.
enjoy~

Ia berdiri di sana, di tengah kegelapan yang membelenggu kedua kakinya, tak dapat bergerak, tak dapat bersuara. Seberapapun inginnya ia menjerit, suaranya seakan tertahan di tenggorokan. Tidak dapat keluar kecuali udara kosong yang menyakitkan. Dan sekuat apapun ia berusaha memindahkan kaki dan tangan, yang dirasakannya hanyalah perih menyayat bagai lapisan besi tipis yang mengenai kulit ari.

Ia menangis, tapi air mata seakan enggan keluar. Ia ketakutan, ketika kegelapan yang gulita menyelimuti dirinya seperti kubah, menutup pandangannya dan membatasi ruang gerak. Napasnya pun terasa sulit seperti ada tangan tangan tak kasat mata meremas paru-paru, menyakitinya dan membunuh ia perlahan.

Sampai sebuah suara familiar mencapai gendang telinga. Melepaskan beban berat pada tenggorokan dan membuatnya tersentak ketika sebuah nama meluncur tanpa halangan dari belah bibirnya.

"Sasuke.." Panggilnya sekali lagi pada sosok yang berdiri dengan tatapan benci ke arahnya.

"Sasuke.." bukan! Bukan itulah yang ingin Naruto ucapkan. Bukan nama pria yang membuatnya merasa bersalah serta frustasi. Tapi permintaan maaf yang tulus dari hati. Tapi seakan bibirnya hanya dapat mengeluarkan nama itu daripada sebuah permintaan maaf, membuat ia kalang kabut ketika sosok yang mengeraskan wajahnya dan memandang benci itu pudar dihempas angin badai.

Naruto menjerit, ia lupa bagaimana tangannya dapat bergerak dengan reflek untuk meraih tubuh yang perlahan sirna.

Menjerit tanpa suara.

Berusaha meraih..

Dan meratap saat bahkan sebutirpun dari eksistensi Sasuke tak tergapai sama sekali dan menghilang meninggalkan ia sendirian di dalam kegelapan.

"Sasuke.."

Air mata terjatuh, mengalir pelan dari pipi dan berakhir sirna di kegelapan. Mencemari wajah pucatnya yang kacau, dan meninggalkan ia dalam kehampaan bersama kalimat yang terus terngiang dipikiran dan menjadi mimpi buruk.

"Aku tidak akan pernah memaafkan pembunuh sepertimu, Kyuubi. Tidak akan pernah."

.

Naruto terjaga dari mimpi buruknya. Mimpi yang telah ia alami semenjak siuman dari pingsan. Ini sudah tiga hari sejak kejadian kecelakaan yang menewaskan istri putra kepala kepolisian Konoha. Dan berita tentang kematian itu masih saja disiarkan melalui media apapun, membuat Naruto terus mengalami rasa bersalah yang bertumpuk. Juga bagaimana reaksi Sasuke terhadap kejadian itu, yang begitu menakutkan dan membuat Naruto lebih terpuruk.

Gadis itu meremas dada bagian kiri, tepat pada luka bekas tempat peluru Sasuke bersarang. Dia tidak tahu apakah harus bersyukur karena selamat dari maut, tapi yang jelas, dia menjadi lebih bersalah karena masih hidup ketika wanita yang tak sengaja ditabraknya mati tepat di depan mata.
"Naruto?" Sasori masuk membawa secangkir kopi panas. Pria yang sempat menghilang tanpa jejak itu berhasil menyelamatkan ia dengan operasi kecil setelah membawanya kabur dari sekelompok polisi Konoha. Bersama Gaara yang entah bagaimana bisa menjalin pertemanan dengan rekan kerjanya.

"Minumlah, ini akan membuatmu merasa lebih baik." Cangkir kopi di sodorkan, Naruto dengan perlahan memperbaiki posisi duduknya dengan bersandar pada tembok sebelum menerima kopi itu dan meminumnya beberapa teguk.

"Thanks." Desahnya setelah beban berat sedikit berkurang. Mata biru kembali tertunduk, mengawasi warna hitam dari kopinya tanpa sedikitpun berkomentar.

Sasori tahu seperti apa perasaan Naruto saat ini, menabrak seorang wanita hamil dan melihat wanita itu meregang nyawa tepat di depan mata pasti sangat membuat ia tertekan. Ketakutan dan juga perasaan bersalah tentulah yang mendominasi, selain kesedihan serta penyesalan.
Tapi bagaimanapun itu adalah kecelakaan, bukan salah Naruto sepenuhnya karena iapun sedang dikejar maut.

"Hei, berhentilah memikirkannya, okey? Pikirkan kesembuhanmu. Kita akan pergi dari Konoha beberapa hari lagi."

Benar, setelah ia siuman. Sasori menceritakan rencananya kabur dari Konoha dengan bantuan Gaara. Meninggalkan tempat busuk ini juga orang-orang Obito maupun para polisi tak berguna itu. Meninggalkan Kiba di dalam penjara sendirian dan Kakashi yang kesepian karena kepergian kedua anaknya.

Menyedihkan.. di saat kedua keluarganya dilanda masalah. Ia malah ingin melarikan diri sendirian.

Itu sedikit..

Membuat Naruto merasa marah. Bukankah yang seperti ini sangat egois?

Naruto menarik napas, menghembuskannya perlahan agar pikiran tentang kecelakaan beberapa hari lalu sedikit buram. Saat ini ia juga harus memikirkan tentang keluarganya. Selama hampir dua minggu lebih dia tidak mendengar lagi kabar ayahnya, atau kakak angkat lelakinya. Obito sangat menjaga ketat keamanannya, tidak membiarkan ia mengecap angin segar diluar mension barang sejenak, dikurung dalam ruangan berupa sel penjara dan hanya dibawa ketempat latihan ataupun ruang hukuman. Setiap selesai latihan ia hampir selalu mendapat lima puluh kali cambukan saat melakukan kesalahan atau dipukul dengan ujung tongkat Obito.

Sampai ketika perintah itu diluncurkan. Ia telah siap berbelok arah, membuat Sasuke mengikutinya ke tempat yang tak terjangkau mata-mata sang boss tapi berakhir mengalami kecelakaan. Dan sekarang di sinilah ia, dikurung di tempat entah berantah oleh dua orang pria yang ia kenal.

Dan Gaara? Kenapa lelaki itu bisa terseret masalahnya dan Sasori?

