I don't own Naruto. Naruto is belong to Masashi Kishimoto

But, the story is mine

Please Enjoy. ^_^

.

.

.

.

.

Summary: Berulangkali terjatuh pada permasalahan yang sama. Dihadapkan oleh banyak kesulitan atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Harus hidup bersama laki-laki yang membenci dirinya. Apa yang harus dilakukannya? / "Kau hanyalah anak pembunuh! Dan dengan semua itu kau masih berani menampakkan diri di hadapanku?" / "Kau hanyalah salah satu dari Haruno pembunuh itu!" / "Tidak, jangan begini. Aku benar-benar mencintainya Ayah..." Main pairing NaruSaku, Romance/Hurt/Comfort/Drama, OOC, OC

.

.

.

.

.

.

DANCING WITH THE STAR

.

.

.

.

.

.

1. I Hate Love

Namikaze Naruto bukanlah pria yang santai. Dalam kesehariannya, dia hanyalah pengusaha bertangan besi. Dia tidak ingin menoleransi karyawan apapun kondisinya. Sekalipun mereka juga orang-orang yang sudah berkeluarga. Hidup seharusnya hanya didesikasikan kepada karir. Tidak lebih dari itu. Manusia yang mendedikasikan hidupnya dalam keluarga adalah sampah. Istri hanyalah manusia yang mengacaukan banyak hal. Dan dia membenci mereka.

Kenyataan soal cinta pun hanya sesuatu yang dibesar-besarkan. Tidak ada cinta yang berakhir dengan bahagia. Hanya sebatas permainan hormon yang akan hilang seiring berjalannya waktu. Dan amat tidak berguna. Hidup dengan perasaan yang turut andil dalam kehidupan hanya membuang-buang waktu. Satu-satunya yang tidak akan menghianati adalah usaha keras dan uang. Bukannya matrealistis, Naruto hanya ingin realistis saja dalam memandang hidup. Toh jika sangat ingin belaian wanita, dia akan mendapatkannya dengan mudah. Banyak wanita yang menginginkan dirinya dan tidak keberatan walau hanya sehari saja bersama Naruto.

Tentu saja, wanita yang mau berkencan dengannya itu akan mendapat bayaran yang pantas. Jadi, apa pedulinya dengan cinta?

.

oooo

.

"Sakura!"

Gadis yang dipanggil itu menoleh pada gadis berambut pirang dan tampilan yang menawan. Mata yang biru bagaikan langit membuat gadis yang memanggilnya itu terlihat semakin memukau.

"Ada apa Ino pig?"

"Apa kau sudah tau kau akan praktik di rumah sakit mana?"

"Di Rumah Sakit Konoha."

"Kau serius?" Mata Ino membulat tidak percaya.

Sakura mengangguk dan menunjukkan lembar surat keputusan dari universitas kepada Ino. "Departemen Mata. Selama 3 bulan. Setelah itu pindah ke THT."

"Tapi... Rumah Sakit Konoha... Apa kau baik-baik saja dengan semua itu? Bagaimana kalau ada karyawan yang mengetahui namamu?"

"Tsunade-sama sudah memperhitungkannya. Lagi pula, yang bernama Haruno bukan hanya aku. Tenang saja."

"Ta...Tapi... Kau... Disana..."

"Ino pig, berhenti mencemaskan sesuatu. Aku sudah akan mengumpulkan formulir ini. Kau sendiri, di mana kamu akan ditempatkan?"

"Rumah Sakit Pemerintah di Tokyo. Departemen Jantung Paru."

"Yosh! Kalau begitu selamat menikmati peranmu kali ini."

"Sakura..."

Gadis berambut pink itu hanya tersenyum.

"Aku sudah baik-baik saja Ino. Sudah 8 tahun sejak kejadian itu. Toh sebelumnya Ayah tidak pernah mengajakku. Mereka tidak akan mengenaliku hanya karena itu. Percayalah."

