Everything? Everything

vmin fanfiction

chapter 3

.

.

Jimin menatap ragu rumah besar didepannya. Tangannya menggenggam rangkaian bunga –yang tak lagi terangkai indah dengan sekuat tenaga, membuat buku-buku jari tangannya memutih dan meninggalkan tanda bekas tertancap pada telapak putihnya. Pemuda itu meyakinkan perasaan enggan yang memang ada pada dirinya, dan sepertinya dia juga merasakan bahwa rumah itu juga mengeluarkan aura enggan –penolakan atas kehadiran dirinya.

Sebenarnya Jimin ingin pulang, dia ingin menikmati waktu menganggur yang ada dengan sebaik-baiknya. Maunya dia berbalik, tetapi sayangnya sang hati tidak memberinya izin untuk bergerak. Berulang-ulang, seperti kaset rusak –atau memang hati dan pikirannya sedang tidak sinkron, menyuruhnya untuk melangkahkan kaki kedalam, sekadar melihat tanda-tanda kehidupan di dalam rumah besar tersebut.

Ya, itu memang tujuan awal Jimin sejak 2 jam yang lalu. Dia harus masuk, dia harus mengetahui keadaan majikannya.

Kemarin –mengingatnya saja sudah membuat kepalanya cukup terasa pening- dia hampir kehilangan pekerjaannya, atau dikata, dia sudah kehilangan pekerjaannya. Sang majikan, sebut aja Kim (still fucking) Taehyung, mengalami serangan hebat pada jantungnya.

Jimin mengakui dirinya bodoh dalam hal menjadi perawat seorang Kim Taehyung. Di saat genting seperti kemarin, dia hanya bisa bergerak tanpa tahu harus melakukan apa. Bahkan pikiran bodohnya masih sempat menyuarakan kejengahan atas 'yang dia kira sebuah lolucon'.

Pemuda itu tertawa dalam hati, kedua orang tuanya berbohong, dia tidak genius.

Untunglah dokter pribadi majikannya belum berjalan jauh dari kamar. Jimin dapat bernapas lega, bersyukur majikannya masih diberi umur yang panjang. Sang dokter melakukan pertolongan pertama dengan menamcapkan –yang Jimin kira sebuah suntikan pada dada kiri taehyung. Jimin masih merinding saat mengingat adegan tersebut, sempat berpikir dokter muda itu ingin membunuh majikannya alih-alih menyelamatkannya.

Mrs. Kim menangis. Jimin melihat Mrs. Kim yang anggun itu menangis memanggil nama anaknnya. Semua tergambar jelas di mata pemuda itu, dia melihat raut wanita anggun itu meraung takut akan kehilangan anaknya, tanpa memperdulikan image yang dia bangun didepan dirinya.

Semua berjalan cepat, hingga Jimin baru menyadari ketidak adaan tubuh berbaring di hadapannya. Ambulan telah pergi membawa tubuh Taehyung.

Seorang pria separuh baya menghampiri dan menepuk punggung kaku pemuda bersurai emas itu. Dia tersenyum tipis sebelum mengeluarkan kalimat 'pulanglah' dari mulut besarnya. Jimin langsung melangkahkan kakinya keluar dari rumah besar itu, dirinya masih shock sekadar untuk berpikir ulang dan menolak permintaan pria separuh baya tersebut. Sesampainya di apartemen Jimin mulai merutuki nasib sialnya, mengingat kejadian yang baru terjadi membuat dirinya yakin kalau dia, mari lebih dipertegaskan, sudah kehilangan pekerjaan barunya.

Tangan kanannya sudah menggantung diudara, masih ragu untuk menekan bel rumah majik- ralat, mantan majikan maksudnya.

Seperti tujuan dan rencana yang dipikirkan sebelumnya, Jimin tidak akan mengemis meminta kesempatan kedua. Dia hanya masuk, mengetahui keadaan Taehyung, lalu pulang.

"Mr. Park?" Jimin mengerjabkan matanya, mengembalikan kesadarannya saat melihat tubuh menjulang Mrs. Kim berdiri dihadapannya. Pemuda itu tidak tahu apa, mengapa, sejak kapan wanita itu sudah menatapnya dengan tatapan intimidasi khas miliknya. Nyali Jimin menciut, dia harus cepat-cepat memberikan bunga, menanyakan kabar Taehyung, lalu pulang. Persis dengan rencana awal.

