Disclaimer: Katekyo Hitman Reborn adalah milik Amano Akira. Penulis tidak mengambil keuntungan material dalam penulisan fanfik ini

Warning: AU, Slash, OOC, OC, Character death, twin!fic, typo, etc

Rating: T

Pairing: 1827, past!AG

Genre: Romance, Adventure, Hurt/Comfort


TALE OF AN ANCIENT SKY

By

Sky


Suara isak tangis dari dua orang yang begitu ia kenal pun terdengar begitu keras, menyuarakan sayatan hati yang penuh kesedihan dan hal ini pun membuatnya merasa sedih. Ingin sekali ia mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, tapi apa daya dirinya saat ini? Ia tak mampu melakukannya, bahkan untuk membuka kedua matanya yang terpejam pun rasanya sangat sulit apalagi dengan mengatakan sesuatu untuk menenangkan dua orang yang ia cintai tersebut. Rasanya begitu pedih ketika ia harus meninggalkan dua orang ini, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah ia meninggalkan keluarganya terdahulu. Tidak lagi, ia tidak ingin lari dari kenyataan dan kemudian meninggalkan keluarganya untuk sekali lagi meski keinginannya tersebut terdengar sangat mustahil untuk dilakukan.

Apa seperti ini nasibnya sekarang ini? Selalu dikenal sebagai seorang pengecut yang tidak ingin menghadapi kenyataan meski kenyataan yang sekarang ini ia hadapi tidak lebih dari sebuah kematian. Benar, ia ada di penghujung maut di mana malaikat kematian sudah menantinya sementara dua orang yang ia cintai itu pun hanya bisa pasrah seraya menangis untuk membuatnya tidak pergi. Bukan kah itu yang pernah keluarga pertamanya ucapkan kepadanya? Memohon kepada Giotto agar ia tidak meninggalkan mereka bertahun-tahun yang lalu, tapi apa yang bisa ia lakukan saat itu? Ia tak lebih dari seorang pengecut sebelum menghilang dari Italia untuk menghindari konflik, dan sekarang julukan pengecut itu juga akan melekat kepada dirinya untuk sekali lagi, namun hal yang ia hadapi sekarang ini bukanlah konflik seperti apa yang ia temui beberapa tahun yang lalu, tetapi sebuah kematian.

Satu-satunya kehangatan yang bisa Giotto rasakan sekarang ini hanyalah genggaman erat namun lembut milik sang buah hatinya. Di balik kedua matanya yang terpejam ia bisa melihat bagaimana bocah laki-laki yang belum genap berusia 10 tahun itu menggenggam tangannya, dengan buliran air mata yang terus-teruan keluar dari kedua matanya seraya memohon pada Giotto agar tidak meninggalkanya, meninggalkan anak itu dan ibunya.

Giotto ingin sekali menjawab kalau semuanya akan baik-baik saja, ia tidak akan pergi ke mana-mana dan akan terus bersama dengan mereka berdua. Tapi apa daya dirinya untuk melakukan hal itu? Giotto merasakan tenaganya kandas, ia tidak bisa bergerak maupun berucap lagi. Dan dalam detik-detik terakhir dalam hidupnya tersebut, Giotto mengingat bagaimana para penjaganya yang sudah ia anggap sebagai keluarganya selalu berusaha untuk berada di dekatnya dalam segala situasi yang Giotto miliki.

Ia bisa mengingat bagaimana G dengan kebaikannya meski pria bertato di wajahnya itu selalu mengelak kalau ia dibilang baik. G tak pernah mengeluh apapun meski terkadang ia kesal melihat Giotto yang selalu menunda pekerjaannya, ia adalah sosok sahabat terbaik dan saudara yang tak pernah Giotto miliki sebelumnya. Andai saja ia bisa bertemu dengan G untuk sekali lagi, Giotto ingin mengatakan maaf kepada pria itu. Maaf karena Giotto sudah menghilang begitu saja dan tak lagi memberikan kabar, maaf karena Giotto tak bisa berada di dekat G ketika konflik di Vongola mencapai puncaknya. Giotto ingin bertemu dengan G untuk sekali lagi, tapi mustahil hal itu untuk dilakukan. Giotto tahu kalau G tidak akan memaafkannya karena sudah pergi begitu saja, meninggalkan Vongola di tangan Ricardo setelah konflik di antara dua sepupu itu tidak akan mencapai titik akhir.

