King Without Crown

Disclaimer: Semua karakter yang ada di dalam anime "Naruto" dan "Guilty Crown" bukan milik saya, saya hanya meminjamnya saja.

Main Cast: Naruto .U

Pairing: Naruto .U x ?

Summary:

Menjadi Raja adalah kebanggaan tersendiri bagi makhluk yang menyandang gelar tersebut, dipenuhi dengan kekayaan dan ketentraman adalah bayangan bagi rakyat. Tapi tidakkah mereka tahu jika gelar tersebut memiliki arti yang sangat kelam di baliknya?

Warning: Abal-abal, Gaje, Newbie' Author, Out of Character, Echhi, VGU!Naruto, Strong!Naruto, Smart!Naruto, Read 'n Review, Not Like Don't Read dan Terima KriSar sama Flame-nya (jika memang ini jelek).

Prolog...

Menjadi seorang Raja...

"Hei, Naruto?"

Kepalaku menoleh kearah suara bariton yang memanggil namaku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, aku juga bisa merasakan kehangatan genggaman tangan dari orang yang sedang menuntunku. Pria itu memiliki rambut pirang keemasan jabrik dengan jambang yang membingkai wajah tampannya, bermata biru laut yang sangat eksotis, memakai jas laboratorium yang entah kenapa sangat keren di mataku.

Kata pria tersebut, ciri-ciri fisikku juga sama persis seperti dirinya. Yang membedakan hanyalah rambutku yang jabrik seperti buah durian lalu kulitku yang berwarna tan dan satu lagi, aku memiliki tiga goresan tipis di masing-masing pipiku mirip sekali dengan kucing.

Aku hanya tersenyum antusias kearahnya "Ya, Tou-chan?"

Senyumannya yang lembut selalu membuat hatiku menghangat karena hanya ayahlah –satu-satunya orang yang kumiliki saat ini. Dia juga pernah bercerita tentang ibu dan dia juga mengatakan jika ibu meninggal tepat setelah melahirkanku ke dunia ini, sebenarnya hatiku sangat sedih ketika mendengarnya. Aku tak bisa melihat wajah ibuku sampai sekarang dan itulah mengapa aku sangat sedih.

Tapi ayahku selalu berkata, jika sifatku sama persis seperti ibuku yang sangat hyperaktif, semangat dan ceria. Setidaknya aku merasa senang ketika mendengar jika diriku ini mewarisi sifat milik ibu.

Tepat tanggal 10 Oktober ini yang bertepatan sekali dengan hari ulang tahunku yang ke-8, aku diajak oleh ayah menuju tempat kerjanya selama ini. Ayahku merupakan ilmuwan yang sangat terkenal dan jenius, walaupun dirinya sangat sibuk dengan pekerjaannya di Laboratorium tapi dia juga tak pernah lupa tugasnya sebagai seorang ayah dan mengurusku dengan baik. Dan ayah bilang, dia akan memberikan hadiah padaku disini –di Laboratorium.

"Apa yang akan Naruto lakukan jika Naruto menjadi seorang Raja?"

Aku memiringkan kepalaku pertanda jika aku sedikit tak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh ayahku tapi sedikit demi sedikit otakku mulai bekerja untuk mencerna pertanyaan tersebut kemudian aku memberikan senyuman lebar kearahnya.

"Jika Naru menjadi seorang Raja, Naru ingin memiliki kerajaan dan negeri yang sangat damai dan tentram. Dimana semua rakyatnya bisa merasakan kenyamanan dan ketentraman tersebut, tentunya tanpa ada nenek sihir jahat atau semacamnya. Seperti dalam dongeng."

Otakku yang polos dan belum terkontaminasi apapun, yang ada di dalam kepalaku hanyalah dongeng yang selalu saja diceritakan oleh ayah atau buku cerita yang selalu dibelikan oleh ayah. Hanya itulah definisi 'Raja' yang aku ketahui dari cerita dongeng, sepertinya menjadi Raja sangat menyenangkan. Tapi...

