Disclaimer © Fujimaki Tadatoshi

WARNING: OOC, AU, Typo

.

.

.

Suara dari acara televisi adalah satu-satunya suara yang terdengar pada sore yang sejuk itu. Kagami mengalihkan pandangannya dari televisi ketika merasakan Aomine mengeratkan pelukan di pinggangnya menjadi semakin erat. Kagami tersenyum dan mengelus-elus rambut biru Aomine yang tidur di pangkuannya dan menduselkan wajahnya di perutnya. Gyoza yang tadi dibuatnya untuk camilan sore dan mengganjal perut sebelum makan malam sudah habis dan hanya menyisakan piring-piring dan sumpit yang kotor. Dia membiarkan Aomine tidur lebih lama sambil menunggu acara di televisi yang akan selesai sebelum dia akan membangunkannya untuk membantunya membuat makan malam.

Kurang lebih 15 menit kemudian ketika acara yang ditontonnya telah selesai, Kagami membangunkan Aomine karena dia pegal juga pangkuannya digunakan tidur Aomine yang berat badannya kurang lebih sama dengannya. Dengan terpaksa Aomine menuruti suruhan Kagami untuk mencuci bekas piring kotor sementara dia membuat makan malam.

"Hei Taiga," panggil Aomine ketika dia sedang mengeringkan piring yang sudah selesai dicucinya.

"Hm?" jawab Kagami sekenanya karena dia sedang fokus menggoreng, tidak ingin tempura udangnya gosong.

"Apakah kau tidak ingin punya anak?"

"Hah?" Kagami mengerutkan kening, kini menatap Aomine.

"Yaah, aku pikir sudah waktunya," balas Aomine. "Kita sudah menikah hampir setahun dan akhirnya kita bisa membeli rumah ini, ya meskipun masih membutuhkan perbaikan di sana-sini tapi aku pikir kita sudah siap untuk menambah satu orang lagi."

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Kagami.

"Entahlah… aku pikir kau mungkin mau mempertimbangkannya."

Kagami mengerutkan kening. "Ya aku akan memikirkannya nanti. Bisakah kau menata piring, makan malamnya akan segera selesai." kata Kagami langsung kembali memasak tanpa memberika kesempatan Aomine untuk berbicara tentang ini lagi dengannya.

.

.

.

Kagami mengelap keringatnya setelah selesai memasang kabinet untuk dapurnya. Dia kemudian mengambil gelas untuk digunakannya minum. Dia bisa mendengar suara yang kedengarannya seperti pukulan palu di mana Aomine sedang memperbaiki atap mereka yang bocor. Meskipun rumah baru mereka adalah rumah yang tidak terlalu besar dan masih membutuhkan perbaikan untuk menjadi rumah yang nyaman ditempati, tapi ini adalah rumah mereka sendiri. Kagami sudah tidak lagi menempati apartemennya selama SMA (meskipun ayahnya tidak masalah kalau Kagami masih menempatinya) dan Aomine yang tinggal di Jepang tidak ingin terus tinggal dengan orang tuanya, dia sudah mempunyai kehidupan sendiri dengan Kagami sekarang.

Tidak lama, suara pukulan palu Aomine sudah tidak dapat didengar. Kagami mengira Aomine juga beristirahat jadi dia mengambil gelas lain untuk mengambilkan air dingin untuk Aomine. Mereka sudah memperbaiki rumah sepanjang pagi jadi Kagami berpikir mungkin sudah waktunya mereka berhenti.

Dia keluar dari dapur dan melihat Aomine yang sedang terduduk di sofa dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Aomine memejamkan matanya dan dadanya yang telanjang naik turun karena napasnya. Kagami melihat kaos yang tadi dikenakannya dibuang sembarangan di lantai di samping meja dan bukannya marah, Kagami malah mengapresiasinya. Tubuh Aomine yang berotot dengan kulitnya yang sangat eksotis yang sekarang dia hanya memakai celana jins. Kagami meneguk ludahnya karena sekarang Aomine benar-benar kelihatan sangat seksi. Kagami menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran tidak-tidaknya. Dia kemudian menghampiri Aomine untuk memberikan airnya.