Mulut wanita itu bergerak, "Mr. Park, saya mencarimu." Jimin mendengar suara dari mulutnya, mungkin itu suara imajinernya.

Jimin mengulurkan buket bunga ke arah Mrs. Kim, "Aku minta maaf." Matanya menutup, bagus, sekarang tinggal menanyakan keadaan Taehyung dan pu-

"Apa yang kau katakan?" Mrs. Kim menaikan kedua alisnya, "Ayo bekerja, kau harus mengurusi anakku." Ia mengambil buket bunga dari tangan Jimin lalu meninggalkan pemuda yang mematung didepan pintu itu.

Jimin mengerjabkan matanya kembali, apa dia tidak salah dengar?

Pemuda itu masuk, menutup pintu, dan mengejar Mrs. Kim yang sudah jauh didepan. Hey, dia harus memastikan pendengarannya.

Mrs. Kim melangkah cepat dikoridor, melewati pintu-pintu besar tanpa menoleh, sepatu hak tingginya berbunyi di lantai marmer. Sepertinya dia berharap Jimin menyamai langkahnya.

Berusaha menyamakan langkah kaki seperti hararapannya, Jimin mulai memberanikan diri untuk bertanya. "Nyonya tidak memecatku?"

"Untuk apa?" Mrs. Kim melontarkan pertanyaan Jimin dengan pertanyaan yang membuat dirinya tidak dapat membendungi senyuman lebar dibibirnya.

Tidak usah dibahas, pikirnya.

"Tidak apa-apa. Hm, bagaimana dengan tuan Kim?"

"Dia sedang istirahat." Jimin semakin melebarkan senyumannya, syukurlah, berati dia tidak perlu menghadiri acara pemakaman majikannya.

"Syukurlah Mrs. Kim."

Mereka berdua memasuki ruang keluarga, dan duduk dengan posisi sama saat Jimin melakukan wawancara diruangan ini.

"Saya ingin memberitahumu beberapa hal." Mrs. Kim menekuk kedua tangannya didada. "Lebih baik kau mencatatnya."

Jimin mengiyakan perintah Mrs. Kim. Tangannya mengambil buku catatan dan pulpen dari tas punggungnya. Tangan kanannya bergerak siap untuk mencatat.

"Pertama, berikan Taehyung pil pereda rasa sakit setelah makan siang, satu kali sehari." Jimin mulain mencatat, "Pil tidur diberikan jika dia tidak tidur melebihi jam 11 malam. Jauhkan pil penambah energi dan pil tidur dari Taehyung, dia bisa melakukan hal berbahaya dengan pil tersebut. Untuk obat lain sudah saya serahkan kepada dokter Kim."

"Kedua, jangan buat anak saya merasa senang atau sedih secara berlebihan. Kau sudah melihat akibatnya bukan." Jimin berhenti mencatat, "Jika dia seperti itu lagi, panggil dokter Kim dengan memencet tombol merah dikamarnya, atau tidak kau bisa menyuntikan suntikan adrenalin ke jantung anakku. Saya harap kau tidak salah menyuntikan" Dia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk kepalanya pelan.

"Hanya itu untuk sekarang. Ada pertanyaan?" Tanya Mrs. Kim, matanya menyapu badan Jimin. Tidak ada perubahan ekspresi, tapi Jimin yakin, majikannya sedang memuji penampilannya dalam hati. Kemeja putih dengan celana jeans, memang tak pernah mengecewakan.

"Tidak."

Senyum sangat samat melintas di wajahnya, "Bagus."

.

.

Jimin membuka pintu didepannya pelan, berusaha melihat dalam ruangan dari celah sempit itu. Seperti kemarin –sama persis- pemuda yang kemarin hampir merenggang nyawa itu, sedang bercanda gurau dengan dokter pribadi disampingnya.

Jimin menghela nafas untuk kesekian kalinya, pemuda itu terlihat baik-baik saja.

"Apa kau tahu asal-usul orang buta?" Dokter Kim membalas pertanyaan Taehyung dengan deheman, "Katanya sih, kalau kita mengintip sesuatu secara sembarangan bisa membuat kita buta loh."