"Tapi... bukannya Raja hanya ada di negeri dongeng ya, Tou-chan?"

Ayahku hanya tersenyum kecil lalu memandang lurus ke depan melangkahkan kakinya bersamaku menyusuri koridor serba bercat putih, aku baru tahu jika Laboratorium tempat ayah bekerja sangat besar dan mengagumkan sekali.

"Memang benar...," kepalaku menoleh kembali kepada ayah dan menatap wajahnya yang masih saja menatap lurus ke depan "...Tapi jika Naruto menginginkan hal itu, Naruto bisa meraihnya. Asalkan Naruto harus berusaha keras untuk menggapainya, karena seorang 'Raja' tak kenal dengan yang namanya 'Menyerah'."

Aku tertegun untuk pertama kalinya ketika mendengar pernyataan yang ayah keluarkan barusan, aku tak mengerti dengan apa yang ayah pikirkan tetapi aku tahu jika ayah menaruh suatu harapan kepadaku dan yakin jika suatu hari nanti diriku memang bisa menjadi seorang Raja. Tapi dongeng dan kenyataan adalah sesuatu yang tak bisa disatukan.

-0-0-0-

"Minato, kau yakin ingin mencobanya kepada anakmu?"

Kuanggukan kepalaku dengan mantap ketika rekan kerja atau sahabat seperjuanganku ini –Ouma Kurosu bertanya padaku, aku sudah membulatkan tekadku untuk melakukan percobaan ini kepada anakku sendiri yaitu Naruto. Jika saja Kushina masih ada disini, dia pasti akan marah besar kepadaku. Tapi ini juga demi kebaikan Naruto sendiri untuk terus bertahan di dunia yang sangat kejam ini, aku harus membekalinya dengan apapun yang kumiliki saat ini termasuk penelitian yang sudah selesai ini.

"Tapi bagaimana jika gen anakmu itu malah menolak Void Genome-nya? Kemungkinan besar dia bisa mati di tempat karena benda itu."

Pandanganku terarah pada Naruto yang sepertinya sangat antusias dengan benda-benda yang ada di dalam Laboratorium tempatku dan Kurosu bekerja ini, pertanyaan itu sering kali membuatku dilema untuk mengambil keputusan. Aku sangat, sangat menyayangi satu-satunya anakku itu dan karena itulah aku ingin Naruto memiliki kekuatan para Raja itu, tapi aku belum siap jika harus kehilangan orang yang kusayangi untuk kedua kalinya.

"Lalu aku harus bagaimana, Kurosu? Kau tahu, jika kita terlalu lama membiarkan Void Genome-nya disini, aku takut jika Keido datang kesini dan membawanya. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi dan jalan satu-satunya adalah menyuntikan Void Genome itu pada Naruto," antara Naruto dan Void Genome, kedua-duanya sangat berharga. Aku tak ingin kehilangan salah satunya.

Puk!

Wajahku terangkat pelan dan menoleh kearah Kurosu yang sudah menepuk pundak sebelah kananku sambil tersenyum seolah ingin menenangkan diriku yang sedang kebingungan ini, mau tak mau bibirku juga menyungingkan senyuman kecilku padanya.

"Jika memang tekadmu sudah bulat untuk melakukan percobaan ini kepada Naruto-kun, aku tak bisa mencegahmu lagi. Aku juga tak ingin benda itu jatuh ke tangan orang jahat maka dari itu aku akan membantumu dalam percobaan ini."

Senyumanku semakin lebar ketika mendengar perkataan yang terasa sangat memotivasi diriku, kuulurkan tangan kananku kearahnya untuk meminta kerja sama dengannya "Bisa kita mulai percobaan kita, Dr. Ouma?" ucapku dengan penuh keformalan.

Dia menyambut uluran tanganku dan menggenggamnya dengan erat sambil menatap kearahku "Tentu saja bisa, Dr. Namikaze. Kita tak boleh membuang-buang waktu untuk hal ini," balasnya yang tak kalah formalnya.