"Kau haus?"

Aomine membuka matanya. "Oh, terima kasih-"

Kagami tidak membiarkan Aomine menyelesaikan perkataannya sebelum dia langsung menaiki pangkuan Aomine dan menciumnya. Aomine awalnya kaget dengan tindakan Kagami langsung pulih dan mencium balik Kagami. Kagami memegang kepala Aomine dengan satu tangannya untuk mencium Aomine lebih dalam sementara satu tangannya masih memegang gelas berisi air dingin. Aomine memegang pinggang Kagami dan semakin menempalkan bokong Kagami ke pangkuannya. Beberapa menit kemudian mereka menghentikan ciuman mereka dan Aomine menyeringai ke Kagami.

"Apakah aku terlalu seksi sampai kau tidak bisa mengendalikan dirimu?"

"Shut up." kata Kagami dan memberikan Aomine airnya.

"Kau sudah selesai memperbaiki atapnya?" tanya Kagami setelah Aomine selesai meminum semua airnya.

"Ya, hanya sedikit yang bolong," jawab Aomine. "Kita tidak perlu cemas atap bocor lagi kalau hujan."

"Thanks."

"Ya, kita juga tidak perlu cemas kalau anak kita nanti bermain-main di sini."

"Kau masih memikirkan itu?" Kagami mengerutkan keningnya.

"Tentu saja, aku sudah sangat siap untuk mempunyai anak denganmu."

Kagami langsung turun dari pangkuan Aomine. "Aku pikir ini masih terlalu cepat."

"Kenapa? Kita menikah sudah hampir setahun sekarang."

"Aku merasa aku belum siap."

"Kau hanya meremehkan dirimu sendiri, Taiga, aku pikir kau juga sudah siap." kata Aomine dan akan memegang tangan Kagami tapi Kagami menjauhkan jangkauannya tangannya.

"Aku tidak mau membicarakan ini sekarang." katanya dan meninggalkan Aomine.

.

.

.

"Aku akan membersihkanmu."

Kagami mengangguk dan tersenyum puas. Dia melihat Aomine yang masih telanjang menuju kamar mandi mereka yang tergabung dengan kamar. Dia mengakui kalau dia melirik tubuh telanjang Aomine tapi dia tidak akan memberitahu Aomine tentang itu.

"Ugh." Kagami mengerang, badannya terasa sakit semua karena aktivitas intim mereka barusan tapi dia merasa puas. Kagami melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 01.03 pagi dan dia merasa mengantuk sekali.

Aomine kembali dengan membawa baskom berisi air dan handuk kecil untuk membersihkan tubuh Kagami.

"Terima kasih, Daiki." kata Kagami ketika dia melihat Aomine yang membersihkan perutnya, paha bagian dalamnya, dan sisa-sisa seks mereka.

"Taiga,"

Kagami yang sudah setengah tertidur langsung membuka matanya ketika Aomine memanggil namanya.

"Aku pikir oppai-mu menjadi semakin besar." kata Aomine dan menangkup dada Kagami dengan kedua tangannya dan memijat-mijatnya. "Kenapa aku tidak sadar sebenarnya?"

"Apa maksudmu," Kagami mencoba melepaskan tangan Aomien dari dadanya tapi tidak berhasil.

"Aku yakin ini semakin besar," Aomine masih memencet-mencet dada Kagami seakan dia baru menemukan sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

"B-berhenti." kata Kagami, dia tidak mau terangsang lagi karena dia sudah capek dan mengantung dan ingin tidur.

"Mungkin karena aku sering mer-"

"Stop!" Kagami langsung menyentakkan tangan Aomine sebelum dia berkata yang tidak-tidak.

Aomine tertawa sebelum menyelesaikan membersihkan Kagami kemudian menaiki ranjang dan menempati tempat di sebelah Kagami, menyelimuti mereka berdua.

"Hey Taiga,"

"Hmm?"

"Apa kau benar-benar tidak mau mempertimbangkannya?"

Beberapa hari belakangan ini Aomine pasti akan terus membicarakan keinginannya untuk mempunyai anak dengan Kagami.

