warning! boys' love. mentions of homophobic. single dad!Ong.
Seongwoo telat. Benar-benar telat. Sudah tidak ada gunanya mengecek jam tangan, enam jam tenggat dari jam yang seharusnya lewat sudah. Di antara orang-orang dengan setelan formal berjalan pulang, meski kakinya lelah dia memaksa keduanya menyeret badannya hingga ke depan sebuah bangunan dengan pagar warna-warni yang jelas sudah sepi. Pukul enam sore.
Dia lari ke pos satpam dan mendapat ada seseorang satpam sedang berjaga, tampaknya kaget melihat ada orang dewasa datang ke sekolah TK itu malam-malam. "Ada apa, pak?"
"Di sana... Sudah benar-benar kosong?" tanya Seongwoo memastikan, karena ruang tunggu sudah benar-benar kosong, hampa. Rasa panik menjalar tubuh. Seongwoo tidak akan memaafkan diri kalau Woojin sampai terluka atau bahkan tidak bisa ditemukan lagi.
"Mana ada anak yang masih di sini malam-malam, pak," jawab satpam itu dengan nada sebal. "Kegiatan kan sudah dibubarkan sejak jam dua belas siang tadi. Saya tidak melihat ada anak kecil berkeliaran setelah jam dua siang."
"Anak saya, pak," kata Seongwoo bingung. Panik. "Tidak ada yang bertugas menjemputnya selain saya. Coba bapak ingat lagi. Anak laki-laki, namanya Lee Woojin."
"Waduh, saya tidak tahu, pak," jawab satpamnya juga ikut bingung. "Di sekolah sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Saya juga sedang bersiap untuk pulang. Besok bapak bisa menghubungi yayasan sekolahnya."
Hah, mana mungkin bisa. Masa saja dia pulang dengan kondisi Woojin, anaknya, anak satu-satunya yang bahkan dia pun tidak tahu kepastiannya anak itu aman atau tidak? Seongwoo hanya berjarak selangkah dari menahan bapak satpam itu. Tapi akhirnya dia mengerutkan dahi, mengepalkan tangan dan menahannya. Tahan.
Seongwoo berjalan ke arah ruang tunggu taman kanak-kanak dan duduk di sana. Mengusap wajah dengan tangan kasar, bingung setengah mati. Haruskan lapor ke polisi? Tapi bisa saja Woojin dibawa pulang orang tua temannya. Tapi dia tidak tahu teman Woojin yang mana saja. Ataupun kontaknya punya pun tidak. Seongwoo mulai bertanya-tanya kenapa selama ini dia tidak pernah memperhatikan Woojin dan lingkungan sekolahnya.
Suara pintu berderit terbuka tidak membuatnya bergerak. Biarin saja, pikirnya. Paling satpam yang bersiap pulang. Sampai akhirnya ada suara kaki berjalan, tak jauh darinya. "Wali dari Lee Woojin?"
Hal itu membuat Seongwoo menegakkan kepala. Seorang laki-laki muda dengan kemeja putih dan celana jeans terang tersenyum kepadanya sebagai bentuk sapa. "Selamat malam."
Gegabah sekali geraknya Seongwoo bangkit. "Anakku—Lee Woojin—dimana dia, aku memang telat menjemputnya. Di—"
Sepasang tangan menggenggam tangan Seongwoo yang panik meraih kemeja lelaki itu. Menyuruhnya untuk tenang dalam bentuk sopan. "Ya, dia di dalam."
Seongwoo dibawa ke ruang untuk tidur siang dan merasa tertampar keras melihat mata Woojin yang bengkak. Kentara sekali anak itu sehabis menangis. Seongwoo menoleh ke lelaki (sepertinya guru Woojin) yang berdiri di belakangnya, mukanya sangat bingung dan sedih.
"Woojin menunggu sampai jam satu lalu menangis karena takut di ruang tunggu," jelas lelaki itu. "Dia kepanasan menunggu diluar, jadi kubawa ke dalam. Maaf karena sudah membuat bapak khawatir."
Seongwoo menggeleng lemah. Dia menghampiri Woojin dan mengangkat badannya untuk digendong. Woojin terbangun dalam proses itu dan matanya berkaca-kaca menangkap sosok Seongwoo. Woojin memejamkan matanya dan bibirnya bergetar, air mata mengalir turun. Tubuhnya memeluk Seongwoo erat.
