akan menoleransimu sebaik aku."

Harry mengalihkan pandang, menyerah. Ia benar-benar sudah menyerah dengan situasi bodoh ini.

"Dengar," Memainkan pena bulu di antara jemarinya, iris abu-abu Draco menerawang jauh. "Semua lukisan leluhurku di rumah selalu bertanya soal perkembangan Hogwarts tiap kali aku pulang, Potter, dan pertanyaan pertama mereka selalu tentang kapan Hogwarts bakal berhenti menerima Darah Lumpur."

Hening.

"Kau pikir aku tidak menganggap ini serius, tapi kau salah. Ini adalah tahun yang penting untuk Slytherin. Untuk Salazar dan seluruh keturunan Darah Murni-nya."

"Dan kau ingin aku percaya kalau kau bukan si pewaris?" tawa Harry mengalun getir. "Kau seratus persen mendukung operasi maniak ini dan—"

"Aku?" sela Draco. "Seluruh Slytherin mendukung operasi ini, Potter, buka matamu."

Harry kehabisan kata-kata.

"Pilih yang mana sajalah." Draco bangkit, membereskan tasnya. "Dengan atau tanpa Pewaris Slytherin, bagi kami dunia sihir terlalu sempit untuk berbagi tempat dengan Darah Lumpur." Ia mengangkat bahu sekali lagi. "Sayang sekali aku tidak punya pengecualian untuk Granger kesayanganmu."

"Hermione menyelamatkan nyawamu berkali-kali di koridor lantai tiga tahun lalu." kata Harry dingin. "Bagaimana pun kau merendahkannya, dia tetap murid paling pintar di angkatan. Nyawanya mungkin lebih berharga daripada milikmu."

"Kau benar," tawa Draco sembari melangkah pergi. "Sayangnya hal-hal itu tidak menjadikan darahnya bersih."

.

Minggu-minggu selanjutnya berlangsung muram di seluruh penjuru kastil. Desas-desus tidak memadam, justru malah semakin panas. Bahkan kini aneka jimat dan benda-benda kontra-kutukan mengepung Hogwarts. Murid-murid heboh sekali membeli ini-itu untuk melindungi mereka dari teror Pewaris Slytherin. Seolah kalung bawang putih atau barang aneh lainnya bakal berhasil menghentikan apapun itu yang membuat Mrs. Norris membatu.

Harry tidak mengucapkan sepatah kata pun mengenai masalah ini dan begitu juga dengan Draco. Sepertinya mereka berdua akhirnya sadar bahwa perdebatan soal Darah Murni dan Darah Lumpur ini tidak akan ada habisnya. Harry bakal ngotot kalau semua darah sederajat, dan Draco bakal balas mencerca karena ia pikir darahnya sendiri istimewa. Ketika akhirnya mereka berhenti membahas persoalan itu, tiba-tiba saja situasi kembali damai.

Pansy sudah berbaikan dengan Draco, setelah Narcissa mengirim surat langsung pada putra tunggalnya itu untuk memaafkan sahabat perempuannya. Benar-benar menggelikan, tapi dengan terpaksa Draco harus menerima Pansy kembali menjadi temannya. Bocah itu memang arogan luar biasa, tapi kelihatannya ia juga tidak bisa serta merta mengecewakan ibunya. Atau mungkin, memang sistem keluarga darah murni begitu, si anak wajib patuh kalau tidak mau kena hukuman.

Di lain pihak, Harry berusaha menyibukkan diri dengan tugas-tugasnya demi melupakan masalah Dobby si peri rumah dan suara tanpa tubuh. Kadang-kadang ia berpapasan dengan Ron dan Hermione di koridor, dan mereka saling tersenyum menyapa. Perbaikan hubungan mereka terbilang cukup drastis sejak insiden di toilet perempuan itu. Mungkin Ron dan Hermione merasa berterimakasih karena Harry berhasil membungkam mulut Draco yang sebelumnya bertujuan melaporkan pencurian bahan-bahan ramuan kepada Profesor Snape.

