Naruto belong to Masashi Kishimoto

I just own this story.

Please enjoy and give your review below. :)

Thank you.

.

.

.

.

.

.

Summary: "Brengsek sialan sepertimu seharusnya mati saja."/ "Kau tidak pantas mendapatkan cinta dan perlindungan! Kau hanya pengecut!"/ "Dia tidak tau apa-apa. Kumohon jangan begini. Kakakku tidak tau apa yang terjadi."/ "Untuk bajingan yang mencintai istri orang lain tidak pernah pantas mengatakan hal itu terutama di depan suaminya!"/ "Baik, Tuan Namikaze. Dengan amat menyesal saya harus mengatakan bahwa istri anda mengalami keguguran."/ "Berhenti memanggilku itu dan jelaskan apa yang terjadi. Atau kau bocah Uchiha! Jelaskan padaku apa maksud dari semua ini!"/ "Telpon emergency room Rumah Sakit. Akan kubopong Paman Minato ke mobil."/ "Kau tidak keberatan kan kalau kita menunda pernikahan?"/ "Aku tidak pernah bisa hidup tanpa melihatnya sekalipun di depan semua orang aku bersikap sebaliknya."/ "Tolong restui aku untuk mencintai putrimu seumur hidupku."/ "Ada seorang Dokter yang menyimpan rekam medik milik Ibu yang sempat hilang. Dia putra Hatake Sensei. Bukankah saat itu Hatake-sensei ikut dalam tindakan operasi ibu?"/ "JELASKAN PADAKU ADA APA SEBENARNYA!"

.

.

.

.

.

.

.

.

Dancing With The Star

.

.

.

.

.

.

.

.

20. Unconditional Love

.

Hinata berbaring gelisah. Matanya menatap tembok dengan khawatir. Air mata tidak berhenti turun dari kedua netra lavendernya. Sementara Sasuke yang merasakan pergerakan tak nyaman Hinata berusaha merengkuh tubuh gadis itu dan mengusap air matanya.

"Ada apa, Hime?"tanya Sasuke lembut sembari mengecup dahi wanitanya.

"Aku takut. Bagaimana jika benar-benar tidak ada harapan untuk..."

"Sstt... Kita tidak tau apa yang akan terjadi kan?"

"Kalau kakakku menyerah dan..."

"Tidak akan. Naruto-san tau apa yang perlu diperjuangkan dan Sakura bukan orang yang lemah. Dia akan kembali. Percayalah."

Hening lama. Hinata semakin mengeratkan pelukannya pada Sasuke. Pria itu memeluknya tak kalah erat hingga Hinata mulai menemukan tempat yang nyaman untuknya.

"Apa kau memiliki cinta seperti mereka, Sasuke? Cinta yang kau rasakan padaku?"

"Aku bukan Sakura ataupun Naruto. Aku tidak bisa melakukan pembuktian cinta seperti yang mereka lakukan. Tapi perasaanku padamu istimewa, Hinata. Andai bukan karena seperti ini aku akan membawamu segera untuk meresmikan pernikahan."

"Tetap bersamaku, hm?"

Sasuke mengangguk dan memeluknya lebih erat. Menyerap kebersamaan yang terasa sedikit menyakitkan. Untuk bersatu, mereka harus menyelesaikan berbagai masalah dalam keluarga mereka. Itu semua mereka lakukan demi bahagia yang utuh.

.

000

.

Jiraiya menatap tidak suka pada putra sahabatnya itu. Kenyataan yang ditutupi bukan hal yang menyenangkan. Dia harus menelan pil pahit dinginnya dinding penjara selama 8 tahun dan mebiarkan keluarganya hancur perlahan. Putrinya harus sangat berjuang atas banyak hal sampai membuat dada Jiraiya sesak karenanya.

"Kau sudah menghancurkan hidup putriku, Kakashi."

"Maafkan aku dan juga Ayahku, Paman." Kakashi merunduk sedalam yang mampu ia lakukan.

"Kau pikir mudah dengan melihat ini?" Jiraiya menoleh pada Minato yang mematung sedari tadi setelah segala fakta dan bukti terhampar di depan matanya. "Kau pria dungu brengsek yang telah membuat semuanya semakin kacau. Jika kau sebenci itu pada Haruno seharusnya kau mencari tau Haruno mana yang seharusnya dinikahi oleh putra tidak bergunamu itu!"

"Haruno sensei..."

"Brengsek! Tutup mulutmu karena kau juga tidak banyak membantu! Kau sudah menghancurkan segalanya, Hatake!"erang Jiraiya.

BUGH!

