CANON - EWE. See end of this chapter for Archive Warnings and one super-duper-long Author's Note.
This one is hella SLOW-BUILD fanfics, jadi dibawa santai aja ya shay bacanya. Still a long way to go to the dramas, juseyo :'D

For Aika Namikaze and LastMelodya, two blessed soul who reminded me of how I missed my good old beloved OTP.

ENJOY! ;)


Against All Odds


Disclaimer :

Character © Masashi Kishimoto, 1999

Story © karinuuzumaki, 2017

Influenced by Aika Namikaze's Idea on 2011

Pairing : NaruSaku


PROLOGUE

"Aku tak percaya kita harus melakukan semua ini!"

Suara pemuda itu terasa begitu kontras dibandingkan dengan suara deretan pepohonan yang dihembus angin malam. Didengar dari nada bicaranya, Sakura sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka. Sebuah pembicaraan yang telah sekian kali diulang oleh sang pemuda, hingga membuat gadis itu memutar bola matanya. Yap, akan segera dimulai kembali. Serentetan keluhan dramatis dari Naruto Uzumaki akan berlangsung kembali.

"Maksudku, ayolah, kita! Kita yang memenangkan pertarungan. Kita ini yang bertarung mati-matian di lini depan peperangan!"

"Uhh, maksudmu kau?" potong Sakura. "Seingatku hanya kau yang dapat titel pahlawan dunia ninja."

"Kau 'kan juga pahlawan, Sakura-chaaan!" tegas pemuda jabrik kuning itu dengan nada yang meningkat setengah oktaf. Pekikan tersebut terdengar sangat nyaring di telinga Sakura, hingga terpaksa gadis itu mengernyitkan wajahnya sedikit tak suka. Wajar saja kalau ucapan Naruto terasa begitu menggema. Di hari yang kian menggelap, keduanya masih berjalan kaki menyusuri jalanan setapak di area yang tak berpenghuni. Naruto dan Sakura memang baru saja pulang dari suatu misi di desa seberang paling utara. "Kau jagoannya, kau yang menyelamatkan aku dan Sasuke. Dan Kakashi-sensei. Dan semua orang yang terluka! Tanpa kau, apa jadinya kami?"

Seketika raut wajah Sakura berubah geli. Naruto memang seringkali sedikit hiperbolis kalau berbicara menyangkut Sakura. Sembari tersenyum simpul, gadis merah jambu itu memutuskan untuk menggodanya lebih lanjut. "Tanpa aku? Ya tentu akan ada medic-nin lain yang mengobatimu."

"Mana bisa?! Medic-nin lain tidak ada setangguh dirimu, Sakura!" balas Naruto cepat, kemudian menghentikan langkahnya. Tangan Naruto terulur memegang lengan Sakura, membuat gadis itu juga ikut terhenti langkahnya. "Hei, Sakura, perang kemarin tidak mungkin kumenangkan tanpa kalian semua. Apalagi tanpa kau. Jangan pernah berpikir kalau kau bukan pahlawannya. Kita semua yang menangkan pertarungan itu."

Sakura hanya bisa menahan tawanya, kemudian menepuk tangan Naruto ringan. "Baik, baik. Kita semua pahlawannya." Jawab Sakura dengan nada mengalah.

"Ya! Betul! Kita semua ini pahlawannya!" Naruto kembali berpaling ke jalanan, melanjutkan langkahnya. "Makanya aku tidak paham, kenapa Yang Mulia Hokage ke enam sampai hati memberikan misi receh macam ini kepada kita?"

Kali ini Sakura tidak hanya memutar bola matanya, tapi juga menghela napasnya. Ternyata memang benar dugaannya. Untuk kesekian kalinya, Naruto meributkan masalah misi yang diberikan kepadanya. Pemuda jabrik kuning itu memang sudah berulang kali melontarkan kekesalannya terhadap kebijakan dari Hokage ke enam yang―menurut Naruto―patut dipertanyakan. Ini sudah memasuki semester kedua sejak Perang Dunia Ninja ke-4 berakhir, dengan kemenangan aliansi shinobi. Akan tetapi, sampai saat ini Naruto dan Sakura masih kerap kali ditugaskan untuk mengasistensi rekonstruksi desa-desa rekanan yang wilayahnya hancur akibat perang. Sesekali mungkin masih bisa di toleransi, namun makin hari Naruto makin tak paham lagi. Apalagi hampir 70% misi yang ditugaskan kepadanya hanya sebatas asistensi.

