Disclaimer:

Naruto dan karakter yang digunakan dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto.


UNBREAKABLE PROMISE

.

.

.

Penyusun Kerangka Cerita:

SiHitam

.

Penulis:

ForgetMeNot09 dan SiHitam

.

Editor:

ForgetMeNot09

.

.

.

Bab 8

...

Apa yang orang-orang pikirkan saat melihat wanita bersuami seharian keluyuran tidak jelas di jalanan? Wanita tidak tahu diri. Namun siapa yang berani menyebut Mei Terumi seperti itu?

Wanita itu kabur dari rumah. Kenapa Mei Terumi harus kabur dari rumah miliknya sendiri? Bertengkar, iya, Mei Terumi sedang bertengkar.

Wanita tidak bertanggung jawab? Justru dia seperti ini karena ingin bertanggung jawab atas apa yang ia ucapkan tempo hari di depan suami dan mertuanya.

Suara bising jalanan perkotaan, cuaca terik siang hari di tengah kemacetan, bahkan apa pun perkara yang membuat sebagian besar orang akan merasa jengkel, tak satu pun mampu menarik atensi Mei Terumi. Di dalam mobil yang ia kemudikan sendiri, padahal selama ini ia selalu diantar sopir pribadi, Mei sedang benar-benar kalut.

"Ugh …."

Mei merintih sakit, wanita itu memijit keningnya untuk kesekian kali.

"Apakah aku melakukan kesalahan?" ucapnya pada diri sendiri.

Memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan, rasanya ia memang melakukan kesalahan. Namun jika dibiarkan saja malah akan lebih buruk, menurutnya.

Mencarikan gadis untuk dijadikan istri kedua bagi suaminya sendiri, wanita konyol mana yang akan melakukan itu? Bahkan terpikir pun tidak. Anggap saja ia sedang kalap saat itu sehingga tidak bisa berpikir jernih.

Apa mungkin dari awal dirinya salah dengan menjadikan Naruto sebagai suami? Keputusan yang berawal dari keanehan fantasi seksnya, sehingga membuat berbagai dalih dan alasan seperti tidak ingin kesepian sampai ajal, sebagai pembenaran atas keputusan itu.

"Tidak ... tidaak!"

Mei menggeleng.

Ia akui kalau alasan itu memang dia buat-buat, Naruto pun tidak keberatan malah tampak dengan senang hati melakukannya. Namun setelah menikah, ia bahagia bersama Naruto, dan juga sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan pernikahannya yang kedua ini.

Pangkal masalahnya adalah ...

"Andai saja aku bisa melahirkan seorang anak."

Menyesal pun tiada guna, kekurangan dirinya ini harus diterima bagaimana pun juga. Gara-gara dia mengumumkan akan membawakan seorang gadis ke rumah, untuk dinikahkan dengan Naruto, muncul masalah yang melebar ke mana-mana. Ketegangan menyelimuti seisi rumah.

Hubungannya dengan mertua jadi renggang. Ia merasa malu menyapa Kushina, padahal mereka terbilang dekat jauh sebelum ia menikahi Naruto. Kushina pasti menyadari apa dasar atas keputusannya itu. Kushina pun sepertinya juga enggan menyapa lebih dahulu. Merasa tidak enak hati karena membuat harapan yang terlalu tinggi pada kondisi yang tidak memungkinkan.

Minato tampak bingung tak tahu harus berbuat apa. Padahal Minato yang diharapkan sebagai orang paling bijak.

Penghuni rumah yang lain sampai kena dampaknya. Para pelayan dan pekerja lainnya sampai puasa berbicara, takut kalau mulut mereka tidak sengaja mengeluarkan kata yang salah. Yang paling buruk adalah dengan Naruto. Hampir saja mereka pisah ranjang malam itu, kalau saja tidak ada yang mau mendinginkan kepalanya lebih dahulu.

Setelah bersitegang cukup panas, jam 1 malam Naruto mengetuk pintu kamar.

"Maafkan aku, bicaraku terlalu keras tadi," ucap Naruto kala itu.

Meski mata Naruto tidak menatap lurus pada Mei, tapi raut mukanya penuh penyesalan.

"Aku juga minta maaf, karena terlalu egois."

Mei menunduk. Tidak ada yang berbicara lagi. Malam itu, keduanya tidur di ranjang yang sama dengan posisi saling membelakangi.

Naruto mengalah pada keinginan istrinya. Mei pun tidak ada niat menarik kembali ucapannya membawa seorang gadis untuk dijadikan sebagai istri kedua Naruto. Hal itu harus terjadi dan untuk alasan itulah kenapa saat ini Mei keluyuran di jalanan, kebingungan mencari gadis untuk dibawa pulang, yang mana ini sudah hari kesepuluh.

Mencari di jalanan, memangnya dia akan membawa gadis jalanan kepada suaminya? konyol!

Mungkin ia akan membayar, atau menyewa seorang gadis? Tidak, Mei tidak akan melakukan hal sejahat itu.

Harusnya dia tidak berkata seperti itu saat tidak memiliki seorang pun kenalan gadis yang bisa ia jadikan madunya.

Aaaahh, Mei merutuki dirinya sendiri yang sungguh amat sangat bodoh.


A/N:

Akhirnya setelah sekian purnama, bisa publikasi bab terakhir dari cerita ini *halah. Banyak yang telah saya lewati selama dua tahun itu. Tadinya sama sekali enggan melanjutkan, tetapi melihat beberapa review nyasar di cerita saya yang lain untuk melanjutkan cerita ini, saya jadi tergerak untuk menuntaskan.

Langkah awal tentu saja dengan menghubungi para penulis yang lain. Sayangnya, hanya SiHitam yang masih bisa saya hubungi, karena saya kehilangan kontak Valentinexxx.

Oh ya, sekadar curhat, bab terakhir ini bab yang paling menguras tenaga, pikiran dan perasaan. Pertama karena sudah lama ditinggalkan, saya dan SiHitam sama-sama harus mengulang membaca bab prolog sampai bab 7. Kedua kemampuan kami menulis yang sudah tidak lagi seperti dulu, membuat pengerjaan bab ini menjadi lama untuk diawali. Ketiga kami banyak berdebat dalam pengerjaan bab terakhir ini, yang mungkin lantaran idealisme kami yang berbeda sama-sama kuat, ini juga menjadi alasan bab ini paling lama dikerjakan.

Itu saja dahulu, di akhir nanti, kami akan beri catatan lagi ^^

-x-


...

"Apa-apaan itu tadi?"

Hinata menoleh ke belakang, tidak ada yang mengikuti. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun memburu kembang kempis. Di depan stasiun, ia membungkuk dengan tangan bertumpu lutut, matahari mulai terik.

Sedikit menarik sudut bibir, ia tertawa miris.

"Jam 11," ucapnya saat menengok arloji di pergelangan, "baru hari pertama dan aku sudah dibuat seperti ini."

Hinata sudah tiba di Konoha, naik kereta shinkansen pagi-pagi buta dari Ame. Tidak disangka, keberangkatannya dari Ame sudah tercium komplotan koruptor yang menggelapkan uang perusahaan. Sejak pertama naik kereta dia sudah terancam celaka.

Di stasiun kota Ame, Hinata hampir dijambret. Untung saja tas yang ia bawa, berisi bukti-bukti kejahatan berhasil ia pertahankan. Lebih parahnya, andai Hinata tidak waspada tubuhnya mungkin sudah tak keruan bentuk, ada yang mendorongnya ke rel sesaat sebelum kereta tiba. Tubuhnya oleng, tapi untung refleks keseimbangan tubuhnya bagus sehingga ia tidak jatuh. Lalu setelah sedikit kucing-kucingan dengan empat orang berpakaian preman, Hinata akhirnya berhasil naik shinkansen, meninggalkan mereka di sana.

Namun jangan disangka, di dalam shinkansen Hinata bisa duduk tenang. Karena Hinata tahu sedang dikejar-kejar, ia senantiasa waspada sekeliling setiap saat. Tidak jauh di belakang, Hinata menyadari ada pria mencurigakan. Sengaja ia duduk tidak jauh dari petugas keamanan agar merasa lebih aman. Satu jam di perjalanan, orang itu belum melakukan apa-apa. Namun Hinata sadar kalau pria itu punya niat jahat padanya. Kereta berhenti di Kiri untuk transit, Hinata turun mengendap untuk berganti dengan kereta yang menuju ke Suna. Meski jalan memutar, tapi ia mencoba peruntungan.

Keputusannya benar, meski perjalanannya bertambah 2 jam tapi ia berhasil sampai di Konoha tanpa gangguan. Namun tentu saja, Hinata tidak berpikir akan aman. Mereka pasti sadar bahwa dirinya tidak berada di kereta itu lalu menunggu di semua pintu masuk transportasi publik Konoha.

Dugaan Hinata tidak salah. Baru saja turun dari kereta, dia sudah ditodong senjata api di pinggang, digiring keluar. Entah keberuntungan macam apa yang membuatnya dapat lolos, ia mengucap terima kasih kepada semua orang yang berdesakan tadi sehingga memberinya kesempatan untuk kabur.

Ia membuat kesimpulan kalau para komplotan itu menggunakan cara halus, seperti yang menimpa Kiba dan Shino, itu kecelakaan tapi dibuat-buat. Buktinya, ada banyak kesempatan untuk membunuhnya secara terang-terangan kalau mau, tapi tidak dilakukan.

Dan di sini lah Hinata sekarang, "Ini tempat terbuka. Aku pasti diawasi dari suatu tempat," gumamnya.

Hinata melanjutkan langkah. Ia bingung, tidak hanya memikirkan bagaimana caranya agar lolos dari maut tapi juga, "Bagaimana caranya agar aku bisa bertemu Mei Terumi-Sama?"

Dia belum memikirkan sampai situ. Ia berangkat dari Ame pagi tadi pun mendadak karena sudah dicurigai. Ingin datang ke kantor pusat Mizu Grup, tapi pasti akan ribet urusannya agar bisa bertemu dengan pemangku kursi tertinggi, lagi pula rute ke sana pasti bakal diadang habis-habisan. Ke rumah Mei Terumi pun, pasti sama situasinya.

"Eh, apa ini?"

Meski di tengah kota begitu bising, Hinata tetap bisa mendengar ada suara gemeretak dari atas.

Sebuah layar videotron berukuran besar lepas dari tempatnya di lantai 6.

"Oh, tidak, kyaaaaaaa!"

Hinata berteriak kencang. Ia buka mata dan mendapati dirinya, "Are, aku masih selamat?"

Ia terduduk di jalan karena tak sanggup lagi berdiri akibat shock tadi.

Benda besar itu jatuh dan hancur berkeping-keping, pada jarak satu meter darinya.

Banyak orang mendekat untuk melihat. Tak lama kemudian ada juga petugas yang datang. Tidak ada korban jiwa maupun luka karena jatuh tertimpa benda berat itu.

Sekarang Hinata menumpang istirahat di pos polisi dekat sana. Baru saja selesai diperiksa sebagai saksi terkait jatuhnya videotron karena posisinya lah yang paling dekat dengan tempat kejadian. Setidaknya di sini dia aman, walau tak bisa berlama-lama. Meskipun urusannya ke Konoha ini berkaitan kasus kriminal, tapi ia ragu melaporkannya kepada polisi. Ia ingin membawa kasus ini pada Mei Terumi karena hanya itulah satu-satunya yang mungkin bisa dia percaya.

Pukul 6 sore hari, mau tidak mau dia pergi dari pos polisi. Untung tadi polisi memberikannya makanan, jadi tidak perlu repot mencari makanan lagi yang pasti akan berbahaya.

Hinata celingukan di depan pos polisi, "Malam ini aku harus ke mana? Apa aku masih hidup sampai besok pagi?"

Hinata hanya bisa memasrahkan keselamatannya pada Yang Mahakuasa. Sudah sampai di titik ini, dia tidak akan mundur. Lagi pula Hinata tidak ingin kematian Kiba dan Shino sia-sia.

Tiba-tiba ia mendengar suara ban beradu aspal yang memekakkan telinga. Disusul dengan suara benturan yang sangat keras.

Mata Hinata membola, tak berani dirinya menoleh ke belakang. Jantungnya tidak berhenti berdegup kencang.

Tidak jauh di sana, sebuah mobil boks terbalik dengan bagian depan rusak berat karena menabrak pohon mahoni besar peneduh jalan.

Hinata tidak mengerti, keberuntungan macam apa lagi kali ini yang membuatnya selamat. Padahal tadi Hinata jelas merasakan angin dari mobil boks yang melaju itu, tidak tahu kenapa sehingga mobil gagal menabrak dirinya dan malah menabrak pohon.

Atau jangan-jangan para penjahat itu menunggunya sejak tadi? Belum semenit keluar, maut sudah ingin menghampiri.

"Astaga, aku harus cepat pergi dari sini."

Mumpung ada kerumunan banyak orang, Hinata berpikir untuk segera lari dan menghilangkan jejak.

Gadis itu tidak tahu dia diikuti atau tidak. Dia hanya tahu berjalan tergesa dan terus berjalan tanpa henti di antara kerumunan orang ramai. Jam segini memang sangat ramai, terutama oleh para pekerja kantoran yang pulang maupun muda mudi yang sedang jalan-jalan. Ia tidak lagi berlari karena hanya akan menarik perhatian. Membaur dengan orang ramai seperti ini dan terus berpindah tempat setidaknya akan menghindarkannya dari kecelakaan buatan seperti tadi, begitu pikir Hinata.

Namun, cara seperti itu tidak bertahan lama. Ini sudah pukul 9 malam. Jalanan perlahan mulai lengang.

Tepat di persimpangan jalan yang masih ramai, Hinata berhenti.

"Ayolaaah, berpikiiiir!"