Pria tua itu melayangkan bogem mentahnya ke arah Kakashi hingga pria itu jatuh tersungkur. Kakasih diam dan tidak berusaha membalas pukulan itu karena dia pantas.

"Rumah Sakit brengsek ini menghancurkan hidup keluargaku!"

Bugh! Buagh! BUGH!

Pukulan dan tendangan dilayangkan lagi oleh Jiraiya pada Kakashi. "Ayahmu menutupi ini semua sekian lama. Kalau kau sejak awal memang ingin menyelamatkan hidupku kau seharusnya membantuku disaat tidak ada satupun yang melakukannya. Aku tidak akan masuk penjara dan putriku tidak harus menikah dengan pria bodoh ini!"

BUAGH!

Jiraiya beralih menghajar Naruto yang tidak pernah dilakukannya selama ini. "Dia menyakiti putriku, sialan!"

BUGH! BUAGH!

"Ayah! Hentikan semua ini!"pekik Konohamaru. Tubuhnya berusaha merangkul tubuh kekar ayahnya hingga tidak ada pukulan dan juga tendangan lagi. 2 orang yang tidak melawan dipukuli itu tidak terlihat baik-baik saja sekarang. Paling tidak, robekan di dahi butuh jahitan dan wajah mereka berantakan.

"Aku sudah pernah dituduh sebagai pembunuh. Apa bedanya kalau aku menghabisi 2 orang ini? Mereka merenggut kebahagianmu dan juga kakakmu. Menjadi alasan kenapa ibumu meninggal. Membuatku menjadi pria rapuh yang bahkan tidak bisa melindungi kalian karena mendekam di ruangan terkutuk itu selama bertahun-tahun."

Jiraiya terisak dan jatuh terduduk. Putaran kejadian mengerikan dan perasaan yang bercampur aduk bermain di pikirannya. Dia menjadi pria terbodoh karena memercayakan terlalu banyak hal pada sahabatnya dulu. Dan lihat saat ini kehidupannya.

"Ha...Haruno-san... kumohon maafkan aku... Ayahku..." Naruto bersimpuh di kaki Jiraiya. Air mata di kedua pipinya banjir layaknya keran. Dia tidak tau bagaimana cara meminta maaf agar bisa membebaskan rasa sakit yang sudah keluarganya tanam di keluarga Haruno.

"Pergilah ke neraka. Akan kupertimbangkan maaf itu jika aku sudah melihatmu mati."bisik Jiraiya sadis sebelum meninggalkan kantor Kakashi tanpa menoleh.

Bruk!

Minato jatuh terduduk dengan tangan memegangi dadanya. Hinata berusaha menyangga tubuh sang ayah yang terasa lemas bagaikan tanpa tulang.

"Aku membunuh cucuku sendiri Hinata... Cucuku..."

Hinata tidak tau apa yang harus dilakukan olehnya selain memeluk sang Ayah. Berusaha menenangkan pria itu sembari menahan duka yang membalutnya saat ini. Hari ini, kehidupan 2 keluarga resmi hancur berantakan. Entah dengan cara apalagi dia harus merekatkannya.

.

000

.

Naruto menatap nanar pintu ruang rawat inap Sakura. Dia sudah mencoba masuk beberapa kali tapi Jiraiya menghadang dengan pukulan demi pukulan yang tidak membuatnya gentar. Dia harus melihat Sakura. Bahkan jika itu hanya 5 detik.

Pukul 11 malam. Jiraiya sudah pulang sejak 1 jam yang lalu. Naruto berusaha mendekati pintu kembali dan mengetuknya. Konohamaru menyambutnya dan membiarkannya masuk.

"Naruto-nii."

Pria pirang itu menoleh ke arah adik iparnya. Menunggu Konohamaru mengucapkan sesuatu.

"Kakakku mencintaimu. Tapi luka yang diterimanya terlalu dalam. Aku bukan Ayahku yang menggunakan kekerasan untuk mengungkapkan kecewa. Itu tidak ada gunanya. Tapi berjanjilah satu hal. Jika kakakku bangun dan menerimamu, kau tidak boleh menyakitinya lagi. Tapi jika dia bangun dan tidak bisa menerimamu, kau harus pergi dan jangan menyakitinya."

"Aku..."

"Bersumpahlah." Konohamaru mengambil nafas panjang. "Percayalah, aku hanya ingin memberikan bahagia untuk kakakku. Kehidupannya tidak pernah mudah. Dan aku hanya ingin melihat senyumnya kembali."

Naruto mengangguk pasti dengan air mata yang menetes kembali di pipinya yang lebam. Perih tidak lagi dirasakannya. Sakit yang dirasakannya tidak sebanding dengan lara yang diterima oleh istrinya. Tidak akan pernah sebanding.