Dalam benaknya, Giotto juga mengingat salah satu sahabat karibnya yang bernama Asari Ugetsu. Asari adalah sosok penjaga hujan yang sempurna dan terbaik yang pernah Giotto miliki, dan ia pun sangat senang ketika ia mengetahui kalau Asari yang awalnya berada di Jepang memutuskan untuk menyusul Giotto serta membantunya dalam mendirikan keluarga Vongola meski ia harus menjual seruling yang begitu ia sukai. Asari adalah sosok yang sangat loyal dan mampu menenangkan keluarganya ketika mereka tengah berada dalam keadaan panik, apabila Giotto mampu bertemu sekali lagi dengan Asari maka ia ingin mengatakan betapa beruntungnya Giotto bisa berteman dengan Asari. Ia juga ingin mengatakan kalau Asari benar mengenai Jepang, Jepang adalah sebuah negara yang sangat indah, dan ia juga mampu menikmati keindahan bunga sakura yang mekar tiap tahunnya di musim semi. Meski dalam pelarian, Giotto cukup menikmati keindahan negeri yang terkenal dengan bunga sakuranya ini dan ia pun bisa menyebut kalau dirinya suka tinggal di Jepang.

Benak Giotto pun bergeser kepada Knuckle, penjaga matahari yang ia miliki dan juga orang paling enerjik yang pernah ia temui. Knuckle yang awalnya seorang petinju jalanan pun mengubah hidupnya menjadi seorang pendeta, dan Giotto pun mengingat bagaimana ia sering menghabiskan waktu berama Knuckle di dalam sebuah gereja untuk berdoa ataupun untuk melakukan pengakuan dosa. Di balik penampilannya yang begitu enerjik dan kadang melelahkan Giotto, laki-laki berambut pirang pun mengakui kalau Knuckle adalah satu dari orang yang sangat berharga untuknya. Bila Giotto bisa bertemu dengan Knuckle sekali lagi, ia akan mengatakan kalau ia merindukan saat-saat dimana Giotto mendengarkan ceramah yang Knuckle lakukan ketika penjaga mataharinya tersebut memimpin sebuah doa di dalam gereja dan Giotto menghadirinya.

Giotto pun juga merasa sedikit khawatir dengan anggota keluarga Vongola termuda, penjaga petirnya yang bernama Lampo. Dari semua penjaganya, Lampo adalah yang termuda dan juga paling manja ketika berhadapan dengan Giotto. Mungkin Giotto adalah orang pertama yang patut untuk dipersalahkan ketika disangkutpautkan dengan tingkah Lampo yang kelewat manja tersebut, Giotto selalu memanjakan Lampo sehingga secara tidak langsung melatih anak itu menjadi anak yang manja. Ia masih bisa melihat betapa terpukulnya Lampo ketika ia mengetahui keputuan Giotto untuk meninggalkan Italia, ekspresi yang terukir pada wajah Lampo menunjukkan kekecewaan serta kemarahan yang luar biasa, ia menganggap Giotto menelantarkannya seperti apa yang pernah keluarganya terdahulu lakukan. Andai saja Giotto bisa bertemu sekali lagi dengan Lampo, ia ingin mengatakan betapa menyesalnya Giotto karena telah meninggalkan Lampo sendirian di Italia, ia pun ingin mengataka kalau Giotto sudah menganggap Lampo sebagai adik yang tak pernah ia miliki. Sebagai seorang yatim piatu, memiliki seorang saudara dan keluarga adalah impian terbesar mereka, dan Lampo adalah keluarganya yang berharga.