Bicara mengenai ramuan, sejujurnya Harry masih belum mengetahui ramuan apa yang waktu itu hendak dibuat oleh kedua teman Gryffindornya (dan ia juga tidak begitu penasaran), tapi suatu hari tiba-tiba saja Draco menerjangnya entah dari mana dan bilang:

"Aku tahu ramuan apa yang mau mereka buat!"

"Astaga, apa itu sangat penting bagimu, Malfoy?"

"Aku mengenali kulit ular Boomslang di toilet waktu itu, kau tahu, tidak banyak ramuan yang menggunakan bahan itu. Jadi aku mengirim surat pada Dad—"

"Kau mengirim surat pada siapa?"

"—dan Dad bilang itu pastilah ramuan Polijus, ramuan yang membuatmu bisa berubah menjadi orang lain. Ha! Katakan itu pada Granger! Dia pasti berpikir tidak ada orang lain yang bisa mengenali ramuannya."

Harry tercengang. "Kau mengerikan saat penasaran."

"Mungkin mereka bakal berubah jadi dua anak Slytherin dan menyusup ke asrama untuk mencari bukti kalau salah satu dari kita adalah si pewaris. Rencana-rencana Gryffindor memang tidak masuk akal."

"Salah satu dari kita?" dengus Harry setelah berhasil mengatasi keterkejutannya. "Sori-sori saja, tapi bukan aku yang satu garis keturunan dengan Yang Mulia Salazar."

Draco balas merengut. "Bisa tidak sih kau bersikap kooperatif sedikit?"

Dan pada akhirnya Hermione mengonfirmasi hal itu sewaktu mereka berada di kelas Herbologi. Sembari memasangkan kaos kaki pada batang-batang Mandrake yang pucat (sebentar lagi musim dingin tiba, onggokan daun malang itu pasti kedinginan), ia akhirnya menceritakan rencananya soal ramuan Polijus. Cukup sederhana, hampir sesuai dugaan Draco. Mereka akan berubah jadi murid Slytherin dan menanyai Draco soal Kamar Rahasia— karena tentu saja Draco yang mereka curigai, bukan Harry. Bahkan Hermione bilang ia sempat terpikir untuk berubah menjadi Harry, karena mungkin saja Draco akan berkata jujur kalau Harry yang menanyainya.

Mendengar spekulasi itu, Harry cuma bisa memaksakan tawa. Tidak perlu repot-repot meminum ramuan Polijus, ia sendiri sudah berusaha memancing-mancing Draco walau hasilnya nihil. Selain fakta bahwa cowok itu adalah maniak darah murni yang mengagung-agungkan sistem kasta mengerikan, Draco tidak menunjukkan indikasi lain yang merujuk pada Pewaris Slytherin. Hermione bilang padanya mungkin penyelidikan mereka harus ditunda sampai ada petunjuk lebih lanjut, dan Harry setuju. Ada baiknya mereka menikmati masa-masa tenang sebelum masalah baru datang.

Sayangnya masalah baru itu akhirnya muncul pada bulan Desember.

Semuanya berawal dari pagi yang normal ketika langit Aula Besar begitu biru muda, dan piring-piring pancake muncul berbarengan dengan botol-botol sirup maple di atas meja makan asrama. Slytherin sedang sepi, tidak ada begitu banyak bahan pembicaraan, sementara Hufflepuff di sebelah begitu hingar-bingar— beberapa anak kelas empat sedang berusaha menjual hasil proyek mereka, jeli-penangkal-bisa-ular. Hanya karena lambang asrama Slytherin adalah ular.

Benar-benar memuakkan bagaimana para pengusaha itu mencari keuntungan dengan cara mengambinghitamkan Slytherin atas semua yang terjadi. Tapi bukan sepenuhnya salah mereka juga, karena goresan darah di dinding itu tidak menyebutkan Pewaris Gryffindor, atau Pewaris Ravenclaw, tapi jelas-jelas Pewaris Slytherin.