"Terima kasih. Aku percayakan kakakku hingga dia memutuskan."

Remaja tanggung itu meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Menyisakan Naruto yang menatap sendu istrinya yang masih belum membuka matanya paska tindakan kuretase.

"Apa yang kulakukan untuk mempertahankanmu? Aku bodoh dan aku tau itu. Apa setelah kau bangun nanti kau mau memberikanku kesempatan membuatmu bahagia?"

Monolog itu tidak bersambut dan keheningan masih melingkupi mereka. Dengan tubuh yang remuk redam, Naruto merebahkan kepalanya di sisi kanan ranjang Sakura sembar menggenggam tangan kurus istrinya. Menyambut malam dalam kegamangan seperti sebelum-sebelumnya. Dengan setumpuk penyesalan yang mengganjal nafasnya.

.

000

.

"Bagaimana kabar Tou-san?"tanya Sasuke. Hinata hanya menggelengkan kepala berat sembari menggenggam tangan pria yang ia cintai.

"Sepanjang tidurnya Ayah mengigau."

"Penyesalan selalu terasa lebih buruk dibanding apapun."

Hinata menganggukkan kepalanya dan memeluk pinggang Sasuke dan menenggelamkan wajahnya di perut bidang pria itu. Sasuke mengelus lembut rambut wanita yang ia cintai.

"Maafkan aku. Siang tadi aku tidak ada disini untuk membantumu merawat Ayah dan Kakakmu."

"Konohamaru membantuku. Lagipula ini Rumah Sakit."

Hening sementara. Sasuke mengecup puncak kepala Hinata dan mengelus tulang pipi gadis itu. "Aku sudah mengambil formulir pernikahan. Tinggal kau mengisinya. Kapanpun ketika kau siap."

"Aku akan mengisinya sekarang. Tapi kita akan mendaftarkannya bersama setelah semua berjalan dengan baik. Bagaimana?"tawar Hinata yang langsung disambut senyum oleh Sasuke.

"Hime..."

"Nani, Sasuke-kun?"

"Apa berdosa jika saat ini aku merasa bahagia sementara keluargamu sedang kacau?"

Hinata menggeleng. Senyum mengembang di bibirnya sekalipun air mata membasahi kedua pipinya. "Aku juga bahagia. Tapi rasanya tidak utuh. Bagaimana jika masalah ini tidak terselesaikan? Aku tidak ingin kehilangan kakakku lagi. Dan aku akan mempertahankan Hikari. Dia harus bahagia. Tidak sepatutnya dia menerima masa kecil yang sulit seperti yang dihadapi kakakku."

"Kau akan menjadi Ibu yang hebat, Hime."

"Dan kau akan menjadi Ayah terbaik."

"Aku tidak sabar untuk itu."

"Aku juga."

Percakapan itu terhenti. Jauh di dalam hati, mereka masih merasakan kegelisahan. Gelisah apabila kebahagiaan yang tidak lagi utuh itu menjelma menjadi sesuatu yang amat memedihkan. Kebahagiaan yang muncul dari duka. Ironi sekali.

.

.

.

Naruto mengernyitkan dahinya. Jari-jari Sakura bergerak. Dan kedua mata itu mulai bergerak. Pria itu cepat menyeka air matanya dan menekan tombol nurse calling beberapa kali sembari menggenggam tangan sang istri yang tidak terkena selang infus. Wajahnya berubah menjadi cerah. Wanitanya bangun dari tidur panjangnya.

Sakura membuka kedua matanya dan menatap kosong ke arah langit-langit. Seolah mati rasa dengan adanya tangan lain yang tengah menggenggam tangannya. Beberapa perawat masuk dan meminta Naruto menyingkir. Pria itu berjalan ke sisi tembok dan terus mengamati istrinya dengan perasaan yang membuncah bahagia.

Seorang dokter masuk dan melakukan pemeriksaan. Sesekali berbisik dan berbicara cepat dengan perawat yang sibuk mencatat hasil pemeriksaan. Dokter itu berbalik dan menatap Naruto dengan senyum tipis.

"Untuk saat ini kondisi istri anda baik. Tapi kami memerlukan pemeriksaan lanjutan. Jaga emosinya untuk stabil agar pemulihannya lebih cepat."terang Dokter.

"Baik."

"Kami permisi terlebih dahulu."

Dokter dan beberapa perawat pergi meninggalkan ruangan. Naruto kembali berjalan menuju kursi yang ada di samping tempat tidur. Wajah Sakura begitu datar seolah tidak terjadi apapun. Tatapannya juga kosong. Suatu kondisi yang membuat Naruto merasakan ngilu tak tertahankan di hatinya. Sakura hidup layaknya mayat. Tak bergerak dan kaku.

