Selama bertahun-tahun, manusia dan duyung hidup berdampingan satu sama lain. Para duyung membuat kegiatan pelayaran menjadi lebih aman. Mereka akan mengikuti perahu-perahu yang berlayar dan menolong orang yang terjatuh atau pun perahu yang tenggelam. Mereka akan berenang ke perairan dangkal untuk mencegah anak-anak tenggelam dan mengajari semua orang cara berenang. Sebagai balasannya, para manusia menyediakan buah-buahan serta makanan lain untuk para duyung yang selama ini hanya dapat memakan rumput laut dan ikan. Manusia juga membantu para duyung mengatasi kekurangan mereka, yaitu kemampuan untuk memiliki anak menilik duyung tidak dapat memperoleh keturunan dengan sesamanya.
Sekali dalam sebulan, putra dan putri duyung dapat berubah menjadi manusia dan berjalan di daratan. Mereka harus kembali ke lautan sebelum matahari terbit atau tetap berada dalam bentuk manusia sampai bulan purnama berikutnya. Beberapa duyung menemukan pasangan manusianya dan tinggal di daratan bersama mereka dan anak-anaknya, sedangkan yang lain hanya datang mencari pasangan untuk semalam. Putri duyung akan kembali ke daratan untuk melahirkan sebelum kembali ke lautan, para pria terkadang kembali demi anak-anak mereka, dan para anak sendiri akan pergi ke lautan ketika merasakan panggilan laut.
Begitulah dunia saat kedua jenis makhluk hidup itu menikmati hubungan saling menguntungkan selama beratus-ratus tahun. Sampai keserakahan menggerogoti hati manusia ketika mereka menemukan fakta bahwa duyung hidup tiga kali lebih lama dari manusia serta memiliki darah berkekuatan penyembuh. Para duyung telah membagi darah mereka dengan orang-orang yang sakit dan lemah, namun itu tidaklah cukup. Beberapa menginginkan lebih agar tak menua. Jadilah mereka mulai berburu duyung, mengumpulkan sisik dan rambut mereka, darah, dan tak lama tulang mereka.
Selang beberapa waktu disertai dengan banyaknya peringatan, para duyung menarik diri dari dunia manusia. Mereka tidak lagi membantu orang sakit atau pun kapal yang tenggelam. Beberapa bahkan mulai menyerang perahu dan perenang, menenggelamkan mereka sebagai bentuk pembalasan atas pembunuhan yang mereka lakukan.
Sebagian duyung pergi menuju daratan tak berpenghuni jauh dari manusia, sementara yang lain memutuskan untuk tinggal bersama keluarga dan teman-teman mereka, meski itu berarti harus bersembunyi dari pemburu yang masih berkeliaran di luar sana.
The Mermaid and The Prince
The Merman and The Prince © Maxitron
Romance/Fantasy
Akashi x Fem!Kuroko
I don't own the story. The story belongs to wattpad author Maxitron with original title The Merman and The Prince. I've ask her permission to translate and change it into genderswitch. Once again, this story IS NOT MINE.
DLDR!
"Kuroko? Kuroko, di mana kau?"
Aku berdiri diam, terbungkus dalam bayanganku ketika mata pelayan melewatiku begitu saja seolah aku tak lebih dari dinding yang sedang kusandari.
"Di mana anak itu?"
Dia pergi dan aku berdiam diri sedikit lebih lama. Setelah yakin tak ada orang di dekatku, aku beranjak dari dinding dan berjalan menuruni aula menuju pintu keluar. Menangkap pantulanku di cermin yang terpasang di tangga, aku memeriksa sekilas penampilanku untuk memastikan semuanya sempurna.
Seorang gadis muda, tak lebih dari delapan belas tahun, balik menatapku dengan sepasang mata biru besar dan wajah kecil pucat yang terbingkai oleh rambut sebahu dengan warna biru yang serupa. Aku memakai celana hitam dan kaos putih diikuti jaket ber-hoodie. Hoddie yang akan kunaikan hingga menutupi rambut begitu keluar nanti. Aku tidak bisa terus menjaga misdirection-ku dan rambut unikku hanya akan membuatku dikenali sebagai keponakan penguasa pulau yang pastinya akan membuatku langsung ditarik pulang.
Aku menuruni beberapa anak tangga terakhir dengan hati-hati, berjinjit menuju pintu dan membukanya perlahan tanpa menimbulkan suara. Namun, sebuah suara mengejutkanku dan aku berputar untuk melihat sosok tinggi berambut merah tengah bersandar di dinding sambil menatapku dengan alis terangkat.
"Aku tahu kau akan mencoba kabur malam ini."
"Kumohon, Kagami. Aku hanya ingin melihat-lihat dan menonton kembang api. Kalian tidak bisa terus mengurungku di sini."
Dia melangkah mendekat dan aku harus mendongak untuk melihat wajahnya, menatap sepasang mata merah gelap yang terletak di bawah sepasang alis bercabang. Dahi pemuda itu mengernyit.