Ino terdiam. Semenjak 8 tahun yang lalu, Sakura menjadi sosok yang sangat tegar. Dia harus mampu hidup sendiri dalam peliknya kondisi keluarganya saat itu. Ayahnya, Haruno Jiraiya, adalah dokter bedah jantung yang reputasinya sungguh dibanggakan. Dokter bedah jantung terbaik yang perna ada di Jepang. Tapi ayah Sakura ditangkap dan difitnah telah membunuh salah satu pasiennya pada awal kariernya sebagi dokter bedah jantung. Kasus yang diada-adakan 15 tahun yang lalu itu terkuak dan membuat Jiraiya harus dipenjarakan. Sakura harus merawat ibunya yang sakit-sakitan semenjak itu. Adiknya, Konohamaru, masih terlalu kecil untuk mengambil tanggung jawab dalam keluarganya. Sakura tetap harus sekolah, membiayai adiknya, pengobatan ibunya, dan juga biaya hidup mereka. Sisa tabungan setelah kasus Ayahnya terungkap tidak mampu menutupi kebutuhan hidup saat itu. Sakura harus bekerja sambilan di 3 tempat sekaligus untuk melakukannya. Tentu saja itu tidak mudah untuk siswa tahun pertama SMA. Tapi, Sakura tidak pernah mengeluhkan itu semua. Dia hanya diam.

Penguat yang terbesar baginya saat itu adalah Ino, Shikamaru, Karin, Tenten, Kiba, Gaara, dan kekasihnya Sasuke. Mereka semua menghibur Sakura dan tidak segan-segan membantu hal-hal sederhana. Membantu mengurus rumah Sakura selama Sakura bekerja dan merawat Ibu Sakura serta Konohamaru yang saat itu masih kelas 3 SD. Beruntung, Sakura dan Konohamaru termasuk salah satu siswa terpandai di sekolahnya sehingga mereka berdua mendapat beasiswa yang nyaris penuh. Hal itu sangat meringankan kehidupan mereka.

Namun, 2 tahun belakangan ini Sakura tidak seriang biasanya. Itu semua karena Sasuke memutuskan untuk pindah ke Maroko karena beasiswa. Sasuke berjanji akan pulang tak lama setelah studinya selesai. Kepergian selama 2 tahun itu sangat membekas. Menanamkan luka tak kasat mata yang sekuat tenaga ditahan Sakura. Dia kehilangan. Merasa sedikit rapuh karena tidak memiliki tempat yang cukup untuk bersandar. Tak lama setelah Sasuke pergi, Ibu Sakura meninggal dunia. Kesedihan beruntun yang dialaminya membuat Sakura nyaris menyerah. Gadis itu nyaris saja bunuh diri. Kalau saja Ino tidak berteriak histeris ketika menemukan sahabatnya akan mengiriskan pisau ke lengan kirinya, entah apa yang terjadi.

Dan selama 2 tahun yang panjang itu, Sasuke tidak pernah memberi kabar apapun. Segala hal yang bisa dilakukannya untuk mempertahankan hubungannya dengan Sasuke membuat Sakura lelah. Cara menghubungi paling masuk akal yang diketahuinya tidak pernah bisa menjangkau keberadaan Sasuke.

Saat ini, Sakura menjadi sosok apatis. Tersenyum tapi senyum itu tidak pernah bisa menembus hatinya. Bersikap ramah dan sopan sekalipun dia sedang tidak berpikir untuk melakukannya. Yang diketahui gadis itu adalah bagaimana dia bisa bertahan dalam segala hal yang tidak masuk akal ini. Dia hanya berdoa kepada Kami-sama agar dikuatkan menghadapi persoalan hidupnya hingga Konohamaru tidak menyesal memiliki kakak sepertinya. Hanya itu saja tujuannya saat ini.

.

oooo

.

"Kau sudah memindahkan barang-barangmu kan?"tanya Tsunade. Gadis berambut pink yang ada di hadapannya itu hanya mengangguk.

"Terima kasih kepada Tsunade-sama karena telah membantu mencarikan apartemen murah sebagai ganti rumah yang kami tempati."balas Sakura.

"Sudahlah. Lupakan soal itu. Kau mahasiswa yang pintar. Aku tidak ingin kehilangan mahasiswa yang sangat berprestasi sepertimu hanya karena masa lalu. Lagipula, memindahkanmu ke tempat yang baru akan mempersulit rumah sakit memastikan bahwa kamu putri dari Jiraiya. Ini demi keselamatanmu dan adikmu. Aku menulis nama kakekmu sebagai wali dan mengatakan kepada pihak rumah sakit kalau kau yatim-piatu. Seharusnya itu cukup."