Dia jadi kesal sendiri, di tengah bahaya begini otaknya malah tidak mau berkompromi.

Tiba-tiba saja dia jadi gugup. Intuisinya mengatakan kalau sekarang ada yang mengawasinya. Gawat, Hinata menengok ke kiri dan kanan, ia harus cepat bergerak lagi. Sampai matanya berhenti pada suatu tempat yang terbilang ramai.

Hinata pun melenggang pergi. Berjalan tergesa lagi. Berlawanan arah dengan tempat yang sempat ia amati tadi.

Lalu ada langkah kaki yang berhenti tepat di posisi Hinata berdiri sesaat lalu.

"Gadis itu hilang lagi!" seorang pria tampak kesal, "sialan!"

Tiga orang lainnya tampak menenangkan si bos, "Terakhir kulihat dia berjalan ke arah sana," ucap salah satu dari mereka.

"Kau yakin?" tanya si bos.

"Yakin, Oyabun!"

Mereka pun bergerak ke arah yang sama dengan arah Hinata kabur tadi.

Sambil bergegas, si bos menelpon, "Tim kami kehilangan jejak, tapi masih mencari. Yang lain?"

Tidak tahu apa yang mereka diskusikan lewat telepon. Begini keadaannya, yang mengejar Hinata tidak hanya empat orang. Ada banyak orang dari komplotan itu. Semuanya, berniat membunuh Hinata.

-x-

Hinata berhasil masuk dengan selamat ke tempat ramai yang tadi ia lihat dari persimpangan. Sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota.

"Aku sudah aman belum ya?"

Hinata ragu, meski dirinya yakin tidak lagi sedang diawasi.

Tadi sengaja ia berjalan berlawanan arah, untuk mengelabui orang-orang yang mengawasinya. Memakai jaket secepat kilat, memasang tudungnya lalu berbalik ke sini. Hinata hampir lupa cara bernapas, mengingat betapa mendebarkannya ketika dia berpapasan di jalan dengan komplotan pejahat tadi ketika menuju ke sini. Untung tidak satu pun dari mereka yang sadar.

"Walau masih ramai, tapi mal ini tidak lama lagi akan tutup. Aku tidak bisa terus di sini," gumam Hinata.

Lagi-lagi dia celingak-celinguk, "Keluar lewat pintu belakang pasti lebih aman."

Butuh waktu satu jam Hinata berkeliling di mal besar itu hingga menemukan pintu belakang. Setelah keluar dari mal lewat belakang, "Aku tidak tahu tempat itu aman atau tidak, tapi tidak ada pilihan lain."

Di seberang jalan, sebuah bangunan kecil dari deretan ruko masih buka dan menyala. Neon box nya bertulisan "Manga Café".

Hinata bergegas masuk, mumpung tidak ada orang di sekitar situ. Lalu menyewa sebuah bilik. Setidaknya, Hinata berharap bisa tidur malam ini. Badannya sungguh lelah, fisik dan psikis. Siapa coba yang tahan dikejar-kejar para pembunuh?

Hinata merebah dirinya setelah sampai di bilik paling ujung. Dia tidak tahan lagi, bahkan dengan baju dan jaket serta tas yang melekat di badan, belum semenit gadis itu terlelap.


UNBREAKABLE PROMISE


Ini hari ketiga belas Mei Terumi keluyuran di jalan.

Sungguh, ia tidak bisa memikirkan cara lain mencari seorang gadis untuk suaminya selain dengan cara ini.

Bukan, bukannya Mei bodoh sampai melakukan hal tidak berguna itu setiap hari sampai tiga belas hari. Dia hanya stres, tidak dapat berpikir jernih, dan …

… Mei merasa rumahnya tidak lagi nyaman.

Ya, sejak malam ketika dia bersitegang dengan Naruto, bahkan di depan mertuanya sendiri, akibatnya mereka semua jadi kurang komunikasi.

Pagi hari Naruto akan pergi bekerja, lalu Mei pun juga pergi. Wanita itu ingin menyendiri, walau dengan cara keluruyan tidak jelas seperti ini.

Kesekian kalinya Mei memukul-mukul setir mobil. Ternyata, sendirian begini tidak membuatnya lebih baik, yang ada malah makin kalut. Padahal saat ini masih pagi.

Mei melajukan mobil dengan kecepatan tinggi begitu lampu hijau menyala. Namun tak lama kemudian ... ia mengerem mendadak, menepi lantas berhenti di sisi jalan yang agak lengang lalu lintasnya.

"Apa aku sudah gila?"

Mei benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya dia seperti ini? Di dalam mobil, sosok Mei tampak agak berantakan.

Hanya karena perasaan sentimentil dan sikap egois dalam dirinya, semuanya jadi kacau. Sungguh, Mei sama sekali tidak menginginkan hal seperti ini terjadi. Padahal sebelum kejadian itu, rumah tangga yang baru ia bangun kembali ini begitu menyenangkan. Namun sekarang?

Tiba-tiba sekelebat bayangan melewati mobil. Mei lihat dari kaca spion, ternyata ada seorang gadis yang berlari melewati mobilnya.

Menyusul sosok yang tiba-tiba lari dan sedikit melompati mobilnya. Kali ini tiga orang laki-laki berperawakan besar dan bertato. Mereka membawa senjata tajam.

Mei heran, tetapi sejenak kemudian dia menyadari sesuatu.

"Gadis itu butuh pertolongan!"

Entah mendapat dorongan dari mana, Mei memutar balik mobilnya lalu mengejar orang-orang itu. Dia sontak lupa akan masalah yang membebani otaknya.

.

Beberapa saat sebelumnya

Pukul 10 pagi, Hinata memberanikan diri keluar dari tempat persembunyiannya. Tujuannya adalah menemui Mei Terumi yang tidak akan tercapai kalau dia selalu lari dan sembunyi.

Hinata sedang menyantap sarapan di kedai makanan tidak jauh dari "Manga Café" tempatnya menginap tadi malam, ia tentu saja kelaparan karena terakhir kali perutnya diisi adalah siang kemarin di pos polisi. Tiba-tiba gerombolan laki-laki bertato menggunakan motor gede lengkap dengan senjata tumpul datang dan mengobrak-abrik kedai itu.

"Para preman tadi pasti mengincarku, ingin membunuhku?"

Ketika mendengar ada deru nyaring mesin motor yang mendekat ke arahnya, Hinata langsung lari lewat pintu samping kedai. Tidak tahu kenapa, instingnya mengatakan kalau itu bahaya.

Biasanya geng preman memang sering membuat onar. Namun kalau tujuannya hanya kedai kecil seperti itu, pasti ada yang sedang diincar.

"Sekarang mereka bertindak terang-terangan."

Itu kesimpulan yang Hinata ambil. Padahal sehari sebelumnya, metode pembunuhan yang ditujukan padanya lebih halus, dengan sabotase maupun kecelakaan.

Hinata masih berlari kecil, tenaganya tidak cukup untuk berlari kencang. Tadi pun makan di kedai hanya sempat 3 suap.

Ia menengok ke belakang tatkala suara klakson keras nyaris memecah gendang telinganya.

"Gawat!"

Ada satu orang anggota gerombolan yang menunggu di motor. Sialnya, dia menyadari Hinata yang telah lari cukup jauh dari kedai. Dia pun memanggil kawan-kawannya.

Sontak Hinata langsung lari kencang. Padahal tenaganya tidak cukup, mungkin karena ketakutan sehingga adrenalin memacu tubuhnya melampaui batas normal.

Selama hidupnya, tidak pernah Hinata mengalami situasi semengerikan ini.

Hinata terus lari, tetapi apa daya, gerombolan itu mengendarai motor. Sekejap saja jarak antara mereka dipangkas.

Hinata jatuh, pantatnya mendarat di tanah. Hampir Hinata ditabrak, kalau saja ia tidak cepat-cepat melompat ke samping, melompati pagar pembatas jalan.

Setelah berdiri, Hinata langsung lari, menabrak banyak orang di antara kerumunan pejalan kaki.

Pastinya gerombolan itu tidak akan melajukan motornya di area ini.

Tidak habis pikir olehnya, berapa banyak pembunuh bayaran yang disewa oleh koruptor perusahaan untuk membunuh dirinya? Hinata merasa diincar oleh banyak sekali orang, dari kemarin hingga sekarang sampai ada segerombolan geng preman yang ingin mencelakakannya.

Menggunakan cara seperti yang ia lakukan sejak kemarin, berbaur di kerumunan orang banyak untuk menghindari sergapan dan menyamarkan jejak, apa Hinata akan aman?

Tidak,

lihat saja ke depan!

Hinata berhenti, karena sepuluh meter darinya ada seorang pria botak berkacamata hitam, berdiri membelakangi pohon persis menghadap dirinya. Seakan orang itu menunggunya, menatap lurus ke arah Hinata.

Tangan kanan pria itu disembunyikan di dalam tas jinjing yang dia bawa.

"Mungkinkah?"

Hinata panik setengah mati. Sebutir peluru melesat hingga menggores lengan kiri Hinata. Rasanya amat perih. Dengan segenap kesadaran yang tersisa, Hinata langsung menjauh sebelum penembak itu melihat dirinya.

Ya, sekali lagi ia selamat. Sesaat sebelum peluru dimuntahkan dari pistol berperedam di dalam tas jinjing, seorang anak kecil yang berlarian menabrak pria itu. Akibatnya, peluru meleset. Andai saja anak kecil itu tidak ada, Hinata yakin peluru tadi akan bersarang di jantungnya

Bahkan di keramaian seperti ini pun, para pembunuh tidak ragu melakukan aksinya.

Tanpa Hinata sadari, dari belakang ada orang yang menusuk pinggangya.

Apakah sudah berakhir? Apakah hanya sampai di sini saja, perjuangan menantang maut yang bahkan tidak memberi keuntungan apa-apa baginya?

Kesadaran Hinata mulai memudar. Walau di tengah keramaian, tapi suara-suara mulai menghilang. Sayup-sayup teringat kenangan lama, sebuah janji yang ia ukir di masa kecilnya. Pada orang yang sangat berharga, yang begitu dia cinta.

Apa janji itu harus pupus?

Tidak!

Hinata mampu mengembalikan kesadarannya lagi.

"Minggir kau!"

Dia berteriak, mendorong keras si pelaku penikaman sampai terjungkal. Pisau belatinya pun terlempar jauh.

Napas Hinata tampak menggebu.

Cinta yang begitu kuat berhasil menyingkirkan ilusi akibat ketakutan yang memenuhi rongga kepalanya. Jika tidak begitu, mungkin ia akan benar-benar mati kali ini.

Tikaman belati tadi memang menuju pinggangnya, tapi tidak sampai karena terhalang tas berisi dokumen bukti kejahatan yang selalu ia bawa.

Lagi, Hinata berlari sekuat tenaga, menjauhi maut yang tak henti mengejarnya.

Namun nasib baik tak kunjung datang menyambang. Tiga orang dari komplotan preman itu menunggunya di luar area pejalan kaki. Tak mampu memikirkan apa-apa lagi, Hinata lari di tengah jalan raya. Ketiga preman itu mengejarnya sambil membawa senjata tumpul.

Karena tidak ada tenaga lagi, lari Hinata melambat. Kepalanya nyaris dihantam tongkat besi.

Namun kemudian, yang ia lihat adalah, tiga orang preman itu terpental jauh. Sebuah mobil menabrak mereka cukup keras.

Pintu mobil terbuka, si pengemudi menyuruhnya masuk, tetapi Hinata bergeming. Dia berdiri mematung. Keberuntungannya seakan tak pernah habis, lagi-lagi ia selamat.

Setelah sadar akan dirinya, Hinata malah melangkah mundur. Tidak bisa ia percaya begitu saja pada siapa pun di Konoha ini. Namun begitu matanya melihat siapa yang di balik kemudi, siapa pemilik wajah yang pernah ia lihat saat rapat keuangan perusahaan dahulu, senyum kelegaan yang amat lebar terbit di bibir Hinata. Dia pun masuk ke dalam mobil itu.

"Mei-Sa …."

"Tutup pintu mobilnya, duduk dengan benar, lalu atur napasmu!"

Baiklah, Hinata harus bersabar. Meski tujuannya ke kota ini sudah tercapai, tapi keadaan dirinya sendiri harus dipikirkan.

Mei mengemudikan mobilnya dengan tenang, sembari menunggu gadis yang ia tolong ini mampu menguasai dirinya lagi.

Barulah lima menit kemudian, napas si gadis mulai teratur.

"Kau sepertinya mengenalku," Mei buka suara lebih dahulu, "bahkan aku merasa kalau tujuanmu adalah diriku."

"Iya, Mei-Sama. Ada sesuatu yang …."

"Tidak perlu buru-buru. Kupikir kau sudah aman sekarang. Alangkah baiknya perkenalkan dirimu dahulu."

Hinata merasa malu, "Maaf sebelumnya. Perkenalkan, saya Hyuga Hinata. Staf keuangan di perusahaan anda yang berada di Kota Ame."

"Lantas, keperluanmu denganku apa?"

"Saya ingin memberikan dokumen-dokumen bukti kasus penggelapan uang perusahaan di Ame, Mei-Sama."

Mei sontak terkejut, "Ceritakan padaku semuanya!" ucapnya tegas.

Hinata meneguk ludah kasar. Walaupun wanita ini baru saja menyelamatkan nyawanya, tapi ketegasannya cukup membuat dia takut.

"Be ... begini."

Perlu beberapa menit bagi Hinata untuk menyampaikan semua hal terkait kasus itu. Dia juga menceritakan bahwa bukti-bukti kasus itu ada di dalam tasnya.

Mei mengerti, dan ia tampaknya cukup mempercayai gadis asing di sampingnya ini.

