Harry Potter © J.K. Rowling
Your Child
By
Ai Cute
Summary : Harry menggeleng resah. Ini tidak baik. Kenapa ia selalu bermimpi bercinta dengan seorang pria saat bulan purnama tiba? Kenapa justru ia merasakan kebahagian dan yang tidak diakuinya merasa utuh saat ia bersama dengan pria dalam mimpinya itu? Kenapa harus 'Dia'?
Lanjutan Mate Seraphim.
WARNING : Mengandung unsur BL, Mpreg, dan segala umpatan kasar lainnya.
Pair : Sementara DraAsto, DraRry
Draco, Harry, Ron, Hermione 30 tahun
Astoria 27 tahun
Don't Like Don't Read
Chapter One
Warning Lemon
Di sebuah kamar yang mewah dan berukuran 'wah', tampak dua insan manusia sedang melakukan olah raga malam. Keduanya bergulat dengan panas di atas ranjang king size beralaskan seprei dari kain sutra warna putih tulang, yang disulam motif burung merak dengan benang emas. Seprei itu kusut seiring panasnya aktivitas keduanya. Mereka saling memagut, menyentuh, dan membelai tubuh polos pasangannya dengan tidak sabaran untuk menyalurkan nafsu birahi yang menggelegak.
"H-Harry!" panggil Draco dengan suara terputus-putus dan serak karena nafsu. Tubuhnya bergetar nikmat saat kedua tangan Harry yang halus dan hangat membelai kulit punggungnya yang lembab, basah oleh keringat. Kaki jenjang Harry yang jenjang mengait di pinggangnya, menggesek kulit telanjang Draco dengan irama yang teratur dan menggoda, membakar gairah Draco hingga ia takut tubuhnya akan hangus karena tekanan gairah yang dirasakannya. Di bawah sana, Draco junior sibuk menggempur hole Harry, kekasihnya tanpa ampun, membuat kekasihnya itu mendesah penuh nikmat dan lalu membawanya terbang ke langit ketujuh.
"D-Draco," balas Harry tak kalah seraknya. "A-aku sudah tidak k-kuat," imbuhnya dengan tubuh gemetar karena nikmat yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kakinya mengejang kuat. Harry merasakan ini sudah sampai batasnya. Sebentara lagi ia klimaks.
"T-tahan Harry. Sama-sama, Oke?" bujuk Draco setengah menggeram setengah meracau, sehingga tidak terdengar dengan jelas. Tubuh Draco kini ikut tegang seperti Harry. Ia juga sudah sampai puncaknya. Sesuatu yang panas mengalir deras keluar dari kejantanannya, masuk ke dalam hole Harry. Cairan putih keruh dan kental itu memenuhi liang penuh kenikmatan milik Harry dan sebagian meluber, keluar dari hole Harry.
End Lemon
Setelah menyemburkan inti sarinya, tubuh Draco lemas. Ia menghujamkan kedua sikunya kuat-kuat di atas ranjang, menahan diri supaya tidak ambruk menimpa tubuh mungil kekasihnya. Ia menatap Harry sayu, penuh cinta. "Aku mencintaimu, Love. Sangat. H-Ha.."
"Aku juga sayang." jawab sosok yang tengah ditindihnya itu.
Draco tersentak kaget. Suara itu.. 'Itu tidak seperti suara Harry.' pikirnya. Suaranya cempreng melengking seperti suara khas seorang wanita. Draco memfokuskan penglihatannya. Sekarang, setelah nafsu tidak lagi menutupi akal sehatnya, ia bisa melihat dengan jelas sosok yang tengah ditindihnya itu.
Draco buru-buru bangkit dari posisinya, melihat sekitarnya. Ini kamarnya, kamar yang sudah ia tempati bertahun-tahun lamanya. Tapi, ia tidak telanjang bulat. Ia masih berpakaian secara lengkap. Hanya resleting celana panjangnya yang terbuka memperlihatkan kejantanannya yang menjulur lemas keluar. Dari ujungnya menetes cairan kental warna putih dengan baunya yang khas, menunjukkan apa yang baru saja dilakukannya.