"Naruto."

"Na... nani?"

"Berapa lama aku begini?"

"1 minggu."

"Bisa jelaskan padaku kenapa kau merasakan ada sesuatu yang merembes di sela kakiku? Perutku nyeri sekali. Dan aku sangat tau ini bukan gejala dari nyeri haid."

"Sakura..."

"Apa aku... baru saja keguguran?"

Naruto mematung. Tidak sanggup mengatakan kata apapun. Raut kehilangan yang amat dalam nampak di kedua mata Sakura dan itu melukai Naruto lebih banyak dibanding ratusan peluru yang menghujam tubuhnya.

"Aku memang tidak datang bulan selama lebih dari 3 bulan. Kupikir karena aku sedang banyak pikiran." Sakura menoleh ke arah Naruto dan mendapati wajah sang suami beubah menjadi pias. Wanita merah muda itu tau jawaban dari keheningan yang ditampakkan Naruto.

"Jadi begitu..."

"Sakura, kita..."

"Aku lelah. Bisakah kita tidak membicarakannya?"

"Sakura..."

"Aku tau apa yang terjadi saat ini. Dan aku sudah memaafkanmu. Jadi pembicaraan kita selesai."

Wanita merah muda itu membalikkan badannya. Memunggungi Naruto tanpa ingin menoleh. Hatinya pedih. Tubuhnya lelah. Dia tidak ingin bayang kesakitan masa lalu membuatnya menjadi hancur berkeping-keping. Terlebih... ada satu nyawa dalam perutnya yang hilang. Nyawa yang tidak sempat ia sadari. Dia harus membayar semua yang telah terjadi dengan sangat mahal.

Naruto hanya mampu menghela nafas panjang dan menatap sedih punggung istrinya. Kami-sama... Kenapa susah sekali memperbaiki apa yang telah ia rusak? Apa kali ini dia memiliki kesempatan untuk membuat semuanya kembali? Setidaknya, Naruto ingin mengembalikan kebahagiaan sang istri. Sekalipun Naruto harus menelan empedu selama prosesnya.

.

000

.

Apa yang menjadi berat dari setiap peristiwa?

Kekecewaan yang mendalam. Sakura tak kunjung membuka suaranya. Dia tau Naruto tidak pernah berhenti mengunjunginya. Menggenggam tangannya ketika tidur. Menyiapkan segala kebutuhan Sakura. Dan ketika Jiraiya datang, Naruto dengan sangat sopan berpamitan. Sekalipun tak jarang Jiraiya akan memukulnya karena menemukan Naruto ada di kamar rawat Sakura. Dan ketika Sakura tidak ingin bicara, Naruto tidak memaksanya bicara.

Jangan tanya bagaimana perasaan Sakura. Jauh di dalam hatinya, ingin sekali Sakura melemparkan diri pada pelukan Naruto. Namun segala kesakitan yang telah ia rasa membuatnya menghentikan keinginan tersebut.

Baiknya Naruto tidak berusaha menjadikan Hikari sebagai alasan agar Sakura luluh padanya. Naruto tidak pernah membawa Hikari menemuinya. Tidak juga Hinata dan Sasuke. Hikari selalu datang mengunjunginya ketika Naruto tidak ada. Dan selalu datang bersama Menma dan Shion.

Sakura membutuhkan waktu untuk memutuskan. Akankah dia melanjutkan pernikahannya atau malah memutuskan berpisah. Dan semua itu merupakan hak prerogatifnya. Jiraiya bahkan tidak ingin ambil pusing dengan keputusan apapun yang akan diambil putrinya. Dia hanya mengajukan satu syarat. Sakura harus bahagia.

Lamunan Sakura terhenti ketika Naruto masuk. Pria itu tersenyum lebar. Tidak peduli dengan betapa dinginnya respon Sakura terhadap senyumannya. Dia pantas mendapatkan perlakuan yang seperti ini dari Sakura. Setidaknya Naruto bisa berada dekat dengan Sakura dan hal itu membuatnya tenang.

"Aku membawakanmu bacaan. Kata Ino kau suka sekali dengan novel."ujar Naruto membuka percakapan. Sakura tak bergeming dari tempatnya dan menatap datar pada tas berisi 5 novel keluaran terbaru.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"tanya Naruto.

Hening. Sakura menolehkan wajah ke arah jendela. Mengindahkan Naruto yang mengajaknya bicara. Naruto masih saja tersenyum dengan perlakuan itu.

"Aku merindukan suaramu Sakura."