"Kalau begitu, kenapa kau sampai dikejar-kejar berandalan tadi."

"Mu ... mungkin mereka pembunuh yang dibayar oleh para koruptor untuk melenyapkan nyawa saya."

"Yang benar?"

Mei terkejut karenanya.

"I … iya, Mei-Sama. Sudah sejak kemarin saya diburu mereka, berkali-kali hampir mati."

"Sampai seperti ini kau melakukan berbahaya untuk perusahaan. Apa motivasimu?"

Tentu saja Mei heran, gadis ini hanya karyawati biasa di perusahaannya.

"Dua teman baik saya sesama staf keuangan juga melakukan ini, tapi mereka terbunuh sebelum sempat menemui Anda."

Hinata merendahkan suaranya di ujung kalimat.

Hati Mei terenyuh, "Bagaimana aku harus membalas jasamu, Gadis Pemberani?"

Hinata jadi tertegun karena dipuji sebagai gadis pemberani.

Mei mengulas senyum ramah, "Yang pasti, aku sangat berterima kasih."

Melihat senyuman itu, Hinata tahu kalau Mei tidak semenakutkan yang ia kira. Ia menunduk malu karena tadi sempat berpikir yang tidak-tidak.

Setelah mengirim pesan singkat dari ponselnya, Mei berbelok ke kanan di pertigaan.

"Kita akan ke kantor kepolisian Konoha, tim kuasa hukumku sudah kuhubungi. Begitu sampai di sana, aku yakin komplotan mereka tidak akan bisa menyentuhmu lagi. Malah mereka yang akan kuburu."

Mata Mei berkilat, bukti kalau ia serius dengan ucapannya.

Hanya sejenak, tidak lama waktu tenang yang dapat Hinata rasa.

"Coba tengok ke belakang, Hinata. Adakah dari mobil-mobil itu yang pernah mengejarmu?"

Hinata mengamati benar-benar, "Kurasa baru kali ini saya melihatnya."

"Tapi mobil-mobil itu sejak tadi sudah di belakang kita ."

Mei memastikannya sedikit dengan menaikkan laju mobil.

Benar saja, mobil-mobil itu tetap mengikuti di belakangnya sejak pertama masuk pintu tol. Ada tiga mobil sedan hitam.

Walau telah berusaha kabur dengan menginjak pedal gas lebih dalam, tapi Mei dan Hinata tidak bisa lepas begitu saja dari kejaran.

"Pasang sabuk pengamanmu! Ini bisa saja jadi hari terburuk untuk kita."

Sekarang bukan hanya Hinata, tapi nyawa Mei pun ikut-ikut terancam bahaya.

Tanpa sadar, salah satu sedan hitam sudah sejajar beriringan di sebelah kanan.

"Mei-Sama!"

Hinata berteriak memperingatkan. Dia panik.

Bagaimana tidak panik? Sebuah laras senjata api keluar dari sisi kiri mobil sedan hitam, menodong kepala Mei. Mobil yang dikendarai Mei hanya mobil biasa, jika ditembakkan, kaca mobilnya pasti hancur dan dia bisa mati.

Aksi komplotan penjahat itu tidak main-main rupanya, Mei pun sampai ketakutan.

Namun wanita itu mampu menguasai ketakutannya, ia mampu melawan.

Dengan mengerem mendadak, mobil Mei tidak lagi sejajar dengan sedan hitam itu. Bahkan ia melaju di belakangnya agar tidak dapat dibidik dengan senjata api.

Di belakang ada lagi dua mobil sedan yang sama berbahayanya.

"Aku tidak akan diam saja!"

Bukannya takut, Mei malah melawan. Tindakannya berbeda dengan Hinata yang hanya kabur dan sangat mengandalkan keberuntungan. Mei bertaruh dengan dirinya sendiri.

Mei menginjak dalam-dalam pedal gas, dan tanpa ragu menabrak sisi kiri bumper mobil penjahat hingga menempel ketat. Ia yakin dengan mobilnya ini.

Ya, mobil ini adalah mobil peninggalan mendiang suaminya yang pertama. Meski tampak luar biasa saja, bahkan terkesan kuno karena dikeluarkan 20-an tahun yang lalu, tapi mesin penggeraknya lain cerita. Mobil ini hasil modifikasi. Dahulu saat masih muda sebelum menikah, Mei dan suaminya memang suka adu balap. Jadi tidak heran Mei sangat percaya diri dengan keterampilannya mengemudi.

Berkat torsi mesin yang luar biasa, menghasilkan akselerasi tinggi yang sangat bertenaga, akibatnya mobil sedan hitam terseret maju. Kemudian mulai kehilangan keseimbangan lalu saat Mei melepaskan tabrakannya, mobil itu berputar-putar, lalu menabrak pembatas jalan.

Tak lama kemudian, sebuah trailer menghantam mobil itu.

Namun siapa peduli?

Mei dan Hinata masih belum aman. Masih ada dua mobil penjahat lagi yang mengejar, meski telah berada di jalan raya tengah kota.

"Mei-Sama, bagaimana ini?"

Wajar kalau Hinata ketakutan. Lebih dari itu, dia juga merasa bersalah karena sekarang Mei juga dalam bahaya.

Mei menyerahkan ponselnya pada Hinata, "Hubungi kuasa hukumku, dan katakan padanya agar …."

Hinata menuruti perintah Mei, melakukan semua perkataannya.

Sambil melaju kencang, berkali-kali Mei membunyikan klakson. Bagaimana pun jalan kota ini cukup padat.

"I ... itu lampunya mau merah!"

Hinata menunjuk lampu lalu lintas di perempatan. Sudah kuning sejak tadi.

Mana mungkin melambat, apalagi berhenti! Lampu sudah berubah merah, tapi Mei malah melarikan mobilnya sampai kecepatan maksimal.

Mobil Mei yang paling depan berhasil melewati perempatan dengan selamat, mobil penjahat yang di belakangnya juga sama. Namun yang paling belakang, nahas sekali. Sebuah mobil boks putih yang datang dari sisi kanan menghalangi jalannya. Mereka mungkin tak selamat.

"Anda he … hebat sekali, Mei-Sama."

"Sekarang bukan saatnya terpukau, kita masih dikejar, tahu?"

Ini yang terakhir, Mei yakin itu.

Setelah melaju melewati dua tikungan dan satu perempatan yang kebetulan lampunya hijau, tampak kalau wajah Mei mulai menyiratkan kelegaan.

"Pegangan yang kuat!"

"Kyaaaaaaa …."

Hinata berteriak kencang, badannya seakan dilempar kuat.

Mei melakukan drift di tengah jalan raya, persis di depan bus yang melaju dari arah berlawanan.

Untung sempat, nyaris saja, padahal itu sangat berbahaya.

Dia masuk ke halaman sebuah gedung.

Tanpa pikir panjang, penjahat yang mengikutinya pun masuk ke halaman gedung itu.

Namun sial,

ini berakhir,

sudah berakhir, aksi para penjahat.

Sebelum para penjahat itu menyadari, mereka sudah di sambut dengan .…

Hujan peluru dari senapan otomatis puluhan aparat kepolisian.

Rupa-rupanya, inilah yang Mei perintahkan pada Hinata lewat ponselnya tadi. Para polisi bersenjata lengkap memang sengaja berjaga di halaman gedung kantor markas besar kepolisian Konoha, sesuai dengan rencana Mei.


UNBREAKABLE PROMISE


Deru suara mobil memelan saat berhenti tepat di depan pintu sebuah rumah yang megah. Ketika pintu mobil dibuka oleh Jugo, Mei turun.

Langkah kakinya tampak berat menuju pintu. Kenyataannya kejadian siang tadi membuat dirinya yang tak lagi muda ini cukup kelelahan. Sampai membuat dirinya pulang saat senja begini, benar-benar menguras tenaga.

Belum sempat ia meraih daun pintu, pintu itu sudah terbuka lebih dahulu. Mei disambut pelukan erat dan hangat dari sang suami.

"Kau benar-benar membuatku khawatir, tahu?"

Mei seakan tak mampu bicara, lengannya memeluk balik badan kokoh Naruto. Kejadian yang membebani pikirannya sejak siang tadi menguap entah ke mana, memang sudah sejatinya inilah tempat dia menumpahkan segala beban.

"Hei, bukan hanya dirimu, Bocah. Kami semua juga merasa khawatir, tahu?"

Kushina bersungut marah pada anaknya. Beginilah, Kushina selalu seperti ini adanya.

Mei mengintip dari peluk erat sang suami, ternyata seluruh penghuni rumahnya ada disini. Para pelayan, bahkan sopir yang tadi memarkirkan mobil ke garasi juga sudah ada di sini. Ia merasa sangat beruntung, disayangi oleh begitu banyak orang.

Tatkala rengkuh Naruto sedikit mengendur, ia melepaskan diri agar dapat mengelus pipi sang suami.

"Aku baik-baik saja," ucapnya penuh kelegaan.

Semua orang di rumah mungkin sudah tahu apa yang terjadi, apalagi Naruto. Ia menceritakan semua yang terjadi kepada suaminya lewat telepon selagi berada di kantor polisi, menunggu pengurusan kasus ke pihak aparat. Didampingi beberapa orang kuasa hukumnya, dia mengajukan tuntutan.

Hal yang membuat semua orang khawatir adalah karena keceplosan terlalu banyak bercerita. Bahwa insiden itu tidak hanya mengancam nyawa si gadis pemberani nan baik hati, tapi juga sampai membahayakan diri Mei sendiri.

Ketika itu, Naruto berada di kantor sedang rapat dengan jajaran direksi produksi. Dia pasti akan bergegas ke kantor polisi kalau saja Mei tidak melarangnya. Lebih baik selesaikan rapat penting itu dahulu, Mei sudah aman. Lagi pula pengacara, detektif, dan beberapa kuasa hukum kepercayaan Mei sudah di sana. Mereka sudah lebih dari cukup.

Untuk hari ini, peristiwa itu sudah dianggap selesai. Proses hukum berlanjut besok, Naruto juga akan ikut menangani kasus itu. Katanya lewat telepon.

Melihat penampilan menantu yang agak berantakan, Kushina membuka tangan lebar-lebar.

"Kaa-san."

Mei menghambur ke pelukan ibu mertua.

Kushina mengusap lembut punggung Mei. Meyakinkan, juga menguatkan Mei bahwa sekarang sudah tiada apa-apa lagi. Ia tahu, kondisi Mei yang seperti ini tidak hanya diakibatkan oleh kejadian hari ini saja. Beratnya pikiran pasti sudah membebani menantunya sejak kejadian malam itu. Ia sendiri merasa bersalah, dirinya juga yang menyebabkan Mei jadi begini.

"Yosh ... yoosshh ..."

Dua kali tepukan pelan dari Kushina di punggung, membuat Mei menyudahi pelukannya. Ia tatap mertuanya dengan sedikit air mata, "Terima kasih ..."

"Iya."

"… dan maafkan aku."

"Sudah, jangan memikirkan hal itu lagi!"

Minato bertepuk tangan, meminta perhatian semua orang.

"Ayo ... ayo … semua masuk! Mau sampai malam kita berdiri di sini?"

Dengan begitu, semua sudah selesai. Ketegangan di dalam rumah ini sejak malam itu pun mereda.

-x-

Meski sudah hampir jam 11 malam tapi seisi rumah ini baru saja hening, padahal beberapa saat lalu masih ramai. Salahkan Kushina yang tak henti-hentinya bicara, membicarakan tentang topik apa pun untuk meramaikan suasana, yang penting bicara. Naruto dan Mei, Minato yang senantiasa bersabar, sampai para pelayan pun juga dia paksa ikut mendengarkan. Mungkin dia ingin mengganti waktu dan kebahagiaan yang hilang karena ketegangan sejak malam itu. Mereka semua bersyukur, kehangatan dan keceriaan di rumah ini yang sempat hilang kini telah kembali lagi.

Di dalam kamar yang bercahaya remang, tangan Naruto dan Mei saling bertaut, saling menggenggam erat.

"Aku ini perempuan egois ya. Selalu memaksakan kehendak."

Mei masih merasa bersalah karena dia lah penyebab ketegangan saat itu. Mengingat dirinya orang nomor satu di rumah ini, jadi secara alamiah tumbuh sikap egois di dalam dirinya.

"Memang."

Karena disahut begitu, Mei tertunduk sedih.

"Tapi aku juga salah," lanjut Naruto, "entah kenapa aku jadi keras kepala saat berdebat denganmu malam itu."

Naruto yang biasanya, sekali pun tidak pernah berseberangan dengan Mei, dari kecil dia memang anak yang penurut.

"Benar juga ya," ujar Mei.

Sesaat kemudian, mereka tertawa bersama. Hati terasa jadi ringan.

Nah kan, kalau mau mengakui kesalahan dan dengan jujur mengeluarkan unek-unek di hati, pertengkaran seperti apa pun sebentar juga pasti selesai.

Mei menghentikan tawanya lebih dahulu, "Apa yang kuputuskan malam itu, kalau dipikir-pikir lagi ternyata sangat berlebihan."

"Uhm."

Naruto fokus mendengarkan keluh kesah Mei.

"Hanya karena alasan sentimentil, aku sampai egois begitu. Seakan aku yang menentukan, aku yang memastikan kau akan bahagia atau tidak dengan jalan yang kupilih. Sudah semestinya, seseorang menentukan pilihan hidup dan mendapatkan kebahagiaannya sendiri tanpa orang lain yang menentukan, bahkan jika itu orang tua kandung sekali pun tetap tidak berhak. Dan lagi tanpa harus seperti itu, kita berdua sama-sama tetap bisa menikmati hidup ini, dengan bahagia."

