Of Course, HEADMASTER!

(c)

Arischa

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

[…]

Semi-AU, Headmaster!Akashi, pyschical content

[Masih ada satu dua lubang, selamat menikmati perjalanan anda!]


Sebenarnya, kau yang mana? Kau yang itu? Atau yang ini?

Sebenarnya, kau siapa? Kau dia? Atau dia?

Sebenarnya, kau di mana? Kau di situ? Atau di sini?

Sebenarnya, kau itu, ada atau tidak?

Sebenarnya, kau itu, apa?

Apa?

Apa.

A ... pa?

APA?!

"…. hah … hah ... Uuhft. Uhk, uhuk." Bahkan ketika menikmati secangkir teh panas, mimpi buruk selalu membayangi Akashi. Benar, alasannya tersedak bukan karena tehnya terlalu panas. Bukan pula karena Akashi terkejut. Bukan, tidak seklise itu. Satu-satunya hal yang dapat membuat kebenaran seorang Akashi Seijuuro goyah adalah, mimpi buruk.

Ini lucu. Ayolah, Akashi sudah lelah. Apapun yang Akashi lakukan selalu terbayang kegelapan.

Ini gila, kewarasannya serasa terenggut. Ayolah, ayolah. Biarkan Akashi bernapas. Ayolah, biarkan Akashi berkedip. Ya … ayolah, biarkan Akashi bersuara, sedetik, seinterval, semanapun, setidaknya, ayolah. Beri Akashi kesempatan untuk mengembalikan kewarasannya.

Kenapa kehilangan sesuatu begitu membuatnya frustasi?

Kenapa kehilangan seseorang begitu membuatnya depresi?

Kenapa kehilangan harapan begitu membuatnya hancur?

Kenapa kehilangan tujuan begitu membuatya mati?

Kenapa ia menjadi segila ini?

Kenapa?

Kenapa.

Ke … napa?

KENAPA?!

PRANG!

"…" Lihat? Bahkan ketika berpikir, mimpi buruk hadir. Memang benar, Akashi tak punya kesempatan hidup, huh?

"Rendahan. Ketahuilah posisimu, jangan buat aku mengulanginya."

"…"

Akashi merasa menjadi orang paling tak waras sedunia. Siapa yang ia rendahkan? Cangkir teh yang pecah berkeping-keping? Yang pecahannya sudah terurai di atas lantai? Dengan cairan coklat kehitaman yang menggenang?

Lucu.

Bahkan teh dan cangkir pecah pun dapat membuat Akashi mati rasa mati gaya. Mati perasaan. Mati kehidupan. Mati khayalan. Mati. Dan Akashi mati, serasa mati.

Tap. Tap. Tap.

"Bersihkan."

"Baik, Tuan Muda."

Kau kira Akashi Seijuuro ini sudah tua, hingga butuh konfirmasi kata muda di akhir kata tuan?

Lupakan. Pergolakan batin Akashi memang tak waras lagi tak wajar.

Srak srak.

Manik heteronya memutar malas. Menatap lekat maid yang mengepel lantai penuh khidmad. Bahkan, seorang pembantu rendahan dapat menikmati hidupnya dengan mengepel lantai basah, huh? Sedangkan Akashi merasa tertikam ribuan bahkan milyaran kali semasa hidupnya, ia tak menikmatinya. Walaupun duduk angkuh di balik meja kerja. Dengan setumpuk dokumen kertas saham. Dengan belasan pelayan siap berjajar.

Tapi kenapa?

Akashi tak bisa menikmatinya, sebagaimana maidnya menikmati waktu mengepel lantai basah?

Apa pembanding Akashi kurang berkelas? Itukah masalahnya?

Baiklah, ini bukan karena perintah. Karena Akashi tak, dan tidak sudi menerima perintah, seberkelas apapun perintahnya. Tapi Akashi akan coba dengan pembanding lain.

Ckris.

Syut.

Prang!

Nice shoot, Akashi. Sebuah gunting merah melayang, meluncur dengan kecepatan cahaya di atas udara istana megah Akashi. Menancap sempurna di kaca jendela, menembusnya dan meluncur mulus menuju gravitasi bumi. Pecah sudah aset lembaran yen miliknya.