Ingatan Giotto yang menyakitkan mengenai Daemon pun mau tidak mau masuk ke dalam benaknya. Daemon, ia benar-benar merasa bersalah kepada penjaga kabutnya tersebut, Giotto sudah mengecewakan Daemon dan membuat pria itu menjadi sosok kejam sekarang ini. Andai saja Giotto tidak lemah waktu itu pasti Elena tidak akan terbunuh, dan bila Elena tidak terbunuh maka Daemon tidak akan menjadi sosok menyedihkan sekarang ini. Giotto ingin meminta maaf kepada Daemon meski orang yang bersangkutan tidak akan pernah mau memaafkannya. Daemon yang memiliki harga diri tinggi, dan Daemon yang mencintai Elena serta Vongola. Karena kesalahan Giotto, ia harus menyaksikan Daemon berpaling darinya dan membawa Vongola dalam kehancuran. Ini adalah kesalahan terbesar Giotto, dan sampai mati ia tidak akan bisa memaafkan dirinya.

Dan Alaude. Andai saja Giotto masih memiliki tenaga ekstra ia akan menangis sekarang ini. Nama pria itu terus berdengung di dalam benaknya, terus dan terus tanpa ada rasa lelah. Penyesalan terbesar dalam hidup Giotto adalah ia harus meninggalkan Alaude sendirian di Italia, lebih dari apapun. Ia ingin bertemu dengan Alaude, melihatnya sekali lagi, dan mengucapkan kalau ia benar-benar menyesal karena telah memilih jalan seperti sekarang ini. Alaude pasti menganggap Giotto sebagai orang yang lemah sebelum menghajarnya, tapi Giotto tak akan keberatan akan semua itu karena ia tahu dirinya pantas menerima hukuman yang Alaude berikan padanya. Tidak hanya Giotto sudah lari dari Alaude, ia juga sudah mengkhianati janji yang pernah mereka berdua ukir untuk selalu bersama meski dalam keadaan apapun. Andai saja Giotto diberi kesempatan untuk bertemu dengan Alaude sekali lagi, Giotto ingin mengatakan betapa berharganya Alaude untuk Giotto dan apabila Alaude ingin menghukumnya, ia akan menerima semua itu. Ia pun juga ingin mengatakan kalau ia merasa beruntung Alaude sudah memilihnya. Memikirkan apa yang Alaude lakukan sekarang ini tentu membuat hati Giotto bertambah sakit, karena ia tak mampu melihat mata biru yang dingin namun penuh kelembutan milik Alaude ketika mereka menatapnya sekali lagi.

Tapi, semuanya sudah terlambat. Aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan keluargaku lagi. Aku sudah mengkhianati mereka dengan pergi ke Italia, meninggalkan mereka sendirian di bawah kekangan Ricardo, Langit macam apa aku ini?

Meski ia sudah berada di penghujung hidupnya, Giotto tak pernah berhenti menyalahkan dirinya. Andai saja mesin waktu itu nyata, mungkin ia bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki segala-galanya. Ia benar-benar ingin bertemu dengan mereka meski itu hanya untuk sesaat.

Giotto merasa tubuhnya begitu lelah, ia juga bisa merasakan kalau ia tak akan bertahan lama di dunia ini. Ia lelah dan ia ingin tidur, dan itulah yang ia lakukan sekarang ini. Dengan sebutir air mata yang mengalir dari sudut mata kanannya, Giotto pun menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya sebelum kehangatan dari tubuhnya menghilang dan api kehidupan yang ada dalam inti pun meredup sebelum padam secara sempurna. Dan hal terakhir yang Giotto dengar sebelum kesadarannya menghilang adalah suara isak tangis dari istri dan anaknya membahana di dalam ruangan tersebut, memanggil nama Giotto serta memintanya untuk tidak pergi meninggalkan mereka. Sayangnya, mereka yang sudah memasuki tidur abadi pun tidak akan pernah bisa kembali, bahkan keajaiban pun tidak akan bekerja.


Gelap, itulah yang Giotto lihat pertama kali ketika ia membuka kedua matanya. Ia tidak tahu ada di mana dirinya sekarang ini, dan mengapa ia tidak pergi ke neraka melihat kedua tangannya sudah berlumuran oleh darah dari orang-orang yang pernah ia bunuh di masa lalu, dari musuh-musuhnya. Bukan kah Giotto sudah mati? Lalu mengapa ia bisa berada di tempat yang tidak ia kenal seperti sekarang ini?