"Kau belum menjelaskan tentang keberadaan kak Gaara, Sasori. Kenapa dia bisa bersamamu?" Bisik Naruto setelah ingat. Sepasang kelereng biru cantik yang berkabut keputusasaan menatap lurus pada Sasori.

Ada apa?

Kenapa kau seakan berduka?

Firasat buruk terbersit dalam benak si pirang. Membuatnya merasa sulit hanya untuk menelan ludah. Dia tidak tahu mengapa, tiba-tiba saja perasaan kehilangan menghinggapi dirinya. Seperti ada lubang kosong tak terlihat di hati. Membuat perih seluruh tubuh bahkan sampai ke ujung jari.

"Sasori.." ia mencoba menguak ke permukaan. Tapi Sasori sudah lebih dulu memotong ucapannya.

"Dengar, Naru. Kupikir ini bukan saat yang tepat memberitahumu. Untuk sekarang lebih baik pikirkan kesembuhanmu."

"Ini hanya luka tembak, Sasori. Aku tidak mengerti kenapa kau bersikap seperti ini. Aku hanya menanyakan kenapa kak Gaara bisa bersamamu? Atau jangan-jangan ada hal penting yang seharusnya kutahu tapi kau sembunyikan?"

"Sudah kubilang, ini bukan saat yang tepat."

Mata Naruto memincing tajam, menyoroti lelaki di sampingnya dengan tidak suka. Sasori bersikap aneh, dan ia tidak suka.
"Sasori!"

Menggigit bibir bawah dengan kuat, lelaki berambut merah itu menjadi gusar. Kemarahan yang sempat meredup kini mulai terbakar kembali. Mengingat perlakuan sang boss pada bocah coklat yang ia sayangi.

Kiba meninggal, dan polisi menutupi kejadian penembakan itu dengan mengatakan bahwa si bocah merasa tertekan sampai bunuh diri.

Shit!

Tidak akan pernah masuk akal seseorang mati didalam penjara dengan luka tembak sedang dia tak membawa senapan jenis apapun kecuali ada yang menembaknya.

Bajingan, Obito!

"Sasori!" Panggilan bernada keras sukses mengembalikan pikiran si pria. Sejenak mata keduanya bertemu, dan ia menghela napas begitu Naruto telah merubah posisi dengan duduk tegak, siap menerima apapun penjelasannya.
"Aku tidak yakin kau siap dengan ini, Naruto." Peringatan kembali meluncur, tapi karena memang Naruto adalah sosok keras kepala, gadis itu memilih mengamankan diri dengan meletakkan cangkir di atas meja buffet.

"Aku tidak akan pernah siap jika kau terus menunda-nunda."

"Fine. Tapi setelah ini, kendalikan dirimu okey?"

"Seperti kau tidak mengenalku saja."

Pancaran penuh tekad, si merah dapatkan. Pria berusia lima tahun lebih tua dari Naruto itu menarik nafas panjang, dan memilih menatap pada lantai keramik yang dipijaknya bersama kesepuluh jemari yang saling bertaut. Menolak Naruto untuk melihat ekspresi terlukanya.

"Kiba meninggal." Ucapnya tiba-tiba, tanpa basa basi dan dengan suara jelas terdengar. Naruto sedikit tersentak dan merasa tidak percaya begitu si merah Sasori membuka mulut.

"Apa kau bercanda?!" Jerit si pirang sambil menarik kerah kaus yang Sasori kenakan, mencari kebenaran lewat ekspresi yang si pria tampakkan. Dan tubuhnya merasa lemas detik itu juga, setelah menemukan kebenaran dari binar Jade si lawan.

"Aku tidak akan pernah bercanda dengan hal mengerikan seperti itu, Naruto. Kau tahu hubunganku dengan Kiba. Dia mungkin menganggapku pria tua bujangan yang suka foya-foya, tapi bagiku, Kiba adalah adik lelaki yang selalu ingin kulindungi sampai mati."

"..."

"Gaara mengetahui peristiwa itu. Karena dia mendengar kabar penangkapan Kiba, dia langsung menemuiku, tidak ada yang bisa ia mintai keterangan kecuali aku. Saat itu kuceritakan semuanya, tentang pekerjaan kita, masalah kita dan kuminta dia menolongku."

Mati..

Tubuhnya mati rasa, ia tak mau dengar apapun. Ia tak mau dengar hal konyol seperti itu lagi. Tidak dengan kabar sialan yang sekali lagi menorehkan luka pada hatinya.

"Hahaha! Bangsat kau, Sasori!" Layaknya orang gila dia tertawa keras, mencaci maki dengan mulutnya yang bergetar menahan tangis. Meski akhirnya air mata tak dapat dibendung lagi. Ia tetap tertawa, tawa miris yang menyakitkan telinga.

Semuanya nampak konyol, menyebalkan dengan takdir yang begitu buruk.

Sialan..

Bangsat..

"Ha ha ha..."

"Naruto."

"..." Pandangan safir kembali kosong, tak ada gairah hidup di sana. Bagai patung manekin yang bersedih terlalu dalam.

"Naruto?"

"Pergilah, Sasori. Aku ingin sendiri." Usirnya setelah tawa frustasi mereda. Berganti tangisan tanpa suara yang membuat ia lebih terlihat menyedihkan.

.

.
.

Ruang makan nampak terang benderang di malam yang gelap gulita. Sasori baru saja menutup pintu kamar si gadis pirangpun langsung diserbu pertanyaan dari pria merah lain yang duduk di meja makan. Menikmati secangkir coklat panas.
"Bagaimana keadaannya?"

"Lebih buruk." Derit kaki kursi pada lantai marmer terdengar sesaat. Sasori sedikit menyesali kenapa dia harus mengatakan kenyataan pahit itu sedang Naruto masih dalam kondisi labil. Tapi bagaimanapun mau tidak mau suatu saat Naruto juga akan tahu tentang kematian Kiba.

Dan sekarang dia berencana membawa Naruto kabur dari Konoha sebelum gadis itu melakukan tindakan nekad. Ini mungkin egois, mengingat Kakashi yang tak tahu apapun bisa saja dalam kondisi bahaya karena kemarahan Obito. Tapi, Sasori telah berjanji pada Kiba, untuk melindungi gadis itu apapun yang terjadi.

"Paspor yang kau siapkan, apa bisa digunakan sesegera mungkin?"

"Kau ingin cepat-cepat pergi?"

"Ya, aku harus. Aku tidak bisa menundanya lagi. Aku tidak tahu seperti apa pemikiran Naruto, tapi aku yakin dia bisa saja berbuat nekad."