"Maafkan aku," jawab Seongwoo berbisik di samping Woojin yang menangis sesenggukan kecil. "Aku yang salah. Maafkan aku."
Guru itu mengangguk pelan dan mengizinkan Seongwoo pergi duluan. Seongwoo menghampiri si guru dan berbisik, "Maaf, gara-gara saya kamu jadi nungguin sampai malam."
Si guru menggeleng. "Tidak, kebetulan saya memang harus kerja larut malam. Sampai jumpa besok pagi," dia memalingkan muka ke Woojin yang masih mencengkram bajunya dan menyembunyikan muka di bahu Seongwoo, "Woojin, sampai jumpa besok."
"Namamu..." tanya Seongwoo menggantung.
Guru itu tersenyum lebar dan menunjukkan gigi kelincinya. "Daniel. Kang Daniel."
Daniel itu pria yang baik. Guru yang baik, sebenarnya. Seongwoo menebak bahwa Daniel merupakan guru yang memproses seluruh dokumen sekolah karena seringkali dia lembur sambil sukarela menjaga Woojin yang biasanya ditinggal Seongwoo lembur kerja hingga malam. Woojin makin lama kian suka dengan Daniel, karena katanya Daniel suka menunjukkan 'video trang-trang-bzzzzzzz-ngiiit' (sepertinya Transformer) dari buku menyalanya (laptop).
Dan rambutnya Daniel merupakan titik yang paling menarik perhatiannya. Rambutnya dicat berwarna merah muda yang terang, dan biasanya merupakan objek yang menarik untuk dimainkan para anak-anak perempuan. Seperti hari ini, Daniel muncul di depan TK dengan rambut dikucir berantakan dengan senyum kelincinya. "Selamat pagi, pak. Selamat pagi, Woojin!"
"Kepalanya kak Dan!" teriak Woojin menunjuk rambut Daniel. "Jadi banyak, kepalanya!"
"Ini namanya rambut, Jin," jawab Daniel. "Tadi kakak dikuncirin sama Kyla." kemudian dia menoleh ke Seongwoo yang tampak terkesan. "Agak aneh ya?" tanyanya sambil nyengir.
Seongwoo menggeleng. "Kreatifitas muridmu patut dibanggakan," jawabnya.
Daniel hanya nyengir lagi. "Woojin, bilang selamat tinggal. Kita harus masuk sebentar lagi,"
Seongwoo juga sudah bersiap untuk pergi. Dia menunduk untuk mengecup dahi Woojin. "Aku pergi dulu, oke. Baik-baik di sekolahnya. Nanti aku datang akan lebih awal. Jangan nakal dan jangan lewatkan jam makan siangmu,"
Woojin tertawa kecil. "Oke, mama. Hati-hati di jalan!"
Badan Seongwoo menggestur kaku. Dia melirik ke arah Daniel sekilas yang masih tersenyum menunggu Seongwoo selesai mengucapkan salam. Meski dia sebenarnya yakin sekali Daniel mendengar percakapan mereka dengan jelas. Seongwoo memalingkan muka kembali dan mengangguk, menyuruh Woojin masuk.
"Saya duluan," pamit Daniel sopan. Seongwoo mengangguk dan melihat mereka berjalan beriringan masuk ke dalam gedung TK.
Rumah Seongwoo berbau masakan rumah ketika keduanya sudah pulang sore hari itu. Di ruang makan ibu Seongwoo berdiri dan sedang menata makanan, melirik sekilas kepada mereka yang mengucapkan salam datang ke rumah. "Selamat datang. Ayo makan dulu."
"Ibu, Woojin sudah makan tadi di perjalanan," kata Seongwoo memberitahu ibunya. "Tadi aku sudah kirim SMS. Ibu tidak mengecek ponsel ibu?"
"Kamu pasti belum makan, kan," jawab ibunya sambil menatap Seongwoo yang nyengir tertangkap basah. "Pria dewasa macam kamu mana doyan makanan anak kecil seperti Woojin. Ajak Woojin mandi dulu, baru kamu makan."