Ia lalu melirik pada sosok yang tadi ditindihnya. Sosok itu juga masih berpakaian, meski lebih acak-acakan darinya. Roknya terangkat ke atas dan mengumpul di pinggang, memperlihatkan kakinya yang putih jenjang dan kini kotor oleh leleran sperma yang tadi Draco semburkan. Bagian depan gaunnya terbuka, memperlihatkan putting susunya yang mencuat, menantang Draco untuk menjamahnya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai di atas bantal sutra berwarna emas, menatap sayu Draco. "Draco," katanya menyadarkan lamunan Draco
'Sial,' umpatnya dalam hati. Ia ingat sekarang. Ia tidak sedang bercinta dengan Harry-nya, melainkan dengan Astoria, istri sahnya. Dengan tergesa-gesa, Draco masuk ke dalam kamar mandinya. Ia melepas bajunya secara terburu-buru dan lalu melemparnya sembarangan sebelum ia membakarnya. Tidak. Ia tidak akan sudi memakai pakaian yang sudah ia kenakan untuk bercinta dengan orang lain, selain Harry-nya.
Draco menyalakan shower. Air memancar dari atas kepala, membasahi kepalanya dan lalu sekujur tubuhnya. Lalu, ia mengambil sabunnya, menggosok kulitnya dengan kasar untuk menghilangkan jejak-jejak yang ditinggalkan Astoria pada tubuhnya saat mereka bercinta tadi.
Selalu seperti ini. Dia selalu merasa bersalah tiap kali ia menyentuh Astoria. Hatinya selalu berkata jika ia telah dan sedang mengkhianati Harry. Aneh, bukan? Ya, ini sangat aneh mengingat Astoria secara teknis pasangan sahnya, sedangkan Harry? Harry hanyalah kekasih sepihaknya. Dalam cerita ini, Harry hanyalah kekasih yang ia klaim secara pihak. Hanya dalam imaginasinya. Tidak di dunia nyata.
Setelah bersih, ia mematikan showernya dan mengenakan jubah mandinya, untuk menutupi tubuh polosnya. Ceklek! Suara handle ditarik ke bawah. Draco melangkah memasuki kamarnya lagi, hanya untuk mengambil pakaiannya dan lalu keluar lagi. Tangannya sudah siap menarik handle pintu kamarnya, ketika Astoria menegur Draco.
"Kau mau kemana, sayang?"
Draco mendengar nada kecewa dari suaranya. Draco tahu, ia adalah pria brengsek yang selalu saja mengecewakan dan memberi luka pada istrinya. Tapi, ia bisa apa? Ia hanyalah manusia biasa yang punya hati dan perasaan. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, jika ia tak sanggup tidur seranjang dengan Astoria sepanjang malam. Itu menyiksa mentalnya. "Ke kamarku," jawab Draco dingin.
"Tak bisakah kau berbaik hati menemaniku malam ini, Drake. Anggap saja hadiah ultahku yang terlalu awal," bujuknya.
"Maaf. Lain kali saja." Jawabnya dingin. Bahkan menyebut nama kecil istrinya pun, Draco enggan, seolah mereka dua orang asing yang dipaksa tinggal dalam satu atap. Well, itu ada benarnya sih. Mereka memang dua orang asing yang dipaksa menikah demi melestarikan nama besar Malfoy. Bagi Draco, pernikahannya tak lebih dari sebuah statusm hanya untuk mendapatkan pewaris. Ia tak pernah mencintai istrinya, karena ada nama lain yang sudah bertahta dan merajai hatinya, hingga detik ini.
"Kapan tepatnya?" bentak Astoria dengan tidak sabaran. Ia bangkit dari ranjangnya, menghampiri Draco, suaminya. "Kita sudah menikah selama 7 tahun, Draco. Tapi, kenapa sikapmu masih dingin padaku? Kenapa kau tak pernah mau tidur sekamar denganku? Apa salahku? Apa kekuranganku? Please, tell me." Katanya setengah terisak berusaha memeluk lengan Draco, membujuk Draco agar mau menamaninya.
