WARNING: CERITA INI BUKAN MILIKKU, CERITA INI SEPENUHNYA MILIK: SUNFLOWERPOTS- www asianfanfics com/ story / view /1209988 / blue-angst- seventeen- meanie

Terima kasih karena telah mengijinkan aku mentranslatenya.
.

Untuk readers yg telah review, follow dan fav terima kasih banyak telah mengapresiasi hasil translate-an ku. Aku sangat menghargainya :)

.

.

.

Wonwoo menggosok matanyanya yang mengantuk saat ia mencoba untuk fokus pada buku di tangan satunya. Woozi meninggalkannya jam enam pagi ketika staff mengumumkan sarapan telah siap di ruang makan. Ia tidak lupa untuk mengisi ulang kopi Wonwoo yang ketujuh kalinya sebelum ia keluar pintu kamar Wonwoo tanpa suara. Wonwoo bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih pada lelaki kecil itu tetapi ia berharap senyuman kecilnya mewakilinya berterima kasih untuk tamparan dan cubitan di pahanya agar ia tetap terbangun sepanjang malam. Wonwoo juga meminta maaf untuk apa yang telah ia minta tetapi Woozi bilang bukan apa-apa karena ia juga mengaku tidak bisa tidur. Ia membuka selimut yang menutupi pahanya dan ia tertawa karena ada tanda merah dari cubitan Woozi. Ia yakin Woozi pasti menikmati mencubitnya sekeras yang ia bisa.

Ketukan pada pintunya membuatnya mengubah perhatiannya ke suara tersebut dan ia sedikit mengerutkan dahinya ketika ia melihat Jun mengintip dari balik pintu.

"Bolehkah aku masuk?" ia bertanya sambil menunjukkan senyum di wajahnya.

Wonwoo ingin menolaknya tetapi ia malah tidak sadar mengangguk pada Jun yang sekarang telah duduk di tempat yang sama Woozi duduki sebelumnya. "Woozi tadi menghampiriku tadi dan mengatakan bahwa kau mempunyai sesuatu yang menarik untuk diceritakan~?"

Wonwoo berpikir akan membakar lelaki kecil itu nanti. Ia menatap Jun dan mengerutkan sedikit dahinya, menggelengkan kepalanya.

"Ia berkata seperti itu agar kau ke kamarku dan membuatku kesal dengan semua pertanyaan ini, Jun." Ia menatap Jun dan meletakkan bukunya diatas nakas sebelah tempat tidurnya.

"Menurutku, kau harus memberithuku tentang apa yang ingin ku dengar darimu sejak hari pertama kau datang kesini. Disini hanya ada kau dan aku. Menurutku penyebab kau tak ingin membicarakannya karena kau tak ingin orang lain mendengarnya." Jun menjelaskannya dan dengan cepat Wonwoo menjawab.

"Mungkin kau benar dan sangat, sangat benar tentangku yang tak mau orang lain mendengar. Termasuk kau." Ia sedikit memicingkan matanya pada Jun dan mengerutkan bibirnya. Dia ingin sekali mengusir Jun dari kamarnya, tetapi ia ingin ditemani agar ia tidak tidur jadi ia menahannya untuk tidak mengusir Jun. Ia bingung antara mengusir Jun atau membiarkannya disini.

Jun menyilangkan tagannya di dada dan menaikkan sebelah alisnya.

"Aku beritahu, Wonwoo. Kau tahu betul kesempatan ini tetapi kau tidak menggunakannya dengan baik." Ia mendesah. "Kau tahu bahwa kalau kau menuruti kami dan dapat menolong kami untuk menolongmu, akan mudah untukmu untuk keluar dari sini secepatnya. Kau ingin pergi jauh dari kami, kan?"

Wonwoo melihat ketulusan di mata Jun. Bibirnya mengucap tanpa beban dan senyumnya penuh kejujuran dan menyemangati. Tetap saja, ia masih tidak dapat mengucapkan apa yang harus ia ucapkan. Mungkin ini adalah keinginannya yang tidak cukup berani untuk berbicara tentang kebohongan di masa lalunya yang membuatnya datang ke tempat rehabilitasi ini. Yang semua orang tahu adalah, ia dulunya laki-laki yang menangis di depan pintu, baju yang basah karena kehujanan dan ia meminta staff untuk membawanya masuk. Tetapi setelah beberapa bulan disini, ia harus pergi dari tempat ini.