Masih belum ada jawaban.

"Aku bersalah pada banyak hal. Minta maaf pun rasanya tak pantas. Apalagi memintamu kembali. Tapi satu hal yang bisa kukatakan saat ini adalah maafmu yang paling ingin kudengar. Apapun permintaanmu setelah itu akan kuturuti. Hanya saja... Kumohon biarkan aku berjuang."

"Kau sudah kumaafkan."ujar Sakura dengan nada datar.

"Aku tau. Tapi kau mengucapkannya untuk membuatku menjauh. Bukan karena kau memaafkanku."

"Aku lelah."

"Maafkan aku."

"Naruto, keputusanku melindungi keluarga kita bukanlah keputusan yang kuambil untuk membuat rasa bersalah timbul di hatimu. Aku hanya ingin memperbaiki apa yang salah dalam Haruno-Namikaze. Tentang bagaimana nantinya nasib pernikahan kita, kurasa semua sudah berakhir semenjak kau menolakku. Tidak ada yang benar dari hubungan kita sejak awal."

Hening. Naruto merasakan nyeri yang jauh lebih menyakitkan ketimbang saat dia menunggu Sakura bangun dari tidur panjangnya.

"Aku mencintaimu, Naruto. Masih. Tapi ada banyak luka yang belum bisa menutup dan membuat kebersamaan seolah menjadi luka yang terus ditaburi garam. Kesalahpahaman semakin mengarat dan aku tidak ingin terjun kembali ke dalamnya. Kau tidak berhutang apa-apa padaku. Aku hanya meneruskan apa yang Kushina Kaa-chan dan apa yang dilakukan Ibuku."

"Kalau begitu izinkan aku melakukan hal yang sama."

Sakura mengerutkan kedua alisnya tidak mengerti. Pembicaraan yang dilakukan antara dirinya dengan Naruto kali ini adalah pembicaraan paling panjang setelah berbulan-bulan mereka berpisah.

"Aku akan membersihkan nama Haruno. Memang tidak bisa mengembalikan keadaan. Tapi aku akan melakukan apapun agar kehormatan yang dulu terenggut dari nama keluargamu kembali. Setelah itu... Semuanya kuserahkan kembali padamu."

.

000

.

Namikaze Minato tertegun lama menatap ke jendela. Lamunan akan saat-saat terakhirnya bersama Kushina kembali. Semua senyum, semua tangis, semua rasa bahagia. Kenapa dia bisa menjadi pria yang seperti ini? Apa di atas sana Kushina tengah mengutuknya dengan memberikan semua rasa bersalah dalam hatinya?

"Aku sudah menyakiti putra kita. Menjadikannya Ayah yang sama tidak becusnya denganku. Aku menciptakan monster tanpa kusadari. Lalu aku mengembalikan dirinya sebelum merenggut kebahagiaannya kembali. Aku ini Ayah yang seperti apa Kushina?"ujar Minato di sela isaknya.

"Hinata... Dia masih belum mau menjemput hari bahagianya karena Naruto belum bahagia. Aku Ayah yang gagal. Aku menyakiti 2 anak kita yang seharusnya bisa kulindungi. Bagaimana aku bisa jadi makhluk seperti ini?"

Pria pirang itu menunduk. Tangisnya teredam dalam keheningan. Matanya sembab. Semua hal yang ada pada dirinya seolah hilang bersamaan dengan penyesalan yang semakin sarat memenuhi rongga dadanya.

"Apa yang harus kulakukan, Kushina?"tanya Minato pada keheningan.

Malam itu, gerimis datang membasahi kota Tokyo. Minato meringkuk di atas tilam dengan memeluk foto istrinya. Sayup-sayup suara gemuruh petir seolah membisikkan sebuah kata. Memaafkan.

Dia harus memaafkan masa lalu dan mulai menata hidup. Dan dia harus membangun jembatan agar Naruto bisa kembali bersama dengan Sakura. Hal terbaik yang bisa ia lakukan adalah meminta maaf pada Haruno Jiraiya. Memulai semua dari awal. Dan memberi kesempatan semua orang bahagia.

.

000

.

Konohamaru mendorong kursi roda Sakura dengan senyum lebar. Hari ini kakaknya telah resmi pulang ke rumah. Hinata dan Sasuke ikut mengantar. Keduanya bersikap sangat ramah dan bahagia. Seolah tidak pernah terjadi apapun antara Namikaze-Haruno. Lagipula, Jiraiya tidak berhak marah. Hinata masih bayi ketika permasalahan muncul.