"Oke, aku mengerti."

.
.

Ini malam ke empat sejak kematian istri dan calon bayinya. Sejak itu dia tidak pernah merasa bergairah untuk mengerjakan pekerjaan kantor, atau mencari tahu kemana perginya komplotan bajingan para bayangan rubah. Dia merasa yakin jika telah mengenai titik vital sang pembunuh, dan dia tidak akan bertahan lama. Tidak ada yang pernah selamat jika sebuah tembakan mengenai jantung, kecuali peluru itu meleset dari target.

Redupnya cahaya di dalam bar membuat suasana malam lebih terasa. Juga sedikitnya pelanggan yang datang sukses menciptakan perasaan sepi yang menghinggapi Sasuke. Pikirannya campur aduk juga perasaannya. Dia tidak tahu harus berbuat apa agar kemarahan ini terlupakan.

Duka yang menggerogoti hatinya seperti ratusan duri yang setiap saat melukai dirinya. Waktu tidak bisa diputar, dan waktu akan terus berjalan dengan rasa sepi seperti ini.

Tak!
Cawan kecil terbuat dari kayu di letakkan dengan sedikit tenaga di atas meja bar, menciptakan bunyi yang tak begitu berisik. Ia tuang kembali sake dari botol ke dalam cawan, meminumnya sekali teguk dan kemudian melamun kembali.

Kali ini ia memikirkan gadis pirang yang pernah menjadi rekannya. Sudah hampir dua pekan lebih dia tidak menemukan keberadaan gadis itu, dan dia juga belum menghubungi ayah angkatnya. Tepat di hari kecelakaan itu, Kiba meninggal dengan bekas tembakan pada jantung. Dan Sasuke yakin itu bukan sekedar bunuh diri..

Atau mungkin, tebakannya sedari awal memang benar.

"Anda sudah ingin pergi?" Suara salah seorang bartender menghentikan gerakan Sasuke. Dia menoleh sejenak pada paras pria muda yang seumuran dengannya. Sedikit mengangguk kecil sebelum berjalan dengan tenang meninggalkan tempat itu.

Sebuah bar yang hanya menyediakan sake tradisional dan tak begitu diminati anak muda. Dia menemukan tempat nyaris sepi itu setelah kematian Sakura, atau saat semuanya menjadi lebih buruk.

Jalanan Konoha sangat ramai malam ini, membuat Sasuke tidak berminat untuk menyebrangi lautan manusia demi mencapai apartemennya yang baru. Apartemen lusuh yang ia sewa dua hari lalu, terisolir dari tempat-tempat megah dan berada di pinggir kota Konoha. Tempat ia mengurung diri dari segala masalah yang dihadapi.

Tap tap tap!

Langkah kaki bergema di sepanjang lorong gang gedung-gedung tua yang tinggi. Menciptakan lagu sendu yang hanya bisa didengarnya sendiri. Kecipak basah terdengar sesekali ketika kakinya menginjak kubangan air yang keruh, dan sedikit terciprat pada sepatu pantofel.

Seharusnya dia sendirian di sini, seharusnya tidak ada orang lain yang melewati tempat ini karena kurangnya pencahayaan dan busuknya bau sampah di sepanjang jalan lorong. Tapi Sasuke mendengar langkah kaki kecil tak jauh di belakang, seolah mengikuti dan mengawasi Sasuke.

Berkelok di tikungan yang tajam, ia bersembunyi di balik bayangan. Dan keluar begitu sosok dengan mantel yang menutupi seluruh tubuh hingga kepala belakangnya itu melewatinya.

Keduanya berdiri dengan tenang, Sasuke semakin merasa yakin dia bukanlah orang biasa karena sikap tenang yang diperlihatkan meski ada ujung pistol menyentuh bekalang kepala yang tertutup tudung mantel itu.

"Siapa kau? Aku yakin kau punya urusan denganku kalau sampai kemari." Ucap Sasuke dingin. Mata hitamnya berkilat tajam di balik bayangan dinding gedung.

Beberapa detik kemudian, sosok itu berbalik menghadap padanya. Membuat si lelaki berambut hitam semakin memincing untuk memastikan identitas si sosok. Kepalanya tertutup tudung mantel hitam yang besar, ia mengenakan celana bahan yang mencapai mata kaki. Tinggi sosok itu mengingatkan ia pula pada gadis pirang yang ikut menjadi bahan pikirannya.

Tak lama berselang tudung mantel di turunkan perlahan. Menampilkan kilau shafir gelap yang di sentuh cahaya bulan temaram. Juga helaian pirang panjang yang dikuncir asal. Sasuke menahan nafas begitu tahu sosok itu benar Naruto.
Ia turunkan pistol yang sempat ia todongkan, dan melangkah pelan demi mencapai pipi bergaris si gadis dengan sentuhan ringan. Seakan tak percaya bahwa gadis itu telah berdiri di hadapannya.

"Naruto.." bisiknya tertahan. Napasnya memburu karena menahan debaran jantung yang terpacu karena kebahagian. Setidaknya orang yang ia anggap berharga masih ada yang selamat. Setidaknya ia masih mempunyai alasan untuk menjalani hidupnya, walau sang istri tidak lagi ada bersama dengan dia.

Cahaya bulan meredup, dan dunia seakan lebih gelap begitu awan besar melintas dan menghalangi akses cahaya. Dan itu tidak membuat Sasuke luput mengamati setiap ekspresi pesakitan yang terlukis pada paras Naruto, membuat Sasuke iba dan meraih gadis itu dalam pelukan erat.

Pasti si pirang telah mengetahui kabar kematian Kiba, pasti dia merasa berat melepaskan kepergian kakaknya. Dan tak mampu kembali pada ayahnya karena alasan yang tak dapat dijelaskan.

Tapi, sepertinya Sasuke telah mengambil kesimpulannya.

"Naruto.." bisik Sasuke sekali lagi. Tak melihat bahwa Naruto menahan perasaannya untuk tidak tenggelam dalam perasaan nyaman.

Sejak awal Naruto menyukai Sasuke, bukan sebatas seorang rekan pada rekannya. Melainkan suka sebagai gadis pada pria. Tangan kanannya bergerak, menyambut pelukan pria itu dengan menyentuh punggung tegap berbalut jaket kulit hitam. Sepasang kelopaknya terpejam, berat namun terlihat jelas dia tengah berusaha melepaskan sedikit ketakutannya. Lagipula ia memang berniat menemui Sasuke untuk mengatakan hal penting.