Hati Draco seperti diremat-remat, dihantui perasaan bersalah, karena lagi-lagi ia harus mengecewakan Astoria, istrinya. Demi Tuhan! Astoria tidak salah apa-apa. Ia seorang istri yang baik, pasangan yang sempurna. Satu-satunya kesalahannya adalah jatuh cinta pada Draco, suaminya. Satu-satunya kesalahannya adalah menginginkan Draco secara utuh, hanya untuknya. Itu sesuatu yang tak bisa Draco berikan. Tak akan pernah bisa.
Draco memejamkan matanya, menata hati dan pikirannya. Dengan halus, ia melepaskan pelukan Astoria."Maaf," ujar Draco lirih sebelum menutup pintu kamarnya kembali.
"Aaargghh…" raung Astoria kesal, melemparkan bantal-bantalnya pada pintu tempat Draco menghilang. Lalu, ambruk di atas ranjangnya. Bulir-bulir air mata keluar menetes dari kelopak matanya. Selalu seperti ini. Ia selalu ditinggalkan seorang diri di kamar mereka, usai bercinta. Itu pun jarang terjadi. Sebulan sekali pun tidak pasti. Astoria terisak-isak dengan suara lirih. "Kenapa Draco? Kenapa kau tak bisa mencintaiku?" gumamnya dengan hati yang pedih.
Terkadang Astoria bingung pada dirinya sendiri. Mau-maunya dia dipermainkan Draco, dijadikan tempat pelampiasan nafsunya. Ia tidak bodoh. Ia tahu, saat menyentuhnya, Draco pasti tengah membayangkan orang lain. Orang itulah yang suaminya bayangkan disentuh, dicap, dan diajaknya bercinta. Bukannya Astoria.
Kau tahu, itu menyakitkan. Sangat. Hati Astoria terluka, berdarah dan bernanah. Tapi…, ia bisa apa. Ia terlalu mencintai Draco hingga ia tak memperdulikannya. Ia tak perduli, meski ia hanyalah pelarian saja. Namun sampai kapan? Dari hari ke hari hatinya semakin sakit tak tertahankan.
"Drake, kenapa kau begitu kejam? Tak bisakah kau mencintaiku, meski sedikit saja?" katanya lirih. Astoria lalu larut dalam lamunannya hingga akhirnya tertidur. Aroma Draco yang tertinggal di kasur itu jadi aroma terapinya, memberinya sedikit kekuatan untuk bertahan.
Di kamarnya yang lain, Draco tengah memandang penuh cinta foto seseorang yang menempel memenuhi semua dinding kamar. "Harry! Love! Bagaimana kabarmu hari ini? Apa kau bahagia? Apa kau merindukanku?" tanyanya.
Draco melangkah ke depan, meraba setiap inchi patung telanjang yang dibentuk sangat indah dari batu pualam. Ia mencium bibir patung itu sepenuh hati, seolah ia sedang mencium kekasihnya. "Selamat tidur Love. Aku harap kau memimpikan aku dalam mimpimu," doanya sebelum mengakhiri ciumannya. Ia lalu melepas patung itu dan menuju ranjangnya yang di sampingnya ada boneka dengan bentuk Harry dan lalu jatuh ke alam mimpi.
Draco tidak tahu, jika ia tengah dipandangi seseorang yang transparan. Matanya tampak sendu, menatap dada Draco yang turun naik dengan teratur. "Semua akan berakhir indah pada waktunya. Jika sebuah kisah tidak happy ending, berarti kisahnya belum berakhir," kata sosok transparan itu sebelum menghilang.
SKIP TIME
Bulan purnama bersinar terang benderang malam ini. Berkas cahayanya menerangi kegelapan malam yang membungkus bumi. Salah satunya menyeruak masuk menembus tirai kain tipis yang menutupi kaca jendela kamar Harry, salah satu kamar yang ada di kediaman Grimmould Place no 12.