Mari bandingkan. Seorang Butler hadir dengan lari sigap. Berdiri menghadap dengan tegap.

"Bereskan. Dan ganti." Tiga kata, satu perintah. Sang butler melesat bagai kilat.

Srak. Pip..pip.

Mungkin butlernya menelepon tukang reparasi? Label nama Akashi sudah melekat pada diri butler dan maidnya, bahkan. Tak sampai sepuluh menit—terlalu cepat. Akashi ingat sebuah dribble super cepat milik seseorang yang ia kenal—beberapa orang datang, dengan sebuah jendela baru. Sang butler mengawasi, membantu dan memerintah. Dan Akashi menonton dengan wajah datar.

Bahkan, butler yang memerintah tukang reparasi dapat menikmati waktunya yang hanya berdiri sembari menunjuk-nunjuk abstrak, dan berbicara—memerintah itu memang hal yang patut dinikmati, dalam kamus Akashi. Tapi ini butler, harusnya rendah, apa-apaan itu.

Bahkan, tukang reparasi yang diperintah sembari bekerja dapat menikmati waktunya yang sedang diperintah sembari bekerja—rasanya memang harus begitu. Mereka dibayar, 'kan? Lalu apa bedanya dengan maid dan butler tadi?

(Peduli mati penggambaran Akashi sangat tak efektif dari segi bahasa. Mau mati? Akashi itu mutlak hidup dan mati.)

Tapi kenapa, Akashi tak dapat menikmati waktunya yang duduk santai laksana kaisar di singgasana, menatap orang yang diperintah dan berdiri lelah memerintah?—bukankah jelas? Itu karena Akashi sedang ingin tertawa. Orang yang tak punya bakat memerintah sungguh menggelikan. Biarkan Akashi tunjukkan, bagaimana caranya memerintah.

"Kau, selesaikan dengan cepat, dan segera pergi dari sini. Biaya biar dia yang urus. Hitungan ketiga angkat kaki dari sini. Kau, hitung!" Nah, selesai sudah.

Lihat, kaca jendela Akashi sudah seperti semula. Akashi cinta hiperbola, karena bagaimanapun wujudnya, Akashi Seijuurou itu sempurna.

Sebenarnya, apa yang Akashi lakukan sedari tadi? Mencoba menghibur diri? Dengan lelucon sekelas ikan teri? Kau bercanda, bung! Akashi tak akan tertawa dengan uang receh seperti itu. Sekalipun, ia sendiri yang menciptakan lelucon payah tadi.

Menyedihkan.

Hidup Akashi berantakan. Salah apa dia? Apa kelahirannya di dunia ini adalah sebuah kesalahan? Sekian lama meracau, nyatanya Akashi merasa semakin kacau.

"Tuan muda, apa anda … baik-baik saja?" Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Bunuh aku. Ini menyiksa.

"…" Mentap intens sang pemanggil, membuang acuh pandangan.

"Ya. Siapkan mobilku."

"Baik."

Begini saja sudah lebih baik. Akashi harus berpikir jernih. Usahakan semuanya tampak putih. Jangan hitam kelabu, abu-abu monokrom. Atau Akashi, akan jatuh dalam keterpurukan—

Lebih dalam.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

La-

Drrt. Drrt.

Pip!

"Moshi moshi."

"Yo! Akashi. Ayo bicara di-"

Tut ... tut ...

"…"

You have a new message.

ʳAKASHI SIALAN! BERANI KAU MEMUTUS SAMBUNGAN TELEPON DARIKU?! HOOH! TUNGGU SAJA, KAU. SENPAIMU INI ADALAH ORANG YANG BAIK HATI DALAM HUKUMAN. Ekhem. Omong-omong, aku hanya akan bermurah hati menunggu di sini selama sepuluh menit.ʴ

"…" Akashi, dan segala kekuatan emperor eyenya. Meramal masa depan mengenai sebuah pohon tua yang tumbang, menindih seorang lelaki usia dua puluh tujuh tahun, hingga mati.

.

.

.