"Aku tak akan memasukkanmu lagi ke dalam program lagi jika kau mau dan aku akan mengunjungimu dengan jadwal dua hari sekali. Mungkin ini akan lebih menolongmu-"

"Tidak" Jun benar. Ia harus menolong mereka untuk menolongnya. "Aku akan tetap bergabung dengan jadwal grup. Kalau aku tidak datang pasti akan merepotkanmu untu mengunjungiku disini setiap dua hari sekali sejak kantor staff lumayan jauh dari sini. Lagi pula, jika aku memberitahumu disini, kau juga akan memaksaku memberitahunya pada yang lain juga, kan?"

"Aku-"

"Aku benar. Kan? Aku tahu hal seperti itu pasti akan terjadi." Wonwoo mengakhiri ucapannya "Aku… akan memberitahumu pada saat program dengan semua orang. Tetapi, kau harus berjanji akan mengeluarkanku dari sini dalam waktu satu bulan."

Jun mengerutkan dahinya sedikit bingung, sel-sel dalam otaknya melambat untuk memproses apa yang baru saja Wonwoo katakan, setelah satu atau dua menit ia baru mengerti.

"Wonwoo. Hanya karena kau sudah bercerita, bukan berarti kau siap untuk keluar dari tempat ini. Kami harus yakin kau sudah membaik." Ia mengigigit bibir bawahnya. "Tetapi aku dapat menjamin bahwa akan lebih mudah untukmu keluar dari sini secepatnya jika kau lakukan seperti yang kami katakan,"

Ia memikirkinnya lagi sebelum ia mengambil kembali bukunya dan membacanya lagi. "Aku akan melakukannya. Aku berjanji. Kau bisa pergi sekarang, Jun." ia mengatakannya dengan sedikit gemetar pada suaranya, tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Di sore hari, Wonwoo merasa pandangan dan kepalanya terasa berat tetapi pikirannya tersadar ketika ia melihat dua botol red bull ditaruh di nakasnya bersama dengan satu boks KitKat dan beberapa buah energy bar.

"Aku yakin kau tidak membutuhkan aku malam ini." Ia melihat Woozi dengan pandagan yang meyilaukan dan Woozi tidak menatap balik ke arahnya karena ia tidak ingin melihat Wonwoo terlihat menyedihkan.

"Darimana kau mendapatkan ini semua?" ia melihat semua makanan penasaran. Makanan-makanan ini sudah jelas dibawa dari toko diluar. Tidak seorangoun dari Woozi maupun Wonwoo memiliki pengunjung dari luar untuk memberi mereka makanan dari toko dan hanya air minum dalam kemasan yang dijual dalam tempat tersebut.

"Jeonghan kolaps karena sakit perut dan mereka menemukan makanan ini di lemari pendingin kecilnya. Dia stress kembali ke kebiasaan makannya lagi. Aku kebetulan sedang lewat dan staff memberikannya padaku. Aku tidak terlalu suka manis dan ketika aku melihat red bull aku teringat padamu." Ia menjelaskan. "Makanlah, kau tidak keluar kamarmu sepanjang hari. Kau harus mandi juga." Perkataan terakhir Woozi membuat wajah Wonwoo memerah.

Mandi dengan air dingin membuat Wonwoo tetap terbangun dan ia pastikan juga untuk meminum red bull sampai tetes terakhir. Kepalanya tidak terasa berat lagi dan ia memutuskan untuk membaca buku lagi jadi pikirannya tidak memikirkan hal-hal lain. Tersisa empat chapter dan ia tahu ia bisa menyelesaikannya sampai besok.

Jari Wonwoo gemetar pada halam terakhir, matanya fokus-tidak fokus saat ia melihat lebih dekat pada tumpukan KikKat diatas nakasnya. Beruntungnya, ia tidak tidur sampai keesokan harinya. Perutnya menderu meminta di isi dengan makanan yang sebenarnya tetapi ia menolak untuk pergi dari tempat tidur. Jika ia harus makan maka ia harus berjalan ke ruang makan yang menyebabkan ia akan cepat lelah dan jika ia cepat lelah ia akan tertidur. Ia mengambil buku lain dari lacinya setelah menyelesaikan yang sebelumnya. Ia harus menjaga dirinya tak melakukan apapun.

Sampai pada sore hari, besok adalah saatnya ia harus memberi tahu kepada semuanya tentang masa lalunya. Ia yakin ia tidak akan mundur dan mengingkari janjinya pada Jun dan ia juga sangat ingin keluar dari tempat ini segera mungkin. Tempat yang ia kira akan terasa seperti surga, ternyata adalah tempat mimpinya dengan sangat mudah menghantuinya. Sangat menakutinya.

Benar-benar menakutinya.