Dan Harry sudah cukup kesal mendengarkan omong kosong soal jeli itu tanpa perlu digerecoki ketua klub penggemarnya yang belakangan ini sangat menyulitkan— Colin Creevey. Sudah tiga hari ini ia mengejar-ngejar Harry (di koridor, di Aula, di mana-mana) dan memintanya berfoto bersama karena ia baru saja dapat kamera baru (kali ini yang bisa menghasilkan foto sihir, kau tahu, gambar yang bergerak-gerak itu) dan ia ingin sekali foto sihir pertama yang iambilnya adalah fotonya bersama pahlawan kesayangannya, Harry Potter.

Bekas luka sialan.

Gara-gara bekas luka petir ini Harry harus merana menghadapi orang-orang semacam Colin yang bahkan tidak menghindarinya meski separuh sekolah berbuat begitu sejak insiden Kamar Rahasia.

"Oh, ayolah! Tidak hari ini!"

Gerutuan Theo membuat Harry mengangkat wajah dari piringnya dengan enggan. Ditolehkannya kepala ke belakang untuk melihat binar mata Colin yang begitu cerah.

"Harry Potter! Kumohon! Hanya satu foto saja!" Bocah Gryffindor itu tersenyum lebar, tangannya mengacung-acungkan kamera sihir.

"Enyahlah, Creevey." gertak Draco. "Sebelum aku mengubahmu jadi kodok atau apa."

Colin agak tersentak. Dialihkannya pandang berharap ke arah Harry.

"Err.. Colin, sori, tapi mungkin tidak sekarang.."

Kecewa segera tampak di wajah murid kelas satu itu. Harry menelan ludah. Apa lagi yang bisa ia perbuat? Tidak mungkin ia setuju untuk berfoto bersama, kan? Harga dirinya bakal anjlok ke gorong-gorong bawah tanah. Belum lagi Draco yang memelototinya seolah berkata singkirkan fans gilamu sebelum aku merasa terganggu.

"Mungkin nanti.." lanjut Harry ragu-ragu, "..kalau tidak ada kelas."

Colin mendapat suntikan semangat sedikit, cengirannya kembali muncul. "Oh, baiklah! Kalau begitu aku akan mencarimu nanti. Sampai ketemu, Harry!"

Ia melambaikan tangan sembari berlari kembali ke meja Gryffindor, kemudian duduk di sebelah Ginny, adik perempuan Ron. Mata Harry mengawasinya dengan sedikit rasa bersalah.

Draco mendengus keras di sebelahnya. "Oh, akhirnya. Kukira dia bakal bertahan di sini sampai kiamat tiba."

Harry memutar mata, berusaha tidak memedulikan sindiran Draco dan kembali menekuni pancake-nya.

"Harusnya kau minta maaf karena penggemarmu sudah merusak sarapanku, Potter."

Abaikan, abaikan..

"Aku tidak mengerti apa isi kepalanya sampai-sampai mengidolakanmu." Draco meneruskan ocehannya. "Kudengar dia Muggle? Ups, maksudku keluarganya Muggle?"

Harry menggertakkan gigi. "Ini masih pagi, Malfoy, jangan cari gara-gara."

Draco tertawa sekilas. "Astaga. Begitu banyak darah lumpur menempel padamu. Pertama Granger, lalu—"

"Diamlah."

"Kenapa? Kau merasa darahmu juga ikut tercemar?"

"Kalau kau juga mau menempel padaku dan tidak mau punya saingan, bilang saja, Malfoy." Harry mengunyah pancake-nya sambil lalu. "Aku dengan senang hati akan menyingkirkan mereka untukmu."

Pansy dan Theo tersedak jus labu di seberang meja.

Draco merengut. "Mengherankan sekali bahwa mulutmu tidak pernah mengeluarkan hal-hal bermanfaat, Potter."