Sakura hanya menunduk. Dia sudah memindahkan barang-barangnya ke apartemen yang dibelinya tak jauh dari rumah sakit. Apartemen kecil yang memiliki 2 kamar, 1 ruangan yang difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus ruang makan dan ruang keluarga, dapur dan satu kamar mandi. Hanya seperempat dari luas rumahnya yang dulu. Sakura menjual rumahnya. Uang hasil penjualan rumah separuh digunakannya untuk membeli aparteman, mengurusi kepindahan, serta membiayai sekolahnya dan adiknya selama beberapa waktu. Separuhnya lagi ditabung.

"Saya benar-benar berterima kasih..."gumam Sakura. Air mata menetes perlahan dari wajahnya.

"Sakura, perlu kau ingat, ini semua bukan salah keluargamu. Jangan bersedih sampai seperti itu. Kau harus tegar. Kau masih harus mengurusi ayahmu dan juga Konohamaru."

Sakura hanya mengangguk. Berusaha menghentikan tangis tanpa suaranya.

"Semua kebohongan pasti akan terungkap Sakura. Hanya tinggal menunggu waktu saja. Bertahanlah sampai waktu itu tiba. Oke?"

Tsunade berjalan mendekat dan memeluk gadis itu. Menepuk-nepuk punggung gadis itu hingga tangisnya berhenti. Tsunade cukup prihatin dengan semua yang dialami Sakura. Gadis itu memiliki banyak sekali permasalahan yang tidak akan bisa ditanggung gadis lain.

.

oooo

.

"Nii-chan. Okaeri."

Naruto memandang adiknya dengan sebal. Ini sudah jam 2 pagi dan gadis itu belum juga tidur. Apa-apaan sih?

"Kenapa kau tidak tidur Hinata?"

"Nii-chan ini benar-benar laki-laki aneh. Apa aku bisa tidur kalau keponakanku sedari tadi merengek meminta bertemu ayahnya? Dia baru saja terlelap. Sulit sekali menenangkannya hari ini, Nii-chan tahu? Banyak hal yang perlu kita bicarakan, Nii-chan."

"Bicara saja dengan Tou-sama. Dia punya banyak waktu."

"Nii-chan tidak sopan! Ini tentang anakmu. Kenapa aku harus berbicara dengan Tou-sama?"

"Aku lelah, Hinata. Apalagi yang kamu inginkan?"

"Tidak bisakah Nii-chan menghabiskan waktu di rumah saja besok? Kasihan Hikari. Apa perlu aku berbohong terus kepadanya? Sementara Ayahnya saja tidak terlalu peduli dengan keberadaannya?"

Naruto membanting tas kerjanya tepat di hadapan adiknya. Wajahnya memerah menahan emosi.

"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan apa-apa pada Hikari! Kau saja yang ingin melakukannya kan?! Sekalian saja lakukan apapun yang kau inginkan! Kenapa berisik sekali?! Kalau kau tidak suka melihatku memperlakukan anakku, diamlah! Atau kau pergi saja dari rumah ini, mengerti?!"

PLAKK!

Hinata menampar Naruto keras-keras. Air mata sudah membayangi sudut matanya. Kakaknya benar-benar keterlaluan.

"Nii-chan dulu tidak seperti ini. Kenapa Nii-chan bisa berubah begitu banyak? Kenapa? Apa salah Hikari kepada Nii-chan? Dia hanya anak kecil yang tidak tau apa-apa. Dia tidak mendapat kasih sayang ibunya dan tidak mendapat perhatian dari ayahnya. Tapi itu bukan salah Hikari kan? Aku tidak suka Nii-chan menyebut diri Nii-chan sebagai ayah kalau Nii-chan masih bersikap seperti ini."

Hinata berbalik dan mengeratkan mantel tidurnya. Bergerak menuju kamar anak tempat Hikari terlelap. Meninggalkan Naruto dalam emosi yang tidak kunjung padam.

Jangan salahkan dia kalau dia bersikap seperti ini! Salahkan saja Kami-sama karena membuatnya jatuh cinta pada wanita yang membuatnya hancur sampai seperti ini. Salahkan juga kepada ayahnya yang bersikap dingin ketika menyodorkan berkas yang tidak pernah ingin ditandatanganinya.

