kirisupark
Present
Hidden Roses
Main Casts :
Byun Baekhyun / Park Chanyeol
Support Casts :
Choi Seunghyun, Kim Samuel, Jeon Somi, and many more.
Genre : Thriller ; Romance ; Family
Rate : T (for the beginning chapters only)
Warning : Yaoi, Boys Love, Boy x Boy, Incest (more to be added as the story continues)
Tiga orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan dikurung secara bersama-sama di loteng mansion milik Kakek dan Nenek demi menyelamatkan kondisi keuangan keluarga mereka yang menipis …
… Mereka sama sekali tidak menyadari jika ada sesuatu yang menanti mereka
Based on Flowers in The Attic
with some changes.
.
.
.
Sejujurnya, ketika aku masih terbilang sangat muda, kembali di masa-masa saat aku berusia lima tahun, aku percaya jika seluruh kehidupanku akan berjalan seperti sebuah musim panas yang panjang dan sempurna. Lagipula, semua itu memang berawal dengan demikian, sempurna. Tidak banyak hal yang bisa kuceritakan tentang masa kecil kami selain daripada bahwa hal tersebut adalah kenangan yang sangat baik, dan untuk itu, aku semestinya tidak pernah berhenti bersyukur. Kami tidak kaya, namun juga tidak miskin.
Jika kami pernah kekurangan sesuatu di masa lalu, aku sama sekali tidak bisa menyebutkannya; kami memiliki harta yang berkelimpahan, aku juga tidak bisa menyebut apa-apa saja itu tanpa membandingkan apa yang kami miliki dan apa yang orang-orang lain miliki, dan tidak ada orang yang berkelebihan ataupun berkekurangan di lingkungan tempat tinggal kelas menengah kami.
Singkatnya, kami adalah sekumpulan anak-anak yang biasa saja.
Ayah kami adalah seorang P.R di salah satu perusahaan komputer terkemuka yang terletak di Gladstone, Pennsylvania, dengan populasi sebanyak 12.602 jiwa. Beliau sangat sukses, ayah kami, yang alhasil menyebabkan sering kali atasannya mengajak kami sekeluarga untuk makan malam bersama, dan ditambah dengan ia memuji-muji performa Ayah yang sangat bagus dalam bidang pekerjaannya di hadapan kami semua.
"Astaga, Seunghyun, apa lagi hal yang kurang dari dirimu?"
Dengan sepenuh hati, aku setuju akan pernyataan tersebut. Ayah kami sempurna. Dia memiliki tinggi tubuh yang semampai dan berat badan yang ideal, dan rambutnya yang tebal berwarna hitam obdisian, cukup bergelombang dengan sempurna; kedua pupil matanya beririskan warna yang senada sebagaimana dengan rambutnya dan mereka bersinar setiap kali beliau larut dalam tawa. Hidungnya proporsional, tidak terlalu mancung namun juga tidak terlalu pesek. Beliau bermain golf dan tenis dengan sangat baik, juga berenang dalam waktu yang tidak terhitung lagi banyaknya hingga mengakibatkan kulit beliau berubah kecokelatan karena terbakar oleh matahari untuk sepanjang tahun.
Ayah juga sering sekali bepergian, ke California, ke Florida, ke Arizona, atau ke Hawaii, atau bahkan keluar negeri untuk melakukan pekerjaan, sementara kami ditinggal di rumah, di bawah perhatian Ibu kami.
Ketika dia datang dari pintu depan di setiap hari Jumat pada waktu malam hari (Ayah pernah berkata jika beliau tidak tahan tinggal jauh dari kami lebih dari lima hari) bahkan jika saat itu sedang hujan atau turun salju sekalipun, matahari seolah akan bersinar dengan terang seketika itu juga setiap kali beliau mengulum senyum lebar nan bahagia kepada kami.
Seruan Ayah selalu menggema dengan nyaring dari beranda depan tatkala beliau meletakkan kopor-kopor ke atas permukaan lantai, "Datang dan sambut aku dengan ciuman jika kau menyayangiku!"
Di suatu tempat di dekat pintu depan, kakak laki-lakiku dan aku akan bersembunyi, dan setelah beliau menyerukan salam demikian, kami akan bergegas keluar dari balik bangku dan sofa untuk menerjang tubuh jangkung Ayah ke dalam satu pelukan besar, yang dimana berhasil membuat kami bertiga menempel satu sama lain laksana roti isi, dan beliau akan memeluk kami erat-erat. Kemudian, Ayah akan menghangatkan bibir kami dengan kecupan penuh kasih sayangnya.
Hari Jumat adalah hari yang terbaik dalam seminggu bagi kami semua, waktu dimana Ayah kembali pulang ke rumah. Di dalam saku jaket Ayah, beliau membawa hadiah-hadiah kecil untuk kami; di dalam kopor-kopornya beliau menyimpan oleh-oleh yang jauh lebih besar untuk dikeluarkan setelah beliau menyapa Ibu, yang akan dengan sabar menunggu hingga Ayah menyelesaikan urusan dengan kami.