"Sekarang bulan purnama, karena itu pamanmu memintamu untuk tetap berada di rumah malam ini."
Dadaku berdebar ketakutan saat menyadarinya. Kata-kata ibuku terngiang di kepalaku, jangan katakan pada siapa pun. Tapi semangatku dengan cepat menghapus semua keraguan itu.
"Aku tidak akan lama. Aku hanya ingin melihat-lihat sebentar dan setelah kembang api selesai aku akan segera pulang. Aku janji."
"Kalau begitu aku akan pergi bersamamu."
Aku mengerang. Ditemani Kagami bahkan lebih buruk daripada harus menyembunyikan rambutku. Seakan dapat membaca pikiranku, dia tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Baiklah, kau punya waktu dua jam. Jika jam tujuh kau belum kembali, aku akan segera pergi mencarimu."
"Terimakasih!"
Aku melompat dan memeluk lehernya kuat sebelum berlari keluar pintu. Aku hampir mencapai gerbang ketika dia memanggil namaku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di depan pintu, kerutan masih bertahan di wajahnya.
"Jangan mendekati laut, Kuroko. Berhati-hatilah."
Dia menutup pintu usai memberi peringatan terakhirnya dan aku pun melanjutkan langkahku melewati gerbang, berlari menuju pusat kota.
Kios-kios berhias lampion warna-warni berjajar di sepanjang jalan, membuat tempat itu tampak indah di tengah langit senja. Ratusan orang membanjiri jalanan dan tak ada seorang pun yang memperhatikan satu sosok ber-hoodie di tengah lautan manusia. Semua orang berpakaian melawan cuaca dingin sehingga aku tidak mencolok. Berbeda lagi seandainya ini adalah festival musim panas.
Aku mencoba menghangatkan diri dengan secangkir cokelat hangat seraya melihat-lihat berbagai barang dari seberang lautan. Kain sehalus sutera dalam bermacam warna yang tak pernah kulihat menari-nari di depan mataku. Wangi berbagai masakan dan pertunjukan jalanan pun tak kalah memikatku. Kami tinggal di sebuah pulau kecil dan aku tidak pernah diijinkan untuk bepergian. Pertama dan terakhir kalinya aku pergi menaiki kapal membuatku berakhir menjadi yatim piatu.
Aku begitu terhisap dengan pertunjukan peniup api hingga tak sadar matahari telah terbenam dan para pengunjung festival mulai bergerak menuju bukit untuk menyaksikan kembang api. Aku pun mulai mengikuti mereka ketika aku mendengar deru ombak. Bau lautan menamparku dan aku berdiri diam, membiarkannya memenuhi indraku.
Aku harus pergi menuju bukit bersama yang lain. Meski berpikir demikian, kakiku membawaku ke arah berbeda mendekati pantai. Aku berdiri di atas pasir seraya menyaksikan ombak yang bergulung. Posisi bulan yang tinggi menyebabkan air tampak berkilau, dan tanpa sadar aku melangkah maju, melepas jaket dan sepatu boot-ku lalu menjatuhkannya ke atas pasir.
Aku berdiri selangkah dari ombak. Hatiku tercabik. Sebagian diriku berteriak dalam suara ibuku—membuat tubuhku dingin oleh rasa takut, sedangkan sebagian lagi menghangatku dan mendorongku untuk segera masuk ke dalam air.
Sebuah ombak menabrak karang terdekat dan menyipratiku. Kulit yang terkena tetesan air dalam sekejap berpijar biru dan sekilas aku bisa melihat sisik di balik pijaran itu. Sedekat ini dengan air di malam bulan purnama, aku yakin rambutku juga pasti bercahaya. Aku melangkah maju dan memasukkan tanganku ke dalam air, menyaksikan penuh kekaguman saat keduanya bersinar dan sisik mulai terlihat di kulitku.
Letusan pertama kembang api mengagetkanku dan aku segera melihat sekeliling dengan panik. Rasa takut menghampiriku. Bagaimana jika seseorang melihatnya? Aku menunduk ke arah tanganku yang basah dan terselimuti sejumlah sisik biru muda yang bersinar di bawah cahaya bulan. Aku segera memakai kembali sepatu dan jaketku, menarik hoodie hingga menutupi rambut dan memasukkan tangan ke dalam saku sebelum berlari menuju rumah.
Aku menerobos masuk lewat pintu dan membantingnya keras hingga tertutup, membuat Kagami keluar dari kamarnya untuk memeriksa keributan yang kubuat. Hoodie telah terlepas dari kepalaku, dan hanya perlu satu lirikan ke arah wajah serta rambutku yang berkilauan sebelum pemuda itu menggiringku menuju kamarnya. Dia melepas jaketku dan segera memeriksaku. Menunduk, aku menjulurkan kedua tanganku dan mendengarnya menghela nafas tajam. Dia mengambil handuk untuk menyapukannya ke kepalaku dan mengeringkan tanganku.