Merasa cukup, tangan kurus si gadis memisahkan mereka. Namun Sasuke yang tidak ingin cepat berakhir, lebih mengeratkan pelukannya, membuat Naruto sedikit merintih karena luka pada dada kiri terasa berdenyut.

"Sasuke." Panggil si pirang setengah mendesis

"Tidak, Naruto. Biarkan seperti ini sejenak." Kepala hitam menyeruak masuk ke perbatasan leher dan bahu. Menghidu aroma khas yang si gadis keluarkan, nampak rakus dengan nafas memburu. Tangan kiri si pria semakin erat meraih pinggang ramping, dan kanan turun pada saku celananya sendiri, meraih benda metal yang dingin.

Posisi itu tetap sama sampai beberapa menit lamanya. Pikiran Naruto berkecamuk, dia tidak punya waktu lagi karena Sasori pasti bisa menemukannya kapanpun. Ia meninggalkan tempat persembunyian sudah hampir setengah hari, mencari waktu yang tepat bertatap muka dengan calon sarjana hukum muda yang memeluknya saat ini. Tujuannya jelas, dia ingin Sasuke menghentikan semuanya, dia ingin Sasuke membantu dia agar lepas dari rasa bersalah ini, dan berharap bisa bertemu Kiba.

"Ada yang ingin kuberitahukan padamu, Sasuke." Bisikan pelan memulai percakapan. Sasuke yang sudah tahu sama sekali tak melepas pelukannya, justru dia semakin mengeratkan pelukan itu.

"Sshht.. jangan katakan."

"Sasu..!" Kelereng biru membulat lebar. Rasa perih yang menyayat terasa di perutnya, juga lelehan cairan merah kental yang langsung membasahi pakaiannya. Ia mendesis, merintih dengan tubuh yang lemas dan nafas memburu. Tak menyangka sama sekali Sasuke menusukkan belati kecil ditengah pelukan mereka.

"Sa. Sasu.. akh!" Tubuh kecil nyaris merosot, tapi tertahan karena Sasuke memegangnya erat sekali. Lelaki yang tengah berduka itu mengangkat wajahnya, menampakkan ekspresi sedih yang membuat Naruto sekali lagi merasa kaget.

Uchiha muda itu menangis..

"Sekarang Kyuubi telah mati, dendamku atas Sakura telah terpenuhi." Suara pelan Naruto tangkap, ucapan yang Sasuke lontarkan terasa menusuk hatinya.

Jadi Sasuke sudah tahu?

Sasuke berniat membunuhnya tanpa mendengar penjelasannya?

Ia menggeleng pelan. Tidak bisa! Jeritnya dalam hati. Dia tidak bisa mati tanpa memberitahu Sasuke tentang keburukan Obito. Pria itu harus ditangkap, agar kematiannya bisa tenang. Dan agar ayahnya aman dari ancaman.

Disisa- sisa tenaga yang dimiliki, gadis pirang meraih jaket bagian depan Sasuke. Menatap dengan sorot mata keputusan asaan. Ketika suara yang ingin ia keluarkan menjadi tersendat-sendat.

Mengetahui gestur yang Naruto perlihatkan, Sasuke meraih pipi si pirang, mengelusnya perlahan penuh perasaan.
"Sshht, tenanglah, kau akan kehilangan banyak darah jika banyak bergerak. Aku tidak berniat membunuhmu, aku hanya sedang membunuh Kyuubi di dalam kepalaku. Sekarang kau adalah Naruto. Hanya Naruto."

"Ahh.." Belati kecil dicabut, si pirang yang sudah tidak mampu menahan kesadarannyapun memejam mata. Dan pasrah begitu kegelapan yang ia benci mulai menyelimuti.

.

.

Disclaimer : Massashi Kishimoto
Numb by Broke bee
Warn : Saya tidak menjamin sebuah kesempurnaan dalam fiksi ini. Tapi jika kalian berkenan dan merasa ada yang kurang baik dalam penulisan ataupun ingin sekedar menyampaikan perasaan maka silahkan sampaikan lewat 'review'
Thankyou!

.

Duak!

Kepalan tangan mengenai lapisan pintu mobil, menciptakan suara pukulan yang keras. Beberapa pejalan kaki sesekali melirik ke asal suara demi melihat dua orang pemuda yang berdiri di samping mobil biru dongker dengan penampilan kacau.
"Sial." Umpat salah satunya.

Gaara, pemuda lain pemilik mobil menghela napas berat. Merasa kesal karena pencarian mereka berbuah kesia-siaan.

"Hell, Sas. Kita belum makan seharian ini, sebaiknya kembali saja." Celetuk si Sabaku muda. Sepasang zamrud miliknya menyorot lelah pada jalanan kota yang ramai.

Naruto kabur dari tempat mereka sebelum subuh, dan sekarang, setelah hampir mencapai tengah malam gadis itu belum juga ditemukan. Mereka kalang kabut, selain karena banyak anak buah Obito di luar sana, si pirang juga dalam kondisi tidak baik. Luka tembak yang nyaris mengenai jantungnya juga belum tertutup dengan benar. Ditambah lagi, si Putri angkat Hatake bisa saja melakukan hal nekad yang berbahaya atau mencelakai dirinya sendiri.

Sasori mengerang keras, kepalanya sudah terasa pening dan seakan mau pecah. Seharusnya dia tidak terlena, meski rencananya sekarang mereka berdua akan keluar dari Konoha tapi tetap saja harusnya ia tetap mengetatkan penjagaan.

"Bajingan!" Umpatnya ke sekian kali.

Gaara yang melihat seperti apa kacaunya Sasori karena rasa khawatir memutar mata dengan bosan. "Teruslah mengumpat, aku jamin dia tidak akan pernah ditemukan."

"..."

"Kita kembali saja, setelah istirahat, besok kita cari lagi." Lanjut si Sabaku kalem. Dari ujung mata, dia dapat melihat Sasori dengan penyamarannya tengah menatap satu titik dengan serius. Seolah tengah memikirkan sesuatu, atau sebuah rencana gila.

Sayang sekali, otak Gaara tidak di desain untuk menjadi kriminal dan hal gila seperti melacak orang.
"Gaara." Panggil si Akasuna setelah beberapa menit terdiam.

"Hmm?"

"Kupikir sebaiknya sampai di sini saja." Tubuh tegap diputar sembilan puluh derajat, menghadap pada pria yang mungkin dua tahun lebih muda darinya itu. Yang berdiri bersandar pada badan mobil dengan kedua tangan bersilang di depan dada. Angkuh, tapi menyedihkan.