"Hush, tidak baik bicara begitu." Ujar Sakura sambil melirik Naruto. "Jadi kau pikir misi kemanusiaan macam ini hanya urusan receh begitu?"

"Eii, bukan maksudku merendahkan misinya, Sakura!" Naruto menggaruk-garuk kepalanya, berusaha menyusun kembali kata-katanya untuk meralat kalimatnya yang terkesan sedikit merendahkan. "Rekonstruksi desa memang penting, tentu, aku sangat menyadari hal itu. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang ini. Tapi bukankah akan lebih efisien jika Kakashi-sensei membentuk sebuah tim-tim anbu yang memang ahli dalam rekonstruksi ketimbang mengirimkan utusan shinobi macam kita?" tukas Naruto dengan raut wajah serius. "Sampai di daerah kerjanya, tim yang memang ahli bisa langsung melakukan pekerjaan nyata, tidak seperti kita yang tugasnya sebenarnya entah apa."

Pemilik mata biru itu kemudian asyik melanjutkan ucapannya dengan berbagai poin untuk mendukung argumennya. Sementara di sampingnya, bola mata zamrud milik Sakura masih lekat mengikuti sosoknya. Entah karena terang bulan purnama, atau memang dirinya yang mudah terbawa suasana, tiba-tiba pemuda itu begitu menarik perhatiannya. Rasanya begitu sulit dipercaya, bocah yang dulu hobi mengoceh sesuka hatinya, kini telah menjelma menjadi pemuda yang kata-katanya begitu memesona. Pemikirannya kerap kali mengagumkan, segala tindakannya pun kini tak lagi sembarangan. Tak jarang Sakura harus mengakui bahwa dirinya terkesan.

"...betul kan, Sakura?" Baru saja Sakura hendak memikirkan lebih banyak tentang dia, bola mata biru balik menatap ia. Mata hijaunya lantas terkerjap, tak tahu harus menjawab apa. "Ide bagus bukan?"

"Ide apa?"

"Ya rencana yang baru saja kuucapkan tadi. Duh, kau dengar tidak sih, Sakura-chan?" Naruto melemparkan protesnya. Namun tanpa menunggu respon dari gadis dihadapannya, dia langsung melanjutkan kalimatnya, lengkap dengan senyum terkembang di wajahnya. "Kubilang, dengan ide yang bagus seperti itu, harusnya aku sekarang ini sudah pantas jadi Hokage! Andai aku tidak mengurusi misi-misi macam ini, aku 'kan bisa berkonsentrasi supaya bisa cepat naik tahta! Betul 'kan, Sakura?"

Sakura yang awalnya sedikit merasa bersalah kepada Naruto, kini justru mengerucutkan bibirnya. Buyar sudah sosok Naruto penuh pesona yang baru saja dibayangkannya. Ternyata tetap saja ada hal-hal yang tak akan berubah meski telah bertahun lamanya.

"Hati-hati kau bicara soal naik tahta, memang yakin kau yang akan jadi Hokage nantinya?"

"Ya tentu saja yakin dong, Sakura-chan! 'Kan kau sendiri yang bilang aku ini pahlawan dunia ninja!"

"Tapi kau yang kemudian mengatakan bahwa kita semua ini pahlawan." Tukas Sakura mematahkan argumen Naruto penuh kelihaian. "Kalau teorimu adalah pahlawan pantas jadi Hokage, berarti aku pun pantas melanjutkan tahta."

"Lho, kau pun pantas kok jadi Hokage, Sakura!" Naruto menjawab tanpa sedikitpun jeda dalam kalimatnya. "Tapi! Tapi! Aku lebih pantas jadi Hokage! Lalu! Kalau kau Sakura, pasti kau akan lebih pantas kalau jadi is―"

Gadis merah jambu yang tadinya masih sibuk memproses sanjungan dari Naruto untuknya, lantas tiba-tiba tersadar bahwa terdapat jeda kentara di antara mereka berdua. Pemuda jabrik kuning itu seakan terenggut pita suaranya. Wajah Sakura yang siap tersipu, kini justru terpaku. Alisnya terangkat separuh, menunggu Naruto yang kini seakan membeku.