Sang Langit pertama Vongola tersebut mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tempat itu diliputi oleh bayang-bayang gelap sehingga ia tak mampu melihat apapun di sana, satu-satunya yang bisa Giotto lihat adalah dirinya sendiri. Dan itu pun dikarenakan ia bersinar dalam kegelapan, mungkin karena api langit yang ada dalam tubuhnya sehingga membuatnya tampak di dalam kegelapan. Ada banyak pertanyaan yang Giotto miliki saat ini, namun tak satu pun dari pertanyaan yang Giotto miliki tersebut mampu ia jawab karena sejujurnya Giotto tak memiliki jawaban barang satu pun.

Bahkan setelah ia mati Giotto pun tak mampu melakukan apapun, rasanya ia seperti orang yang tidak berguna.

"Kau terlalu menyalahkan dirimu, Vongola Primo," sebuah suara lembut yang pernah Giotto dengar pun kembali terdengar, membuatnya akan terlonjak kaget apabila Giotto tidak memiliki kendali diri sebagai seorang bos. "Apa yang terjadi di dunia itu memiliki sebuah alasan tersendiri di belakangnya."

Ketika Giotto menoleh ke belakang ia pun melihat sebuah api kehidupan berwarna oranye tiba-tiba muncul di sana, dan ketika api itu padam muncullah sosok seorang wanita cantik dengan rambut pendek sebahu berdiri di belakang Giotto. Wanita itu mengenakan topi besar berbentuk seperti jamur dan berwarna putih, ia pun juga mengenakan sebuah gaun berwarna senada serta mantel di belakangnya dengan lambang clover berwarna oranye. Sebuah tato clover berwarna oranye pun ada di bagian bawah mata kanannya. Dia adalah Sepira, Giglio Nero Prima, Donna pertama yang mendirikan keluarga Giglio Nero dan juga anggota dari ras pertama yang menghuni bumi. Dan wanita itu juga orang yang memberikan cincin Vongola yang merupakan bagian dari Trinisette kepada Giotto.

Dan ia adalah Sepira, Sepira Giglio Nero.

"Senang bisa bertemu denganmu untuk sekali lagi, Vongola Primo, sudah bertahun-tahun lamanya sejak kita bertemu terakhir kalinya," ujar Sepira dengan senyum kecil menghiasi wajah cantiknya.

"Sepira," gumam Giotto seraya ia berbalik untuk berhadapan langsung dengan Donna dari Giglio Nero tersebut. Bibir Giotto pun membentuk sebuah senyuman kecil, ia tujukan senyuman sopan tersebut kepada Sepira. "Sudah lama kita tidak bertemu."

Dan mereka berdua pun mengatakan yang sebenarnya, karena pertama dan terakhir kali mereka bertemu adalah dimana Sepira menyerahkan cincin Vongola kepada Giotto dan berpesan kepada pria itu untuk menjaga bagian dari Trinisette tersebut. Rasanya Giotto tidak tahu harus berucap apa ketika kali ini mereka berhadapan langsung untuk sekali lagi, ia tidak memiliki cincin Vongola yang Sepira titipkan padanya. Lagi-lagi Giotto merasa kecewa kepada dirinya, ia tak mampu menepati janji yang pernah ia buat, kali ini kepada Sepira.

Seperti tahu akan apa yang bergejolak di dalam pemikiran Giotto, Sepira pun hanya bisa tersenyum maklum sebelum wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Kau sudah menjalani hidup yang sangat berat, Vongola Primo. Banyak keputusan yang sudah kau ambil dan juga penyesalan yang kau buat, kau diliputi oleh perasaan bersalah yang luar biasa dan terlalu menyalahkan dirimu sendiri," ujar Sepira. Senyum keibuan yang muncul di bibirnya tersebut membuat Giotto membelalakkan kedua matanya. Perkataan yang Sepira lontarkan benar-benar mengena kepadanya. "Apa penyesalan terbesar dalam hidupmu, Vongola Primo?"