"Apa maksudmu?" Alis merah maroon terangkat. Tak memahami ke arah mana ucapan Sasori mengarah.

"Begini. Aku sangat berterimakasih kau sudah membantuku dan Naruto. Kau berikan kami tempat bersembunyi dan membantuku mencari cara keluar dari sini."

"Hey-hey, jangan bicara begitu, aku risih mendengarnya." Sahut Gaara cepat. Salah satu kelingkingnya terangkat untuk mengorek lubang telinganya yang entah kenapa terasa gatal.

"Aku serius, bajingan!"

"Ya, aku mengerti. Aku membantumu bukan tanpa alasan. Kiba adalah rekan kerjaku, dan Naruto juga pernah menjadi cinta pertamaku. Jadi jangan terlalu banyak berterimakasih. Aku melakukannya karena urusan pribadi."

"Apa?"

Apa maksud Gaara adalah, dia ingin Naruto melihat usahanya menolong? Hee, pria yang romantis. Atau dungu.

"Fine, terserah kau saja. Intinya mulai sekarang aku akan bergerak sendiri. Kau tidak perlu membantuku lagi karena ini bukanlah urusanmu." Lanjut si Akasuna. Dia dengan akrab menepuk bahu lebar Gaara dan melenggang pergi. Tanpa menunggu jawaban yang mungkin saja akan Gaara lontarkan. "Aku tidak ingin melibatkan banyak orang dan berakhir mati percuma. Dah!"

Tubuh jangkung terbalut kaus singlet dan celana tiga perempat itu pergi jauh. Wig hitamnya bergerak pelan seirama dengan langkah kaki yang lebar. Gaara tercenung di tempat, tetap mengawasi punggung itu sampai hilang di telan lautan manusia.

"Di manapun kau berada, semoga Tuhan selalu menyertaimu, Naruto."

.

.
.

"Uhh.. huff.." rintihan pelan terdengar di dalam sebuah kamar. Dari seorang gadis yang terbaring lemas di atas kasur. Seluruh pakaian yang dikenakan basah terkena keringat, kaus tipis tersingkap sebatas bawah dada, memperlihatkan luka menganga akibat tusukan belati.

Tangan putih seorang pria dengan cekatan memberi pertolongan pertama. Tersenyum miris kala melihat bekas luka lain yang bagai tato permanen dan tak akan pernah hilang. Ia yakin bekas itu dari luka cambukan, yang begitu banyak dan hampir tak menyisakan ruang untuk kulit yang seharusnya lembut khas wanita.

Rintihan semakin terdengar keras, begitu kapas yang dibasahi alkohol menyentuh permukaan yang menganga. Sasuke, pria berkulit seputih porselain ikut menggeretakkan gigi, seolah dia dapat merasakan perihnya si gadis.

Setelah selesai, ia menutupi luka dengan kapas baru dan kain kasa. Dilanjutkan membuka baju si pirang yang tak sadarkan diri untuk dibasuh. Tidak ada rasa malu, tidak ada pula gairah sebagaimana pria melihat tubuh wanita. Yang ada hanyalah kemarahan dan simpati saat menemukan bekas bekas luka yang lebih banya tercetak di setiap jengkal kulit punggung dan tubuh bagian depan.

Sekali lihat Sasuke tahu Naruto mengalami hari-hari yang sulit. Latihan keras dan perlakuan yang kejam. Jadi seperti inilah cara para bayangan rubah itu ditempa? Pikir Uchiha itu prihatin.

Gerakan tangan dengan waslap basah berhenti sejenak di atas dahi, menyentuhkan ujung ibu jari pada kulit sawo matang yang terasa panas. Sasuke termenung, melihat betapa wajah ini telah banyak berubah. Oleh keputusasaan, kekecewaan juga kesedihan. Gadis yang dulu begitu kuat dan tahan banting, kini tak lebih seperti bocah lemah yang tak mampu melakukan apapun.

"Hei, bocah. Lihat apa yang telah kau lakukan padaku, kau membuatku terus memikirkanmu. Bahkan untuk sejenak aku melupakan istriku sendiri." Bisik si pria pelan, tidak berharap Naruto mampu mendengar perkataannya.

Begitu selesai mengganti pakaian si pirang, ia lantas segera membawa baju penuh darah Naruto untuk dibawa ke tong sampah. Mencuci baju berlubang hanya akan menghabiskan listrik dan uang, lebih baik ia membelikan yang baru, mungkin besok pagi dia bisa menyempatkan diri mencari gantinya.

Sampai di dapur, lelaki itu baru menyadari bahwa dirinya pun teramat lengket dengan keringat juga darah, merasa tidak nyaman, Sasuke memutuskan untuk mandi dan bersantai, karena ia tidak yakin bisa tertidur saat ada seorang gadis asing di rumahnya. Terlebih, gadis yang sudah menyita perhatiannya.

.

Diwaktu yang sama, mansion Obito terlihat lebih suram dari biasanya. Meskipun banyak sekali orang yang berkumpul di sana. Mungkin karena kemarahan Obito membuat atmosfer di sekitar mansion dua kali lipat lebih menyeramkan.

Kabuto mengawasi tiap gerak gerik si tuan, bagaimana bahu itu tegang dan wajah yang begitu datar. Di depan mereka ada beberapa anak buah Obito yang siap menerima perintah, termasuk Kimimaro. Seorang penyusup handal yang membunuh saudara angkat Kyuubi. Pemuda ambisius yang suka mencari muka di depan sang tuan.
"Ada kabar tentang Kyuubi?" Ucapan dingin mengalihkan fokus Kabuto. Pria dengan setelah jas pelayan formal membungkuk dengan tangan kanan menyentuh dada kiri, sebagai formalitas mengungkap rasa hormat.

"Belum, tuan. Kami memang menemukan hal ganjil dalam daftar penerbangan ke Olttogakure pagi ini. Tapi sampai pesawat lepas landas, dua orang itu tidak muncul."

Pyar! Gelas kaca dilepar dengan geram, kemarahan Obito sedikit membuat beberapa anak buahnya menyingkir. Raut keras jelas nampak karena kemarahannya telah mencapai batas.

Kabuto kembali berdiri tegak, sedikit mengangkat alis ketika si bocah Kimimaro maju dengan tingkah sok kesal.
"Tuan, kenapa anda sangat marah hanya karena kepergian bocah tengik itu?! Kami bisa melakukan tugas bayangan rubah bahkan lebih baik dari pada mereka!" Seru si bocah.