"Aku lebih pantas jadi apa?" tanya Sakura penasaran, ketika lebih dari lima detik penuh berlalu dalam bisu.

Naruto yang awalnya menatap Sakura, kini serta merta menarik bola matanya. Mata biru itu sibuk melayangkan pandang pada objek lainnya. Ada yang aneh dari gerak-geriknya. Keceriaannya seperti menguap begitu saja, raut wajahnya tak bisa jelas terbaca. Namun yang tampak nyata, pemuda itu tampak menahan dirinya untuk berkata-kata. Sakura baru saja hendak mengulang pertanyaannya ketika Naruto menggelengkan kepalanya.

"Tidak kok..." jawabnya singkat. Namun nada cerianya segera kembali ketika matanya menangkap sesuatu di hadapannya. "Wah, pantas saja di sini langitnya cantik sekali!"

Sakura mengerutkan dahinya heran, kenapa pemuda ini justru tiba-tiba membicarakan langit malam ini? "Jangan mengganti topik pembicaraan!"

"Aku tidak mengganti pembicaraan! Lihat!" Naruto tiba-tiba menunjuk papan nama besar yang terletak sekitar 100 meter di depan mereka. Sebuah papan bertuliskan kata 'Bukit Hoshizora'. "Kita sampai di Hoshizora!"

Mendengar Hoshizora membuat Sakura terpana seketika. Ini adalah bukit yang sudah lama ingin dikunjunginya. Beberapa hari yang lalu ketika briefing misi, Sakura menyadari bahwa rute pulang mereka akan melewati bukit ini. Akan tetapi, ia tidak memprediksi akan sampai di sini tepat pada malam hari. Hoshizora memang bukit yang terkenal akan keindahan langit malamnya. Kabarnya, bukit ini sangat strategis untuk melihat konstelasi Cassiopeia dan Andromeda.

"Hei..." ucapan Naruto membuyarkan lamunan Sakura. "Konoha masih beberapa jam lagi dari sini, besok pun kita belum ada misi. Bagaimana kalau kita cari tempat bagus sekitar sini dan mendirikan tenda?" Pemuda tersebut lantas kemudian melemparkan sebuah senyuman pada gadis di sampingnya. "Dan lagi, kau pernah bilang ingin mengunjungi Hoshizora bukan?"

Entah bagaimana ceritanya, namun senyum pemuda itu seakan menular kepadanya. Dalam hati, ia tak menyangka bahwa pemuda ini mengingat keinginannya. Gadis itu masih setengah mati mengulum senyum, ketika sadar bahwa pemuda itu sudah berlari kecil, jauh memasuki Hoshizora.

"Sini, Sakura-chan! Bintangnya terang sekali!"

Sambil menggelengkan kepalanya, Sakura mulai melangkah mengikuti pemuda dihadapannya. "Ingat ya, kau masih belum melanjutkan kalimatmu!"

Beberapa meter di depan Sakura, Naruto hanya tertawa kecil sebagai responsnya. Selebihnya, dia tak menjawab apa-apa. Dalam hati, dia berharap bahwa dirinya sudah cukup jauh untuk tidak perlu menjawab pertanyaan dari Sakura.

Lagipula, bagaimana mungkin Naruto dapat menyatakan bahwa Sakura lebih pantas menjadi istri seorang Hokage nantinya?

•••

"Tentu saja kau tidak mendirikan tenda." Ujar Sakura retorikal, ketika ia yang baru saja kembali dari kamar kecil dan disambut oleh dua buah matras tergelar begitu saja. "Kau yang bilang akan mendirikan tenda, dan tentu saja kau hanya menggelar matras."

"Oh, ayolah, Sakura-chan. Kita 'kan hanya istirahat beberapa jam, cuacanya pun cerah!" Naruto yang sudah mapan tiduran di salah satu matras, kini terduduk dan menarik sebatang kayu untuk menyodok api unggun kecil yang terletak tak jauh dari mereka. "Lihat, aku bikinkan api unggun kok! Jadi kita tidak akan kedinginan!"

"Kau sempat membuat api unggun, tapi tak sempat mendirikan tenda?" tanya Sakura sambil melipat tangannya di depan dada.

"Eii, jangan ngambek gitu dong, Sakura." Naruto merajuk sambil menepuk-nepuk matras yang sudah tergelar di sebelahnya. "Matrasnya nyaman, kok! Lagipula..." tangannya kemudian beralih menunjuk langit malam yang menggantung di atas mereka. "...kalau pakai tenda 'kan kita tidak bisa menikmati bintangnya."