"Kau butuh cermin." cibir Harry. "Omong-omong, sebelum kau meneruskan perdebatan bodoh ini, Flint sudah memberitahumu latihan nanti sore ditunda?"

Anggukan diberikan sekenanya. "Karena ada Klub Duel tolol itu, kan?"

"Apa maksudmu tolol?" Harry menaikkan alis tidak setuju. "Bukannya justru bagus Hogwarts mengadakan Klub Duel di tengah-tengah situasi genting begini? Setidaknya kita bisa membela diri kalau-kalau diserang si pewaris."

Tunggu sampai kau sendiri yang diserang, vampir pirang—

"Yeah, sayangnya darah murni tidak butuh pelajaran duel apa pun karena mereka tidak akan diserang."

brengsek.

Harry menahan dirinya. "Terserah saja. Tapi aku yakin kau pasti bakal datang nanti sore.

Draco tidak menutupi tawa mencemoohnya. "Dan kenapa kau pikir begitu, Santo Potter?"

"Karena aku datang." Harry menyilangkan garpu dan pisaunya di atas piring. "Dan kau tidak mungkin membiarkanku di sana sendirian."

Iris kehijauan itu mengangkat alis singkat dan mencangklong tasnya sebelum melangkah keluar Aula Besar. Draco menahan diri untuk tidak mengacungkan jari tengah padanya.

.

Klub Duel itu adalah bencana.

Arenanya memang benar-benar keren. Meja-meja makan yang memenuhi Aula Besar disihir hilang sehingga tempat itu jadi area kosong. Ditambah panggung memanjang yang dihiasi lampu sorot di tengah-tengah. Waktu mainnya yang semula sore, diundur jadi malam karena bentrok dengan jadwal menjawab surat penggemar milik seseorang.

Firasat Draco memang selalu benar. Ia sudah tahu klub tidak jelas ini adalah ide buruk sejak awal. Terlebih setelah ia tahu siapa yang mendapat tugas mengajar. Jujur Draco kira mungkin saja Flitwick, atau Mcgonagall, atau bahkan Profesor Snape.

Tapi alih-alih tiga orang tadi, yang muncul di tengah-tengah panggung justru guru yang paling membuatnya trauma berat. Bukannya hiperbolis, tapi kalau seseorang membuat tulang di sepanjang lengan kirimu menghilang, kau tidak akan senang saat melihat wajahnya, kan?

Sayangnya, itulah yang terjadi pada Draco.

"Selamat datang!"

Oh, enyahlah kau.

"Selamat datang di Klub Duel perdana Hogwarts!"

Tepuk tangan riuh menyambut pembukaan dramatis Profesor Lockhart. Draco merasakan kepalanya sudah setengah berdenyut mendengar suara guru idiot itu. Iris abu-abunya berkeliling, berusaha mencari sosok yang memancingnya sampai terjebak di sini— siapa lagi kalau bukan si kepala pitak?

Oke, memang cowok itu tidak secara teknis memaksanya ikut klub sialan ini atau apa, tapi sudah jelas sekali ia bakal datang ke sini, dan Draco sedang tidak ada kerjaan, jadi ia memutuskan untuk menyusul. Bukan berarti ia mengikuti Harry kemana-mana, hanya saja ia sedang malas sendirian di asrama, dan— oke, lupakan.

"Suatu kebanggaan bahwa akhirnya aku bisa membagi sedikit kehebatanku kepada kalian, anak-anak. Duel sihir benar-benar menjadi keseharianku ketika aku harus bertahan hidup di—"

Blah, blah, blah. Omong kosong Lockhart mengalun sekitar sepuluh menit kemudian. Draco benar-benar berpikir mungkin guru idiot itu mengarang kisah-kisah yang ada di bukunya, soal caranya menaklukkan manusia serigala dan segala macam. Ia tidak terlihat begitu hebat, kau tahu, meski bualannya sangat luar biasa. Draco masih meneruskan usahanya mencari Harry di tengah-tengah kerumunan itu ketika akhirnya Lockhart memperkenalkan Profesor Snape sebagai asistennya.