"Kau suka Kaa-chan keluar dari rumah sakit kan?"tanya Hinata riang sembari mengeratkan pelukannya pada Hikari. Bocah itu mengangguk lucu sebelum meminta turun. Mendatangi Jiraiya dan memeluknya sayang.

"Aku ingin disini. Boleh kan Bibi Hinata?"tanya Hikari.

"Tentu saja boleh. Nanti Bibi akan mengatakan kepada Mama dan Papa juga Tou-chan. Hikari ingin menginap berapa lama?"tanya Hinata dengan senyum.

"Hikari ingin disini sampai Kaa-chan kembali ke rumah bersama Hikari dan juga Tou-chan."balas bocah pirang itu dengan mantap. Jiraiya mendengus kesal. Dia tidak ingin Sakura kembali ke rumah dimana pria yang menyebabkan kesengsaraan anaknya berada.

"Kalau Mama dan Papa rindu Hikari bagaimana?"bujuk Sasuke. Pria itu menyejajarkan tinggi dengan Hikari.

"Mama dan Papa menginap disini. Bersama Tou-chan juga. Jadi Hikari senang."

Hinata terkekeh dan mengecup puncak kepala keponakannya itu. "Nanti Bibi akan bicarakan dengan Mama Papa. Tapi ingat, Hikari harus menjadi anak baik agar Kaa-chan cepat sembuh. Hm?"

"Janji."ujar Hikari sembari menjulurkan kedua jari kelingkingnya untuk dikaitkan pada kelingking Sasuke dan juga Hinata.

"Paman dan Bibi kapan memberikan Hikari adik? Kata Paman Itachi menikah bisa membuat seseorang memiliki bayi."

Sasuke tertawa. Dia harus memberi Itachi hadiah karena dengan ini dia jadi memiliki alasan agar Hinata mau segera mendaftarkan pernikahan bersamanya. "Segera."janji Sasuke sembari mengelus puncak kepala Hinata. Gadis itu menunduk. Menyembunyikan rona merah di wajahnya.

"Kami harus pulang. Tou-sama sedang tidak baik kondisinya. Terlepas apapun itu, kami benar-benar minta maaf karena sudah merepotkan semuanya."pamit Hinata.

"Sampaikan salam kami padanya. Semoga cepat sembuh."sahut Tsunade dengan senyum tulus. Jiraiya berdeham seolah mengingatkan istrinya untuk tidak lagi beramah tamah dengan Namikaze senior yang saat ini tengah sakit. Pria kuning itu tidak butuh dikasihani!

Hinata mengangguk dan menoleh ke arah Sakura yang masih menatap kosong jendela ruang keluarga. "Kami pulang dulu, Sakura-nee."

Sakura hanya mengangguk. Tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari bibirnya. Bahkan ketika Hikari merengak untuk duduk di atas pangkuan Sakura. Gadis itu tersenyum namun hatinya seolah telah mati.

Sasuke yang melihat kecanggungan mulai membubung menarik Hinata dalam pelukannya dan membisikkan kata semangat. Mereka berdua pergi dari kediaman Haruno. Ada banyak hal yang harus mereka lakukan. Terkait permintaan Naruto dan perusahaan.

"Terima kasih selalu ada disampingku, Sasuke."bisik Hinata. Tanpa ia sadari, air mata merembes dari kedua pipinya. Sasuke tersenyum dan mengecup kedua mata gadis yang sangat ia cintai itu.

"Senyummu adalah kebahagiaanku, dan tangismu adalah dukaku. Kau tidak perlu berterima kasih atas apa yang kita lalui. Percayalah, aku juga bahagia."

Hinata mengangguk dan mengeratkan pelukannya pada Sasuke. Cuaca yang mendung dan angin dingin yang berhembus seolah mendukung suasana. Mereka terus berjalan sampai stasiun. Demi mencapai tujuan mereka selanjutnya.

.

000

.

Tokyo menjadi gempar setelah kasus yang telah terkubur lama kembali mencuat. Berita tentang Jiraiya menjadi perbincangan. Bahkan di kalangan Asosiasi Dokter Jepang. Persidangan kali ini bukan untuk menuntut Haruno Jiraiya atas kasus pembunuhan. Tapi persidangan ini ada untuk membersihkan nama Haruno sepenuhnya dari tudingan beserta bukti-bukti.

Rumah Sakit Konoha terkena dampak. Jajaran petinggi yayasan Rumah Sakit yang terlibat dalam kasus pembunuhan Namikaze Kushina dipidanakan. Gelar Dokter mereka dicabut secara tidak hormat. Bahkan Kakashi nyaris terkena imbasnya. Namun bukti yang terkait tentang dokumen rekam medis yang disimpan Ayahnya tidak bisa memberatkan Hatake Kakashi dalam kasus tersebut. Dia dibebaskan.