Naruto sangat setuju dengan apa yang Mei ungkapkan.

"Aku tidak akan memaksakan kehendakku pada dirimu lagi, Naruto."

"Iya."

"Jangan segan atau sungkan padaku kalau aku sudah kelewat batas."

"Pasti."

"Janji?" pinta Mei, menatap penuh harap pada suaminya.

Naruto tersenyum lembut, "Kejadian malam itu, bukti kalau aku bisa saja tegas dan melupakan betapa besar jasamu padaku dan ayah ibuku."

"Tapi itu berlebihan," pungkas Mei.

"Iya, makanya aku minta maaf," sesal Naruto, "mungkin karena terkejut, aku tiba-tiba jadi keras kepala, menolak keras keinginanmu sampai agak membentak. Harusnya aku bisa bersikap lebih tenang."

"Kau benar."

"Aku melupakan satu hal, sebagai suamimu aku berjanji membahagiakanmu hingga pengujung usia, menemanimu kala ajal menjemput. Selayaknya kuturuti semua pintamu padaku karena keinginanmu adalah roda penggerak hidupku."

plakk

"Aaww ..."

Naruto mengaduh karena lengannya di tepuk keras, "Ada apa sih?"

"Kata-katamu terdengar seperti pembual."

"Tapi ... aku sungguh-sungguh."

"Iya, aku mengerti," sahut Mei sembari menutup mulut yang tak sanggup menahan kikikan geli.

Sungguh ia paham apa maksud Naruto, tapi telinganya geli kalau mendengar kata-kata melankolis dari mulut suaminya. Tampang Naruto sama sekali tidak cocok sebagai perayu. Naruto itu menempatkan Mei lebih dari dirinya sendiri.

"Penentanganku akan keinginanmu saat itu, bertolak belakang dengan tujuan hidupku saat ini."

Ya. Naruto sadar, dengan hidup yang didedikasikan sepenuhnya untuk Mei maka apa pun yang wanita itu inginkan dia tidak berhak protes.

"Sudahlah."

Mei tidak ingin lagi mendengar kalimat itu. Ada rasa tidak nyaman terselip karena Naruto terlalu memprioritaskannya. Seharusnya pemuda itu lebih memikirkan dirinya sendiri.

"Jangan terlalu terpaku padaku, Naruto."

"Tapi ..."

"Ingat dengan malam pertama kita?"

"Dengan yang kita bahas kala itu?"

"Ya. Aku berkata kalau aku tidak ingin kesepian saat ajal menjemput, dan kau berjanji akan menemaniku saat ajal tiba."

"Lantas kenapa?"

"Tidakkah itu konyol? Siapa yang bisa menjamin aku mati lebih dahulu dari dirimu?"

"Aaa …."

Naruto terdiam.

Kalau begitu, buat apa mereka berdua menikah?

Apa arti dari pernikahan ini?

Keheningan tercipta, cukup lama sampai keduanya sama-sama berbaring pun tetap tidak ada yang ingin buka suara.

Mei tercenung karena tiba-tiba saja tubuhnya berada dalam dekap erat sang suami.

"Naruto?"

"Aku tidak menyesal. Hidup bersamamu, aku bahagia."

Mei kehilangan kata-kata atas pengakuan Naruto. Dia begitu tersentuh. Baginya, ini lebih hebat dari pengakuan cinta. Sampai detik ini belum pernah mereka mengungkapkan saling mencintai, tapi tadi itu sudah lebih dari cukup, rasanya sungguh luar biasa.

Untuk itu, Mei membalas dekapan sang suami, "Aku juga bahagia bersamamu, Naruto. Seandainya mungkin, selamanya aku ingin bersamamu."

Kalau sudah begini, apa masih ada hal yang menafikan pernikahan mereka?

"Aku jadi terpikir sesuatu," celetuk Naruto.

Ia renggangkan dekapannya agar bisa saling tatap dengan Mei.

"Tentang?"

"Suamimu dahulu."

"…."

Mei heran, kenapa arah pembicaraan jadi melantur ke sana?

"Apa yang akan dia katakan melihat kita seperti ini?"

"Dia sudah meninggal, Naruto. Dia sudah tenang di alam sana."

Tampak kalau Mei sudah mengikhlaskan suami pertamanya, "Kau lihat diriku saja! Aku tidak berpaling dari dirinya kepada dirimu. Aku bahagia pernah bersamanya, dahulu dan aku bahagia bersamamu kini."

Betapa senang dan leganya hati Naruto, mendengar ungkapan tanpa keraguan yang Mei ucapkan.

"Daripada itu, Naruto …."

"Hm?"

"Kalau aku meninggal lebih dahulu dari dirimu, apa kau akan menikah lagi?"

"E-eeeh?"

Kini Naruto yang dibuat terheran-heran.

"Maut siapa yang tahu, tapi realistislah sedikit. Aku yang lebih tua ini, mungkin akan mati lebih dahulu."

Karena Mei berkata hal yang realistis, jadi Naruto memerlukan waktu sejenak untuk mendapatkan jawaban yang logis.

"Mungkin, kalau ada wanita yang membuatku tertarik."

Maksudnya, Naruto bisa menikah lagi bisa juga tidak. Masa depan tidak bisa dipastikan.

"Tapi meski aku menikah lagi, aku tidak akan lupa kalau aku pernah bahagia bersamamu."

Sebagaimana saat ini Mei mengenang suami pertamanya , begitu pula Naruto akan menempatkan kenangan tentang Mei nanti.

Mei tersenyum senang, pria ini selalu membawa kebahagiaan sejak mereka menikah. Kebahagiaan yang Naruto berikan padanya, sudah lebih dari cukup.

"Seandainya kau tertarik dengan seorang wanita, lalu menikahinya sedangkan aku masih hidup. Aku tidak keberatan, Naruto."

"Hah?"

Naruto heran, perbincangan mereka makin menyimpang.

"Aku tetap akan mencarikanmu seorang gadis untuk dinikahi."

Naruto pikir, dengan berdamai seperti ini Mei akan berhenti dengan keinginan egoisnya. Ternyata dia salah besar.

"Tekadku sudah bulat, tidak akan berubah."

"Hn," sahut Naruto cuek.

Meski sudah berdamai, tapi topik ini enggan ia bahas.

"Semoga saja dalam waktu dekat aku menemukan gadis itu dan .…"

Naruto mengecup singkat kening Mei, lalu membawa Mei ke dalam dekapan dadanya.

"Lekaslah tidur!"


UNBREAKABLE PROMISE


Senja merah mewarna ufuk langit. Matahari mulai menarik pendaran cahaya. Seakan menjadi pertanda berakhirnya siang untuk berganti dengan malam. Dari sofa di balkon sebuah apartemen, Hinata duduk dan termenung. Pikirannya berkelana, memutar kembali setiap ingatan tentang peristiwa yang dialami di kota ini. Konoha, tak ada setahun dirinya berada di sini, telah menoreh kenangan yang tak akan mampu ia lupakan. Peristiwa yang nyaris menghabisi nyawanya. Detakan jantung yang melaju serta napas yang tercekat, menjadi bukti bahwa dirinya tengah ketakutan. Memori itu membawanya masuk ke dalam bayangan yang seharusnya ia kubur dalam. Tanpa sadar, air mata menetes di sudut netra piasnya. Hinata lekas mengusap bulir air itu dengan sebelah tangan. Ia berdiri, bersandar ke depan pada pagar balkon. Menghela napas dalam, seakan mengantar oksigen ke seluruh penjuru sel tubuh. Inginnya ia rileks dan melupakan apa yang terjadi.

Tiba-tiba ia menggigil. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Kini dingin angin malam yang menyapanya, menyentuh kulit lengannya yang terbuka. Hinata memutuskan untuk masuk ke apartemen.

Sejak kejadian itu, ia masih belum pulang ke Ame. Satu hal yang menjadi ketakutannya adalah, jika masih ada sisa dari gerombolan mantan Direktur Uchiha Obito yang berkeliaran dan nyawanya kembali terancam. Lain hal adalah karena permintaan pihak kepolisian, yang menginginkan informasi selengkap mungkin dari Hinata, untuk menyelesaikan kasus ini dan memudahkan mereka menangkap sisa komplotan. Itulah sebabnya ia memilih untuk tinggal. Lagi pula, Mei Terumi sang penguasa Mizu Grup sendiri yang memintanya untuk tinggal di Konoha. Mei bahkan menyediakan apartemen untuk menjadi tempat tinggal Hinata selama di Konoha, ya apartemen ini. Di bawah pengawasan aparat kepolisian Konoha bahkan dengan ditambah jaminan keamanan dari para profesional yang disewa oleh Mei. Neji maupun Hanabi yang berada di Ame, juga mendapat perlakuan yang sama. Keduanya telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan bahwa kasus itu telah selesai, meski belum sepenuhnya, sehingga tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Hinata tersenyum. Sembari meluruskan kakinya di sofa depan televisi, ia merenung. Betapa mulianya wanita itu, Mei Terumi. Hinata mengagumi sosoknya. Wanita yang ketegasannya tak mampu menyembunyikan kecantikannya. Bukan hanya fisik, hati Mei luar biasa bagai malaikat. Ia dapati buktinya saat ini. Mungkin di benak orang lain, ini lumrah. Adalah balas jasa semata dari orang kaya kepada jelata, juga terima kasih atas tindakannya menyelamatkan aset-aset perusahaan. Hinata dijamu seperti orang istimewa. Namun bagaimana Mei Terumi memperlakukannya dengan sangat baik, perhatian yang tulus, serta rasa kasih Mei yang memandangnya setara sebagai sesama manusia benar-benar membuat Hinata takjub.

Hinata membayangkan betapa beruntungnya pria yang menjadi suami wanita itu. Tidak masalah pada kekayaan, tetapi betapa hangatnya perhatian yang diberikan wanita itu, dapat dirasakan bahkan oleh Hinata yang baru bertemu dengannya.

Sesaat netra pucatnya meredup. Ia kelelahan bukan secara fisik melainkan emosional. Hinata memilih memejamkan matanya, tanpa berpindah ke kamar. Belum sampai sepenuhnya tertidur, ponsel Hinata bergetar. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Bagaimana pun kejadian yang baru saja ia alami, membuatnya menjadi sering waswas. Hinata menggigit bibir, berhati-hati mengambil ponsel di ujung sofa. Ia bahkan meneguk ludah, membaca doa sebelum membaca nama yang tertera di layar.

"Mei Terumi-sama."

Nyaris ia menjatuhkan benda hitam itu karena terlalu gugup. Digesernya panel hijau untuk menjawab panggilan.

"Halo …."

"Hinata?"

"I … iya benar Mei Terumi-Sama."

Baru saja dirinya kepikiran. Sedikit heran, bukankah wanita itu telah menikah? Kenapa nama keluarganya tidak berubah?

"Mei saja. Kau sedang ada di apartemen?"

Hinata mengangguk, saking gugupnya lupa kalau Mei tidak bisa melihat gesturnya.

"Hinata?"

"Ahh iya, Mei-sama. Saya sedang di apartemen."

"Kebetulan. Saya juga sedang di restoran dekat apartemenmu. Kau sudah makan malam?"

"Be … belum Mei-Sama."

Terdengar suara tawa Mei, sepertinya menertawakan Hinata yang begitu polos dan jujur.

"Sudah kuduga," Mei menghela napas, "kejadian kemarin pasti masih membuatmu terkejut bukan?"

"..."

"Datanglah ke sini, Sonata Restaurant tepat di seberang apartemenmu. Aku menunggu."

"Ta ... tapi …."

"Tidak ada tapi-tapi. Oke Hinata?"

"Ba ... baik, Mei-Sama."

Hinata bergegas mengganti bajunya. Niat awal ingin mandi dahulu, mengingat ia belum membersihkan badan sejak siang tadi. Namun, bayangan tentang Mei yang pasti tengah menunggunya membuat dirinya berpikir tidak sopan. Maka ia hanya mengganti pakaian dan menyemprotkan parfum untuk menyembunyikan aroma tubuh. Beruntung Mei memberinya apartemen di tengah kota, pusat segala aktivitas Konoha selama dua puluh empat jam. Dan sungguh beruntung pula dirinya saat ini, di mana Mei kebetulan memilih tempat makan dekat dengan apartemennya.

Hinata hanya tidak tahu, bukan secara kebetulan Mei Terumi memilih Sonata. Wanita itu memang sengaja, ingin berbincang banyak dengan karyawan muda yang telah menyelamatkan perusahaannya.

Sampai di depan restoran itu, Hinata ragu. Apa tidak masalah ia masuk ke restoran mewah ini? Dengan penampilan sederhana seperti ini, tidakkah ia nanti menjadi objek pandangan orang lain? Tidakkah ia nanti merepotkan Mei-sama? Ketika pikiran itu melintas ragu, sebuah pesan teks melintas di layar ponsel, membuatnya tertegun.

"Jangan membuatku menunggu Hinata!"

Hinata kalut, takut jika Mei marah. Lantas mata piasnya menatap ke salah satu meja pelanggan yang terlihat dari luar. Mei di sana sembari mengangkat sebelah tangan dan tersenyum tipis. Hinata merasakan kelegaan memenuhi hatinya. Rupanya Mei sudah melihat dirinya sejak tadi dan paham apa yang dirasakannya.

"Mei-Sama," sapa Hinata.

Mei menganggukkan kepala dan mempersilakannya duduk.

Tak lama setelah itu makanan telah diantar ke meja keduanya. Hinata menatap bingung sebab banyak sekali makanan tersaji di depan. Ia belum memesan kan?

"Maaf, aku tidak tahu apa yang kau sukai. Jadi aku pesan saja sesuai feelingku."