Mereka memulai pelajaran dengan memeragakan mantra pelucutan senjata— yang (ya ampun) sudah Draco kuasai sejak kelas satu berkat ajaran ayahnya. Jujur saja, hal lain yang menyebabkan pirang platina itu agak malas bergabung dengan klub semacam ini adalah karena kemampuannya berduel sudah melampaui anak-anak yang lain. Dad memberinya latihan di rumah, dan yang paling Draco ingat adalah kau dilarang berduel, tapi kalau ada yang menantangmu, kau dilarang kalah.

Dan prinsip hidup Draco pun berkembang seperti itu. Ia tidak akan menyerang duluan kalau tidak ada yang cari gara-gara. Beda urusan dengan Harry. Kalau soal cowok itu, mau dia cari gara-gara atau tidak, Draco bakal merecokinya sepanjang hidup. Kenapa? Ia tidak tahu. Mungkin itu passion-nya.

Kedua guru itu mulai memasang-masangkan murid untuk memulai latihan duel mereka. Profesor Snape menemukan iris abu-abunya secepat kilat menyambar.

"Jika diperkenankan, Profesor Lockhart, aku ingin mengajukan murid dari asramaku untuk melakukan demonstrasi."

Bagus. Profesor Snape adalah wali Draco, dan ia tahu betul pelatihan-pelatihan yang diberikan di rumah keluarga Malfoy. Oke, mungkin setidaknya ada hal bagus yang bisa diambil dari klub ini.

Semua orang bakal tahu kalau Draco adalah jagonya duel, dan mereka sebaiknya tidak cari-cari masalah dengannya.

"Oh, bagus sekali!" Profesor Lockhart menanggapi dengan ceria. "Bagaimana kalau.. pasangannya.. AH! Harry Potter! Ya, di sana! Aku melihatmu!"

Kali ini tidak bagus.

Harry menyeruak dari balik kerumunan dengan wajah tertekan. Jelas sekali tampangnya berkata aku lagi, aku lagi. Tapi memang salahnya sendiri, punya nama sebesar itu. Bahkan Draco sudah mendengar cerita tentangnya sejak lahir lewat dongeng sebelum tidur.

Mereka berdua naik ke ujung panggung yang berbeda. Berdiri berhadapan dalam jarak hanya beberapa meter, Draco bersumpah Harry memberinya tatapan peringatan. Semacam jangan permalukan aku, kau idiot tukang pamer.

Draco memang belum pernah cerita soal latihannya di rumah, tapi sepertinya kacamata itu sudah bisa menebak sendiri. Baguslah. Persiapkan dirimu, kepala pitak.

"Oke. Saling membungkuk."

Tidak ada yang punya keinginan membungkuk, baik Harry maupun Draco. Iris kehijauan itu menatapnya sebal, dan Draco membalasnya dengan senang hati.

"Angkat tongkatmu setinggi dada.."

"Expelliarmus!"

"Tarantallegra!"

Tongkat Draco melayang sekitar sesenti dari tangannya tapi ia dengan sigap menangkapnya kembali. Sementara itu kaki Harry tiba-tiba menyentak-nyentak di luar kendali.

"Malfoy!" geramnya.

"Aku belum memberi aba-aba!" seru Lockhart tidak terima. "Astaga, Mr. Malfoy, kubilang lucuti saja—"

"Rictusempra!"

Belum sempat Draco menjawab, mantra Harry menghantamnya. Tawa tidak terkontrol mendadak keluar dari bibirnya. Tangan Draco memegangi perut, seolah memang ada sesuatu yang sangat lucu.

"HAHAHAHAHA—"

Nyaris seluruh murid yang hadir ikut tertawa untuk alasan yang berbeda.