Untuk beberapa saat lamanya Giotto tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun. Lidahnya terasa kelu ketika ia mendengar pertanyaan yang Sepira lontarkan. Sesungguhnya Giotto tahu jawaban akan pertanyaan tersebut, namun jawaban yang ia miliki tersebut tak bisa keluar begitu saja ketika perasaan bersalah yang menghantam dirinya layaknya ombak tsunami itu membuatnya tak berkutik. Ada banyak hal yang ia sesalkan selama hidupnya. Giotto tak bisa menjadi kuat untuk melindungi keluarganya, ia tak bisa melindungi Elena serta mencegah Daemon untuk melancarkan aksinya. Giotto menyesal telah membuat banyak keputusan yang salah serta menghancurkan keluarganya di saat yang bersamaan. Dari semua itu, ia sangat menyesal telah meninggalkan keluarganya di Italia sendirian serta tak bisa mengucapkan betapa menyesalnya Giotto karena kehancuran Vongola dari keputusan yang ia ambil di masa lalu.

"Ada banyak hal yang aku sesalkan selama aku hidup, Sepira, aku tak bisa mengutarakannya satu persatu karena aku tahu kau sudah mengetahuinya," gumam Giotto, senyumannya yang sedari tadi ditujukan kepada Sepira pun kini berubah menjadi sayu, begitu pula dengan tatapannya.

Mereka berdua tahu kalau kata-kata tak bisa menggambarkan akan apa yang Giotto rasakan, dan mereka juga tahu kalau Sepira sudah tahu karena Sepira memiliki sebuah kekuatan untuk mengetahui apa yang orang normal tidak tahu. Dan Donna pertama dari keluarga Giglio Nero itu pun membalas senyuman Giotto dengan miliknya sendiri, Sepira tahu akan apa yang terjadi. Sepira dan Giotto bisa dikatakan adalah saudara dari langit Trinisette yang pertama, dimana Sepira adalah pemilik dari cincin Mare sementara Giotto adalah pemilik cincin Vongola, keduanya seperti terhubung oleh sebuah benang tak kasat mata yang membuat mereka mampu mengerti perasaan satu sama lainnya. Baik Giotto dan Sepira tidak membutuhkan kata untuk saling mengerti.

Giotto melihat bagaimana sosok Sepira mulai beranjak dari tempatnya berdiri untuk berjalan menghampirinya, Giotto hanya bisa mematung di sana tanpa bisa melakukan apapun dan ia pun hanya bisa memejamkan kedua matanya kala dirinya merasakan sentuhan hangat dari saudara Trinisette-nya tersebut. Sang Donna menangkup kedua pipi Giotto, membuat sang Langit pertama Vongola menatap langsung pada kedua mata biru langit milik Sepira yang tak berkedip sekali pun.

"Kau sudah melalui banyak hal yang berat, Giotto, dan jiwamu menangis untuk meminta pengampunan karena itu. Aku bisa merasakan dalam diriku kalau kau tak bisa beristirahat dengan tenang karena itu. Meski banyak orang mengatakan kalau kau harus melupakan perasaan bersalahmu, aku yakin kau tak bisa menerima hal itu begitu saja," kata Sepira, ia meletakkan tangan kanannya pada tengkuk Giotto dan membuat Giotto untuk menyandarkan keningnya pada bahu kanan Sepira. "Kau ingin bertemu dengan mereka untuk sekali lagi dan juga menebus semua dosa-dosamu. Jiwa seorang manusia tak akan bisa beristirahat dengan tenang sebelum mereka melakukan apa yang tertunda ketika mereka mati, dan aku merasa sangat sedih karena melihat saudaraku menanggung beban besar seperti ini."

Giotto tak mengucapkan apapun, ia hanya bisa memejamkan kedua matanya dengan erat seraya mendengarkan apa yang Sepira katakan. Sepira bukanlah seorang manusia dan ia tahu akan hal itu, namun Sepira adalah saudara langit Trinisette-nya yang begitu mengerti akan Giotto meski mereka baru bertemu sebanyak dua kali, tapi semuanya itu masuk akal, cincin mereka adalah apa yang menghubungkan mereka berdua sampai ikatan yang terjalin pun semakin bertambah kuat meski cincin yang sebelumnya mengikat mereka kini sudah berada di tangan pewaris masing-masing.

Apabila ada orang yang bisa mengerti dirinya dengan sangat baik, maka Sepira adalah orangnya.