...Dan tepat 10 Oktober yang bertepatan dengan ulang tahun Naruto, aku akan memberikan hadiah yang tak terlupakan padanya. Aku benar-benar minta maaf padamu, Kushina. Aku malah menjadikan anak kita sebagai kelinci percobaan, tapi aku yakin suatu hari nanti Naruto bisa menggunakan kekuatan Raja-nya dengan bijaksana layaknya Raja Sejati.

-0-0-0-

"Wah!"

Aku hanya bisa memandang takjub kearah depan dimana taman kota itu sudah sangat ramai sekali dengan orang-orang, baik itu anak-anak ataupun orang dewasa. Ditambah dengan salju putih yang terus berjatuhan dari langit hingga membuat beberapa gunungan kecil di taman tersebut, Natal memang sangat menyenangkan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Aku baru menyadari jika ayahku sudah berada di sampingku dengan posisi berjongkok untuk menyamakan tingginya denganku lalu tangan kanannya mengusap kepalaku yang penuh dengan salju yang berjatuhan itu dengan perlahan "Kenapa Naruto tidak bermain saja dengan anak-anak yang ada disana?" ucap ayahku sambil menunjuk kearah beberapa anak yang sepertinya seusia denganku sedang bermain di taman tersebut.

Kepalaku menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan dari ayah sambil tersenyum lebar kearahnya "Naru tak mau jauh-jauh dari Tou-chan, lagipula aku tak tahu siapa mereka," sebenarnya aku hanya terlalu malu untuk berinteraksi dengan orang lain seperti sekarang ini, aku lebih suka berinteraksi di sekolah saja.

Ayah hanya tertawa kecil setelah mendengar jawabanku, aku tak tahu apa yang lucu dengan jawabanku tapi aku merasa jika itu sangat menyebalkan "Baiklah, baiklah, Tou-chan mengerti. Kalau begitu jangan jauh-jauh dari Tou-chan, ya?"

"Tentu saja, Tou-chan," jawabku sambil menganggukan kepalaku sebagai tanggapan dari pertanyaan yang diajukan oleh ayahku, dia terus saja menggerakan tangannya untuk mengusap puncak kepalaku. Aku sendiri tak masalah jika terus diperlakukan seperti ini, dimanjakan oleh orang tuanya sendiri merupakan hak setiap anak dan aku salah satunya.

Swuush!

Tiba-tiba saja angin yang sangat kencang berhembus sangat cepat membuat pijakanku diatas tanah sedikit oleng, jika saja ayah tak memegangi tanganku, aku pasti sudah terjerembab ke tanah karena angin tersebut. Tatapanku beralih kepada ayah yang memasang ekspresi tak biasanya, cemas dan khawatir tercampur aduk di dalam raut wajahnya.

Aku bisa merasakan hawa yang sangat dingin setelah angin itu berlalu, perasaan dingin ini bukan karena suhu lingkungan yang berada di titik terendahnya tetapi perasaan dingin yang membuat jantungku bergetar ketakutan. Kupererat genggaman tanganku pada tangan ayahku karena aku benar-benar ketakutan saat ini, bahkan bibirku tak bisa berucap untuk sepatah kata saja.

"T-tou-chan?" kata itu keluar begitu saja dari dalam mulutku membuat ayah menolehkan kepalanya kearahku sambil tersenyum kecil seolah ingin menenangkanku yang dilanda ketakutan ini.

"Sepertinya ini hari yang buruk untuk merayakan Natal, sebaiknya kita pulang saja, ya? Kita bisa merayakan natal ini di rumah nanti atau besok juga masih bisa."

"Hu'um," aku hanya menganggukan kepalaku dengan lemah menandakan jika aku setuju dengan usulan ayah dan aku juga tak mau berlama-lama disini, hawa dingin itu semakin lama semakin dingin hingga menusuk tulangku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

Bwuusshh!