Harry terlihat gelisah dalam tidurnya. Ia beberapa kali membalikkan tubuhnya miring ke kanan, ke kiri, dan kadang-kadang terlentang. Kedua tangannya mencengkeram kain seprei yang mengalasi ranjangnya kuat-kuat, seolah menahan sesuatu. Kedua kakinya mengejang, menyalurkan desakan hormon-hormon yang bekerja dalam tubuhnya.
"Nggg… ah..ah.. Faster… faster…" Desahnya meracau, masih dengan mata terpejam erat. Bahkan dalam setengah sadar pun, ia bisa merasakan gelenyar nikmat dalam tubuhnya. Rupanya, Harry, tokoh utama kita yang lain tengah mimpi bercinta. Erangannya terdengar semakin keras, memenuhi setiap penjuru kamarnya hingga akhirnya tak terdengar lagi. Setelahnya, celana yang dikenakannya basah oleh sebuah cairan dengan bau yang khas saat seseorang habis melakukan sesuatu yang berbau seksual.
Mata Harry terbuka, menatap sayu langit-langit kamarnya, merasakan gelenyar nikmat itu masih tersisa di tubuhnya. Otaknya merenung, mengingat-ingat mimpinya. Ia bermimpi berada di sebuah kamar yang luas dengan perpaduan warna merah, hijau, dan emas yang cantik. Harry bisa menilai perabotan mengisi kamar itu pastilah mahal dan juga antik, seperti perabotan era abad 18-an. 'Itu pasti kamar milik bangsawan,' pikirnya dengan enggan.
Harry tak mempermasalahkannya. Sungguh. Yang jadi masalah adalah isi mimpinya. Ia bermimpi bercinta dengan seseorang. Tepatnya seorang laki-laki. Wajahnya memang anonym, tapi Harry tahu pasangannya seorang pria. Harry masih ingat bagaimana pria itu membelai sekujur tubuhnya yang telanjang dan lalu.. ukh… perut Harry bergolak mual ketika ia teringat mimpinya. Pria itu menyodokkan miliknya pada holenya yang sempit.
Ia tahu itu menjijikkan karena ia seorang straight, bukan pecinta sejenis. Tapi, sungguh, ia merasakan nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhnya saat holenya dipenuhi milik pria itu. Harry merasa seperti dibawa terbang ke langit, saat mereka mencapai puncak. Oh, God. Ia bahkan masih bisa mengingat sensasi saat tangannya menggenggam rambut pirang platina pria itu.
Harry menggeleng resah. Ini tidak baik. Kenapa ia selalu bermimpi bercinta dengan seorang pria saat bulan purnama tiba? Kenapa justru ia merasakan kebahagian dan yang tidak diakuinya merasa utuh saat ia bersama dengan pria dalam mimpinya itu? Kenapa harus 'Dia'?
Apa jangan-jangan tanpa sepengetahuannya ia memiliki disorientasi seksual? Harry bergidik ngeri, membayangkan dirinya jadi pria gay. Tapi… Ah, tidak. Ia yakin 100%, ia normal. Buktinya, ia tak pernah mengalami kondisi terangsang saat ia berhubungan baca bersosialisasi dengan pria manapun yang ditemuinya. Dia hanya terangsang dan menjadi sosok yang lain hanya bersama dengan pria dalam mimpinya itu. Jadi.. apa arti mimpi-mimpinya selama ini?
Harry mengerang frustasi, mengacak-acak rambutnya yang memang sejak awal sudah acak-acakan. Ia dengan ogah-ogahan turun dari ranjangnya untuk membersihkan diri. Ia tak nyaman dengan sesuatu yang lengket di tubuhnya. Dalam benaknya, ia sudah menyusun daftar nama wanita yang akan ia kencani besok malam agar ia tidak terbayang-bayang oleh mimpi basahnya yang menjijikkan ini.
TBC
Aku tahu banyak yang kecewa dengan ending Mate Seraphim yang berakhir menggantung. Karena itu, Ai membuat sekuelnya.