"OKE, STOP, STOP!"

"Finite Incantatem!" Profesor Snape menjentikkan tongkatnya. Segera saja kaki Harry berhenti bergerak dan tawa Draco menghilang. Guru ramuan itu tampak tidak terkesan.

"Cobalah untuk menangkalnya, anak-anak." desisnya.

"Tadi itu.. bagus sekali, sebenarnya!" Lockhart kembali mengomentari. "Tapi kali ini kita mulai pelan-pelan. Jangan menyerang sebelum aba-abaku. Ingat! Harry, saat Mr. Malfoy menyerang, kau harus menangkalnya dengan cara seperti ini."

Kemudian ia melakukan gerakan yang rumit dan melemparkan tongkatnya ke udara. Sayangnya Lockhart tidak begitu beruntung karena alih-alih menangkapnya kembali, tongkat itu justru jatuh berkelontangan ke panggung. Guru selebriti itu buru-buru meraup tongkatnya dari lantai panggung dan berdiri seolah tidak ada yang terjadi.

"Nah, nah, pokoknya seperti itu, Harry. Siap?"

Harry memandangnya tidak percaya. "Apa—"

"Tiga.. dua.. satu!"

"Serpensortia!"

Draco mengacungkan tongkat tanpa pikir panjang. Itu adalah mantra pertama yang terlintas di pikirannya.

Seekor ular hitam tiba-tiba melesat muncul di tengah-tengah panggung. Diameternya lumayan besar dan menyeramkan. Ular itu melata dan mendesis-desis keras. Anak-anak perempuan di barisan depan menjerit. Kerumunan murid yang tadinya antusias buru-buru mundur.

"Jangan bergerak, Potter." Profesor Snape refleks melangkah maju. "Akan kulenyapkan yang satu ini."

"Tidak, tidak, biar aku saja!" Profesor Lockhart tiba-tiba menyela. Dilecutkannya tongkat ke arah si ular. Ular itu terbang setinggi 5 meter dan jatuh kembali ke panggung dengan marah. Kepalanya diangkat tinggi dan ia semakin gencar mendesis-desis mengerikan ke arah murid-murid.

Justin Finch-Fletchey meneguk ludah ketika ular itu mendekatinya. Memamerkan taring, siap menyerang.

"Jangan ganggu dia!" Harry tiba-tiba berteriak. Ular itu mendadak berhenti, menoleh pada Harry dan memandang matanya. Harry langsung tahu bahwa si ular tidak akan menyakiti siapa-siapa, walau ia tidak bisa menjelaskan bagaimana ia bisa tahu.

Di luar dugaan, Justin justru menatapnya marah dan ketakutan. "Apa yang kau lakukan?!"

Apa yang kulakukan? Tentu saja menyelamatkanmu, idi—

"Potter, diam di sana." Profesor Snape mendekat ke arah si ular dan melenyapkannya dalam kepulan asap hitam. Tatapan matanya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang aneh.

Bisik-bisik segera merambat di kerumunan. Pandang-pandang tidak suka ditujukan pada Harry.

Tunggu dulu. Ada apa ini?

"Potter."

Kemudian iris hijau itu menemukan si abu-abu sudah menyeberangi separuh panggung dan kini sedang mencekal lengannya.

"Kita harus pergi."

"Ada ap—"

"Diam."

Draco menarik pergelangan tangannya kuat-kuat dan Harry membiarkan cowok itu membawanya turun dari panggung, menerobos kerumunan yang penuh bisik-bisik, dan langsung menuju ke asrama. Pirang platina itu tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan mereka. Hanya jemarinya yang nyaris terasa beku melingkari pergelangan tangan Harry dengan erat.

Ketika mereka akhirnya sampai di ruang rekreasi yang kosong karena semua orang sudah tidur atau masih berada di Aula Besar, barulah Draco melepaskan tangannya.

"Kapan.." Draco kelihatan frustasi, "..kapan kau berencana memberitahuku soal ini?"