Aku melihat ayah menoleh kearah lain tepatnya kearah yang baru saja aku dengar beberapa detik yang lalu tapi detik selanjutnya ayah malah menghamburkan pelukannya kearahku dan memelukku sangat erat "Apapun yang terjadi, jangan lepaskan pelukan Tou-chan, ya. Tou-chan akan melindungimu meskipun Tou-chan harus mengorbankan nyawa Tou-chan sendiri."

...Pada detik selanjutnya cahaya putih yang sangat menyilaukan mata masuk ke dalam penglihatanku hingga aku tak bisa melihat bahkan Tou-chan yang ada di dekatku pun tak bisa kulihat dengan jelas dan aku juga mendengar beberapa teriakan histeris dari orang-orang disekitarku.

...Sebenarnya apa yang sedang terjadi...?

-0-0-0-

Tubuhku sedikit tersentak ketika kesadaranku berhasil kembali ke dalam tubuhku, napasku sedikit tersenggal karena tiba-tiba saja kesadaranku malah pergi ke masa lalu dimana tragedi yang sangat mengerikan terjadi dan menimpa seluruh penduduk Jepang terutama orang-orang yang tinggal di Tokyo.

Tanggal 24 Desember 2029, sebuah tragedi yang sangat mengerikan itu terjadi. Lost Christmas adalah nama yang sangat pantas untuk tragedi tersebut, sebuah virus yang dinamakan Apocalypse Virus menyerang hampir jutaan manusia yang ada di ruang lingkup negara Jepang. Virus tersebut sangat membahayakan bagi orang-orang yang terkena infeksi virus tersebut.

Apocalypse Virus membawa materi genetik yang bisa membuat sel-sel di dalam tubuh seseorang mengkristal dalam jangka waktu yang tidak bisa ditebak, bisa saja sangat cepat atau bisa saja sangat lambat tergantung seberapa bahaya virus tersebut dan daya tahan tubuh seseorang.

Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sangat beruntung karena tidak terjangkit virus tersebut, tidak seperti ayahku, tubuhnya berubah menjadi bongkahan-bongkahan kristal berwarna keunguan dengan kecepatan yang lumayan gila. Aku masih ingat perkataan dan pelukan terakhir dari ayahku itu sebelum akhirnya melebur dan menghilang seperti debu tertiup angin.

Tragedi Lost Christmas membuat Negara Jepang sangat terpuruk bahkan negara yang terkenal dengan teknologinya yang sangat maju itu membutuhkan negara lain untuk bisa menangani tragedi tersebut, terhitung sepuluh tahun lamanya Jepang dalam masa-masa yang sangat kritis walaupun sedikit demi sedikit kami bisa bangkit dari kejadian itu.

Tanganku menggenggam erat pegangan yang tergantung untuk para penumpang yang tak kebagian tempat duduk, perjalanan menuju SMA Tennouzu masih cukup jauh jadi kedua kakiku harus bekerja lebih lama lagi agar bisa menopang tubuhku lebih lama. Jika setiap hari aku melakukannya, bisa dipastikan beberapa tahun ke depan aku akan mengalami kelumpuhan.

Drrt! Drttt! Drrrt!

Tanganku yang tak memegang apapun mulai merogoh saku celana sebelah kananku dimana ponselku itu berada, tanpa melihat layarnya sedikitpun aku langsung menekan tombol terima yang tersedia di ponsel tersebut dan mendekatkannya ke telingaku agar terdengar lebih jelas.

"Halo?"

"Selamat Pagi, Naruto!"

Aku langsung menjauhkan ponsel itu dari telingaku setelah mendapatkan teriakan dari orang yang meneleponku dan aku tahu siapa yang selalu menelepon pagi hari dan berteriak setelah kuterima panggilannya "Tsugumi, sudah kubilang jangan berteriak ketika menelepon. Kau bisa membuat telinga seseorang sakit," berapa kali pun aku mengingatkan tapi tetap saja perempuan itu mengulanginya terus.