Tetapi ia tidak bisa menghindarinya bagaimanapun juga ia menutup matanya saat membuka halaman pertama dan ia tertidur di tempat tidurnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mingyu melempar kepalanya ke belakang dengan nikmat saat ia mengambil segenggam rambut Wonwoo yang melihatnya penasaran dengan kerutan didahinya.

"Apakah….. apakah aku melakukannya dengan baik?" Wonwoo bertanya padanya dengan suara kecil saat ia memegang benda besar dibagian bawah tubuh Mingyu yang tangannya hampir tidak bisa menggenggamnya dengan sempurna. Ia memberi berapa kocokan, duduk di lantai diantara paha Mingyu yang duduk di sofa, mengangkang.

"Hmm, ya sayang~ kau melakukannya dengan sangat baik sekarang." Yang lebih tinggi menggoyangkan sedikit pinggulnya dan mengeluarkan nafasnya berat saat Wonwoo mulai memberinya jilatan pada penisnya, dari atas kebawah seperti anak kucing yang sedang minum sampai ia menjilat precum yang ada di atas kepala penis Mingyu. Ia menghisap dengan berantakan dan sangat berisik, berwajah masam melihat Mingyu karena ia tidak pernah suka dengan cairan itu yang terasa di lidahnya. Ia melingkarkan bibir kecilnya di kepala penis Mingyu sebagaimana Mingyu menyukainya dan ia mencoba dengan sebaik mungkin untuk memasukkan seluruhnya kedalam mulutnya, tetapi hanya seperempat bagian dari panjangnya yang hanya masuk ke dalam mulutnya. Hanya sejauh itu yang ia bisa.

Hanya beberapa kocokan dari mulutnya sebelum ia tersedak oleh cairan putih yang keluar dari dalam ujung penis Mingyu. Ia menelannya, seperti yang Mingyu inginkan.

"Good boy." Mingyu memujinya lalu menarik Wonwoo dalam pelukannya dan memberi ciuman singkat di bibirnnya.

Ketika Wonwoo menutup matanya dalam pelukan Mingyu, ia membuka matanya dan ia terbangun di stasiun kereta dengan ibunya yang ada di sampingnya. Ia memberi tatapan bingung pada ibunya dan ibunya membalas dengan tatapan yang tidak dapat ia artikan. Tetapi ia dapat merasakan air mata yang turun bebas dari matanya saat ia kembali menatap ibunya.

"Mingyu kembali mengunjungi ibunya di provinsi, Wonwoo. Ayo kita pulang." Ibunya menuntun jalannya ke tempat parkir diluar stasiun dan ibunya yang menyetir.

Udara dalam mobil terasa menyesakkan untuk Wonwoo yang duduk dibelakang, memegang pipinya lalu ia samar-samar mengingat melihat memar pada pipi seseorang. Mungkin pada kejadian sebelumnya…? Ada banyak orang di stasiun, jadi mungkin ia melihat seseorang dengann memar pada pipinya. Tetapi ia menutup matanya dan membukanya lagi dengan pemandangan yang berbeda. Ia sekarang terbaring di tempat tidur di kamarnya, air mata turun dengan deras saat ia mengingat bahwa itu adalah Mingyu dengan memar di pipinya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mengapa sangat sulit untuk Wonwoo menceritakannya?

.

.

.

.

.

.

.

Mengapa sangat mudah untuk orang-orang bercerita tentang masalahnya?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mengapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Wonwoo mandi lagi dengan air dingin sesaat setelah ia bangun dan ia akhirnya memakan makanan di ruang makan walaupun ia kehilanga selera. Ia tidak pernah suka memakan ikan, karena mata ikan itu melihat balik ke matanya dan meninggalkan semacam pikiran dalam otaknya 'Kau memakanku. Aku tidak akan melupakanmu.' Ia membayangkan si ikan berbicara padanya. Oh, pikirannya. Ia harus berhenti membaca novel fantasi jika ia bisa.

Wajahnya menampakkan kekosongan saat ia berjalan ke ruangan dimana grup program yang diselenggarakan oleh Jun dan ia dapat melihat banyak orang didalam dengan Jun yang sedang berbicara dengan mereka. Pria itu dan yang lainnya melihat Wonwoo masuk, menyambutnya dengan senyuman dan Wonwoo mengangguk dan duduk di kursi biasanya. Ia dapat melihat kekagetan dalam suara Jun saat Wonwoo menyapanya.