Mendengar jawaban dia membuat Sakura tak mampu mempertahankan wajah galaknya. Akhir-akhir ini sangat susah bagi Sakura untuk tetap marah meskipun Naruto kerap bertingkah jahil di hadapannya. Pemuda ini memang selalu ada-ada saja alasannya. Terkadang alasannya begitu sederhana dan menyenangkan hingga gadis itu terpaksa menyerah pada godaan untuk tertawa.

Pemuda itu kemudian kembali merebahkan dirinya. Kepalanya menengadah ke arah langit, namun mata birunya menangkap mata zamrud yang melirik dia. Seketika sebuah cengiran terkembang ke arah gadis merah muda, disusul dengan mata birunya mengerling ke arah matras satunya. Menyadari maksud pemuda di hadapannya, Sakura terpaksa menghembuskan tawa. Gadis itu akhirnya meletakkan tasnya di atas matras, lantas menjadikan tasnya sebagai penyangga kepala.

Ketika ia terbaring seutuhnya, ketika itu pula tubuhnya merasakan segala citraan. Tiba-tiba saja malam terasa nyaman, meskipun mereka hanya berbaring di atas matras tanpa dipan. Malam terasa hangat, meskipun angin tetap bertiup tanpa sekat. Tidak ada tenda melingkupi mereka, tapi kini Sakura sudah tak mempermasalahkannya. Semua menguar begitu saja. Mungkin karena gelapnya malam habis di telan bulan, atau mungkin karena kerlap kerlip bintang mengundang tenang. Sementara dalam diam, gadis merah jambu itu jadi bertanya-tanya. Bagaimana mungkin dalam keadaan begini tenang, jantungnya malah jadi berdebar begini kencang?

"Kau tak menatap bintangnya..." Sebuah gumaman membuat Sakura tersadar, lantas pipinya bersemu merah. Matanya sejak tadi bukan menatap ke awan, tapi tak lepas dari sosok jabrik kuning di sebelahnya. Pemuda yang kini tertawa itu kemudian membalikkan badannya ke arah Sakura. "Hei, kau seharian ini sepertinya sering melamun. Ada apa?"

"Entahlah..." Melihat sosok Naruto yang kini balik menatapnya, entah mengapa membuat Sakura justru gugup karenanya. Jujur dia sendiri tidak tahu apa yang sedang dirasakannya sekarang. Setelah dua kali bibirnya membuka dan menutup tanpa suara, akhirnya dia memutuskan untuk melontarkan satu-satunya kalimat yang terlintas di kepalanya. "Mungkin kau benar, Naruto. Misi-misi ini memang sedikit... kurang menarik. Aku jadi agak bosan."

"Lho, tumben kau setuju dengan pendapatku, Sakura." Ujar Naruto setengah tertawa. Namun kemudian senyumnya mengabur, matanya menerawang jauh dalam bola mata hijau zamrud dihadapannya. "Padahal... aku baru saja berpikiran kalau misi kita ini ternyata ada bagusnya juga."

"Masa iya?" tanya Sakura. "Baru sejam lalu kau menyebut misi ini misi recehan..."

"Yah, paling tidak misi kita yang kali ini sih." Jawab Naruto setengah menggumam. "Entah kenapa, tiba-tiba aku bersyukur saat ini aku berada di sini dan bukan di kamarku. Malam di sini begitu menenangkan." Kata 'bersamamu' seakan hendak disisipkan, namun tak jadi dilakukan.

"Ini... pertama kalinya... sejak perang, aku bisa merasakan malam yang begitu tenang dan nyaman..." sang pemuda jabrik kuning melanjutkan kalimatnya dengan nada kian lirih di setiap kata. "...setelah perang berlalu, aku sering sekali tidak bisa tidur. Terbayang begitu banyak pertarungan dan kematian."

Selepas itu, Naruto seperti menyadari sesuatu. Diturunkannya pandangannya dari Sakura, matanya siap berlari dari sana. "Ah maaf, aku merusak suasana ya? Aku sebaiknya tidak membicara―"

Naruto belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ketika tangan Sakura menggenggam erat telapak tangannya.