"Aku merasa tak tenang dalam tidur abadiku ketika mengetahui kau begitu menderita seperti ini, Giotto, dan keinginan terkuatku saat ini adalah untuk membantumu. Aku dan yang lainnya merasa berterima kasih padamu karena kau sudah mau menanggung beban sebagai pemilik dari cincin Vongola yang kuberikan padamu beberapa tahun yang lalu, dan menjadi salah satu langit pemegang Trinisette adalah beban yang sangat besar. Untuk itu kami ingin memberimu sebuah hadiah sebagai ucapan terima kasih."

Mendengar kalimat itu tentu membuat Giotto merasa penasaran akan apa yang Sepira maksud, ia tidak mengerti barang sedikit pun akan apa yang dimaksud hadiah di sini. Giotto pun menegakkan tubuhnya sekali lagi sebelum ia menatap Sepira dengan tenang, kedua iris matanya yang berwarna biru langit itu pun menatap milik Sepira seraya meminta penjelasan.

Senyuman kecil yang begitu menentramkan pun diberikan Sepira kepadanya, membuat Giotto semakin bertanya-tanya di sini. Apa yang akan Sepira lakukan setelahnya?

"Kami akan memberimu sebuah kesempatan kedua sebagai ucapan terima kasih kami, Giotto," jawab Sepira atas pertanyaan tak terucap milik Giotto.

"Kesempatan kedua?" Tanya Giotto, ia merasa sedikit tidak yakin akan apa yang telah ia dengar dari Sepira. Ia membutuhkan sebuah penjelasan di sini.

"Kesempatan kedua untuk hidup. Kami akan mengirim jiwamu ke sebuah tempat di mana kau bisa menebus semua kesalahan yang pernah kau lakukan dalam kehidupanmu sebagai Vongola Primo. Kau tidak akan lagi menjadi Vongola Primo, Giotto di Vongola, setelah ini meski darah yang akan mengalir dalam tubuh barumu masih memiliki hubungan lekat dengan dirimu saat ini," kata Sepira yang mulai menjelaskan apa maksud perkataannya tadi. Giotto pun dengan sabar menunggu. "Tsunayoshi Sawada adalah anak yang terlahir dari keturunanmu, Giotto, dan kami akan mengirim jiwamu untuk menempati tubuh Tsunayoshi."

Kedua mata Giotto pun terbuka lebar, terkejut akan penawaran yang Sepira berikan padanya. Giotto tentu merasa senang karena diberikan kesempatan kedua untuk hidup, untuk menebus semua kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia menjadi Vongola Primo, namun mengambil alih tubuh anak yang bernama Tsunayoshi Sawada ini tentu artinya ia akan membunuh jiwa Tsunayoshi yang asli. Dan hal itu bukanlah apa yang ingin Giotto lakukan, ia tidak ingin lagi menambah daftar orang yang mati dalam genggamannya, dan terlebih lagi Giotto bukanlah seorang pencuri tubuh di sini.

"Itu tidak mungkin, Sepira. Aku tidak ingin mengambil tubuh Tsunayoshi hanya karena aku ingin menebus dosaku. Mengambil tubuh dari seorang anak dan menjadikannya sebagai milikku adalah hal yang tidak benar, aku tidak ingin membunuh jiwa Tsunayoshi," pada akhirnya Giotto pun menyuarakan protes di sana. Meski ia adalah orang yang suka lari dari kenyataan, Giotto masih memiliki moral yang cukup tinggi.

Pria itu melihat bagaimana bibir Sepira berkedut seperti ia tengah menahan sebuah tawa, dan entah kenapa hal ini membuat Giotto sedikit kesal meski pada akhirnya Giotto pun menahan amarahnya. Mengambil tubuh seorang manusia itu adalah hal yang tidak benar, ia tahu akan hal itu, oleh karenanya Giotto tidak ingin melakukannya, ia tidak ingin membunuh salah satu keturunannya hanya karena ia merasa egois seperti itu.

"Kau tidak perlu khawatir tentang kau akan membunuhnya, Giotto. Jiwa Tsunayoshi sudah pergi dari tubuhnya sejak ia berusia tujuh tahun, dan satu-satunya yang membuatnya masih hidup adalah api kehidupan yang Tsunayoshi miliki," ujar Sepira dengan tenang.

"Apa yang terjadi?"