Harry benar-benar menatapnya seperti orang bodoh. "Memberitahumu apa?"

Iris abu-abu itu memandangnya marah. "Memberitahuku kalau kau adalah Parselmouth!"

"Parsel— apa?"

"Jangan pura-pura bodoh, Potter. Kau baru saja bicara dengan ular itu!"

Harry mengerjap. "Ya, itu kedua kalinya aku bicara dengan ular."

"Demi Merlin. Dan apa aku tidak cukup penting sampai kau memutuskan untuk merahasiakannya dariku?"

"Aku tidak—" Harry mengerutkan kening. "Kenapa aku harus memberitahumu? Kutebak pasti semua penyihir juga bisa melakukannya."

Draco mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Tidak semua, Potter. Tidak semua penyihir bisa melakukannya. Faktanya, itu adalah kemampuan yang sangat langka—"

"Tapi apa sebenarnya masalahnya?" potong Harry tidak sabar. "Aku hanya menyuruh ular itu untuk tidak menganggu Justin."

Draco berhenti bicara. "Jadi itu yang kau coba lakukan?"

"Apa maksudmu? Kau mendengarku bicara pada ular itu!"

"Aku hanya mendengarmu bicara Parseltongue— bahasa ular."

"Apa?" Harry menjadi semakin bingung. "Bagaimana.. bagaimana mungkin aku bicara bahasa yang tidak kuketahui?"

"Itu adalah masalah nomor sekian." Draco mengacak rambutnya. "Masalah utamanya adalah kau terlihat seolah menyuruh ular itu melakukan sesuatu yang mengerikan pada Justin."

Sekarang justru Harry yang merasa ingin marah. "Untuk apa aku melakukan sesuatu yang jahat pada Justin?"

"Kau tidak mengerti," Draco menggigit bibirnya, seolah tidak ingin mengatakan apa yang seharusnya ia katakan. "Ini semua karena.. karena.."

"Karena apa, Malfoy?"

Pirang platina itu menghela napas keras. "Potter, kau tahu kenapa lambang asrama kita adalah ular?"

Harry otomatis menggeleng, lebih bingung dari sebelumnya.

"Karena Salazar Slytherin adalah seorang Parselmouth." Draco meletakkan telapak tangannya di kedua pundak Harry dengan cemas. "Dan sekarang semua orang akan berpikir kau lah pewarisnya."

Hening.

"Tapi aku bukan—"

"Tidak ada yang bisa memastikannya, oke? Darahmu.. darahmu murni." Draco berusaha menjelaskan tanpa terlihat khawatir. "Dan topi seleksi memasukkanmu ke Slytherin padahal seluruh keluargamu dari Gryffindor. Bukankah.. itu sudah merupakan bukti?"

Otak Harry masih berusaha memproses perkataan Draco ketika—

"Potter! Drake!"

Pansy Parkinson muncul dari balik dinding batu, terengah-engah kehabisan napas. Bahkan dari tatapan matanya, semua orang bisa tahu ada sesuatu yang gawat.

"Creevey.." Cewek itu berusaha mengatur napasnya yang memburu, "..Creveey masuk rumah sakit."

Cengkraman jemari Draco di pundak Harry menguat. "Jangan katakan—"

"Tubuhnya membatu," potong Pansy tidak sabar. "Dan semua orang menuduh Potter yang menyerangnya."

.

to be continued

.

a/n:

hi, everyone! how is it? do i lose my touch? hahaha, i hope not.

makasih banyak ya untuk kalian para pembaca setia. makasih banyak udah mau menunggu selama ini. walaupun nggak sempurna dan agak kepanjangan, saya harap chapter ini bisa memuaskan hati.

satu lagi, bagi yang belum tahu, username saya di wattpad belleslettresx. saat ini saya lebih aktif di sana. kalau kalian ingin stay in touch, boleh mampir.

anyway i love you guys. see you soon!

Putri.