Obito merespon, mata yang sehitam arang beralih memandang Kimimaro dengan datar.

"Aku yakin si pirang itu sudah mati di tengah jalan! Semua orang juga melihat anak kepala polisi itu menembaknya di bagian jantung!" Dengusan penuh cela dikeluarkan kasar. Sejak dulu, pemuda dengan rambut keperakan itu tidak menyukai keberadaan Kyuubi. Gadis berbakat yang selalu ditatap dengan bangga oleh sang tuan. Yang tidak pernah bisa ia kalahkan.

Dan sekarang, setelah dia berhasil menggantikan posisi Sky, membunuh kakak si kyuubi dan menyusup ke kepolisian, sang tuan masih saja memandang Kyuubi dengan sama. Meskipun gadis itu telah berkhianat.

"Apa kau bilang?" Pertanyaan bernada tenang terlontar. Kimimaro yang telah dilanda kemarahan juga kecemburuan dengan congkak mengulangi perkataannya.

"Dia sudah mati, tuan. Tidak ada gunanya mencari seogok mayat yang sudah menjadi tanah! Aku yakin, Sky pasti telah membuat upacara pemakaman seminggu yang lalu."

Biru pucat bertemu hitam arang. Ada sedikit kilat kemarahan tak berdasar yang si pemuda perak tangkap dari sepasang mata tajam tuannya. Dan itu terbukti ketika dengan cepat sebuah ujung pistol yang dingin mengarah pada wajahnya. Membuat ia menahan nafas.

"Berani sekali kau berkata seperti itu di hadapanku, Kimimaro." Seringai kejam tercetak. Semua yang melihat seketika itu menahan napas. Termasuk Sean, salah satu bayangan rubah yang masih setia pada Obito.

"Tu, tuan.. Anda tidak bermaksud.."

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, dua peluru telah bersarang di dahi putih itu. Mencabut nyawanya dengan cepat dan bersimbah darah.

Obito menatap mayat yang tergeletak dilantai dengan tanpa ekspresi. Sedikit menggerakkan tangan sebagai tanda bahwa ia ingin kekacauan ini dibereskan.

Diikuti sang tangan kanan, lelaki berusia kepala empat melenggang pergi menuju kamar pribadi.

.

"Tinggalkan proyek itu, Kabuto. Buat tim untuk mencari keberadaan Kyuubi. Dia tidak akan mati semudah yang Kimimaro katakan. Dan bawa dia hidup-hidup padaku."

"Baik, tuan." Ia telah lama mengabdi pada sang tuan, tidak sulit baginya menyadari nada khawatir dalam suara Obito.

Tatapan sayu dari batu arang terarah di balik jendela kamar yang gelap. Kelelahan.
Sebelum si tangan kanan keluar kamar, dia menyempatkan diri mengambil selimut tebal. Dan menyampirkannya dipunggung yang semakin tua.

"Saya melihat hal yang berbeda dari tuan hari ini." Ujar si tangan kanan penuh ketenangan.

"..."

"Saya melihat, anda mengkhawatirkan Kyuubi, bukan sebagai majikan. Melainkan seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya." Lanjutnya saat sang tuan sama sekali tidak merespon.

"Diamlah, Kabuto. Tinggalkan aku sendiri."

Membungkuk singkat, Kabuto Yakushi-pun lantas meninggalkan ruangan. Membiarkan tuannya larut dalam pikirannya sendiri.

.
.

.
Kelompok sawo matang terbuka perlahan, dan berkedip beberapa kali sebagai refleks untuk menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Seluruh tubuhnya terasa lemas, sedikit panas pada bagian luka tusuk yang telah tertutup kapas dan kain kasa. Sebelum ia dapat menggerakkan tubuh, kelereng biru cerahnya memindai seluruh ruangan. Merasa asing karena ia ingat telah terluka parah di dalam pelukan Sasuke, rasanya mustahil ia dapat selamat dari maut untuk ke dua kali.

Ruangan kamar yang ia tempati hanya berukuran kurang lebih 2 kali 3 meter, dinding-dindingnya berwarna putih kusam, sebagian dipojok bagian atas ruangan telah ditumbuhi lumut. Di sampingnya ada sebuah meja kecil berwarna coklat, berurutan bersama lemari kecil yang menghadap padanya. Bau apeg ruangan menandakan bila kamar ini jarang di sambangi, tidak dirawat.

Naruto menarik nafas panjang, menetralkan getaran kedua tangan yang merespon perih dan panas ketika dia berusaha mendudukkan diri. Tapi berakhir jatuh kembali di atas kasur.
"Well, aku baru saja ingin menahanmu bangun. Lukamu masih basah, sebaiknya jangan banyak bergerak atau itu akan terbuka kembali." Suara bariton bersamaan tertutupnya pintu kamar mengalihkan fokus si pirang.

Ia melihat Sasuke hanya mengenakan celana jeans panjang tanpa atasan. Dikedua tangannya, dua buah plastik hitam berayun pelan.
"Perkiraanku meleset, seharusnya kau bangun malam nanti."

"Sasuke.."

Gemerisik plastik menjadi jawaban, lelaki yang lebih tua 5 tahun dari si pirang mengambil duduk di samping pasien. Sibuk membuka kantong yang baru saja ia letakkan di atas meja dan mengeluarkan se-cup bubur yang tertutup alumunium voil.
"Aku akan menyuapimu, kita bicara nanti saja."

"Soal istrimu.. aku minta maaf.." Gerakan tangan terhenti seketika, sorot mata kelam Sasuke mengarah tepat pada raut kepayahan si pirang. Dia mengerti mengapa Naruto meminta maaf padanya. Tapi ucapan itu sedikit membuat perasaannya kacau. Naruto memang Kyuubi, itu sudah tertebak dengan adanya kasus Kiba, hanya saja dia sangat marah karena si gadis seolah mengatakannya terang-terangan. Yang jujur saja, Sasuke tak mau mengakuinya.

Bibir tebal digigit kecil, sambil mengatur diri agar tetap tenang, lelaki duda itu kembali menyodorkan sesendok bubur hangat di depan mulut Naruto. "Buka mulutmu." Tuturnya cepat.

Dan sore hari itu Sasuke habiskan untuk merawat si bocah pirang.

.
.

"Jadi.. bukankah kau sudah tidak menganggapku 'tangan bayangan'? Lalu darimana kau bisa mengambil kesimpulan?"