"Sebuah kejadian ketika Tsunayoshi berusia tujuh tahun membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Selama enam tahun lamanya Tsunayoshi berada dalam koma di sebuah rumah sakit. Jiwanya sudah pergi dari tubuhnya dan sudah seharusnya Tsunayoshi mati ketika jiwanya pergi dari tubuhnya, hanya saja api kehidupan yang Tsunayoshi miliki sangat besar serta terlalu keras kepala, dan hal itulah yang membuat Tsunayoshi seperti sekarang. Ia berada dalam koma." ujar Sepira. Ia pun menyambung penjelasannya. "Api kehidupan yang kau miliki dan milik Tsunayoshi sangat mirip, layaknya saudara kembar. Karena itulah kami ingin mengirimkan jiwamu pada tubuh Tsunayoshi karena kami yakin kalau api kehidupan yang kalian berdua miliki dapat berharmonisasi dengan satu sama lainnya, dan kami yakin kau memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang kedua, Giotto. Aku ingin kau bisa hidup dengan bahagia, jauh dari perasaan bersalah akibat konflik yang terjadi."

Giotto tak memberikan tanggapan apapun untuk Sepira, ia terlarut dalam lamunannya sendiri serta berpikir matang-matang apakah ia menginginkan kesempatan yang mereka berikan kepada dirinya apa tidak. Sesungguhnya Giotto menginginkan hal itu, namun apakah ia tega untuk mengambil tubuh seseorang yang sebenarnya sudah memiliki jiwa? Tapi, Tsunayoshi yang Sepira ceritakan sekarang ini tidak memiliki jiwa dalam tubuhnya, dan satu-satunya yang membuatnya masih hidup adalah api kehidupan dalam tubuh Tsunayoshi terlalu keras kepala. Itu artinya Giotto tidak akan merasa bersalah bila ia mengambil alih tubuh Tsunayoshi.

Boleh kah ia merasa egois untuk sekarang ini? Pertanyaan besar yang Giotto miliki. Tsunayoshi adalah keturunannya, dan ia tahu kalau tubuh anak itu perlahan-lahan akan mati bila tidak ada jiwa yang membantunya untuk bertahan, rasanya Giotto tidak bisa membiarkan hal itu untuk terjadi. Mungkin ia bisa menebus semua kesalahannya dalam kehidupan kedua ini sebagai Tsunayoshi Sawada, dan Giotto pun mau tidak mau mulai menerima ide yang Sepira berikan kepadanya.

"Baik. Aku menerima hadiah yang kalian berikan padaku," kata Giotto, pada akhirnya ia pun mengambil kesempatan tersebut.

Sepira pun memberikan senyum kecil ketika mendengarkan keputusan yang Giotto ambil. Sang Donna pun mengangguk singkat sebelum ia memberikan kecupan kecil pada kening saudara langit Trinisette-nya, yang membuat sosok Giotto kini diselimuti oleh api kehidupan berwarna oranye.

"Kehidupan kedua yang kami berikan adalah sebuah hadiah untukmu, Gioto di Vongola. Manfaatkanlah dengan baik, dan hiduplah dengan bahagia seperti apa yang kau lakukan sebelum konflik besar terjadi di masa lalu. Kami akan melihatmu lagi suatu saat nanti, Giotto."

Suara Sepira bergema di dalam ruangan gelap itu sebelum sosoknya berubah menjadi api kehidupan dengan warna yang sama seperti milik kedua. Giotto hanya bisa menatap sosok Sepira sebelum ia memejamkan kedua matanya untuk sekali lagi, dan ia pun mulai merasakan dirinya berpindah tempat tanpa bisa ia kendalikan.

Ketika Giotto membuka matanya untuk sekali lagi, hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit yang berwarna putih dan aroma antiseptik yang begitu tajam berada di dalam ruangan itu. Giotto pun sadar ia tengah berbaring di sebuah tempat tidur di mana ada beberapa alat aneh yang terpasang di tubuhnya.

Untuk pertama kalinya dalam waktu enam tahun terakhir, Tsunayoshi Sawada terbangun dari tidur panjangnya. Dan kedua matanya yang berwarna kecoklatan itu pun mengambil pemandangan pertama yang ia lihat dan mengetahui kalau ia tengah berada di rumah sakit.


AN: Terima kasih sudah mampir dan membaca fanfik ini

Author: Sky