Dewan Rumah Sakit memilih Direktur Rumah Sakit yang baru dan nama Hatake Kakashi menjadi satu-satunya kandidat. Dia menang telak setelah 10 orang pemegang saham Rumah Sakit memilihnya.

Hal yang jauh lebih menggegerkan adalah berita tertangkapnya Antonio De Luca. Pria yang menjadi buronan seluruh kepolisian Jepang dan juga badan hukum dunia itu tertangkap setelah mencoba kabur dengan menaiki pesawat dari Hokaido menuju China. Hukuman eksekusi segera diberlakukan karena dia terbukti sebagai gembong Narkoba untuk wilayah Asia. Dia juga dalang dari kematian Namikaze Kushina dengan motif melemahkan pengaruh Namikaze Minato dlam pemerintahan dan reputasinya sebagai penguasa pasar di Jepang.

Singkatnya, semua baik-baik saja. Tapi tidak dengan Sakura. Wanita itu tau sejauh apa usaha Naruto dalam memperbaiki nama keluarganya. Bahkan berkat apa yang dilakukannya pada kasus sang Ayah membuat Jiraiya mendapatkan kembali apa yang hilang dari hidupnya. Gelar Dokter dan tercabutnya status 'mantan narapidana' sehingga kehidupan Haruno secara keseluruhan menjadi jauh lebih baik.

Sakura tetap hidup bagaikan boneka. Dia hanya terlihat hidup ketika Hikari berada di sekitarnya. Selain itu, dia sama responsifnya dengan manekin. Tidak ada senyum, tangis, bahkan amarah. Konohamaru sampai kehilangan akal bagaimana caranya membuat sang kakak kembali ceria seperti sedia kala.

Kondisi yang masih seperti itu membuat Jiraiya semakin keras melarang Naruto mendekati pagar rumahnya. Naruto berkali-kali mengajukan permintaan untuk menemui Sakura. Semua itu dilakukan Naruto agar dia tau bagaimana keputusan akhir yang diambil istrinya. Apapun... demi Tuhan apapun yang diinginkan Sakura akan dituruti Naruto asalkan gadis itu bahagia. Namun seeras Naruto mencoba, sekeras itulah dia mendapat penolakan.

Semua yang rusak, tidak akan pernah kembali utuh. Begitu juga dengan hati yang telah remuk. Kepingannya dapat tersusun kembali. Tapi retak yang terdapat di susunan itu tidak adapat hilang. Hati bukanlah besi yang bila ditempa akan semakin apik dan berguna. Hati layaknya kaca. Jika pecah dia tidak akan bisa kembali.

.

000

.

Minato berjalan tertatih menghampiri Hinata yang sedang melakukan pengecekan data perusahaan. Sejak kondisi Minato yang naik turun, Hinata memutuskan untuk tetap tinggal di rumah. Sementara perusahaan kembali diurus oleh Naruto dan dibantu oleh Sasuke dan Orochimaru.

"Hinata..."

"Tou-san. Ada apa?"tanya Hinata. Ditutupnya laptop miliknya dan memfokuskan diri pada sang Ayah yang sudah duduk di sofa.

"Kau... Tidak ingin menikah? Urusan Naruto sudah selesai. Kau juga bisa memulai bahagiamu. Jangan terbebani denganku ."jawab Minato dengan nada sedih. Warna mata Hinata adalah warna mata yang sama dengan Kushina dengan versi yang lebih pucat. Dan ketika menelisik ke dalam mata itu, Minato seperti melihat Kushina kembali.

"Aku sudah mengisi formulir pernikahan dengan Sasuke. Tapi kami belum mendaftarkannya. Kami ingin kondisi Tou-san baik dulu. Tou-san harus sehat karena Tou-san yang akan menikahkanku nanti. Aku juga sudah membicarakannya dengan Nii-chan. Dia baik-baik saja dengan apa yang kuputuskan."

"Kau harus bahagia, Hinata."

"Aku tau. Tapi kesehatan Tou-san penting. Aku tidak ingin Tou-san kembali drop. Kami bisa menunggu."

"Bagaimana dengan keluara Uchiha? Kau sudah membicarakannya dengan mereka?"

Hinata mengangguk. Beberapa hari yang lalu dia mengunjungi Mikoto dan juga Fugaku. Mereka menanyakan tentang rencana pernikahan Hinata dan Sasuke. Hinata sendiri sudah menyampaikan keputusannya dan Mikoto tidak mempermasalahkan selama Hinata dan Sasuke menjaga batasan sebagai pasangan yang belum terikat. Untuk zaman yang modern, Uchiha memiliki pemikiran yang tradisional. Mereka sangat menjunjung nilai pernikahan. Dan hal itu jugalah yang membuat Hinata semakin mencintai Sasuke.