"Kiba Hatake. Awalnya, dugaanku dia adalah umpan untuk mengalihkan perhatian kami, para polisi. Kupikir kau terlalu terpuruk dan memilih pergi. Tapi, aku semakin curiga karena kau tidak pernah ada kabar sampai bayangan rubah beraksi. Di kejadian itu, menewaskan istri juga calon bayiku. Tapi di tempat lain, Kiba dikabarkan mati tertembak. Tidak ada satupun penjaga yang sadar ada penyusup diantara polisi, mungkin karena saat itu kantor tengah kacau jadi mereka dengan mudah masuk untuk menjalankan pembunuhan. Ah, Kecuali.."

"Kecuali?"

".. ada yang mempersilahkan masuk. Sebagian polisi adalah anak buah paling setia milik ayahku, dan sebagian lagi tidak pernah menyukai kepemimpinannya. Sudah biasa bila dalam satu kantor ada tiga kubu yang menempati. Kubu yang menentang, kubu yang setia, dan kubu netral. Aku curiga jika pembunuhan itu telah direncanakan. Dan yang menjadi pokok pemikiranku adalah..

_Kenapa Kiba harus dibunuh?"

"Tepat sekali. Hanya ada dua kemungkinan. Satu, Kiba adalah bagian penting dari rencana musuh, tapi itu mustahil, karena menurut data pribadi yang ia miliki. Bocah itu hanya anak kuliahan biasa, membuka usaha bengkel bersama temannya, dan sebagian besar waktu dia habiskan bersantai. Aku juga telah menghubungi rekan kerjanya, dan aku semakin yakin dia bukan hal yang penting untuk urusan 'kriminalitas'. Maka kusimpulkan bila Kiba berada di kategori ke dua, yaitu digunakan sebagai alat pengancam. Artinya bila dia seorang 'alat', maka orang yang diancam adalah yang terdekat dan penting entah bagi mereka atau pihak yang mereka anggap merugikan. Secara otomatis, pikiranku tertuju pada pengakuanmu tentang paman, kemarahanmu yang tersembunyi saat melihat polisi. juga kecurigaanku tentang penghasilanmu yang rancu. Karena itulah aku semakin yakin bahwa Kiba digunakan untuk mengancammu, Naruto. Anak buah kesayangan tuan, salah satu bayangan rubah."

"Kenapa aku?"

"Well, karena kau memintaku menyelidiki Paman. Dan begitu yakin kalau ada hal mencurigakan di perusahaan Paman."

"Aku hanya menyuruhmu menyelidiki seorang pembenci bangsawan, aku tidak menyebut nama."

"Ah, pokoknya seperti itu saja! Jangan banyak membantah, instingku selalu benar tahu!"

"Meh!"

.

Gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi, Naruto termangu di bawah guyuran air shower. Ia sudah mendengar alasan bagaimana Sasuke bisa mengetahui identitasnya walau pria itu telah ia yakinkan bahwa Kyuubi bukanlah dia. Si pirang pikir, sepertinya ia terlalu meremehkan Sasuke.

Sudah hampir empat hari dia tinggal di apartemen baru milik si duda. Disembunyikan dari banyak orang tanpa diperbolehkan keluar rumah. Selama empat hari itu pula Sasuke nampak sibuk menghubungi seseorang. Sesekali keluar di jam malam dan kembali keesokan harinya. Tidak tahu apa yang dilakukan sampai-sampai setiap pulang selalu menekuk wajah.

"Naru!" Pintu kamar mandi di ketuk. Yang dipanggil sedikit melirik pada asal suara. Bukannya cepat menanggapi ia malah memutar mati kran shower, menarik handuk asal kemudian memakai pakaiannya dengan sembarang.

"Ya?" Sahutnya setelah membuka pintu. Dia melihat Sasuke telah rapi dengan jaket Levis dan topi hitam.

"Bersiaplah. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

.
.

.

Tempat yang mereka datangi bukan kantor, dan bukan pula sebuah rumah hunian. Hanya gedung besar dengan plang besi bertuliskan 'co karaoke' di depan pintu masuk. Menurut Sasuke, pembicaraan ini lebih aman bila dilakukan di tempat tak wajar, selain tak disangka-sangka, jaminan keamanan _sedikit-lebih terjamin. Karaoke punya ruangan kedap suara, bersifat privasi, dan hanya diawasi dengan kamera cctv. Pembicaraan apapun tentunya tidak akan ada yang bisa mendengar, kecuali ada seseorang yang membawa masuk alat penyadap.
Jika Sasuke memperhitungkan tentang keamanan, maka artinya pembicaraan ini sangatlah penting (bersifat rahasia).

Langkah kaki terbalut celana panjang berwarna hijau dengan corak hitam pada bagian lutut itu tidak tergesa-gesa, mengikuti dengan sabar bak seekor anak itik bersama ibunya. Kedua bola mata dengan iris biru mengedar keseluruh tempat yang dilewati, menghitung angka-angka pada pintu dan sesekali mengintip dari balik jendela kaca di tengah bagian atas pintu masuk. Ia bersiul, atau menyeringai kecil kala matanya menangkap pemandangan romantis semi nafsu di dalamnya. Tidak menyangka kalau pelakunya masih di bawah umurnya.

Terlalu asik dengan permainan mengintip, ia tidak sadar bila Sasuke telah berhenti, dan membuatnya menabrak punggung lebar si raven sampai terpantul. Semerbak bau parfum khas lelaki itupun tercium seketika, dengan aroma yang lebih pekat. Menciptakan rona merah di pipi bergaris si pirang. Mata biru cantiknya sempat bersirobak dengan si hitam jelaga sebelum keduanya memilih masuk ke ruangan nomor 105.

"Sasuke-sama!" Sapa tiga orang yang baru si pirang sadari telah berada di dalam. Berdiri berjajar di depan sofa sejenak dan kembali duduk ketika Sasuke memilih sofa yang paling ujung.

"Ada apa, Naruto? Duduklah." Alas sofa ditepuk pelan, Naruto tidak tahu apa harus menerima perintah itu atau tidak. Pasalnya, ia mulai merasakan kembali bibit-bibit cinta kala melihat Sasuke berpenampilan kasual dengan jaket Levis juga celana tiga perempat berwarna coklat tua. Khas anak muda.

Jantungnya terus saja terpompa cepat kala mereka berdua berdekatan atau terkadang tanpa sengaja saling bersentuhan. Alih-alih wajah datar, dia hampir selalu menampilkan raut canggung.