"Matahari baru saja tenggelam dan reaksinya sudah separah ini?"
Tanganku serasa dipenuhi jarum, menandakan jika kulitku sudah kembali seperti semula.
"Panggilannya lebih kuat dari yang pernah aku rasakan. Aku berusaha melawannya, Kagami, sungguh! Tapi meski aku berpikir untuk pergi, kakiku menuntunku menuju lautan."
Kagami berdiri dan mengusapkan handuk pada rambutku.
"Masuklah ke kamarmu. Beruntung pamanmu sedang menghadiri pertemuan di kota sehingga tak dapat melihatnya."
Pemuda itu beranjak pergi. Namun seakan tersadar sesuatu, dia segera berbalik dan mencengkram bahuku.
"Apa ada yang melihatnya?"
Aku menggeleng. "Aku tidak melihat siapa pun."
"Tetap tidak menutup adanya kemungkinan. Kita harus lebih berhati-hati dan memastikan tak ada yang mencurigaimu lebih dari seorang gadis muda biasa. Mereka harus benar-benar yakin sebelum membuat pergerakan pada putri penguasa pulau ini."
Aku mendengarnya menaiki tangga. Masih duduk di ranjangnya, aku sedikit gemetar saat merasakan laut memanggilku.
Minggu berikutnya aku terlalu sibuk untuk berpikir dan mencemaskan kemungkinan seseorang melihatku di malam festival. Banyak pedagang serta pengunjung datang dan menetap sementara di pulau kecil kami, berusaha membuka lebih banyak rute perdagangan, sehingga aku beserta pamanku pun memiliki banyak pertemuan untuk dihadiri.
Aku berlarian kesana kemari membawakan surat-surat untuk pamanku dan para kapten kapal. Tak sekali pun aku melirik laut ketika aku turun ke dermaga. Aku tidak merasakan dorongan yang sama seperti malam itu.
Beberapa hari berlalu, aku yakin tak ada yang mencurigaiku. Hanya ada satu waktu di mana jantungku berdebar kencang, mengira aku telah tertangkap basah. Aku sedang mengirimkan pesan di sebuah kedai minuman ketika seseorang menarik lenganku dan mengamatiku lekat. Kagami maju dan menarikku. Menyadari apa yang telah dilakukannya, orang asing itu mengangkat kedua tangannya memberi isyarat damai.
"Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu. Hanya saja rambutmu terlihat begitu cantik."
Aku memegang kepalaku dan tersadar jika hoodie-ku merosot hingga menunjukkan sebagian rambutku.
"Terimakasih. Aku mendapatkannya dari ibuku, dia adik dari penguasa pulau ini."
"Aku ingat pernah melihat wanita dengan rambut sebiru langit. Maaf jika aku tidak sopan, tapi aku menjalankan bisnis bahan pewarna dan warna ini sungguh luar biasa! Dapatkah aku bertemu denganmu dan ibumu untuk memeriksa corak warna kalian?"
Hatiku serasa diremas. Kagami meletakkan tangan di bahuku dan menatap si pedagang.
"Maaf, dia beserta suaminya telah meninggal dalam kecelakaan kapal. Hanya nona muda satu-satunya yang berhasil selamat."
Pedagang itu meminta maaf yang sedalam-dalamnya sebelum Kagami menuntunku keluar.
Aku dalam perjalanan menuju kamarku ketika paman muncul dari balik pintu ruang kerjanya dan memanggilku. Pamanku adalah seorang pria bertubuh besar, tinggi dan gemuk. Dulu dia memiliki bentuk tubuh yang bagus, namun seiring bertambahnya usia ditambah bertahun-tahun duduk di belakang kursi membuat perutnya membuncit. Dia memiliki mata biru sepertiku, hanya saja dengan surai pirang cerah.
Pria itu meletakkan tangan di keningku lalu menangkup pipiku. Matanya dipenuhi kekhawatiran.
"Kau baik-baik saja? Kau terlihat begitu lesu beberapa hari ini."
"Aku baik-baik saja, Paman. Hanya panggilan malam itu sangat kuat dan mempengaruhiku lebih dari yang kukira."
Dia menepuk kepalaku dan mendesah.
"Kuharap aku tahu cara menolongmu. Aku merasa telah mengecewakan adikku. Semua yang kutahu hanya bagaimana cara membuat keuntungan dan menjalankan bisnis."
"Kau orangtua yang luar biasa, Paman. Sungguh."
Dia tersenyum dan menarikku ke dalam pelukan, menenggelamkanku di balik lengan besarnya.
"Sekarang tidurlah. Besok aku berencana untuk menghabiskan sepanjang hari bersamamu. Tanpa pekerjaan."
Aku berjalan menuju kamarku sambil tersenyum senang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kami menghabiskan waktu berdua. Seandainya aku tahu jika malam itu akan menjadi malam yang mengubah hidupku selamanya.
.
.
.
To be continued...
Thanks for read! ^^
Next update will be on Wednesday~