Mei tertawa lembut. Walau dalam hal sekecil ini, sang wanita mampu bersikap anggun. Hinata juga lagi-lagi dibuat terpesona oleh kepribadiannya.

"Ti-tidak masalah Mei-Sama. Saya suka makan apa saja."

Jawaban Hinata membuat Mei tersenyum, "Kalau begitu makanlah!"

Hinata makan, dengan lahapnya. Dilihat dari cara gadis itu makan, Mei bisa menebak bahwa ia kelaparan, meskipun ia mengakui, Hinata menutupinya dengan berusaha makan pelan. Mungkin sejak peristiwa yang hampir merenggut nyawanya kemarin, Hinata jadi kehilangan selera makan. Lalu di sini, saat ini, gadis itu tak bisa lagi menahan rasa perih di perutnya?

Mei ikut makan, tetapi matanya tak lepas mengamati gadis itu. Bisa dikatakan dari ujung rambut hingga bagian yang tertutup meja. Gadis itu cantik, pikirnya. Rambut gelap yang panjang, terlihat cantik dengan digerai. Wajah tanpa riasan yang merona alami, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Bibir mungil sang gadis semakin mempertajam aura keindahan yang menguar di sana. Mei tersenyum, ya, tak heran gadis ini acap menjadi perhatian kaum Adam, dan menjadi permasalahan bagi kaum Hawa lainnya. Hal ini pernah ia dengar dari seorang karyawan kantor secara tidak sengaja.

Setelah selesai makan, Mei memutuskan untuk memulai perbincangan. Dengan ketegasan berbalut kelembutan yang dimiliki, wanita itu memuji Hinata secara tersirat. Ia juga mengucapkan terima kasih karena sang gadis telah menyelamatkan perusahaannya dari kerugian besar yang bisa membuat dirinya bangkrut dalam sekejap.

"Ti ... tidak masalah Mei-Sama. Itu sudah menjadi kewajiban saya."

"Ya, kau benar Hinata. Namun, keberanianmu itu yang aku kagumi. Sementara kau tahu posisimu yang terancam, kau memilih mengabaikan dan dengan berani menyampaikan hal itu padaku."

Hinata menunduk. Meski berusaha menyembunyikannya, Mei tahu bahwa gadis itu tengah menahan air matanya. Terbukti dari bahu yang sedikit bergetar.

"Apa kau takut?"

Hinata tersentak. Dengan cepat ia hapus jejak-jejak yang menunjukkan kelemahannya. Ia tidak takut, hanya saja peristiwa itu mengingatkannya pada Shino dan Kiba.

"Jangan takut Hinata, aku menjamin keselamatanmu."

Mei tidak berbohong, sebab ia menempatkan bodyguard khusus di sekitar Hinata. Hinata hanya tidak tahu tentang itu.

"Bu ... bukan itu Mei-Sama. Saya hanya sedikit teringat teman-teman saya," jawab Hinata.

Gadis itu menegakkan tubuhnya, menatap Mei dengan senyum sedih.

"Aburame Shino dan Inuzuka Kiba?"

Hinata mengangguk.

Mei sudah tahu, Aburame Shino dan Inuzuka Kiba adalah tamu di hari pernikahannya yang menyelipkan memo berisi pesan bahwa mereka menunggu dirinya di Wisconsin Hotel. Hanya saja, ia terlambat dan membuatnya menyesal hingga kini.

"Mereka pahlawan bagiku, sama sepertimu. Aku menyesal terlambat menyadari kejanggalan saat itu hingga para pengkhianat terlebih dahulu menemukannya. Semoga Kami-Sama menerima arwah mereka."

Hinata terpaku. Suara dalam sang wanita menyiratkan duka yang cukup dalam. Seakan ia benar menyesali keterlambatannya saat itu. Adakah seorang bos atau atasan yang sedemikian peduli pada bawahannya? Baru kali ini gadis itu menemukan jawaban ya.

"Aku sudah menghubungi keluarga Aburame dan Inuzuka, dan … semua akan baik-baik saja Hinata."

Hinata tak bisa menahan senyumnya. Rona merah bahkan kini menemani pipi putihnya. Ia kagum pada sosok Mei Terumi.

-x-

Sejak hari itu, Mei menjadi sering menemui Hinata. Entah itu sekadar acara makan bersama, atau hanya mengobrol ringan dengan dalih minta ditemani berbelanja. Awalnya Hinata merasa canggung, ia tidak mau dianggap memanfaatkan jasanya untuk mendekati Mei. Apalagi jika ada karyawan lain yang tahu tentang hal ini, bisa-bisa tersebar gosip tidak enak tentang dirinya. Namun, Mei lagi-lagi menggunakan kekuatannya. Sebuah ketegasan yang membuat Hinata yakin, bahwa wanita itu benar-benar butuh teman. Setidaknya untuk saat ini.

Mei pernah mengatakan jika sang suami sibuk bekerja menggantikan dirinya mengurus perusahaan, ia menghabiskan waktu untuk memasak dan bercengkerama dengan mertuanya. Namun, acap ia merasa kesepian, ia butuh teman untuk bicara, untuk sekadar menyalurkan isi hatinya hingga sedikit meringankan beban yang ia bawa. Sedangkan Mei tidak mungkin melakukan hal itu dengan mertuanya dan para pelayan di rumah, kecuali Konan, yang sayangnya cuti dari pekerjaan entah sampai kapan lantaran harus merawat ibunya yang sakit di Iwa. Akhirnya Hinata memutuskan untuk mengikuti keinginan Mei. Ia menjadi pendengar setiap cerita Mei. Padahal kenyataannya, Hinata juga membutuhkan teman, untuk bicara dan pendengar ceritanya. Dia tidak tahan tidak melakukan apa-apa selama di Konoha dan berdiam di apartemen saja.

"Jadi Hinata, apa ada pria yang menarik perhatianmu?"

Loh? Tadi membahas tentang masak memasak, kenapa sekarang beralih ke topik ini? Hinata tahu, Mei bermaksud menggoda. Jadi gadis itu hanya tertawa canggung. Topik ini adalah topik yang paling ia hindari jika boleh jujur. Hinata yang merasa harus menjawab pertanyaan itu, berpikir sejenak.

"Be … belum ada Mei-Sama."

"Benarkah? Padahal aku yakin banyak pria yang menyukaimu."

Hinata menunduk, sedikit menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Gadis itu mengingat kisah percintaannya sendiri. Sampai sekarang, bayangan Naruto sepuluh tahun yang lalu, masih menari-nari di benaknya. Hinata menyadari, perasaannya kepada pria berambut kuning itu tak pernah hilang. Bahkan semakin dalam seiring waktu. Padahal ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu sekian lama kan? Bukankah kata orang, waktu akan bisa menghapus rasa? Hinata berpikir, jika mungkin pernyataan itu benar, seharusnya sekarang ia sudah berpindah ke lain hati dan nama Naruto tak ada lagi di hatinya.

"Ada apa Hinata? Kau terlihat ... sedih."

Hinata menatap Mei, raut sedih masih bertengger di wajahnya kendati ia paksakan tersenyum.

"Ti ... tidak Mei-Sama. Hanya …."

"Teringat seseorang yang kau cintai?"

Mei tersenyum menggoda, membuat Hinata salah tingkah. Bagaimana wanita ini bisa tahu? Apa semudah itu membaca seorang gadis seperti Hinata?

"Aku pernah muda, kalau kau lupa."

Hinata tertawa pelan dengan jawaban Mei. Ya tentu saja wanita itu bisa membaca gelagatnya.

"Aku tidak memaksamu, Hinata. Tapi kalau bisa meringankan bebanmu, aku akan dengan senang hati mendengarkan."

Hinata menggigit bibirnya ragu. Ia mengedarkan pandangan, mengamati keadaan foodcourt di lantai atas sebuah malbesar di Konoha. Mata pucatnya berkaca-kaca. Ia sendiri tidak tahu, apa pun yang menyangkut sang kekasih hati selalu saja membuatnya emosional. Mungkinkah ini karena luka di hatinya yang ia pendam di alam bawah sadar kembali muncul? Sebab gadis itu sudah memutuskan untuk mengubur rasa cintanya kepada sang pria.

"Anda benar Mei-Sama."

Setengah getir dan setengah tertawa, Hinata memasang mimik terganjil menurut Mei. Wanita itu hanya diam menunggu, ia tidak akan memaksa, ia akan membiarkan Hinata mulai bercerita sendiri. Mei paham, gadis seusia Hinata meski tergolong dewasa, perasaannya pasti masih rapuh. Bahkan logika tak bisa mengalahkan perasaan ketika masuk dalam usia itu.

Bibir gadis itu mulai bergerak. Merangkai kalimat yang tersusun bersama rasa dari hati. Bagaimana kisah masa kecilnya dengan si pemuda, bagaimana perjanjian mereka untuk bertemu kembali setelah sepuluh tahun. Baru sampai di situ, Hinata tak kuasa menahan air mata. Tangisannya terguguk, membuat gadis itu harus berhenti berbicara. Pundak yang bergetar, bagaikan tengah menahan emosi cukup dalam. Hinata menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Mei merasa terenyuh. Hanya dengan melihat sisi sang gadis yang rapuh. Wanita berambut merah itu melingkarkan tangannya melewati bahu Hinata. Menepuk perlahan untuk memberikan ketenangan.

"Jangan dilanjutkan, Hinata!" perintahnya.

Hinata masih sesenggukan. Perasaan seperti acap menghampiri ketika ia sendirian. Lantas kenapa ketika ada dalam keramaian seperti ini, ia tetap menangis?

Dalam sudut kecil di hatinya, Mei menjadi sedikit tertarik dengan kisah sang gadis. Bukan bermaksud mencampuri urusan orang lain, Mei hanya ingin mengetahui latar belakang gadis ini, apa yang membuatnya rapuh dan jika bisa wanita itu ingin membuat gadis ini bahagia. Entahlah, padahal ia tak pernah terlalu dekat secara emosional dengan karyawannya, meskipun itu wanita. Jangan hitung Konan dan para pelayan yang jelas-jelas telah dianggapnya sebagai keluarga. Namun, melihat Hinata untuk saat itu dan hari ini, Mei merasa ada yang berbeda. Katakan ia adalah seorang wanita yang telah makan asam garam kehidupan, ia paham bagaimana kondisi seseorang yang dekat dengan membaca mimik. Mei berpikir, Hinata adalah gadis yang baik dan tulus.


UNBREAKABLE PROMISE


"Kau terlihat sedang banyak pikiran."

Suara parau seorang pria berambut kuning menghentikan lamunan Mei. Wanita itu tersenyum dan berdiri menyambut sang suami di pintu kamar.

"Aku tidak tahu kau pulang cepat," ujarnya sembari membantu sang suami melepas dasi.

"Kepalaku terasa berat sejak pagi tadi, Mei."

"Jangan terlalu memaksakan diri!"

Naruto duduk di tepi ranjang, tersenyum lemah dan melambaikan tangan.

"Kemarilah! aku butuh pelukan."

Mei tertawa. Didekatinya sang suami dan ia duduk tepat di sebelah pria itu. Tangannya terulur ingin memberikan pijitan ringan, tetapi ditarik begitu saja oleh Naruto. Pria itu membawanya ke dalam pelukan. Yang seperti ini, mampu menyeka sedikit lelah dalam pikiran laki-laki itu.

"Kau sudah tidak canggung lagi," ujar Mei.

Seketika pria itu melepas pelukannya, menggembungkan pipi kekanakan. Mei tertawa, hatinya terasa hangat. Ia sadar, perasaannya mungkin bukan cinta beraroma roman. Mungkin hanya sekadar apa yang dikatakan orang sebagai platonik. Namun siapa peduli, sebab yang ia butuhkan jelas ada di sini, ada pada sosok Naruto.

"Kau menggagalkan semuanya."

Mei merangkul sang pria, bocah yang kini telah beranjak dewasa dan menjadi suaminya. Dikecupnya perlahan pipi bergores Naruto.

"Maaf, jadi apa kau mau membagi keresahanmu, Naruto?"

Naruto menghela napas dalam. Direbahkan tubuhnya ke belakang, pada ranjang.

"Tidak ada, aku hanya sedikit lelah mungkin, membuat laporan akhir tahun tidak sama seperti laporan lain. Semuanya harus begitu detail. Ditambah lagi kasus penggelapan uang perusahaan yang di Ame, butuh waktu dan usaha ekstra untuk menuntaskannya. Total kerugian perusahaan ternyata sangat besar."

Mei mendengarkan keluhan Naruto dengan baik. Ia paham pria itu pasti sangat lelah, meski sudah cukup lama mengambil alih kepemimpinan perusahaan. Wanita itu ikut merebahkan badannya. Pandangannya lurus pada langit-langit yang berukir kayu mahoni.

"Untung saja ada karyawati di sana yang jujur dan pemberani, jika tidak perusahaan kita di Ame bisa saja kolaps."

"Omong-omong tentang dia, belakangan ini kau sering bertemu dengannya kan?"

Naruto tahu, karena setiap ingin pergi ke luar rumah Mei selalu memberitahunya.

"Iya. Kasihan dia kalau sendirian, bisa saja tertekan karena belum bisa pulang dan terkurung di Konoha sampai kasus selesai sepenuhnya."

"Benar juga."

"Berkat kejujuran, ketulusan, dan tingkah polosnya, aku bisa berteman baik dengannya."

"Ternyata kau bisa sebaik itu, Mei."

Mei mencubit lengan suaminya, "Mau menyindirku hm?"

Mei memang sudah baik dari dahulu kan?

"Ahahaaa, tidak kok. Nanti kalau senggang, aku ingin bertemu dengannya. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih secara langsung."

"Baiklah, kapan-kapan kuantar kau menemuinya. Jadi, bagaimana perasaanmu? Sudah membaik?"