Kembali lagi pada Sasuke, yang masih menepuk sofa tepat di sisi tubuh. Memberi isyarat agar si bocah blonde segera mengambil tempat sebelum memulai acara mereka.

Tidak ada pilihan, Narutopun mulai mendudukkan diri. Sejenak dia menahan nafas begitu tangan kanan Sasuke memeluk bahunya. "Tidak perlu tegang, mereka teman-temanku. Dia, Karin, satu-satunya wanita yang tidak doyan denganku. yang rambutnya ubanan itu pacarnya, Suigetsu, dan di sampingmu ini, si pria raksasa Juugo."

"Sas, rambutku tidak ubanan." Sahut si rambut putih jengah. Dia sedikit merotasi bola matanya sebelum tangan Karin memukul kepalanya.
"Sopanlah sedikit, Sui."

Keduanya saling cek cok beberapa saat, dan berhenti ketika Naruto dan Juugo saling berjabat tangan berkenalan.

"Baiklah, kita mulai saja rapatnya. Karin, beri aku informasi tentang pekerjaanmu!"

.

"Jadi maksudmu, selain sebagian laba perusahaan yang dialihkan untuk dana pembangunan, kau tidak dapatkan apapun yang mencurigakan? Apapun?"

Sulit dipercaya, Paman Obito ternyata begitu rapi menyimpan 'pekerjaannya'. Dia tidak membiarkan seorangpun mengendus rencana yang entah apapun itu. Tapi pasti ada celah bukan?

"Kalian mencari data pemasukan hasil dari para bayangan rubah?" Celetuk Naruto seraya mengerutkan dahi merasa heran. "Jika kalian mencarinya di laporan laba rugi perusahaan juga tidak akan pernah ketemu."

"Apa maksudmu?" Sasuke melirik dengan tertarik, melihat si blonde menjadi lebih serius.

"Namanya dokumen perencanaan dan pembangunan rumah susun. Selain mencangkup rencana pembangunan, dari pembuatan gedung, banyaknya dana yang dibutuhkan, waktu pemasukan, sumber pendapatan, dan banyaknya dana yang sudah digunakan. Kau juga bisa gunakan itu sebagai bukti bahwa Obito yang menggerakkan para bayangan rubah."

"Jadi, kau tahu dimana buku itu berada?" Kali ini Suigetsu mulai menimpali. Kesepuluh jemarinya saling bertaut dengan tatapan lurus pada si blonde.

"Markas."

"Apa?"

"Markas kami, tempat semua para anak buah dikumpulkan. Tempat dimana kami semua ditempa dari kecil sampai sekarang. Mansion tua di tengah hutan. Tidak ada yang sadar di sana ada sebuah mansion besar yang cukup luas. Tempat itu paling sering ditinggali Obito. Di sana pulalah Kabuto mengurusi segala hal milik tuannya." Balas si blonde tenang. Kedua matanya menerawang, mengingat kembali bentuk bangunan itu juga tempat dimana dia mengorbankan banyak darah serta keringat untuk berlatih keras.

"Kau bilang di sana tempat kalian ditempa? Apa itu sejenis latihan ilegal yang diikuti anak dibawah umur?"

"Bisa dibilang seperti itu. Anak-anak terlantar, miskin, dan tanpa orang tua kebanyakan akan dibawa ke sana. Dilatih untuk menjadi kuat dan berakhir sebagai bodyguard. Tapi Obito lebih senang menamai mereka, Ksatria bunga."

"Wow." Suigetsu berkomentar takjub. Dia menyeringai kecil, dan cukup senang karena menangkap sesuatu yang menarik. "Dia membuat pasukannya sendiri. Hebat sekali, kalau sudah seperti ini, dia bisa jadi Raja kapan saja. Tinggal membuat rakyat memihak padanya dan BUM! Berkuasalah dia~."

"Benar. Aku jadi berfikir, kebanyakan para bangsawan senang memperkaya diri, dan membiarkan para rakyat semakin miskin. Keadaan itu menjadi celah bagi Obito menjalankan rencananya. Jika dipikir lagi, rumah susun yang dibangun pasti untuk mengambil hati rakyat, dan Naruto bilang anak-anak terlantar dijadikan 'ksatria'. Ini bisa ditarik kesimpulan bahwa dia sedang menuju pemberontakan. Dan kalau sampai kerajaan tahu, hukumannya bisa lebih buruk dari penjara." Jelas Juugo.

Naruto yang mendengar jadi terdiam. Dia pernah mendengar tentang rencana menggulingkan raja, tapi dia sama sekali tak berniat membawanya ke permukaan. Seburuk apapun Obito, blonde itu masih yakin bahwa jauh di dasar hatinya, tuan seorang yang penyayang. Naruto hanya sebatas ingin berhenti, dan menghentikan usaha Obito menemui ajalnya. Bagaimanapun, kerajaan tidak akan mudah dilawan.

"Kalau begitu kita harus cepat bergerak. Sebelum masalah ini terendus pihak kerajaan, kita harus lebih dulu melumpuhkan usahanya. Sui, kita buat rencana." Putus Sasuke kemudian, sebuah tekad nampak jelas di parasnya yang tampan.

Keputusan itu juga sepertinya sedikit banyak membuat hati Naruto lega. Karena bila kekepolisian yang lebih dulu menyelesaikannya, setidaknya Obito masih bisa hidup lebih lama, walaupun berada di dalam penjara.

"Fine, aku akan membantu kalian. Anggap saja aku seorang informan, jadi jangan segan tanyakan apapun."

.
.

to be continue

Hay, guys.. para pembaca di Ff..

apa kabar semua? hehe, karena punya watty, jd ff-nya terlantar deh. Numb udah mau tamat kalau di watty, silahkan mampir kapan2 ya, yang berkenan aja tehehehe..

yah, ini no edit lagi. soalnya mumpung bisa buka ff, dan sinyalnya agak bersahabat..

dan balasan review buat

I : Jawabannya udah di atas ya pren.. hehe atau kalau masih bingung, silahkan PM saya. kekekeke

D : Jawabannya tepat semua deh hehehe

kaizukainaho07 : ini udah dilanjut ya, maaf ngakar di sini. tapi di watty udah sampai chap 6.. hehe

okey, makasih banyak semua. semoga tidak membingungkan. kalau iya, berarti kita sama. karena saya juga bingung, pusing, meriang.. wkwkwk tapi nggak ileran kok, tenang aja.

kayaknya itu dulu deh, akun saya di watty namanya Broke010

makasih semua,

salam hangat, Broke.