"Ceritakan..." jemari Sakura mengusap punggung tangan Naruto perlahan, sementara mata hijaunya menatap lekat sosoknya. "Kumohon, lanjutkan saja ceritamu. Aku... ingin mendengarkannya, Naruto."

Pemuda jabrik kuning itu sejenak mengerjap seakan tak percaya, tapi kemudian ia balas menggengam tangan Sakura. "Baiklah,"

Sedetik dua berikutnya ada jeda kentara yang Naruto habiskan dalam diam. Bagaimanapun, ia butuh menghimpun keberanian untuk menceritakan apa yang ada dalam benaknya. Sembari keheningan masih meraja, Naruto beralih memperhatikan setiap inchi telapak tangan Sakura. Menggegamnya erat, seakan hal itu adalah yang menguatkannya. Sesekali jemari kasapnya menari di jemari lentiknya.

"Terkadang... aku masih tidak bisa mempercayai kalau semuanya telah berakhir." Bisik Naruto perlahan. "Aku lebih dari bersyukur kita memenangkan pertarungan. Tapi, di kepalaku..." pemuda itu membawa telapak tangan mereka berdua yang tunggal mengetuk dahinya ringan. "Di dalam mimpiku, semuanya masih terekam jelas. Perang, Akatsuki. Mugen Tsukuyomi. Jinchuuriki..."

Ia nampak sedikit tercekat sebelum melanjutkan ceritanya.

"Mereka semua yang meregang nyawa dan kita yang menyintasinya..." Kali ini, genggaman tangan mereka turun ke mata Naruto yang kini tersembunyi. "Seringkali... aku tidak bisa menutup mataku tanpa terbayang begitu banyak kemungkinan, bahwa aku harusnya dapat melakukan hal yang lebih lagi."

Masih dengan mata terpejam, Naruto menghirup jemari Sakura.

"Aku harusnya bisa menyelamatkan lebih banyak lagi."

Telapak tangan Sakura yang tadinya berhenti di atas bibirnya, kini beranjak menyelubungi separuh wajahnya. "Hei, Naruto..." ucapnya perlahan, selembut ibu jarinya mengusap pelipis sang pemuda. "Shinobi, pekerjaan ini... memang sudah jadi tanggung jawab kita untuk melindungi orang sebanyak yang kita bisa..." Jemari lentiknya beralih menyentuh ketiga garis di wajahnya. "...terkadang itu tidak berarti semua orang." (1)

Naruto membuka matanya dan mendapati Sakura masih menatap dirinya penuh perhatian. Gadis itu kemudian melemparkan senyum kecil ke arahnya. Hanya seulas senyum kecil, namun mampu menarik seluruh napas dari rongga dadanya seketika.

"Tapi kita tidak boleh menyerah." Lanjutnya. "Karena jika kita menyerah, mungkin di pertarungan selanjutnya tidak ada yang dapat kita selamatkan."

Dalam jeda yang begitu singkat, keduanya saling menatap. Kemudian tangan Sakura turun ke gelang bahunya yang tegap.

"Kau tidak perlu menanggung seluruh beban dunia ini pada pundakmu, Naruto."

Sakura tampak seperti ingin melanjutkan kalimatnya, namun suaranya sudah kadung tercekat oleh tangan yang menyentuh tengkuknya. Dalam genggamannya, Sakura nampak tenggelam dalam bola mata biru yang tertuju kepadanya. Mata yang begitu familiar baginya. Mata yang selalu menatapnya, sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Akan tetapi, baru kali ini dia menyadari bahwa tatapan itu ditujukan ia hanya untuknya.

Dalam malam yang kian pekat, pandangan mereka kian lekat. Entah butuh berapa saat hingga mereka tersadar bahwa jarak mereka sudah begitu rapat. Begitu dekat, hingga membuat logika Naruto kalah cepat. Hatinya sudah duluan membulatkan tekad.

"Jangan pukul aku ya, Sakura." Bisik Naruto, sembari perlahan menarik Sakura dalam sebuah dekapan.

Ketika tubuh keduanya menjadi tunggal dalam pelukan, ketika itu pula Sakura seakan menemukan sesuatu dalam dirinya. Jemari kasap yang membelai surai merah jambunya. Tarikan napas yang terasa hangat di atas kepalanya. Aroma tubuhnya yang tak kuasa dielakkan indra penciumannya. Debar konstan dari dalam dada sang pemuda terdengar tepat di telinganya.