Naruto menghela napas dan mengangguk. Ia kembali menatap langit-langit kamar. Ketika tak didapatinya satu suara, Naruto mengira Mei telah tertidur. Namun ia salah, wanita itu malah melamun. Seperti sedang ada yang menjadi beban pikirannya. Apa lagi kali ini?

"Mei?"

Mei tersentak. Ia merutuki kebodohannya yang malah membawa pikiran berkelana, tidak lagi fokus pada eksistensi Naruto.

"Ah … maaf Naruto. Aku sedikit terbawa suasana."

Naruto memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Diusapnya pipi tirus sang wanita dengan lembut. Wanita ini sangat ia hormati, sangat ia sayangi, kendati mungkin belum mampu menggantikan nama seorang gadis di hati. Naruto sudah berjanji pada diri sendiri, dan pada Tuhan untuk selalu menjadi pelindung bagi Mei, untuk selalu menemani wanita itu apa pun keadaannya.

"Sepertinya bukan aku yang harus membagi keresahan," bisik Naruto lirih.

Mei terpaksa ikut memiringkan tubuh. Menatap iris biru sang suami dengan lembut. Bagaimana bisa ia dibuat seperti ini oleh seorang bocah? Mei tertawa, bocah itu adalah suaminya.

"Kenapa kau tertawa?"

Mei menggeleng. Ia memang ingin Naruto menemaninya di sisa usia, memberinya kebahagiaan laksana sebuah keluarga. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin egois. Ia ingin memberikan kebahagiaan untuk Naruto dan orang tuanya.

Mungkin saat ini Naruto tidak peduli dengan hal itu, lantaran yang menjadi tujuannya hanyalah mengabdi kepada Mei. Namun, Mei menyadari pria ini pasti akan menginginkan seorang anak, suatu saat kelak. Siapa yang tidak ingin memiliki penerus keluarga, kan? Mei tidak bisa memenuhi hal itu tentu saja, di situ permasalahannya.

Baik Naruto maupun Mei, keduanya sama. Ingin bahagia dan ingin memberikan kebahagiaan.

"Aku belum menemukannya," ucap Mei.

Napasnya sedikit berat. Pikirannya mendadak kembali pada keinginan yang diucapkannya tiga minggu lalu. Naruto sendiri sepertinya cukup paham bahwa kali ini istrinya ingin ditanggapi serius. Ia tidak bisa selalu cuek dan menganggapnya angin lalu.

"Aku belum menemukan gadis yang cocok untukmu."

"Mei, bisakah …."

Sejujurnya Naruto sangat tidak ingin membahas masalah ini. Maka dari itu ia selalu mengalihkan perhatian Mei pada perbincangan masalah perusahaan.

"Tidak Naruto! Keputusanku sudah bulat," Mei menghadapkan wajahnya pada wajah Naruto, "semua itu demi kebaikanmu, orang tuamu, bahkan kebaikanku sendiri."

Napas keduanya beradu lantaran jarak yang dekat, mengantar hangat membasahi wajah. Naruto merasa keinginannya untuk mendebat menjadi tidak ada artinya lagi, ketika ia menyelami makna tatapan dalam iris hijau sang istri. Keyakinan yang bulat jelas tergambar di sana, pun ketika mengatakan bahwa ini demi kebaikan Mei sendiri, binarnya tak pernah pudar.

"Apa kau yakin?" tanya Naruto lirih.

Mei mengangguk, lalu tertawa.

"Jangan khawatir, aku pasti segera menemukannya."

Mei mendekati Naruto, mencium bibirnya lembut. Semakin dimakan detik, semakin ciuman itu dalam, berubah menjadi pagutan dan lumatan. Sebelum seluruh anggota tubuh menguarkan ritme yang serupa untuk saling berbagi kehangatan.

Malam ini, mereka berdua melepas resah dengan berbagi suam.

-x-

Hujan mengguyur Konoha sejak dini hari, mencipta hawa dingin yang menusuk tulang. Sebagian warga kota terpaksa menembus jalanan berhujan demi sampai di tempat tujuan, mengais ilmu, mengalap rezeki. Sedangkan mereka yang berada di usia tak produktif, atau memang lebih memilih menghabiskan waktu mengabdi pada rumah tangga, terlihat menikmati. Seakan hujan akan mengurangi waktu yang hilang bersama orang-orang yang mereka cintai.

Di rumah Mei, segala kegiatan berjalan normal. Para pelayan mengerjakan pekerjaan sehari-hari tanpa terpengaruh hujan. Mungkin hanya Minato yang merasa kehilangan, karena tetesan air dari langit itu menghalangi kegiatannya untuk mengurus kebun. Maka di sinilah pria itu berada, di teras yang menghadap ke taman depan, bersama sang istri tercinta.

Menikmati teh hangat yang diracik sendiri oleh Kushina. Biskuit tertata rapi di pisin, menjadi hidangan teman minum teh.

"Naruto sudah berangkat?" tanya Minato lalu menyesap tehnya.

"Sudah, bersama Mei-San tadi."

"Mei juga ikut?"

Kushina mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang suami, "Katanya dia ada perlu."

Sejenak keadaan menjadi hening. Baik Minato pun Kushina memiliki pikiran yang sama. Belakangan Mei memang jarang di rumah, sejak peristiwa besar yang kabarnya hampir meruntuhkan perusahaan Mizu Grup. Baik Naruto pun Mei, sama-sama mengerahkan tenaga dan pikiran untuk membesarkan perusahaan itu. Minato dan Kushina senang, itu artinya anak dan menantu mereka adalah orang-orang yang sukses. Namun di sisi lain, pasangan yang sudah mendekati usia tua itu merasa sedih. Sebanyak apa pun harta, sesukses apa pun perjuangan anak dan menantu mereka, kebahagiaan belum terasa sempurna. Untuk orang tua seperti mereka berdua, hanya ada satu keinginan saat ini, cucu. Sebagaimana pasangan orang tua lain yang anaknya telah memasuki jenjang pernikahan, itulah yang paling dinanti. Akan tetapi, mereka berdua paham benar, bahwa hal ini tidak semudah yang dipikirkan atau dikatakan. Mereka sadar, usia Mei Terumi bukanlah usia produktif untuk melahirkan seorang anak. Terlebih, menurut cerita Shizune, Mei pernah mengalami keguguran. Meski tidak sepenuhnya tepat, tetapi hal itu tentu sangat memengaruhi kondisi rahim Mei. Maka Minato dan Kushina paham, mungkin lebih baik mereka mengesampingkan dahulu ego untuk menimang cucu. Bukankah kebahagiaan Naruto dan Mei adalah kebahagiaan mereka juga?

"Apa kau memikirkan apa yang sedang kupikirkan, Kushina?"

"Apa?"

Kushina menatap bosan pada pria tua yang suka dramatis di sampingnya.

"Ya …."

"Tidak, jangan merasa Minato."

"Kenapa begitu? Bukankah biasanya memang kita sehati?"

"Sehati bagaimana?"

"Puluhan tahun menikah dan kau baru menanyakan itu?"

Kushina mencak-mencak. Aslinya memang mereka memikirkan hal yang sama. Kushina hanya terlalu gengsi untuk mengatakan hal itu pada Minato.


UNBREAKABLE PROMISE


Mei terpaksa ikut ke kantor hari ini. Ia membantu Naruto menyelesaikan berbagai pekerjaan tambahan yang mendadak harus diselesaikan terkait kasus penggelapan uang di Ame. Awalnya ia sedikit canggung ketika bertemu dengan para staf di kantornya. Kendati sudah lama tidak menginjakkan kaki di gedung ini, para karyawan masih setia membungkuk dan tersenyum melihatnya.

Pagi hingga menjelang siang, Naruto sibuk rapat dengan petinggi perusahaan. Sedangkan dirinya memilih berdiam diri di ruangan Naruto, dan berkutat dengan laporan-laporan yang sudah lama tak pernah ia sentuh. Memeriksa satu per satu laporan yang dibuat oleh setiap divisi yang terlibat, bukanlah hal yang mudah. Membutuhkan ketelitian tinggi dan kesabaran ekstra untuk menyelesaikannya. Maka ketika telah usai dengan tumpukan kertas itu, Mei merasa lega. Ia menyandarkan punggungnya sejenak.

Karena keadaan yang sepi, mendukung Mei untuk berkelana kembali dengan pikirannya. Ia yang tidak menyangka perusahaan warisan sang ayah dan mendiang suami akan menjadi sebesar ini. Wanita itu tersenyum puas.

"Sepertinya secangkir kopi enak juga."

Mei beranjak dari kursi Naruto. Melangkah ke sudut ruangan untuk mengambil kertas kecil, dan menuliskan pesan singkat di atasnya.

"Aku pulang dahulu, Naruto. Semua laporan sudah kuperiksa, kau tinggal membubuhkan tanda tangan saja. Tak perlu mencariku, aku ingin mampir sebentar ke kedai kopi yang baru buka di dekat perpustakaan kota."

Setelah membubuhkan nama di sudut bawah kertas kecil itu, Mei tersenyum. Ia melangkah ke luar kantor dan menyetop taksi untuk membawanya ke kedai kopi.

Perjalanan diprediksi memakan waktu tiga puluh menit. Mei memutuskan untuk beristirahat dengan bersandar. Pikirannya terasa lelah, pun perasaan. Padahal, dahulu ia terbiasa melahap sekian tumpuk berkas untuk diperiksa. Mungkin karena sudah lama meninggalkan pekerjaan tersebut, ketika ia menyentuh kembali, butuh pemikiran dan usaha ekstra. Seperti ia lama tertidur kemudian dipaksa bangun dan menjalani kehidupan.

Mata wanita itu terpejam, tetapi pikirannya masih sadar. Ia memutar ulang ingatan sejak menikah dengan Naruto sampai saat ini. Kenapa hal itu yang menjadi prioritas untuk dipikirkan? Karena masih ada satu hal yang harus Mei lakukan saat ini. Ia belum menemukan gadis yang cocok untuk dinikahkan dengan suaminya.

Jika ada yang bertanya, mengapa ia begitu mudahnya melakukan hal yang bahkan tak akan pernah dilakukan wanita lain? Mei tertawa sendiri.

Ia bukan tidak mampu menjawab, ia hanya memilih diam.

"Sudah sampai, Nyonya."

Ucapan sopir taksi menyentaknya. Ia membuka mata dan melihat dari balik jendela, tempat yang menjadi tujuannya.

"Terima kasih," ucap Mei sembari menyerahkan lembaran uang.

Wanita itu turun, berhenti di depan ruko yang diubah menjadi sebuah kedai mungil. Mei memantapkan langkah kakinya masuk ke dalam kedai itu.

"Aku hanya penasaran dengan rasanya. Kemarin Jugo mengatakan kopi di kedai ini enak sekali," gumamnya.

Jugo adalah salah satu penggemar kopi dan bisa dikatakan dia tahu segala seluk beluk kopi, tentang rasa dan aroma. Jadi ketika pria bertubuh besar itu mengatakan sesuatu tentang kopi, Mei langsung percaya.

Saat memasuki kedai itu, mata Mei menangkap sosok yang tidak asing. Seorang gadis dengan rambut diikat tinggi, tengah duduk menghadap ke jendela. Mei agak terkejut, meski hanya punggung yang terlihat, Mei tahu benar siapa gadis itu. Ia berpikir, kenapa gadis itu bisa kelayapan sampai ke sini tanpa pengawalan? Wanita itu mengedarkan pandangannya, dan ia yakin tidak ada satu pun orang kepercayaan yang sudah disewa, berada di dekat sini. Kepalang tanggung, ia menghampiri gadis itu.

"Hinata," sapanya setelah terlebih dahulu memesan secangkir kopi pekat.

Yang dipanggil menengok, terkejut, tidak menyangka mereka akan bertemu di sini.

"Mei-Sama?"

"Boleh aku duduk di sini?"

Hinata mengangguk. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa bertemu dengan Mei. Biasanya kan kalau mau ketemu, mereka membuat janji dahulu. Jika ditilik kedai ini bukan kedai yang pantas untuk Mei datangi, kan? Hinata saja datang karena melihat tulisan diskon di depan kedai yang baru buka ini.

"Hei, kenapa wajahmu seolah mengatakan aku tidak boleh berada di sini?"

Ucapan Mei mengagetkan Hinata. Gadis itu jadi kikuk karena pikirannya ketahuan.

"Ti … tidak Mei-Sama. Hanya saja sedikit heran, hehehe …."

Mei tertawa, "Tidak masalah. Aku mendengar tentang kedai ini dari seorang pelayan di rumah. Dia ahli masalah kopi, dan rekomendasinya membawaku ke kedai ini."

Mereka diam ketika seorang pelayan membawa pesanan Mei. Mei mulai menyesap dan mencicip. Ia tersenyum puas.

"Jugo tidak pernah salah."

Hinata mau tak mau ikut tersenyum. Entahlah, melihat wanita itu senang sepertinya membuat dirinya senang juga.

"Kau suka kopi? Aku tidak menyangka, kukira kau penyuka teh," tanya Mei.

"Saya juga menyukai kopi, Mei-Sama, tetapi tidak saya jadikan kebiasaan."

Mei mengangguk. Sejenak terdiam, dengan posisi bibir cangkir masih menempel pada bibirnya. Padahal niatnya ke sini ingin merilekskan pikiran, tapi permasalahan hidup enggan cuti dari pikirannya.

Hinata yang melihat Mei seperti itu menjadi bingung.

"Apa ada yang sedang membebani pikiran Anda, Mei-Sama?"

Mei tersentak, ia menatap Hinata yang sedang memandangnya khawatir. Wanita itu tersenyum. Padahal belum lama berteman, tetapi seakan mereka sudah sehati.