Seongwoo mengangguk. Lantas dia mengajak Woojin ke kamar mandi untuk bebersih diri termasuk dia juga. Saat Woojin sudah rapi dan bersih, semua tugas rumahnya sudah dikerjakan, Seongwoo kembali ke ruang makan bersama dengan ibunya. Woojin asyik menonton televisi di kamarnya.
Mangkuk nasi sudah tersedia di depan kursi. Ibunya dan Seongwoo sama-sama makan bersama. Ibunya yang pertama kali membuka pembicaraan. "Woojin sekarang umur berapa?"
"Empat, bu."
"Bagaimana dengan upah kerjamu?" tanya ibunya pelan.
Tubuh Seongwoo kunjung kaku dan gerakan tangannya berhenti. Dia mulai mengerti kemana lagi arah ibunya berbicara. "Bu, aku tidak akan membawa ataupun membuang dia kemanapun hanya karena dia dianggap anak pengganggu oleh siapapun itu."
"Baiklah, mari kita mulai dari yang paling sederhana. Mau sampai kapan kamu membiarkan dia memanggilmu 'mama, mama' kemanapun kalian pergi, hm?"
"Bu, dia masih kecil." sanggah Seongwoo memohon. "Berhentilah mengomentari hal-hal yang sewajarnya dilakukan untuk anak seumuran Woojin."
"Kalau begitu cepat kamu menikah," kata ibunya. "Ibu sebenarnya juga sama letihnya dengan kamu. Ibu sedih sekali kalau melihat kamu harus bolak-balik dari kantor ke TK hanya untuk menjemput Woojin. Kamu pikir ibu tidak lihat kamu harus terjaga setiap malam dan bangun setiap pagi hanya untuk menemani Woojin? Cari perempuan untuk dinikahi, dia bisa membantu kamu menangani Woojin."
"Ibu, aku baru saja selesai kuliah. Aku—"
"Sudahlah," potong ibunya. Kemudian suara Woojin memanggilnya terdengar lantang dari kamar. "Ibu sudah mengerti. Anakmu memanggil, sana hampiri dia."
Seongwoo melihat ibunya dengan raut muka letih. Ibunya menolak untuk melihatnya. Seongwoo akhirnya memalingkan muka, meninggalkan meja makan dan menghampiri Woojin di kamarnya.
"Ada apa, Jin?" tanya Seongwoo masuk ke kamar.
Woojin sudah duduk manis di atas kasurnya sambil mengucek mata mengantuk, "Ma, temani aku tidur."
Melihat raut mukanya Seongwoo seperti meleleh di dalam. Tidak bisa menolak permintaannya walau hanya menggeleng singkat. Dia tidak bisa meninggalkan Woojin. Raut mukanya melembut, "Baiklah, tapi aku harus berganti baju dulu."
Ketika Woojin dan Seongwoo bersiap tidur, berbaring berhadap-hadapan dengan Woojin di dekapan Seongwoo, tiba-tiba saja Seongwoo bertanya, "Woojin mau punya mama?"
"Tapi Woojin sudah punya mama," jawab Woojin bingung. "Mama." katanya sambil menggestur ke arah Seongwoo.
Seongwoo hanya mengangguk-angguk diam. Kemudian menyuruh Woojin untuk tidur saja, karena besok dia masih harus sekolah.
Keesokan harinya Seongwoo sengaja menjemput Woojin tepat waktu dan langsung mengantarnya pulang, lantas menyuruh Woojin untuk di rumah saja bersama ibunya. Dia langsung pergi dengan alasan ada janji dengan temannya. Tidak mengatakan janji apalah itu atau dimanakah itu.
Tiba-tiba saja tubuhnya sudah duduk di depan bar sebuah disko malam yang ramai riuh manusia. Seongwoo memesan satu botol minuman dengan kadar alkohol tinggi dan meminumnya kalap, bersandar di meja menumpu dahi dengan tangannya sendiri karena perlahan dia mulai mabuk. Dia berusaha menyingkirkan seluruh pikiran tentang Woojin. Mana pantas? Lihat, Woojin tidak punya siapapun selain dia (ibunya tidak begitu suka dengan Woojin) dan Seongwoo pergi ke disko hanya untuk memabukkan dirinya.