Mobil terpakir di pinggir jalan dekat sebuah pemakaman. Hawa mencekam tak ingin Akashi rasakan, memori kelam adalah di mana dia harus mengingat sebuah hal mengerikan—dengan ialah sang pelaku kejahatan.

Memori kelam adalah di mana dia harus menganggung beban dari matinya impian—dengan dirinyalah sang korban sakit jiwa.

Akashi hanya terlalu berharap, hingga akhirnya tak siap secara sigap mendapat kejutan, yang pahit terasa sepat.

Afeksinya, hilang sejak umurnya masih belia—anak-anak usia muda.

Drap. Drap.

"Sayangnya, tak ada pohon tua yang tumbang di sini, Tuan Akashi Seijuuro." Sebuah suara menggaung. Bersandar pada sebuah pohon tua, yang memayungi sebuah pusara. Manik hetero Akashi fokus pada sebuah nama, yang dirangkai huruf terukir pada nisan. Menatap sendu pada warna kusam penuh monokrom.

"Pohon rendahan. Perintahku adalah mutlak, ketika kuperintahkan untuk tumbang dan menindih Nijimura Shuuzou, harusnya dilakukan!" Gunting merah menancap pada batang kayu sang pohon. Lelaki yang bersandar di bawahnya melompat cepat.

"Kau gila, Akashi! Itu benda mati, bodoh! DAN MANA KATA SENPAINYA?!" Dia—Nijimura Shuuzou. Lelaki yang disumpah serapahi Akashi agar mati ditindih pohon tua tumbang. Nyatanya masih memiliki eksistensi, berkoar murka menunjuk-nunjuk dirinya yang maha benar.

Cih.

"Gila? Heh. Apa kabar, dia?" Akashi terkekeh kecil. Menyeringai tipis memandang nisan polos.

"Dia? Aku bukan orang kelainan yang dapat menjamu orang mati dalam pesta minum teh." Nijimura menguap bosan. Melirik miris pada Akashi yang tersenyum manis, mengelus lembut nisan di depannya.

"Jaga bicaramu, Shuuzou-"

"SENPAINYA, BODOH! AKU BENAR-BENAR KESAL, ARGH!"

"Kupikir kita sudah lulus sekolah."

"Sopan sedikit, sialan."

"Jaga bicaramu, Nijimura-senpai. Orang dengan kemampuan istimewa bukanlah menderita kelainan. Secara tak langsung, aku tidak mengidap kelainan apapun, untuk informasimu. Dan lagi, dia belum mati. Terimakasih atas waktumu."

Nijimura mendengus geli, memang benar secara tak langsung ia menyindir Akashi dengan bakat mata dewa—yang dengan sesuka hatinya melihat masa depan tanpa cacat prediksi. Tapi tak menyangka jika Akashi ternyata sepeka ini.

"Mau sampai kapan kau seperti orang mati? Kau sudah tidak waras, jangan-jangan." Argumen asal penuh percaya diri Nijimura layangkan pada insan yang masih mengikis rindu dengan nisan dan pusara. Berlandas kesal.

"Mau sampai kapan kau seperti orang mati? Bangun, kau membuatku tampak tak waras." Bukan. Bukan Nijimura yang Akashi ajak bicara. Melainkan sosok abstrak tak jelas keberadaannya, bagai afeksi tak nyata dalam ilusi. Matanya panas, merasa ada lelehan lilin yang siap menganak sungai di pipinya.

"Akashi, dia sudah mati."

"Diam, atau mati, Nijimura-senpai."

"Sampai kapan kau begini? Masa depanmu masih bisa kau capai, Akashi. Dia tak akan senang kau begini." Kadang Nijimura merasa iba, kala adik kelasnya, sekaligus mantan teman setimnya di Teiko dulu, seperti boneka hidup yang tak punya tujuan jelas. Ia tahu persis, penyebabnya tak lain adalah sosok yang berharga bagi Akashi.

Afeksi yang dulu Akashi miliki, yang kini sudah pergi.

Akashi sudah kehilangan harapan, tujuan, impian, dan hidupnya.