Naruto mengumpat berkali-kali sebelum mengambil tas kerjanya dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak akan beristirahat. Dia hanya ingin memastikan kalau amarahnya masih sangat terjaga. Dia harus membalas siapa saja yang telah membuatnya seperti ini. Siapapun dia, Naruto tidak peduli.

.

oooo

.

"Nama saya Haruno Sakura. Mulai saat ini saya menjadi Dokter Muda di departemen ini. Saya mohon bantuannya."ujar Sakura memperkenalkan diri.

Para staf di depertemen itu menatapnya dengan mata terbelalak. Nama Haruno bukanlah nama yang asing. Nama itulah yang membuat kasus luar biasa terjadi di sini. Tapi, apa benar gadis cantik berambut pink yang saat ini tersenyum ramah itu putri dari Haruno yang sama?

Sakura hanya tersenyum melihat pemandangan yang sudah lama diprediksikan olehnya. Semua yang mendengar nama Haruno, selama nama itu dikaitkan dengan dunia Medis, akan membuat semua orang merinding. Nama itu adalah nama kontroversional yang disebutkan saja terasa tabu. Sakura tidak ingin merubah namanya karena itu hanya akan menghianati kekerabatan dengan ayahnya. Dia hanya membiarkan orang-orang mencari tahu. Dia sudah lelah dengan semua tatapan itu.

"Ano... Haruno san... apa kamu ini..."tanya salah satu perawat dengan takut-takut. Perawat itu berambut pirang berkuncir empat yang menatapnya dengan tatapan serba salah.

"Mendengar nama Haruno, kalian semua pasti terkejut. Tapi maaf, aku sudah yatim piatu sejak 2 tahun yang lalu."balas Sakura tetap dengan senyuman. Dalam hati, dia meminta maaf kepada Ayahnya karena telah berbohong dan menutupi identitas aslinya. Kalau saja ini bukan demi keselamatan dirinya dan juga adiknya, Sakura benar-benar tidak ingin melakukannya. Dia ingin bebas mengakui Jiraiya sebagai ayahnya. Berbangga karena ayahnya merupakan dokter bedah jantung yang hebat. Dia bisa ada disini, dengan segala kekurangan dan kelemahannya karena dia amat mencintai Ayahnya, dan pekerjaan mulia yang dilakukan Ayahnya.

"Yosh! Apalagi? Waktunya bekerja kan?"teriak seorang perawat bername tag Lee. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangan ke atas. "Ayo bekerja para jiwa muda."ujarnya penuh semangat.

Satu persatu orang yang bekerja di departemen itu pergi. Ruang rapat yang semula ramai kini menjadi sunyi. Sakura menatap ke arah lorong yang mungkin pernah dilewati ayahnya. Ini semua merupakan perjalanan yang tidak akan mudah baginya.

.

oooo

.

"Aku benar-benar mengkhawatirkan Sakura, Shika... Bisakah kau memahaminya?"tanya Ino dengan penuh penekanan.

"Sakura bukan gadis yang lemah Ino. Berhenti mengkhawatirkannya. Kau ini kenapa sih?"

Ino menggebrak meja tempat mereka makan. Wajahnya berubah merah. Mata birunya seperti menyala.

"Aku tau kau jenius! Tapi kau tidak pernah memikirkan sahabatmu sendiri. Laki-laki macam apa yang tidak mengerti kepentingan sahabat dekatnya?! Baka Shika!"

"Ino, kita sekarang sudah menjadi pusat perhatian. Bisakah kau duduk saja?"

Shikamaru menarik tangan Ino untuk duduk kembali. Gadis itu hanya diam. Amarahnya belum juga habis. Tidak peduli bagaimana laki-laki itu bersikap sekarang.

"Ino, bukannya aku tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan Sakura. Aku hanya ingin menghargainya. Sakura juga memiliki harga diri. Kalau setiap dalam kesulitan kita selalu menolongnya tanpa dia memintanya, harga dirinya bisa saja terluka. Jangan seperti itu. Kita bisa menolongnya tapi tidak dengan cara yang kau inginkan Ino. Kita awasi saja dulu seperti apa kondisinya. Kalau memang dia sangat membutuhkan bantuan, kita akan membantunya tanpa diketahui olehnya. Itu saja."saran Shikamaru.