"Iya kau benar Hinata."

"Jika Anda berkenan, saya bersedia menjadi pendengar," lirih Hinata.

Sebenarnya gadis itu ragu, karena takut dikira ikut campur urusan orang lain.

Hinata sudah cukup banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya, sampai masalah hati pula. Mei pikir, tidak ada salahnya kalau ia balas mencurahkan isi hati.

"Kau karyawati di perusahaanku, pasti kau tahu kalau aku sudah menikah untuk yang kedua kali?"

Hinata mengangguk. Agak takut karena sering kali berita yang ia dengar tentang pernikahan itu adalah pasangan beda usia terlampau jauh. Namun sepertinya, bukan hal itu yang akan Mei ceritakan.

"Dan kau tahu apa yang diharapkan oleh mereka yang sudah menikah?"

"Kebahagiaan?" jawab Hinata ragu.

Mei mengangguk, "Benar. Salah satunya, dengan apa agar kebahagiaan itu utuh dan sempurna?"

"Hmm?"

"Anak."

Lantas hening menyapa. Mei masih mengumpulkan kekuatan, agar tidak terlihat rapuh ketika menceritakan permasalahannya. Sedangkan Hinata menunggu dengan setia, kelanjutan ucapan Mei.

"Hinata, aku ini wanita yang mendekati paruh baya dan punya riwayat keguguran. Aku tidak akan pernah melahirkan keturunan."

Hinata masih diam, tidak tahu harus memberikan tanggapan apa pada wanita yang begitu pasrah pada takdir. Kopi di atas meja mulai terabaikan. Namun, lantaran belum ada kelanjutan dari Mei, Hinata mencoba menyela.

"Apakah Anda sudah memeriksakannya ke dokter?"

Pertanyaan Hinata menuai senyuman tipis di bibir Mei. Padahal sudah menjelaskan perkaranya dan gadis itu masih berpikiran polos, seolah wanita tua seperti dirinya yang masih punya harapan untuk memiliki anak.

"Tidak perlu, Hinata. Karena aku sadar, memiliki anak adalah hal yang hampir mustahil untukku."

Hinata bingung mau menjawab apa. Ia belum berpengalaman, dan minim informasi semacam ini.

"Mertuaku memiliki keinginan untuk menimang cucu. Ya, sebagian besar orang tua memang demikian. Suamiku sendiri tidak mempermasalahkannya. Aku heran, dia masih begitu muda tetapi seperti tidak punya keinginan untuk memiliki anak. Namun akhirnya aku sadar, bukan dia tidak ingin memiliki anak, melainkan dia paham kondisinya. Dia tahu aku tidak mungkin bisa melahirkan keturunan dan dia begitu menghormati dan menyayangiku sampai rela mengalah pada hal itu."

Ucapan Mei terpotong oleh seorang pelayan yang menawarkan makanan lain untuk mereka. Mei memesan kue keju untuk hidangan penutup, tak lupa memesankan juga untuk Hinata kendati gadis itu sudah menolak.

Hinata hanya mampu menghela napas. Ia tak pernah dihadapkan pada situasi seperti ini. Hal yang menurutnya terlalu rumit bagi pikiran mudanya.

"Akhirnya aku tahu solusi yang mungkin bisa membawa kebahagiaan bagi kami semua, tentang bagaimana kami bisa mendapatkan anak."

Tak ayal Hinata penasaran. Mata pucatnya membola, saking ingin tahu.

"Syukurlah," ucapnya.

"Aku meminta suamiku untuk menikah lagi, dengan seorang gadis," tandas Mei.

"A … apa?"

Hinata menutup mulut. Tak mampu ia berkata-kata. Menikah lagi? Bagaimana bisa Mei mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya? Bukankah itu artinya Mei mengizinkan dirinya untuk dimadu? Hinata menggelengkan kepala. Ia sungguh tidak bisa membayangkan.

"Ya Hinata, bahkan aku sendiri yang mencarikan. Sampai saat ini pun, aku belum selesai dengan pencarian itu."

Melihat Mei tersenyum tipis, membuat Hinata berpikir. Wanita ini benar-benar baik hati, atau sedikit … gila?

"Kau mungkin menganggapku gila. Namun, apa kau punya solusi yang bisa memecahkan masalahku selain hal gila tadi?"

Hinata menggeleng.

Mei menyesap kopi yang sudah mulai hangat. Matanya menatap Hinata, terlihat menikmati setiap ekspresi yang ditampilkan wajah gadis itu, ketika ia bercerita. Mei tertawa dalam hati, menertawakan kepolosan Hinata.

"Apa Anda tidak cemburu jika suami Anda menikah lagi?" tanya Hinata tiba-tiba.

Mei terlonjak. Namun sejurus kemudian ia tertawa kecil.

"Baiklah, sepertinya kita akan sedikit lebih lama berada di sini. Mungkin setelah kue keju, kita bisa memesan yang lain."

Hinata ikut tertawa, menurutnya Mei ini lucu.

"Hinata, aku yakin kau mengenal kata cinta."

"Iya."

"Kau menyayangi seseorang sampai tidak mau berpisah dengannya."

Hinata membayangkan dirinya yang sampai saat ini belum bisa menemukan Naruto.

"Atau mungkin kalian sedang terpisah, tapi memiliki keinginan menggebu-gebu untuk bertemu dengannya. Rindu, namanya."

Ya, Hinata merindukan Naruto. Teramat dalam kerinduan itu sampai hampir melubangi hatinya.

"Seperti kau dengan pemuda itu."

Mei tersenyum, sedangkan Hinata merasa jantungnya riuh.

"Ketika, misalnya kau mendengar pemuda itu ternyata telah menikah, apa yang kau rasakan?"

Hinata mendongak. Sejak lama ia sudah memikirkan kemungkinan itu, dan hatinya mungkin bisa menerima dengan paksaan. Namun, ada setitik rasa sakit tak terkira, muncul dan menjadi bayang-bayang.

"Itu menandakan, perasaanmu pada pemuda itu adalah sebuah cinta romantis. Kau mencintainya, menyerahkan jiwa ragamu padanya, dan kau menginginkan hal yang serupa dia berikan padamu. Kau ingin dia bahagia, tapi kau hanya mau kebahagiaan yang dia dapat berasal darimu. Kau ingin memilikinya, dan akan menjadi tidak rela jika orang lain yang memilikinya. Cinta romantis yang pamrih, egois, dan posesif."

Hinata jadi terpikir, apa perasaannya pada Naruto tidak suci?

"Itu sama sekali tidak salah, Hinata. Itu wajar dan hampir semua orang di dunia begitu, terlebih perempuan. Bahkan menurutku, cinta romantis yang suci tanpa mengharap balas hanya ada dalam dongeng. Meskipun begitu, aku kadang memikirkan pendapat lain. Tidak selamanya cinta romantis itu berakhir salah. Ketika pada akhirnya cinta itu tidak tersampaikan, ada orang yang memilih menyerah pada cintanya. Bukan tetap mencinta, melainkan merelakan. Itulah cinta romantis sejati."

Hinata menatap Mei. Ia mulai memahami bagaimana pemikiran wanita di depannya ini.

"Nah, bagaimana kalau perasaanku tidak seperti itu?"

Sudah Hinata duga.

"Aku merasa, apa yang aku miliki untuk suamiku, bukanlah cinta dengan perasaan romantis. Melainkan platonik, dengan cara pikir pragmatik pula. Apa kau pernah dengar kedua istilah itu?"

Hinata mengangguk. Meski ragu, ia sepenuhnya percaya rasa yang disebut sebagai platonik. Juga tidak sedikit orang yang ia kenal punya pola pikir pragmatik.

"Aku dan suamiku bukan baru kenal lalu tiba-tiba menikah. Dia anak kecil yang kupungut dahulu. Anak yang sangat baik dan berbakti. Mendedikasikan hidupnya untuk membalas jasaku. Aku sangat percaya padanya. Lalu dengan banyak pertimbangan, aku memintanya menikahiku. Aku lelah hidup sendiri, tak ingin hidupku berakhir tragis mati dalam kesendirian, ingin ada yang mendampingiku di saat terakhir. Dia setuju, dia menikahiku, melakukannya atas keinginannya sendiri, dengan berpikir bahwa ini merupakan bentuk balas budinya padaku."

Baru Hinata tahu, ternyata ada pernikahan yang didasari hal seunik itu. Dia kira menikah itu karena cinta, atau mungkin dijodohkan.

"Hubungan kami seperti persahabatan. Saling percaya dan saling bergantung. Satu kali pun kami tidak pernah mengungkapkan saling mencintai. Makanya aku beranggapan hubungan kami begitu platonik. Tidak ada rasa posesif di dalamnya, juga tidak mengharap balas apa pun. Meski begitu, kami bahagia dengan pernikahan ini. Kami sama-sama mencari dan saling memberi kebahagiaan."

Hubungan Mei dan suaminya, jauh dari hubungan suami istri yang pernah Hinata bayangkan, begitu pikirnya.

"Aku percaya, dia tidak akan mengkhianati dan meninggalkanku. Saat aku mengenang suami pertamaku, mengatakan aku masih sangat mencintainya, dia bahkan kelihatan senang sekali, setitik pun tidak terlihat cemburu. Dia berpikir tentang kebahagiaanku saja. Aku pun demikian, padanya. Karena itu lah, di hatiku tidak akan muncul perasaan negatif, meskipun dia menikah lagi. Asalkan dia juga merasakan kebahagiaan, aku tidak peduli dari perempuan mana ia dapatkan, meskipun bukan aku."

"Ja … jadi begitu," gumam Hinata.

Menjalani hubungan yang platonik itu, Mei benar-benar berpikir dengan cara yang pragmatis. Fokusnya hanya hasil akhir yang bahagia, meski dijalani dengan cara yang tidak biasa.

Mei meletakkan kedua siku tangannya pada meja, mengaitkan jari-jarinya untuk menumpu dagu.

"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara kami menjalani hubungan ini. Aku tinggal mencarikannya gadis yang mau menerima cara hidup kami, agar tidak muncul masalah di kemudian hari. Permasalahan adalah .…"

"…."

"Suamiku malah tidak setuju menikah lagi."

Hinata membulatkan mata. Ini benar-benar hal yang aneh. Biasanya seorang suami bahkan menikah lagi tanpa sepengetahuan istri, tetapi ini? Ketika istrinya menawarkan untuk menikah lagi, suami malah menolaknya.

"Kami sempat bersitegang dan berdebat panas saat malam aku mengungkapkan keinginanku agar dia menikah lagi. Aku bersikeras dengan pemikiranku bahwa keluarga kami akan bahagia jika memiliki penerus, mengatakan dia pasti akan bahagia, semua akan bahagia, mertuaku pasti senang. Namun dia menentang keras pemikiranku. Bukan karena menurutnya aku akan sakit hati nanti saat menjalaninya, tapi dia hanya tidak ingin janjinya padaku untuk menemaniku hingga akhir hayat direpotkan dengan mengurus perempuan lain, istri kedua yang pasti menambah tanggung jawabnya sebagai suami."

"Apa?"

"Tapi kami sudah berbaikan. Kami sadar, waktu itu kami sama-sama egois dan keras kepala dengan pemikiran masing-masing. Saat ini, aku tidak lagi memaksakan kehendak, dia pun melembut padaku. Namun keinginanku itu belum hilang. Jadi ia mengalah pada keinginanku dengan berpikir bahwa kalau dia menentang keinginanku sama saja mengingkari janjinya untuk membahagiakanku."

"Suami Anda benar-benar orang baik."

"Tentu saja. Jika tidak, mana mau aku menjadikannya suami kan? Aku bahkan heran, sebelum menikahiku di usianya yang muda, apa dia tidak punya sosok kekasih? Karena pada akhirnya dia setuju menikahiku, walaupun sempat meminta waktu satu bulan lamanya untuk berpikir. Atau jangan-jangan dia sedang memiliki kekasih saat itu?"

"Mu … mungkin dia memang sedang tidak memiliki kekasih Mei-Sama. Ia meminta waktu untuk menyiapkan diri dan memantapkan hatinya. Menurutku seperti itu."

"Benarkah? Rasanya tidak mungkin dia tidak memiliki kekasih. Kau tahu Hinata? Dia itu memiliki ketampanan yang tergolong unik. Rambutnya kuning cerah seperti matahari. Matanya biru sejernih samudra. Benar-benar tampan. Apalagi di pipinya ada tanda lahir yang membuat perempuan mana pun gemas dibuatnya."

Mei tertawa membayangkan Naruto yang menggerutu karena membahas masalah tanda di pipinya. Tanpa sadar melewatkan ekspresi terkejut dari lawan bicaranya. Ia tidak tahu, Hinata bahkan hampir menitikkan air mata ketika mendengarnya berbicara tentang rupa sang suami.

Tidak, sampai ucapan lirih dari sang gadis menghampiri indra pendengarannya.

"Na … Naruto-kun."

"Eh .…"

Mei tercenung. Melihat ekspresi sakit gadis di depannya ini, otaknya dipaksa berpikir, "Jangan-jangan …."

"Itu … nama laki-laki yang pernah saya ceritakan," ungkap Hinata lirih, tertunduk, dengan linangan air mata.

Mei menarik napas dalam, ia tutup wajahnya. Tiba-tiba saja, hatinya diserang rasa tidak nyaman yang luar biasa. Mulutnya tak sanggup lagi berbicara. Hal ini, bukan sesuatu yang ia harapkan.

Belasan menit berlalu, hanya isak Hinata yang didengar.

Setelah berpikir keras cukup lama, Mei mencapai kesimpulan lalu memberanikan diri buka suara.