Dan setelah saku kami dipenuhi oleh banyak hadiah, Chanyeol dan aku akan mundur ke belakang untuk menyaksikan bagaimana Ibu melangkah maju, kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman selamat datang yang serta merta membuat kedua mata Ayah berbinar, dan mereka akan saling berpelukan satu sama lain, serta saling bertatapan seolah mereka belum bertemu selama bertahun-tahun.
Pada hari Jumat, Ibu menghabiskan sebagian waktu di salon kecantikan, rambutnya akan dikeramasi dan ditata, kuku-kuku jemari tangan dan kakinya juga akan dirapikan dan dicat. Lalu, beliau pulang ke rumah dan mandi dengan air yang telah dibubuhi wangi-wangian selama beberapa jam.
Aku sering sekali menyaksikan Ibu di kamar gantinya, dan menunggu bagaimana beliau akan bertransformasi menjadi seseorang yang sarat akan keanggunan.
Beliau akan duduk di balik cermin untuk mengenakan riasan wajah, selalu berhasil membuatku takjub bagaimana beliau bisa berubah menjadi sosok yang sangat cantik sekali sampai-sampai Ibu tampak terlihat tidak nyata.
Bagian yang paling menakjubkan adalah ketika Ayah berpikir jika Ibu sama sekali tidak mengenakan riasan wajah! Beliau percaya kalau Ibu sudah cantik secara alami.
Cinta adalah kata-kata yang selalu menyertai dalam suasana kehangatan keluarga kami sepanjang waktu.
"Apakah kau mencintaiku? Apakah kau merindukanku? Apakah kau lega karena aku telah kembali pulang ke rumah? Jika tidak, Ashley, aku rasa aku mau mati saja."
Ibu sangat tahu dan paham bagaimana menjawab pertanyaan seperti ini, dengan ciuman ciuman lembut, dengan bisikan, dan dengan tatapan mata memuja.
-Hidden Roses-
Suatu hari Chanyeol dan aku dengan terburu-buru pulang ke rumah dari sekolah dengan angin musim dingin menerjang kami dari pintu depan.
"Tanggalkan sepatu boot kalian di beranda depan."
Ibu berujar dari ruang keluarga, dimana aku bisa melihat beliau tengah duduk di hadapan perapian, merajut sebuah sweater berukuran kecil yang aku pikir akan dikenakan pada boneka-boneka milik beliau.
"Dan tendang sepatu kalian ke tepi sebelum kemari," beliau menambahkan.
Kami menanggalkan jaket beserta sepatu kami di beranda depan, lalu bergegas melangkah menuju ruang keluarga dengan kedua kaki yang berkaus kaki, dimana sebuah karpet lebar seputih salju dibentangkan di atas permukaan lantai.
Ruangan dengan warna pastel itu, yang didekorasi untuk semakin menambah kecantikan yang dimiliki oleh Ibu, seringkali tak boleh didatangi oleh kami berdua.
Ini adalah ruangan Ibu, dan kami tidak pernah merasa nyaman duduk di atas sofa brocade berwarna apricot atau bangku-bangku dengan model cut-velvet.
Kami lebih menyukai ruangan Ayah, dengan panel-panel jendela yang berwarna gelap dan sofa polos berpermukaan kasar, dimana kami bisa bertengkar dan bersenda gurau tanpa harus khawatir akan merusak sesuatu yang berharga.
"Di luar sangat dingin, Bu!"
Aku berseru sementara aku membiarkan kedua tungkai kakiku jatuh bergelantungan, mendekatkan mereka kepada api dari perapian. "Tapi perjalanan kami pulang ke rumah dengan menggunakan sepeda sangat menakjubkan. Pohon-pohon tampak bersinar dengan kerak es yang ditempa cahaya matahari dan terdapat kristal pada masing-masing dahannya. Di luar seperti dunia fantasi, Bu. Aku tidak akan pernah tinggal di Selatan, dimana di sana tidak pernah bersalju!"
Chanyeol sama sekali tidak berbicara tentang cuaca dan keindahan dari musim dingin. Dia lebih tua dua tahun dan lima bulan daripada aku, juga jauh lebih bijaksana dibandingkan aku; aku tahu itu sekarang.
Dia menghangatkan kaki-kakinya yang membeku sebagaimana dengan aku, namun di sisi lain juga menumpukan pandangan pada wajah Ibu dengan tatapan mata cemas.
Alhasil, aku pun memandangi beliau juga, bertanya-tanya apa yang telah Chanyeol lihat hingga membuat ekspresi penuh kekhawatiran sedemikian rupa. Beliau merajut dengan cepat dan cekatan, sesekali menolehkan kepala untuk melihat buku instruksi yang ada di atas pangkuan.
"Bu, apakah kau baik-baik saja?" dia bertanya.