Wonwoo mengetuk-ngetuk kakinya tanpa suara pada lantai marmer putih itu, ia tidak sabar sangat tidak sabar pada menit itu juga ia ingin meledakkannya jika terus tersimpan. Mereka punya peraturan baru jika yang datang terakhir akan jadi yang terakhir bercerita. Karena Wonwoo terlambat, ia akan menjadi yang terakhir yang akan bercerita. Ia berpikir, memikirkan banyak hal. Pikirannya menggila dan ia merasa kepalanya berat dan ia terus mengetuk-ngetukan kakinya pada lantai yang mana Woozi kini mulai memperhatikannya.

Hanya beberapa menit dan perhatian Jun sekarang beralih kepada Wonwoo. Tetapi, tidak seperti Woozi, Jun berdiri tepat di depannya dengan wajah penuh harap.

Kaki Wonwoo bergetar saat ia berdiri dari kursinya, ia melihat kemana saja kecuali semua orang.

.

.

.

.

.

Ia harus mengatakannya

.

.

.

.

.

Ia perlu mengatakannya.

.

.

.

.

.

Ia harus mengeluarkannya.

.

.

.

.

.

Ia harus mengeluarkan kata-kata yang membuat nya sesak agar ia bisa bernafas kembali.

.

.

.

.

.

Wonwoo mencengkram baju bagian dadanya, menggertakkan giginya saat air matanya turun ke wajahnya. Ia melihat Jun yang terkejut dan ekspresi bingung tertulis jelas diwajahnya. Itu adalah pertama kalinya ia berdiri di tengah. Itu adalah pertama kalinya ia melihat Wonwoo sangat rapuh seperti anak yang membutuhkan pertolongan. Itu adalah pertama kalinya ia takut Wonwoo mengatakan sesuatu. Itu adalah pertama kalinya ia ingin menutup mulut Wownwoo dengan tangannya dan mengirimnya pulang ke rumahnya.

Tetapi ia tidak mungkin melakukan hal tersebut.

Akhirnya Wonwoo membuka mulutnya dan mulai berbicara.

Wonwoo ingin melupakan semuanya. Dia ingin melupakan semuanya jadi mimpinya tidak akan menghantuinya lagi dan lagi seperti kaset rusak. Mimpi itu setiap harinya memburuk dan setiap ia bangun tidur. Akibatnya mengubah suasana hatinya dan kebahagiaannya dan ia bersumpah ia bahkan tidak bisa berdiri karena mimpi itu.

Tetapi ia harus.

Ia harus membaik.

"Aku…." Wonwoo berhenti pada suku kata pertamanya dan tubuhnya gemetar. Ia akhirnya mengingat mengapa ia berada di tempat ini.

Ia tiba-tiba teringat wajah Minyu, rambut Mingyu, mata Mingyu, hidung Mingyu, bibir Mingyu, rahang MIngyu, kulit kecokelatan Mingyu, tawa lebar Mingyu, suara berat dan serak Mingyu, tawa lepas Mingyu, tulang tangan Mingyu, genggaman lembut Mingyu, pelukan erat Mingyu, sentuhan Mingyu dan semua tentang Mingyu. Wonwoo tiba-tiba mengingat semuanya seperti ia sedang menonton semua nya di dalam film yang ia pandangi. Bagaimana ia terbangun, bagaimana ia dipeluk, bagaimana ia dikecup, bagaimana ia disentuh, bagaimana ia dicintai…

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Bagaimana bisa ia merasakan semua itu?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Wonwoo merasa…. Sangat menjijikan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat di kedua sisinya dan ia mengingat malam itu saat ia menangkap basah Woozi berbicara dengan kakanya di telepon. Ia ingat apa yang harus ia katakan. Ia menekan kuat bibirnya dalam satu garis sebelum ia membersihkan tenggorokannya dan berusaha berbicara sekali lagi.

"Ayahku mempunyai anak laki-laki dengan istri pertamanya sebelum menikah lagi dengan Ibuku. Namanya Kim Mingyu dan ia kuliah di Universitas Yosei…." Ia mulai berbicara lagi dan menelan air liurnya

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"…..Saat itu umurku tujuh tahun"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

-END-

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Yep, gimana? Pas pertama baca juga aku bingung dan sampe PM authornya buat bantu jelasin xD dan setelah dijelasin aku baca ulang dan wow sama sekali ngga nyangka. Menurutku cerita ini bagus banget. Yang masih kurang jelas mungkin bisa tinggalin pertanyaan kalian di review dan nanti akan aku bantu jelasin.

Btw pasti udah pada liat comebacknya Seventeen kan? Pas liat itu aku langsung merinding. Keren, bagus bangeeeettttt. Uri sebongie jjang~

Sekali lagi terima kasih buat yang udah fav, follow dan review. Aku jadi semangat buat translatenya^^

See you on my next trans story~