"Kondisi Tou-san sudah semakin baik. Tou-san ingin melihatmu menikah."

Hinata terdiam cukup lama. Hatinya berdebar tidak enak ketika mendengar permintaan itu keluar dari bibir sang Ayah. "Nanti akan Hinata bicarakan dengan Sasuke. Tou-san istirahat lagi saja. Aku akan menyiapkan makan siang dan obat untuk Tou-san."

Minato mengangguk. Membiarkan Hinata berjalan menuju dapur untuk menyiapkan segala kebutuhannya. Hal yang dulu selalu dilakukan Sakura. Dia menantu yang baik. Kenapa dulu dia setega itu menyakiti gadis yang sudah dianggapnya putri itu?

"Setelah Hinata menikah, aku berharap hatimu juga ikut luluh untuk kembali bersama putraku. Dan kali ini akan kupastikan kalian semua bahagia."

.

000

.

Sasuke masuk ke taman kediaman Namikaze. Halaman belakang yang disulap menjadi taman bunga dan berdekatan dengan kolam renang itu terlihat indah. Seindah gadis yang tengah duduk di atas kursi sembari menelusuri berita di atas koran.

"Hime..."panggil Sasuke sebelum mengecup pelipis kanan Hinata lembut. Gadis itu tersenyum menyambut kedatangan pria yang paling ia cintai.

"Kau ingin membicarakan sesuatu?"

"Hanya menyampaikan obrolan dengan Tou-san beberapa hari yang lalu."

Sasuke mengerutkan dahinya dan duduk di hadapan Hinata. "Ada apa?"

"Tou-san ingin kita segera menikah. Apa kau setuju dengan itu?"

Nyaris saja Sasuke tersedak ketika meneguk teh chamomile buatan Hinata. "Kau... serius?"tanya pria itu setelah pulih dari tersedak.

"Tentu. Ini menyangkut masa depan kita. Bagaimana aku bisa tidak serius?"

Pria raven itu tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dengan seluruh euphoria yang ia rasakan, Sasuke menggendong Hinata dan memutar-mutar gadis itu dengan pekikan bahagia. Hinata itu terkekeh sembari mengeratkan pelukannya pada Sasuke.

"Kau tau apa yang lucu, hm?"tanya Sasuke setelah menurunkan Hinata.

"Apa?"

"Aku baru saja ingin melamarmu."

Hinata mematung. Tapi desakan bahagia membuncah di dadanya. Hinata tersenyum sebelum larut mengecup semua permukaan wajah Sasuke dengan antusias.

Pria raven yang kehilangan image 'patung' itu mengeluarkan kotak cincin beludru berwarna biru. Dibukanya kotak itu sembari bersimpuh di depan Hinata. "Marry me?"

Hinata tersenyum. Sangat tipikal Sasuke. Dia akan bicara langsung pada poin yang ia inginkan. Tapi hal itu tidak menjadi soal kartena apa yang dilakukan pria itu mampu menghangatkan hati Hinata. Gadis itu mengambil cincin emas putih dengan berlian di atasnya. Terlihat sangat klasik dan sakral. Hianat menyukai desainnya yang sederhana namun sangat menyentuh hatinya.

"Apa aku punya alasan untuk menolak? Aku terlalu mencintaimu."ujar Hinata.

Sasuke langsung berdiri dan memeluk Hinata erat. Hatinya berbunga-bunga. Kali ini dia mendapatkan cinta yang sebenar-benarnya. Cinta yang mampu memberinya ketenangan. Cinta yang akan selalu dibangkitkan olehnya hingga akhir hayat.

"Kau tidak akan berani. Karena kau tau aku juga sangat mencintaimu."jawab Sasuke sembari mengecupi puncak kepala gadisnya. Miliknya.,

.

000

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.


Minna-san. Sebelumnya Chiyo mau ucapkan banyak maaf karena kembali hiatus. Sebenarnya ada banyak hal (terlalu banyak malah) yang menjadi kendala kenapa Chiyo baru bisa upload sekarang.

Chiyo mau mengucapkan banyak terima kasih untuk semua yang menunggu cerita ini dengan sabar. Kalian hebat. Semoga masih bisa terus mengikuti dengan sabar ne? sabar, bentar lagi selesai kok.

Jangan lupa dukung terus cerita ini dengan menulis review dan jadikan cerita ini fav atau follow ya. Terima kasih banyak.

Jaa matta ne minna...