"Tidak tahu, aku pikir itu adalah tanggung jawab yang sangat besar dan aku tidak yakin aku bisa menanggung beban sebesar itu." jawab Kagami.

"Tapi kau tidak akan sendiri, ada aku yang akan selalu di sampingmu."

Kagami menatap wajah Aomine dan Kagami dengan jelas dapat melihat determinasi di matanya.

"Aku akan mempertimbangkannya." kata Kagami akhirnya.

Aomine mendekatkan tubuh Kagami ke tubuhnya dan mencium rambut merahnya.

.

.

.

Kagami dan Aomine keluar dari supermarket dan menuju udara salju yang dingin. Mereka baru selesai melakukan belanja bulanan mereka dan akan kembali pulang ketika Kagami mengecek barang belanjaan mereka dan merasa ada yang kurang.

"Oh shit, aku lupa membeli deterjen," kata Kagami kemudian memberikan belanjaan ke Aomine. "Aku akan kembali."

"Kau mau aku menemanimu?"

"Tidak usah, hanya satu barang yang kurang, aku akan cepat. Kau tunggu saja di sini." kata Kagami lalu memasuki supermarket kembali.

Tidak lama kemudian, Kagami sudah selesai membeli deterjen dia melihat belanjaannya tergeletak di bangku. Kagami mengerutkan keningnya, di mana Aomine?

Dia kemudian melihat Aomine yang sedang berada di salju dengan seorang anak kecil. Kagami berjalan mendekat dan melihat mereka kelihatannya sedang membuat orang-orangan salju. Kagami tersenyum melihat Aomine yang tertawa bersama dengan anak kecil itu ketika membuat orang-orangan salju. Mungkin karena Aomine yang memang agak-agak childish jadi dia dapat bergaul dengan anak-anak.

"Daiki," panggil Kagami untuk mengajak Aomine pulang.

"Ah, aku harus pulang, Satoshi," kata Aomine ke anak kecil itu. "Kau membuat orang-orangan salju yang sangat hebat."

"'Makasih, Aomine-san." balas anak kecil itu ke Aomine.

Aomine mengacak-acak rambut anak kecil itu sebelum menghampiri Kagami.

"Dia siapa?" tanya Kagami ketika mereka berjalan pulang dengan bergandengan tangan.

"Oh dia Satoshi," jawab Aomine dengan tersenyum. "Dia menunggu ibunya belanja jadi aku menemaninya."

"Kau tidak akan menculiknya, kan?" tanya Kagami, menggodanya.

"Tidak, menjual anak-anak kecil sekarang sedang tidak banyak menghasilkan uang, aku lebih baik mencuri organ-organ dalam orang-orang yang dapat menghasilkan lebih banyak uang."

"Kau polisi, bagaimana bisa kau berkata seperti itu," kata Kagami dengan tertawa. Tentu saja dia tahu Aomine hanya bercanda.

"Menurutmu dari mana aku dapat semua uang untuk membelikan makanan untukmu itu?"

Kagami tertawa.

"Daiki," kata Kagami setelah mereka berjalan dengan berdiam diri.

"Hn?" Aomine menghentikan langkahnya karena Kagami agak menarik tangannya untuk berhenti.

"Aku sudah memikirkannya beberapa akhir ini," mulai Kagami. "Aku pikir kita bisa mencobanya."

"Ha?" Aomine bertanya bingung.

"Maksudku kita bisa mencoba untuk mempunyai anak." jelas Kagami.

Aomine membelalakkan matanya. "Kau serius?"

"Ya, aku merasa sangat egois selalu mengatakan tidak padamu. Mungkin kalau kita bersama kita bisa melakukannya."

"Oh, terima kasih, Taiga," Aomine langsung memeluk Kagami, tidak peduli mereka sedang di luar. "Aku berjanji kita akan menjadi orang tua terbaik di dunia ini."

"Oh ya, tentu saja." balas Kagami dengan tersenyum.

Mereka melanjutkan sisa perjalan mereka dengan bergandengan tangan.

.

.

.