"Kau tidak mengerti betapa kesulitannya dia saat ini. Harus ada di sana selama satu semester. Bisa kau bayangkan? Rumah sakit yang menyeret nama ayahnya hingga keluarganya hancur berantakan adalah rumah sakit tempatnya praktik!"

Ino mulai terisak. Kejadian selama 8 tahun terakhir yang dialami sahabatnya itu bukanlah hal yang menyenangkan.

"Sudahlah Ino. Sakura gadis yang kuat. Lagipula, di Rumah Sakit itu ada Gaara. Dia tidak akan segan-segan mengawasi Sakura untuk kita."

Ino mengangguk dan berusaha menyelesaikan tangisannya. Sementara Shikamaru hanya bisa menghela nafas. Masalah yang dihadapi Sakura memang terlalu troublesome.

.

oooo

.

Sakura melirik jam tangannya sekali lagi. Memastikan dia tidak terlambat masuk rumah sakit. Dia baru 1 minggu disana. Rasanya tidak tepat jika dia telat. Masih sekitar 30 menit sebelum jam masuk.

Brukk!

Langkah Sakura terhenti. Laki-laki paruh baya berambut pirang terjatuh tepat di hadapannya. Laki-laki itu terlihat sesak nafas dan memegang dadanya.

"Ano... Ji-san... apa kau baik-baik saja? Apa masih mendengar perkataanku?"tanya Sakura. Laki-laki itu merintih dan berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya. Tangannya menyengkram dada dengan kuat.

Sakura mendekatkan telinganya ke dada laki-laki itu. Merasakan detakan tak beraturan dari jantung laki-laki tersebut. Eh, tunggu! Laki-laki ini memiliki penyakit jantung.

Sakura berteriak meminta bantuan. Beberapa orang yang lewat di hadapannya berhenti. Sakura meminta bantuan mereka untuk memanggilkan petugas UGD untuk datang ke sana dan membawakan brankar sekalian.

"Ji-san... Kumohon, bertahanlah." Sakura memeriksa nafas laki-laki itu. Diceknya nadi di leher, lengan, dan mendengarkan suara jantung laki-laki itu sekali lagi di dada. "Bisa meminta tolong lagi? Bisakah kalian menjaga jangan sampai ada kendaraan yang mendekat kemari? Sebelum paman ini dibawa ke UGD."pinta Sakura pada orang yang ada di sekelilingnya. Mereka semua mengangguk dan berdiri mengitari Sakura.

"Petugas UGD!"

Kerumunan memberikan jalan dan membiarkan petugas UGD mengangkat laki-laki itu. Sakura ikut mendorong brankar dan masuk ke ruang UGD.

"Kakashi sensei!"panggil Sakura kepada laki-laki yang ada di hadapannya. Laki-laki tampan berusia 30 tahun itu menoleh.

"Ada apa Haruno-san?"

"Pasien ini, tolong tangani segera. Kumohon. Beri oksigen secepatnya. Dia memiliki penyakit jantung. Dia tadi tiba-tiba jatuh, sesak nafas, dan memegangi dadanya. Tolong lakukan EKG (Elektro Kardiograf). Tadi aku mendengar suara jantung yang aneh darinya. Sepertinya dia memiliki penyakit Angina. Ada yang tidak beres dengan Aorta (pembuluh darah nadi paling besar). Jangan-jangan ada atherosclerosis (penyempitan pembuluh darah yang kaya oksigen)."

"Tunggu. Angina? Apa maksudmu? Bagaimana kamu bisa menduga semua itu? Apa kamu mengenal pasien?"

"Sensei, apa aku terlihat seperti mengenali pasiennya?"

"Tapi, pemeriksaan seperti itu sangat sulit jika dilakukan sendiri. Kau memakai stetoscope tadi?"

Sakura menggeleng dan menarik jas dokter Kakashi. "Itu tidak penting. Segera selamatkan pasiennya. Periksa dengan EKG dan penunjang lainnya. Tolong hubungi departemen jantung paru secepatnya. Bibirnya sudah mulai sirosis (biru)!"pekik Sakura.