Jimin menyudahi aksinya, dia sadar bahwa pemuda itu pasti sedang membicarakan dirinya. Dia membuka pintu kamar lebar-lebar dan melangkah masuk, mulutnya mengeluarkan suara. "Jangan mengumbar hoax Taehyung-ssi."

"Akhirnya si buta hijau masuk." Celetuk Taehyung tidak menggubris ketidaksukaan yang terlihat jelas pada perawat barunya. Jimin merotasikan bola matanya, "Bajuku berwarna biru, bukan hijau." Pemuda itu menginterupsi.

Taehyung menggerakan kepalanya seiring kedua matanya mengintai tubuh mungil perawatnya keatas dan kebawah. Mencari-cari kesalahan pada diri Jimin yang hanya membuatkan hasil tanda demi tanda kesempurnaan pada diriny –Fuck, apa yang Taehyung pikirkan?

Dagunya terangkat, "Kaos kakimu hijau, celanamu kuning, sepatumu merah –hey kau ini perawatku atau badut?" Beragam reaksi tercipta dari sebuah rangkaian kalimat konyol yang dilontarkan olehTaehyung. Mulai dari Jimin yang merengut kesal, Dokter Kim yang tertawa keras, sampai dirinya sendiri yang tersenyum penuh kemenangan. Pemilik senyum kotak itu menganggap ucapan bodohnya itu tidak selamanya bodoh. Dengan kata lain, itu cukup mengasyikan.

"Bodoh," Tapi tentu saja, bagi Jimin kalimat itu tetap, "Bodoh. Aku tidak memakai warna itu tuan!" Tubuhnya sudah berancang-ancang menerkam majikannya dengan ganas. Pertama-tama dia akan memukul Taehyung sampai wajah menyebalkan itu hancur, lalu menusuk liar perutnya berulang-ulang –mungkin jantungnya juga. Dengan penutup, memotong seluruh bagian tubuh miliknya membentuk irisan sashimi yang menggiurkan untuk dimakan.

haHAHAHA.

Mungkin Jimin harus mengurangi tontonan serial pembunuhan yang ditayangkan setiap malam jumat. Adegan dalam serial itu hampir saja mengambil bawah sadar tubuhnya untuk melakukan hal keji –seperti yang ditayangkan didalam serial tersebut. Untung pemuda bersurai emas itu masih berpikiran jernih dalam berurusan uang dan Hoseok.

Uang. Jimin membutuhkannya. Semua orang pasti membutuhkannya, sampai mereka rela untuk menjadi budak dibawah kungkungan orang lain demi segenggam nominal, ugh, Jimin sedang merasakan hal itu sekarang, dia dipermainkan.

Kemudian Hoseok. Hoseok, lelaki petakilan bermuka longjong bergigi tonggos bersuara mesin kereta api (itu yang dibayangkan Jimin), menertawakan nya dengan keras sembari mengulang-ulang berita yang disampaikan Jimin sepulangnya kemarin. Dipecat karena hampir membunuh, Hoseok mengulang kalimat itu lagi dengan bangga. Dari awal dugaan Jimin memang benar, Hoseok memang benar menyebalkan. Dan seharusnya dari awal dia tidak pernah berpikiran akan membantu Hoseok mencari pekerjaan untuknya, disaat dirinya sendiri akan –hampir- kehilangan pekerjaan pada akhirnya.

Jimin tersenyum satu garis, majikannya tidak menaruh perhatian pada dirinya (read: dikacangi), dan perlahan mulutnya terasa kaku karena senyuman yang dipaksakan.

"Kau membutuhkan bantuan, Tuan?" Dokter Kim mengernyit melihat senyuman dan suara menyeramkan milik Jimin. Terasa malu melakukan hal ini di depan dokter yang cukup err-tampan sih iya. Tapi merasa ingin menginjak pemuda bersurai coklat yang dengan tanpa dosanya malah tertawa menonton televisi seperti dia tidak melakukan hal buruk sebelumnya sih juga iya.

Taehyung tidak mengalihkan pandangannya dari serial komedi didepannya.

"Iya."

"Apa tuan?"