Ada rasa hangat yang meluap-luap dalam dirinya.

Jika lekapannya tidak begini nyaman, mungkin Sakura akan bertanya pada dirinya, perasaan apa yang tengah dirasakannya?

Jika detak jantung Naruto tidak begini menghipnotisnya, mungkin Sakura akan berpikiran, mungkinkah tadinya pemuda ini hendak melakukan lebih dari sekadar pelukan?

Akan tetapi dekapannya begitu sayang untuk dilewatkan dengan pertanyaan. Rangkulannya terlalu sempurna untuk dihabiskan dengan perdebatan. Sakura kalah berseteru dengan tubuh mereka yang telah bersatu padu. Matanya kian berat, kantuknya kian hebat.

Pelukannya begitu hangat.

Mungkin esok hari Sakura akan memikirkan kembali tentang perasaannya. Namun untuk sekarang ia hanya ingin tertidur dalam pelukannya.

.

TBC


Archive Warning

Rating : PG-13
Category : M/F
Relationship : Naruto Uzumaki/Sakura Haruno (Mentions SS and NH)
Characters : Naruto Uzumaki, Sakura Haruno, Sasuke Uchiha, Hinata Hyuuga, Kakashi Hatake, Hiashi Hyuuga, Shikamaru Nara, Ino Yamanaka
Additional Tags : Slow Build, EWE (Ending, What Ending?), Post Ninja World War IV, Mild PTSD - Panic Attack, Mild Drug Abuse, Drinking Issue, Drama, Sarcasm, Naruto Has Issues, Mostly Naruto-centric, Mutual Pinning.

Additional Disclaimer

The works' title taken from the song Against All Odds by Phil Collins.
(1) : This conversation is a reference to Steve Rogers's narration in Captain America: Civil War as stated on the 2nd trailer of this movie.

All rights reserved.

Author's Note:

Greetings, my friends.
After four years wandering, it feels like de javu. It's like a long lost yearning that finally coming true. Somehow, writing NaruSaku fics feels like coming back home. When I thought that after this past years I already lost my writing sense, this story, against all odds, proves me wrong (pun intended, lol). It's never an easy job to write a fic, yes, I do agree. In fact, this one is a result of a-month-full of hard ass planning and creating frameworks before I finally move on to write the actual story. Yet, writing NaruSaku always bring me the unbeatable joys and pleasures.

I know this past two years has been rough for you, the NaruSaku fans. I, myself still grieving to that harsh reality, too. But at the end of the time, even though sad is inevitable, je ne regrette rien. I never regret to be in love with NaruSaku. As far as I remember, they shall and always been the reflections of love and happiness I always sought for. Therefore, I want to keep the spirits alive. I want to keep NaruSaku for me (and for you guys) in our world as a pair that never give up towards each other. I want the whole world never forgets that Naruto Uzumaki and Sakura Haruno are two affectionate person that always taking care of each other. They are together, no matter what.
Mostly because of that, I am coming back to this page. Working some stuff to refresh people memory (and mine too) about how amazing this pair could be. I know it will never be enough to cure your heart, but I wish this works could at least ease your pain.

As for the works itself, there are so many imperfections here. But, hey, I'm doing my best after four years absent, lmao. I am so proud of the frameworks I've finally coming up with. Even though the works is not 100% done yet, I already falling in love with the plot. And though I know this story still required so much energy to get done, so far I still enjoying working on this. I hope you enjoy it as much as I do. And I also hope I finished this story right on schedule (lol, God help my procrastinator alter-ego).
At last, please bear in your mind that I basically writing this solely based on chapter 699 (while ignoring so many chapters downwards AND the cursed chapter 700 upwards / Boruto). There may be some marginal error here and there. If you spot them, please be pleasure to tell me via reviews or DMs. I will consider to fix that as long as it's not substantial to the plot. Also please be patient with the plot, as I repeatedly state, this is a slow-build one. So please stay tuned for more! ;)

ps: I'm not used with adding suffix -chan and -kun after names. It is why in this story not all names will continuously added with the suffix, I only added it whenever I feel like it fits. Sorry if its bothered you.

Review and Concrits are highly appreciated. Flame is welcome, duh, but not the OTP, pls? Because I certainly will delete it if you're only here sought for fanwar. Have a nice day!

v

v

v