Seseorang bergegas duduk di sebelahnya. Seongwoo melirik orang itu sekilas, dan terkejut menemukan surai merah muda mencolok di sebelah. Daniel. Daniel juga tampaknya terkejut melihat Seongwoo. "Oh, astaga. Halo. Selamat malam."
Seongwoo mengangguk saja karena dia tidak ingin berbicara. Daniel bergegas memesan minuman kepada pelayan dan tersenyum kepada Seongwoo. "Hari ini bapak menjemput Woojin lebih awal, ya."
"Seongwoo," jawab Seongwoo. "Namaku Seongwoo."
Daniel mengangguk. Dia sepertinya penasaran ada apa dengan Seongwoo, tetapi memutuskan untuk bersikap sopan dan tidak bertanya tentang sesuatu yang personal. Tetapi Seongwoo di sana sudah ingin meledak dengan segala pikiran beratnya. "Aku di sini melepaskan beban sebagai orang tua tunggal, hahaha."
Seongwoo mengharapkan Daniel untuk ikut tersenyum tetapi dia tidak. Daniel hanya melihatnya dengan pandangan tidak berarti. Seongwoo terlalu mabuk. Maka tawa itu perlahan berubah menjadi sebuah kerutan bibir letih. Seongwoo menangis sambil menyembunyikan mukanya di lengan. Baru ketika itu Daniel panik, dan memeriksa Seongwoo memastikan apa dia baik-baik saja.
"S-Seongwoo... kamu baik-baik saja?" tanya Daniel khawatir. Dia memeriksa muka Seongwoo dan baru mengerti kemudian. "Kamu mabuk."
Daniel menunggunya sampai dia cukup terbangun dan mengantarnya pulang ke rumah. Ibunya terkejut melihat Daniel. Seongwoo tampak diomeli oleh ibunya setelah Daniel pergi dan dia dibawa ke dalam. Tetapi Seongwoo tidak begitu mengerti karena dia masih mabuk dan lelah menangis.
Seongwoo bangun berjengit. Jam di sebelahnya menunjukkan pukul sepuluh pagi menjelang siang. Ah. Sekolah Woojin. Woojin telat. Dengan gegabah dia bangkit, membuka pintu dan menjumpa dengan ibunya yang sedang menonton televisi di ruang depan. Ibunya meliriknya sekilas. "Woojin sudah kuantar sekolah jam delapan tadi."
"Kemarin... aku...?" tanya Seongwoo menggantung, warna memudar dari mukanya. Ingatan-ingatan gelap kembali ke otaknya dan Seongwoo tidak bisa ingat kenapa dia bisa pulang kembali ke rumah. Belum ingat, lebih tepatnya.
"Kamu diantar pulang oleh seorang lelaki muda," jawab ibunya. "Yang rambutnya norak."
Seongwoo berjalan gontai menuju kamar. Membenamkan muka di telapak tangan sambil menyesali segala hal yang dilakukannya selama ia mabuk.
"Kamu tahu, aku tinggal bersama ibuku. Ayahku tidak setuju dengan adanya Woojin... Ibuku tinggal denganku karena dia merasa kasihan aku tidak bisa merawat Woojin dengan benar. Ya Tuhan... bahkan aku pernah telat menjemputnya selama enam jam."
Seongwoo menangis kencang, meracau sendiri tentang semua hal yang sesak dia pendam sendiri di dalam tubuhnya. Sementara itu Daniel hanya diam kebingungan sambil mengusap-usap punggungnya menghibur.
"Semuanya menyuruhku untuk cepat menikah dan mencari istri. Tetapi akankah mereka mengerti apa yang kurasakan saat ini?! Siapakah mereka menyuruhku cepat menjalin hubungan ketika aku tidak punya siapapun untuk berkenalan atau menjalin hubungan menuju menikah?! Aku bahkan baru lulus kuliah dan baru memulai tahun pertama kerja!" teriak Seongwoo marah. Daniel mengangguk-angguk dan tersenyum bingung.
Sesudah itu Seongwoo ingat Daniel mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Habis sudah... segalanya. Satu ide yang paling tidak masuk akal sekaligus paling masuk akal adalah membawa Woojin pindah TK supaya tidak bertemu lagi dengan Daniel. Dia ingin menjahit mulutnya yang seenaknya saja mengambil alih ketika sedang mabuk.