"Masa depan? Masa depanku terkubur di bawah tanah. Sudah membusuk bersama organisme lain. Dan mungkin sudah tak berbentuk. Aku ini absolut, tapi takdir tak kunjung tunduk padaku. Gunting tak bisa menancap pada takdir, harusnya kau tahu, senpai."

"Kapan terakhir kali kau periksa? Apa kata dokter?" Harusnya Nijimura tahu, Akashi dalam batas waras tak waras. Suatu saat, dirinya yang lain muncul. Terkadang, dirinya yang sesungguhnya adalah penguasa diri. Namun bisa, keduanya muncul secara bersamaan, seperti saat ini.

Seorang Akashi yang masih memiliki jati diri dan kasih sayang, bercampur dengan pikiran menang bak kaisar di medan perang. Ketika dua Akashi muncul secara bersamaan, di sana adalah ambang batasnya.

Sebenarnya, apa Akashi baik-baik saja?

"Saat dia sudah tidur di bawah tanah. Katanya, aku ini gila?" Nijimura yakin dokter tak berkata demikian. Satu kali lagi, Nijimura akan mencoba membangunkan Akashi. Meraih separuh jati diri yang terkubur rasa mati. Mengajak Akashi muncul ke permukaan, sekali lagi. Demi bertemu kembali dengan sang afeksi.

"Akashi, dengar." Nijimura mendekat. Mencoba meraih bahu Akashi yang bersiap bergetar, menahan isak tangis terpendam.

"…. jangan memerintahku, Shuuzou."

"SENPAINYA BODOH, SENPAINYA! Lupakan. Lihat ke bawah, ke pusara itu. Siapa di sana?" Mengikuti intruksi, Akashi mengalihkan direksi. Menatap entitas berupa pusara sebuah makam. Walau cermin terefleksi di irisnya, senyum miris tak lupa dipolesnya.

"Adik kecilku yang manis." Maju selangkah, kini Nijimura berada tepat di sebelah Akashi, ia adalah eksistensi yang menjaga kewarasan Akashi masih terkunci. Ikut memutar direksi, terpaku pada pusara di bawah sana sebagai pusat atensi.

"Benar. Lihat nisannya, apa yang terukir di sana?"

"Namanya."

"Siapa namanya?"

"Tetsuna."

"Dia siapa? Kenapa ada di bawah sana? Bisa kau mengingatnya?"

"Dia adikku. Perempuan paling berharga setelah ibuku. Dia meninggal. Karena aku yang membunuhnya. Aku ingat dengan jelas." Menunduk, menatap kosong tanah rerumputan.

Srak.

"BODOH, SADARLAH! BERAPA KALI HARUS KUBILANG KAU TIDAK MEMBUNUHNYA, HAH?!" Akashi sedikit terangkat, kerah bajunya ditarik kasar oleh Nijimura, menatap datar penuh kekosongan pada iris yang mengkilat emosi.

"Di … ingat. Itu kecelakaan, kau ingat? Kau bukan pembunuhnya. Bukan. Kau ingat? Bahumu, lihat. Bahumu yang keduanya tak bisa terangkat ke atas. Bahu kirimu, karena kecelakaan itu. Kau ingat sekarang?"

Diam. Membisu. Tergugu kaku bagai terpaku membeku. Tersapu debu abu-abu kelabu, menatap letih pada monokrom yang membelegu batin lelah. Memori terputar, bagai reka ulang opera picisan. Murahan, apa-apaan, Akashi yang dijunjung tinggi kebenarannya harus menonton kartun menggelikan? Memori terekam, terputar digeser sentuhan pelan. Memori kelam, ketika Akashi terpuruk dan bahagia. Ketika Akashi kehilangan dan menjadi gila dalam batasan hidup.

Ketika Akashi yang mendapati dunianya hancur.

"Kau tidak membunuhnya."


TBC


A/N

Haiii! Arischa kembali! Waa sudah lama, ya :"

Saya bawa cerita MC hqq/hush.

Chapter 2 masih dalam tahap pengerjaan, hmm mungkin updatenya tidak dalam jangka waktu dekat. Saya punya project di Wp! Hehe - modus.

Sekian terima cinta,

Arischa.