Kakashi langsung menyeret EKG dan memeriksa pasien. Sakura mengetuk-ngetukkan kakinya tidak sabar. Setiap detik amat penting bagi pasien saat ini.

Beberapa menit kemudian, Kakashi mengambil kertas yang menunjukkan kondisi jantung pasiennya itu. Melihat hasilnya, mata Kakashi terbelalak. Bagaimana mungkin seorang dokter muda tau begitu banyak soal jantung bahkan tanpa alat penunjang? Siapa sebenarnya gadis Haruno ini?

"Kau bisa mendiagnosa seperti itu dari mana?"tanya Kakashi.

"Aku mendengarkan bunyi jantungnya dan menghitung pernafasannya. Sudahlah Sensei. Pasiennya ini bagaimana?"

"Aku akan menelpon departemen jantung paru."

1 menit kemudian, Kakashi memberi kode kepada perawat jaga untuk mengantarkan pasien melakukan pemeriksaan jantung lanjutan di departemen jantung paru. Setelahnya, Kakashi menghampiri Sakura. Meneliti penampilan dokter muda berambut pink itu.

"Apa Todai (Tokyo Daigaku = Universitas Tokyo) mengajarkan cara mengenali penyakit jantung sampai se-spesifik itu pada mahasiswanya, Haruno-san?"tanya Kakashi.

Sakura menelan ludah dengan sedikit kepayahan. Gawat. Dia terlalu banyak tahu soal jantung untuk ukuran dokter muda yang bahkan belum menjadi dokter secara penuh. Kalau Kakashi sampai mengenali siapa sebenarnya Sakura... bagaimana nasibnya nanti?

"Ano... Aku... hanya suka mengikuti Tsunade-sama, Sensei. Sungguh, itu bukan hal yang istimewa."

"Tsunade sensei bukan dokter spesialis jantung. Dia dokter spesialis bedah saraf."

"Dan... Itu... Tsunade-sama tahu cukup banyak soal jantung dan mengajariku, Kakashi sensei."

Kakashi diam. Kecurigaannya semakin membesar melihat tingkah panik gadis Haruno ini. Ada yang berusaha untuk ditutup-tutupi. Dan entah mengapa, Kakashi memiliki perasaan kalau hal yang berusaha ditutupi itu hal yang bisa membahayakan keberadaan gadis Haruno ini.

"Ano... Sensei... Gomenne... Aku harus ke departemen mata. 5 menit lagi masuk jam operan."

Sakura membungkuk 90 derajat sebelum berlari. Meninggalkan ruang UGD dengan perasaan yang campur aduk. Aduh, jangan sampai Kakashi sensei mengenalinya sebagai anak dari Haruno Jiraiya. Tolonglah, Kami-sama!

.

oooo

.

"Tou-sama! Tou-sama sudah sadar!"pekik Hinata tanpa sadar. Tangannya sibuk memencet tombol pemanggil perawat dan menatap wajah ayahnya.

"Hi... Hinata?"

"Hai. Tou-sama diam dulu. Tak lama lagi perawat dan dokter akan datang untuk memeriksa Tou-sama."

Namikaze Minato menatap putrinya bingung. Apa yang membuatnya bisa ada di tempat ini? Apa ini di rumah sakit? Minato tidak ingat dia berjalan masuk ke rumah sakit. Tapi tunggu? Siapa yang membawanya kemari?

"Namikaze-san? Saya dokter yang bertanggung jawab merawat anda. Nama saya Yamanaka Inoichi. Permisi sebentar. Saya periksa dulu."

Inoichi mengambil stetoscope dari sakunya dan memeriksa bunyi jantung Minato. Bunyi jantung yang tidak seimbang. Jika dibiarkan tanpa operasi akan menambah masalah.

"Bagaimana Sensei?"tanya Hinata. Air mata yang sedari tadi membanjiri pipinya tidak berusaha dihapus oleh gadis bermata lavender itu.

"Kalau boleh tau, sejak kapan Namikaze-san memiliki keluhan nyeri dada terutama di bagian kiri?"

"Sekitar 1 tahun ini."balas Minato sembari menahan rasa tidak nyaman di dadanya.