Seongwoo berlari heboh menuju ibunya yang masih di ruang depan. "Bu, ibu yang jemput Woojin mulai dari sekarang, ya?!" katanya memohon. Ibunya hanya melirik tanpa menjawab. Tidak mau.
Seongwoo berjingkat ke arah gedung TK yang sudah sepi. Wajar saja, sudah sore jam enam. Pak satpam yang waktu itu ikut panik bersamanya mencari Woojin mengangguk kepada Seongwoo. Sudah terbiasa dengan kedatangannya yang telat. Pak Satpam itu tampak bersiap untuk pulang, yang dibalas dengan salam Seongwoo.
Seongwoo berjalan ke arah gedung TK yang sudah kosong. Ada satu jendela ruangan yang menyala—ruang tidur siang alias kantor Daniel kalau sedang lembur—Seongwoo jadi hapal denah gedung sejak dia sering menitipkan Woojin ke Daniel.
Tapi pintunya terbuka lebar dan ada dua orang sedang berdiri di sana. Seongwoo bisa tahu kalau itu bukan Woojin dan Daniel karena mereka sama-sama tinggi. Seongwoo tidak terlalu yakin begitu mengatakan kalau itu bukan Daniel. Sebenarnya satu di antara mereka ada yang proporsinya mirip dengan Daniel. Gestur badan mereka bergerak-gerak liar seperti sedang berada di dalam perdebatan panas dan Seongwoo tidak berniat menganggu. Jadi dia melipir ke balik tembok dan mengecek ponselnya sambil membelakangi mereka.
Sekarang jam enam lewat. Sebenarnya dia tidak apa dengan pulang telat apabila harus menunggui mereka selesai berbicara. Ibunya mungkin bisa diberitahu melalui SMS. Seongwoo mengotak-atik ponselnya dan di tengah sedang mengetik SMS kepada sang ibu.
"LALU KENAPA, HAH?!"
Ponselnya jatuh dari genggaman karena dia melonjak kaget. Seongwoo gelagapan membungkuk dan meraih ponsel kembali ke dalam genggaman, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Dia melirik dari balik tembok. Tidak baik menguping masalah orang lain, tapi... suaranya keras. Mau bagaimana, Seongwoo pasti akan mendengar.
"LALU..."
Seongwoo mengenali figur Daniel yang kini sedang berteriak marah, menarik sesuatu dari telinganya.
"KENAPA..."
Daniel mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seongwoo kira dia akan memukul orang yang ada di hadapannya tetapi tidak. Daniel menghempaskan lengannya kuat ke bawah, seperti sedang melempar sesuatu yang terbuat dari logam dan menimbulkan suara berdenting keras.
"KALAU AKU GAY?!"
Seongwoo berjengit. Daniel dipukul keras di wajahnya sehingga lelaki itu terdorong mundur beberapa langkah. Setelah itu sang lelaki menunjuk Daniel dengan tangan yang kaku dan bergegas pergi melengos melewati Seongwoo tanpa menyadari kehadirannya.
Nah... Sekarang bagaimana menjemput Woojin? Seongwoo meneguk ludah. Di saat seperti ini rasanya tidak cocok untuk dia keluar dan meminta anaknya dikembalikan. Tapi malam sudah semakin gelap dan dia tidak ingin membuat ibunya menunggu.
Oh, pesan untuk ibunya. Seongwoo merogoh ponsel dan mengetik pesan cepat kepada ibunya, memasukannya lagi ke saku celana sambil mengintip. Daniel menunduk menatap lantai. Tangannya mengusak rambutnya frustasi, kemudian dia berteriak keras sambil menendang udara kosong di depannya.
Ting tong.
Uh. Ah. Aaahhhh! Seongwoo cepat-cepat meraih ponsel dan mematikan ponselnya. Tidak peduli dengan siapapun itu yang mengiriminya pesan di saat yang sangat tidak tepat. Saat itu, Daniel sudah berjalan dengan langkah diseret menuju ke arah Seongwoo berdiri.