"Kau. Keluar. Sekarang." Mendengar itu, Jimin sudah berhasil melepaskan sendal kanan miliknya sebelum Dokter Kim menggelengkan kepalanya berkali-kali, memohon agar pasiennya selamat dari lemparan maut yang akan dilayangkan Jimin tepat kepadanya.

Jimin merasa pekerjaan yang sesungguhnya dia laksanakan hanya seputar dia datang kerumah ini, menerima cemohan dari Taehyung, dan keluar dari rumah ini dengan beragam aksi yang sengaja, atau tanpa sengaja Taehyung lakukan. Pekerjaannya hanya sedikit, dia menyukainya, tetapi tidak dengan urutan yang kedua.

Dokter Kim menghampiri Jimin, menepuk pundak sempit milik pemuda itu pelan untuk menyuruhnya mengikuti Dokter Kim sekarang. Jimin yang sempat ingin ikut menerkam Dokter Kim yang mengganggu emosinya, perlahan mengangguk mengiyakan perintah. Untung tampan, pikirnya.

"Baiklah aku keluar." Jimin hanya menepuk tangannya singkat saat sudah menyadari hal aneh yang sedang dilakukannya, anggap saja tidak ada yang lihat. "eh-semoga cepat sembuh tuan Kim. Adios!"

Mereka bergegas keluar dengan pertunjukan membanting pintu –tidak terlalu keras yang dilakukan Jimin.

Taehyung mendesis.

"Aku tidak akan pernah sembuh."

.

.

"Namaku Kim Namjoon." Dokter itu mengulurkan tangan kanannya.

Jimin membuka mulutnya –samar merasa kaget, menatap uluran tangan dokter yang berjalan berdampingan dengannya ragu. "Eh- aku Park Jimin, salam kenal Dokter Kim, hehehe." Pada akhirnya dia membalas menjabat tangan dokter tampan itu dengan merutuki kekehan sialannya.

Namjoon ikut terkekeh kecil, merasa gemas dengan tingkah gugup pemuda disampingnya."Panggil saja aku Hyung," Jimin membuka mulutnya kembali saat mendengar permintaan Namjoon. " Umurku baru memasuki 26 tahun. Apa aku terlihat sangat tua?"

Jimin langsung menggeleng dengan kuat saat mendengarnya, Namjoon kembali terkekeh.

"Jangan bohong Jimin. Aku melihat raut terkejut mu saat aku memberitahu umur asliku." Jimin mengiyakan dalam hati, benar dugaan Namjoon, dia terkejut. Dan terima kasih untuk ekspresi wajahnya yang blak-blakan menunjukan hal tersebut.

"Ah iya, aku terkejut karena hyung cukup sangat muda untuk dokter ahli seperti hyung. Awalnya kupikir hyung seorang dokter kepala empat yang awet muda."

Sekarang giliran Namjoon yang merasa gugup. Mendapat pujian tulus tentang profesi dari seseorang merupakan hal yang dia sukai untuk didengar.

Senyumnya terulas, "Terima kasih Jimin."

Sang pemilik nama ikut tersenyum merespon ucapan terima kasih Namjoon.

"Ah Jimin," Namjoon kembali mengeluarkan suara yang mengalihkan atensi Jimin kepadanya. Pemuda itu menoleh kembali dan mengernyitkan dahinya, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Namjoon selanjutnya.

Namjoon melanjutkan, "Abaikan ucapan buruk Taehyung untukmu." Ah, Jimin tidak menyukai topik pembicaraan ini.

"Sudah dipastikan Hyung." Responku membuat dokter muda itu tertawa kecil. Selain banyak bicara, dokter ini juga mudah sekali tertawa.

"Kau belum banyak pengalaman dengan orang semacam Taehyung, kata Mrs. Kim?"

"Belum."

"Oke, aku akan menjelaskan secara sederhana saja. Kau pasti diberi map oleh Mrs. Kim kan? Map itu berisi hal-hal yang perlu kau ketahui tentang rutinitas Taehyung, dan semua nomor daruratnya. Kusarankan kau membacanya, kalau sedang ada waktu luang. Dan kurasa kau tidak akan punya waktu luang hahaha." Jimin tersenyum kaku mendengar candaan garing milik Namjoon.