"Itu bahaya sekali, Namikaze-san. Untung tadi ada yang menyelamatkan anda di saat yang tepat dan membawa anda dengan pengetahuan yang luar biasa, Namikaze-san. Penyakit anda ini sangat serius. Kalau Anda sudah merasakan sesuatu yang tidak beres, harusnya anda segera memeriksakan diri."

"Ma... maaf Sensei."

"Sudahlah. Lain kali anda harus lebih memikirkan kesehatan. Anda istirahat saja dulu. Saya akan berbicara dengan putri anda. Saya sarankan kepada Namikaze-san untuk tidak banyak berpikir. Stress hanya akan memperburuk kondisi anda."

"Baik, sensei."

"Ingat baik-baik nasehatku kalau tidak ingin berlama-lama di sini."

Minato mengangguk lemah. Inoichi memasukkan stetoscope kembali ke saku jas dokternya. Sebelum berbalik, Minato memanggil Inoichi.

"Sensei..."

"Ya?"

"Aku ingin bertanya, siapa orang baik yang menyelamatkanku dan membawaku kemari?"

"Oh, dia dokter muda yang praktik di rumah sakit ini. Namanya Haruno Sakura."

Deg!

Minato berusaha menurunkan emosi sesaat yang bergejolak dalam dirinya. Nama itu...

"Istirahatlah Namikaze-san. Tidak usah dipikirkan. Gadis itu benar-benar luar biasa. Dia bisa langsung mengenali penyakit anda dan merekomendasikan hal-hal yang tepat."

Inoichi tersenyum dan mengajak perawat serta Hinata meninggalkan ruangan.

Di dalam ruangan, Minato hanya bisa menggenggam seprei. Berusaha menahan sakit dari luka tak kasat mata yang disebabkan nama itu. Sudah 23 tahun berselang. Mengapa nama itu masih saja ada di bumi ini? Kami-sama jahat sekali padanya.

.

.

.

"Penyakit ayah anda sangat serius, Namikaze-san. Dengan kondisinya yang sekarang, kami harus segera mengoprasinya dan memasang 2 ring di jantungnya. Sedikit terlambat sebenarnya bagi ayah anda untuk menerima pengobatan ini. Tapi kami akan berusaha sekuat tenaga."

Air mata Hinata turun tanpa diundang. Kami-sama, skenario apalagi yang kau siapkan untuk keluarga Namikaze ini? Tidak cukupkah kondisi keluarganya yang saat ini berantakan sampai Kami-sama harus menghukum ayahnya juga?

"Saya akan melakukan pemeriksaan lanjutan. Kalau anda dan ayah anda setuju, saya akan segera mempersiapkan operasinya."

"Eto... Sensei... Saya mempercayakan segalanya kepada anda. Mohon bantuannya."

"Saya hanya berusaha. Takdir dari Kami-sama lah yang akan menentukan. Saya sarankan anda lebih banyak berdoa untuk kesembuhan Ayah anda."

Hinata membungkuk 90 derajat. Yamanaka sensei membalas membungkuk sebelum pergi meninggalkan Hinata yang masih mengucurkan air mata. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Memberitahukan kondisi ayahnya kepada Naruto? Laki-laki itu terlalu marah untuk memahami kondisi di sekitarnya. Lalu bagiamana dengan Hikari? Siapa yang akan menemani keponakannya itu? Memberikan kasih sayang yang layak sebagai ganti orang tuanya?

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Hai minna. Hajimemashite, namae wa Chiyo desu. Saya masih newbie nih dalam fic. Terutama fanfic Naruto dan terkhusus di pairing NaruSaku. Hehehe... Mungkin setelah membaca fic di atas kalian akan menemukan banyak typo atau bahkan cerita merasa kalau chapter 1 nya sudah ketemu konflik. Jujur, saya termasuk orang yang suka cerita dengan konflik yang banyak. Tapi saya usahakan konflik di fic ini nggak terlalu berat buat dibaca. Republish dari yang tadi, Maafkan ya? soalnya ada sedikit kesalahan di HTML nya. Makasih yang sudah ngasih masukan.

Yah, sekian dulu perkenalannya. Mohon 'Review' nya biar tambah semangat buat nulis kelanjutnya. Jaa ne.