"Ya, tentu saja," beliau menjawab seraya mengumbar sebuah senyum lembut.
"Ibu terlihat kelelahan."
Ibu pun kemudian meletakkan sweater berukuran mini yang tengah ia rajut. "Aku mengunjungi dokter hari ini," ujar beliau, sedikit menunduk ke depan untuk mengelus pipi Chanyeol yang berwarna kemerahan oleh karena suhu udara yang terlampau rendah.
"Ibu!" ia berseru, sadar akan sesuatu, "Apakah kau sakit?"
Beliau tertawa kecil sambil menyapukan jemarinya yang lentik di antara surai rambut bergelombang dengan warna pirang miliknya. "Chanyeol, kamu mengenalku lebih baik dari itu. Aku telah memperhatikanmu yang melihatku dengan pikiran pikiran curiga berkelebat di dalam benak pikiranmu." Ibu meraih tangan Chanyeol dan tanganku, meletakkan keduanya di tengah-tengah perut beliau yang menyembul.
"Apakah kau merasakan sesuatu?" dia bertanya dengan ekspresi wajah penuh akan rahasia.
Secepat mungkin, Chanyeol menarik tangannya dari atas permukaan perut Ibu dengan semburat kemerahan menghiasi paras wajahnya. Tapi aku masih senantiasa menumpukan tanganku di sana, bertanya-tanya, menunggu.
"Apa yang kamu rasakan, Baekhyun?"
Di bawah tanganku, di bawah baju yang tengah dikenakan oleh Ibu, sesuatu yang aneh tengah terjadi. Gerakan-gerakan kecil yang kaku menggetarkan perut Ibu.
Aku mengangkat wajah dan menatap Ibu, dan sampai saat ini, aku masih bisa dengan jelas mengingat wajah Ibu yang begitu cantik. Beliau seperti Madonna.
"Bu, makan siangmu bergerak-gerak atau mungkin itu adalah gas." Tawa membuat kedua manik beriris biru laut milik Ibu berbinar dan beliau menyuruhku untuk menebak lagi.
Suaranya terdengar lembut dan meyakinkan ketika berbicara, "Sayangku, aku akan melahirkan pada awal bulan Mei nanti. Pada kenyataannya, ketika aku mengunjungi dokter hari ini, dia berkata jika ada dua detak jantung. Jadi itu berarti aku akan melahirkan anak kembar… Atau, jika Tuhan mengizinkan, kembar tiga. Ayahmu belum mengetahui hal ini, jangan beritahukan dia sampai aku memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya."
Tak mampu berkata-kata, aku pun melemparkan pandangan ke arah Chanyeol untuk melihat bagaimana ia bereaksi terhadap berita mengejutkan itu. Dia tampak takjub, juga masih sedikit malu. Aku melihat lagi wajah Ibu yang masih senantiasa dipenuhi oleh cinta untuk yang kedua kali.
Lalu aku bangkit berdiri dari atas bangku, dan berlari menuju kamar tidurku!
Aku menenggelamkan wajahku di dalam kasur ranjang dan menangis tersedu-sedu. Bayi! Tidak hanya satu! Akan ada dua! I was the baby! Aku tidak mau memiliki adik kecil yang suka merengek-rengek dan menangis mengambil alih posisiku! Aku memukuli bantal-bantalku, ingin melukai sesuatu, jika bukan seseorang. Kemudian aku bangkit duduk dan berpikir untuk melarikan diri.
Tak lama berselang, seseorang mencoba untuk membuka kenop pintu kamar tidurku yang aku kunci. "Baekhyun," Ibuku memanggil dari balik pintu, "bolehkah aku masuk untuk membicarakan hal ini?"
"Pergi!" Aku berteriak. "Aku sudah membenci bayi-bayimu!"
Ya, aku tahu apa yang akan terjadi kepadaku, menjadi anak tengah yang tidak dipedulikan oleh orangtua. Aku akan dilupakan; tidak akan ada lagi hadiah di hari Jumat. Ayah hanya akan memikirkan Ibu, Chanyeol, dan si kembar yang akan menggantikan posisiku.
To be continued
AUTHOR'S NOTE
Halo! Kembali dengan Kirisu di sini yang membawa sebuah cerita baru! Pada kesempatan kali ini, aku akan membawakan cerita Chanbaek hasil remake dari salah satu film dan buku serial thriller kesukaanku ; Flowers in The Attic. Kalau ada yang bertanya-tanya bagaimana jalan cerita secara garis besar, pada akhirnya ini cerita tentang percintaan yang terlarang (karena incest dan semacamnya). Beberapa chapter awal mungkin memang agak membosankan tapi trust me, kalian gak akan kecewa kok (*pede banget ini sumpah*)
Jadi, bagaimana? Lebih baik dilanjutkan atau aku hapus saja? Beritahu aku dengan cara memberikan review, ya! Karena sesungguhnya pembaca yang baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak.
Segitu dulu cuap cuap dariku, annyeong!