Daniel terkejut. Seongwoo juga tidak kalah terkejutnya. Wajah Daniel penuh bercak air mata, pipinya memerah bekas pukulan orang yang tadi. Dan telinganya. Astaga. Dari daun telinga Daniel mengalir darah segar yang tampak sangat nyeri untuk bahkan sekadar dipandang. Bagian lobulus Daniel terlumur darah sehingga sulit untuk mengidentifikasi dari mana datangnya darah tersebut.
"A—a..., telinga..." muka Seongwoo pucat, bibirnya menganga sambil menggestur liar tetapi tak bisa mengekspresikannya dengan baik.
Muka Daniel muram dan tampaknya tidak terlalu peduli dengan ucapan Seongwoo. Dia memalingkan muka sejenak untuk menghapus air matanya. "Woojin, Woojin ada di dalam."
Seongwoo hanya bisa memasang muka terpana setengah ngeri mengikuti Daniel masuk dari belakang. Hanya saja pikirannya itu kabur melihat Woojin yang sedang tidur di salah satu matras. Seongwoo mengangkat tubuh Woojin ke dalam gendongannya, berbalik menatap Daniel. Matanya masih tidak bisa lepas dengan sosok yang mondar-mandir sedang membereskan barangnya itu.
"Erm... Dan...iel..."
Daniel menyandang tas selempang hitam dan bergegas keluar sambil mengajak Seongwoo pelan. Kentara sekali dia sedang buruk hati tetapi tidak mau menunjukkannya di depan Seongwoo. Usaha yang payah, kalau Seongwoo boleh berkomentar. Pada akhirnya Daniel berpamitan muram, membungkuk kepada Seongwoo sebagai terima kasih sekaligus maaf karena sudah membuat keributan yang sepantasnya dia tidak lihat.
Seongwoo hanya menggeleng sebagai jawaban. Malah dia yang harus minta maaf karena sudah menguping sebuah urusan yang bahkan bukan urusannya atau urusan teman dekatnya. Urusan seorang asing.
Daniel tidak pernah kembali lagi ke TK sejak malam itu. Guru yang lain bilang dia berhenti mendadak karena harus menyelesaikan studi. Woojin menangis sedih selama beberapa malam karena rindu kak Dan yang selalu menemaninya. Seongwoo juga jadi sibuk menjemput Woojin tepat waktu bolak-balik dari kantor ke TK.
Daniel benar-benar hilang. Woojin berhenti menangis. Seongwoo terbiasa bolak-balik menjemput Woojin. Satu hal yang tersisa. Seongwoo masih menyesal waktu itu dia tidak memberhentikan Daniel, sekedar hanya untuk mengobati luka di telinganya.
Lewat guru-guru Seongwoo tahu kalau sebenarnya guru TK tidak pernah punya tugas lembur. Tidak ada yang namanya mengurus kedokumentasian sampai malam.
Author's Note
GEMES ONGNIEL AAAAA GEMEZ GEMEZ PENGEN GIGIT GIGIT kalian pasti udah tau momen mereka yang lagi marak kan? Yang si Kang gugup karena rankingnya mau keluar terus spontan ngulur tangan buat Ong pegang. AAAAAAA GEMEZ GEMEZ. Kemana-mana pasti berduaan terus ya, kayak perangko sama amplop. Dan paling suka kalo misalnya mereka kebagi shot bertiga bareng dedek Ujin ;;;;
btw ini masih unpopular fic ya. biasanya kan Kang yang jadi single daddy terus Ujin jadi anaknya cimit cimit ugh tapi aku buat ini Ong yang jadi papa ehem mamanya. Ini buat awalan doang, dan meskipun aku memprediksi konfliknya akan panjang tapi aku pengennya supaya dibawah 10 chapter sudah beres semua. Mohon bantuannya ya ;;;;
buat teman-teman yang sedang menunggu kabar Hoggy Warty Hogwarts, pertama-tama maaf karena tenggatnya udah lewat lebih tiga bulan ;;; aku sibuk, banyak acara di dunia nyata. kebetulan karena ini sudah masuk bulan adek-adek yang masih sekolah pada libur, otomatis kerja aku akan berkurang. jadiii... kayaknya epilog yang terakhir akan diupdate di awal bulan Juni. terima kasih ya, sudah mau menunggu ;;;