"Ya, aku hanya memastikan saja jika kau sudah bangun dan ternyata firasatku benar."

Aku hanya menarik napasku dalam-dalam ketika mendengar jawaban yang keluar dari orang yang ada disebrang sana lalu menundukan kepalaku perlahan "Kau tahu 'kan jika pagi-pagi seperti ini aku harus pergi ke sekolah, jadi kau tak perlu menjadi alarm-ku dan menelepon pagi-pagi seperti ini," aku tahu jika sekarang diriku menjadi pusat perhatian sebagian siswa SMA Tennouzu yang satu kereta denganku tapi apa salahnya menerima panggilan dari seseorang di pagi hari?

"Aku hanya ingin mengingatkan jika kita akan melakukan misinya malam ini, jadi aku sarankan agar dirimu tidak terlambat. Atau Endlave milik Ayase-nee akan menyeretmu darisana."

Apa-apaan ini? Dia sudah menganggu pagi hariku yang tenang dengan berteriak ketika dia menelepon dan sekarang dia malah mengancamku dengan Endlave milik Ayase-san yang merupakan rekannya, aku sedikit menyesal karena memiliki dua rekan perempuan yang sangat kejam.

"Aku ingat tentang masalah itu, cebol. Jadi, kau tak perlu mengingatkanku lagi. Tutup teleponnya sekarang juga, kau membuat telingaku sakit," sebenarnya aku sangat senang bisa diperhatikan seperti itu oleh orang lain tetapi jika Tsugumi atau Ayase yang melakukannya, aku lebih baik tidak diperhatikan siapa-siapa.

"Coba katakan sekali lagi! Kau ingin aku membakar semua persediaan ramenmu di markas ini, hah?!"

Sialan! Darimana dia tahu jika aku memiliki persediaan ramen disana? I-ini namanya senjata makan tuan...

"Ampun, Tsugumi-sama. Aku tak akan melakukannya lagi," jika saja ini bukan berhubungan dengan ramen yang notabenenya makanan kesukaanku, aku pasti bisa dengan puas menghinanya hingga marah-marah tak jelas. Walau bagaimanapun Tsugumi memang dikategorikan cebol jika diukur dari usianya sekarang.

"Hahaha... Baguslah kalau begitu, sampai jumpa nanti sore ya."

Tut!

Aku hanya memandang ponselku ketika panggilan tersebut malah dimatikan secara sepihak, menghela napas panjang adalah hal yang bisa kulakukan saat ini. Ingin sekali rasanya membanting sesuatu yang ada di dekatku sekarang juga, aku masih memiliki dendam pribadi dengan perempuan itu.

Setelah kumasukan ponselku itu ke dalam saku celanaku kembali, pandanganku terarah pada gedung GHQ yang menjulang sangat tinggi di langit yang berdiri di daerah Odaiba atau sekarang disebut dengan Bangsal 24. Gedung itu dibangun setelah Lost Christmas terjadi, PBB memiliki niatan yang sangat baik untuk mengembalikan Jepang seperti semua dan membasmi Apocalypse Virus itu.

...Dan malam ini, aku diberi tugas untuk mengawal seseorang yang akan menyusup ke dalam GHQ dan memastikan jika orang itu selamat. Semoga saja malam ini menjadi malam keberuntunganku seperti malam-malam sebelumnya...

...Dan ayah, sekarang aku tahu maksud dari pertanyaan yang kau ajukan dulu. Menjadi Raja adalah kebanggaan tersendiri bagi makhluk yang menyandang gelar tersebut, dipenuhi dengan kekayaan dan ketentraman adalah bayangan bagi rakyat. Tapi tidakkah mereka tahu jika gelar tersebut memiliki arti yang sangat kelam di baliknya? Dan sedikit demi sedikit, aku bisa merasakan bagaimana gelar Raja itu bekerja.

[Prolog: End...]