Namjoon mengambil senuah kunci dari jas putihnya dan membuka lemari terkunci yang penuh berisi kotak dan botol-botol obat berukuran kecil dari plastik dan kaca. "urusan ini sebagian besar tanggung jawabku, tapi kau juga perlu tahu dimana tempatnya, untuk berjaga-jaga kalau keadaan darurat. Mrs. Kim sudah menyuruhmu bukan?"

Sementara Jimin menganggukan kepalanya, Namjoon merogoh sakunya kembali dan menyerahkan kunci lain kepadanya. "Ini kunci cadangannya," katanya. "jangan diberikan pada siapapun termasuk Taehyung, oke? Kau pasti tidak mau melihatnya seperti kemarin."

"Baiklah." Sebenarnya untuk sekarang aku rela melihat Taehyung seperti kemarin, Jimin menggelengkan kepala samar, itu pikiran bodoh sekaligus keren. "Hyung mengatur semuanya. Lalu untuk apa aku disini?"

Namjoon memandangi lantai dulu sebelum menatapnya.

"Untuk mencoba membuatnya gembira? Dia agak kesepian. Bisa dipahami, mengingat kondisinya. Tapi kau mesti cukup tahan banting, dan aku yakin kau cukup tahan banting."

Oke, Jimin merasa Namjoon harus menghentikan candaan garing miliknya sekarang.

Namjoon menepuk pundak Jimin, "Sebenarnya dia baik kok," dia ragu sejenak. " Sebagai dokter, aku menyukainya."

Dia mengatakannya seolah-olah hanya dia yang merasa demikian.

Namjoon mengenakan jaketnya ketika kami mulai mendekati pintu utama. "Ada yang mau di tanyakan?"

"Tidak Hyung."

Dokter muda itu mengangguk, "Selamat bersenang-senang Jimin." Dia mengedipkan mata, lalu pergi.

Jimin kembali ke kamar majikannya. Taehyung tidak merubah posisinya; tetap mengabaikan Jimin, menatap lurus ke depan, sambil sesekali tertawa melihat TV.

Pemuda itu berdiri disamping Taehyung, kedua tangannya dimasukan ke saku, tidak tahu mesti berbuat apa. Majikannya tertawa keras lagi, seolah-olah dia tidak menyadari kehadiran Jimin, atau memang iya.

"Kau sedang menonton apa?" Akhirnya Jimin bersuara, setelah kecanggungan itu jadi tak tertahankan.

"TV." Taehyung tetap tidak menoleh, sekadar memberi sopan santun.

Jimin mengumpat dalam hati, "Ah... lebih tepatnya kau menonton film?"

"Ya."

"Kau menonton film apa Tae?"

"Liat sendiri."

"Wahh, pasti film nya sangat lucu dan menghibur."

"Iyalah."

Jimin membisikan umpatan, bedebah sialan. Sampai kapan dirinya harus tahan banting, ya tuhan.

Taehyung menoleh dan menatap perawatnya, "Kau mengumpat?"

Pemuda bersurai emas itu menggelengkan kepala dan kedua tangannya. "Ah tidak-tidak." Iya asshole.

"Aku akan..." Jimin melayangkan pandangannya ke Taehyung yang kembali menonton TV. "Keluar mencari udara segar, itu kalau kau mengizinkannya."

Taehyung mengangguk, "Bukannya tadi sudah aku usir ya?"

Jimin ikut mengangguk mengerti dan langsung membalikan tubuhnya sebelum jiwa-jiwa psikopatnya keluar untuk menyiksa majikannya hidup-hidup.

Pemuda itu keluar dari ruangan itu, mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Hoseok. Sepertinya meminum Soju adalah cara yang baik untuk menetralkan pikirannya.

To: Hoseok
-Hyung, kau mau menemaniku nanti malam?

Dalam beberapa detik, jawabannya sudah sampai.

From: Hoseok
-Kedai soju? Oke.
-Hei Jim kau sedang stress?
-Hyung harap kau tidak bunuh diri sebelum kau memberiku pajak mau mati.
-oke oke ;)

To: Hoseok
-Sialan.

.

.

.

tbc

maafff updatenya lama bngt, aku liburan gaboleh buka laptop:'( udah begitu as always file ini hampir hilang. makasih ya dukungannya! Luv!

ps. buat kak agloo, makasih kritik dan sarannya!:)