"Hinata, apa kau bersedia bicara lebih banyak lagi denganku, yang …" Mei menggantung sejenak ucapannya, demi menarik perhatian Hinata, " … yang mungkin kita akhiri dengan sebuah kesepakatan."

Hinata bergeming sejenak. Setelah berpikir dan mencerna ucapan Mei, ia memberi anggukan, sebagai jawaban.


UNBREAKABLE PROMISE


Hari minggu adalah hari yang paling disukai, paling menyenangkan, khususnya bagi orang-orang yang mengutamakan keluarganya lebih dari teman apalagi pekerjaan. Kebanyakan orang cenderung memanfaatkannya untuk bermalas-malasan di dalam rumah saja bersama seluruh anggota keluarga, tidak sedikit pula yang pergi keluar untuk sekadar piknik. Namun, akan lebih baik kalau tetap di rumah, melakukan hal yang bermanfaat dan menyenangkan di dalam rumah. Apalagi kalau rumahnya semegah dan seluas rumah Mei Terumi, ada banyak hal yang bisa dilakukan seperti bersih-bersih, memasak, dan berkebun. Bukannya rumah itu tidak terurus, dengan banyaknya pelayan rumah itu selalu bersih dan rapi, tapi kalau si empunya rumah ingin melakukannya sendiri karena jenuh dan penat akibat pekerjaan dari Senin sampai Sabtu, kenapa tidak?

Mei dan Naruto sudah bangun bahkan sebelum mentari terbit, mereka merapikan kamar sendiri. Mei mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin cuci. Ya, sejak menikah mereka mengurus kamar sendiri dan tidak mengizinkan pelayan masuk karena itu adalah area pribadi.

Kemudian, Mei membuat sarapan. Yang sederhana saja, roti tawar dengan selai, salad sayur dan smoothie buah. Menu khusus untuk Naruto adalah telur dadar dengan alpukat dan salmon karena dia pria muda yang perlu banyak asupan protein, serta bubur oatmeal pisang yang nutrisinya bagus untuk orang tua seperti Minato dan Kushina. Naruto ikut membantu memanggang roti, menyiapkan peralatan makan, dan menata makanan di meja makan. Kushina yang datang ke dapur saat sarapan sudah hampir siap, langsung heboh sendiri melihat kekompakan anak dan menantunya. Dia merasa kalah dan tidak terima, karena didahului ke dapur.

Selesai sarapan, Minato pergi dahulu untuk mengurus kebun yang sudah jadi kesehariannya. Mei dan Kushina mencuci peralatan bekas makan sambil bercengkerama. Sedangkan Naruto, berdiri paling akhir setelah menandaskan segelas susu segar lalu mengambil pakaian sudah bersih dari mesin cuci untuk dijemur. Karena yang dijemur banyak, Mei sempat menyusul Naruto untuk membantunya.

Pukul 9 sinar matahari belum terik, karena itulah Naruto, Mei dan Kushina menyusul Minato di kebun bunga belakang. Katanya ingin membantu, sekalian ada bibit bunga baru yang ingin disemai. Padahal niat asli mereka bertiga hanya untuk mengganggu ketenangan laki-laki berumur lima puluhan itu.

Keluarga itu sangat menikmati waktu mereka, menyenangkan memiliki kebersamaan seperti ini,

sangat menyenangkan.

Namun tidak lagi, saat matahari sudah meninggi.

Tidak lagi terasa menyenangkan setelah Mei mengatakan kalau siang ini ada tamu istimewa. Seorang gadis yang ia janjikan kepada Naruto waktu itu.

Minato dan Kushina tidak mau berkomentar.

Sedangkan Naruto, masih belum mau menerima tapi ia tidak punya kesempatan untuk menolak walau dengan cara halus ketika melihat ekspresi Mei yang begitu bahagia saat mengatakannya.

Kata Mei itu adalah kejutan, tapi sudah terlambat mengatakannya karena Naruto sudah terkejut sejak tadi.

Hari minggu yang tadinya dikira sebagai hari menyenangkan, kenyataan malah sebaliknya.

Sekarang, jam 3 siang. Mereka semua sudah berkumpul di ruang tamu, Mei yang meminta. Karena tamu ini kedatangannya begitu ditunggu, wajar kan kalau mereka bersiap menyambut lebih dahulu?

"Gadis itu akan datang sebentar lagi. Aku yang menyuruh sopir menjemputnya." Ungkap Mei, coba menenangkan Naruto yang duduk tidak tenang uring-uringan sejak tadi di sisi kanannya.

"Hm."

Naruto menyahut seadanya, tanda bahwa dia tidak nyaman dengan kondisi ini. Buktinya sejak tadi dia mengusap wajah. Berada di sini bukan berarti Naruto telah menerima keinginan Mei. Ia hanya tidak ingin ada pertengkaran lagi, pikirnya mungkin setelah gadis itu datang mereka bertiga bisa berbicara lagi untuk memikirkan kembali keputusan itu, sebab hatinya masih enggan terima.

"Ekhhem .…"

Suara batuk yang dibuat-buat oleh Kushina menarik atensi semuanya. Naruto jadi takut sendiri melihat wajah ibunya yang tampak tidak bersahabat, takut-takut ia akan dimarahi. Bahkan Mei pun, baru kali ini dia mendapat tatapan tidak mengenakkan seperti itu dari mertuanya.

"Begini," Kushina menggenggam tangan Minato yang duduk di dekatnya, "kami … maksudku ini adalah urusan rumah tangga kalian berdua. Jadi bisakah kami pergi dari sini?"

Naruto tertunduk takut, Mei terdiam.

Pasangan paruh baya itu pun pergi walau tidak mendapat jawaban.

Naroto memijit kepalanya cukup keras, sedangkan Mei membuang napas panjang. Wanita itu jadi merasa bersalah sendiri karena melibatkan mertuanya tanpa berpikir dahulu.

Mei sudah ingin meminta maaf pada Naruto karena melibatkan ibunya, tapi tidak jadi karena mendengar suara mobil di luar.

"Nah, dia sudah tiba."

Mei beranjak demi menyambut tamunya. Mata Naruto mengekor gerak Mei menuju pintu yang seakan tidak ada masalah apa-apa. Pria itu mendesah napas berat, menunduk lagi kala istrinya sudah tidak terlihat di balik pintu. Ia sendiri masih ragu apa benar Mei sudah seyakin ini mencarikannya istri lagi?

Tak lama kemudia, dua pasang langkah kaki berhenti di ruang tamu. Telinga Naruto mendengarnya tapi dia enggan mendongakkan wajah menyambut si tamu.

"Naruto, sebaiknya kau lebih menghargai tamu kita," tegur Mei.

Pria itu sadar kalau sikapnya terlalu kekanak-kanakan, jadi dengan memaksakan sebuah senyuman sambil berdiri dia angkat wajahnya perlahan. Netranya menangkap sepasang kitten heels berwarna putih tulang, kemudian kaki ramping dengan kulit yang putih tanpa cela, lebih pendek daripada kaki Mei. Makin ke atas, ada shirt dress selutut warna senada dengan warna sepatu, sampai tas selempang kecil. Lekuk badan gadis itu pun cukup tampak karena dia memakai ikat pinggang berbentuk pita. Ada sepasang anak rambut yang menjuntai sampai ke dada, gadis itu memiliki rambut biru gelap panjang yang lurus dan indah.

Pandangan Naruto berhenti ketika sampai pada wajah sang gadis. Awalnya dia hanya menganggap kalau gadis itu cantik dan menawan, rupanya Mei tidak sembarangan memilihkan gadis untuk ia nikahi. Katakan kalau Naruto terpesona pada pandangan pertama.

Namun rasa itu hanya pada awalnya.

Tidak pada momen berikutnya.

Tidak! setelah ia mengenali siapa pemilik wajah itu. Walau sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun, atau bahkan seribu tahun, Naruto yakin ia tidak akan lupa wajah itu.

Seketika, rasa senang tiada tara memenuhi relung hatinya. Hanya sesaat, sebab setelah itu berbagai emosi campur aduk yang tak keruan rasa membuat hatinya sampai hendak meledak.

Terkejut pasti, ada banyak hal, ada banyak untaian kata yang tiba-tiba berjejal, memaksa untuk dikatakan. Namun lidah laki-laki itu kelu, bahkan menarik napas pun ia tak mampu.

Karena suaminya bengong seperti ini, jadi Mei ingin menyadarkannya, "Sapa dia, ayo!"

Tak ada tanggapan. Bukan Naruto tak mendengar, tapi telinganya tuli, matanya buta, semua indranya mati pada semua hal, kecuali pada si gadis yang datang dari masa lalu ini.

"Hi .…"

Suara serak yang terputus, hanya itu yang mampu Naruto lakukan.

"Iya. Ini aku, Naruto-kun."

Gadis itu tersenyum, senang bercampur pilu.

Tiba-tiba, Naruto terduduk di sofa. Dia tidak sakit, jantungnya masih sehat. Dia hanya shock, keterkejutan yang melampaui batas yang sanggup ia terima.

Sungguh keterlaluan, Mei benar-benar keterlaluan. Jadi inikah kejutan yang Mei katakan padanya di kebun tadi. Kejutan yang seumur hidup, tak akan ia lupa.

-x-

Pernah merasakan, bagaimana jika ada seseorang yang telah lama kau rindukan, tiba-tiba datang di saat yang benar-benar tidak tepat? Suasana canggung dan segala bentuk kegugupan memenuhi atmosfer. Bagai buah simalakama, ingin menumpahkan rindu tak bisa, diam saja juga tak mungkin. Semua serba salah. Sejak kali pertama bertatap muka setelah lebih dari satu dekade tak berjumpa, hanya hening yang tersisa. Bukan lantaran tak ada yang ingin dibicarakan, melainkan terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Saking banyaknya, jika terlepas dikhawatirkan akan menghunjam dan menimbulkan luka.

Bukan mereka tak senang, ketika akhirnya Tuhan mempertemukan kembali. Hanya saja waktu yang tak mau bersahabat. Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak saat mereka saling mencari di waktu perjanjian mereka? Semuanya sudah terlambat kan?

Taman belakang jadi tempat yang Mei sarankan, sebagai teman yang lama tak bertemu pasti ada banyak hal yang ingin dibicarakan, membuat Naruto merasa sedang dipermainkan.

Naruto menggeser duduknya. Ia benar-benar tidak nyaman, berdua saja dengan Hinata. Gadis yang entah sampai kapan masih tersimpan di lubuk hati. Gadis yang membuat jantungnya jungkir balik dahulu kala, dan semakin parah saat ini. Karena gadis ini datang, di saat ia sudah memutuskan untuk mengabadikan segala rasa di bagian hati terdalam, menyimpannya rapat, merahasiakannya, menjadikannya hal paling berharga hanya untuknya. Pikirannya tak mau bekerja, seakan ia pasrah menanti keajaiban yang mengajak mulutnya berbicara. Itu hal yang mustahil, ia tahu. Pria itu mendesah lagi. Matanya memandang lurus pada hamparan taman yang dipenuhi bunga warna warni. Kolam di bagian tengah taman pun seakan lebih menarik perhatiannya ketimbang keadaan saat ini.

Jarak satu meja dari si pria, Hinata tak jauh berbeda. Kendati ekspresinya lebih tenang, gugup jelas tak terelak. Ia terlalu bahagia bisa bertemu dengan pemuda yang selalu dicintainya meski dalam keadaan yang ia sendiri tidak berkehendak. Rasa rindu, cinta, juga setengah tidak suka pada takdir ini, muncul bersamaan.

Gadis itu sudah siap, sejak Mei menawarkan kesepakatan di waktu itu. Ia mati-matian membunuh segala ego, mengesampingkan semua perasaan, untuk menarik keluar setiap logika yang dibutuhkan. Ya, perasaan gadis itu jelas menolak mentah-mentah, ia tidak terima nasib ini. Bahkan Hinata sendiri berpikiran seharusnya ia membenci Mei, karena telah merebut Naruto darinya. Namun, tidak ada perasaan semacam itu yang hadir. Yang ada, perasaan iba setengah kasihan kepada Mei. Wanita itu begitu hebat di matanya. Ketegaran ada padanya tidak semua orang miliki.

Tidak ada yang bersalah. Mei tidak salah, Naruto tidak salah, dirinya juga tidak salah. Siapa tahu takdir yang membawa mereka kepada keadaan ini, adalah takdir terbaik, takdir yang menjadi bukti keadilan Tuhan.

Lain Hinata, lain Naruto.

Hingga kini pria itu masih bersikeras pada pendiriannya. Ia tidak mau menikah lagi. Baginya cukup Mei seorang yang ia nikahi. Kendati perasaan yang ia miliki pada sang wanita, tidak sama dengan perasaannya kepada sang gadis. Ia sudah berjanji untuk selalu membahagiakan Mei. Maka apa pun keadaan wanita itu, ia akan selalu menerima. Kebahagiaan tak harus dengan anak kan? Jika Mei saja cukup untuknya, kenapa ia harus menikahi wanita lain demi mendapat anak?

Pria itu melirik ke arah Hinata. Gadis itu masih bergeming, mungkin memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya? Entahlah, tetapi dengan adanya Hinata di sini, dan ia yang tidak terkejut akan dijadikan istri kedua Naruto, jelas menunjukkan bahwa gadis ini sudah tahu lebih dahulu dari dirinya. Hinata juga mungkin sudah mempersiapkan diri atau bahkan berpikir lebih lama ketimbang dirinya. Jika boleh berasumsi lebih jauh, Naruto yakin bahwa Mei dan Hinata sudah membuat kesepakatan yang tidak ia ketahui apa. Ditiliknya ekspresi gadis itu, tenang tapi jelas terlihat tidak nyaman. Apakah karena keheningan? Apakah gadis itu mengharapkannya menyapa dahulu?

Naruto menyerah, ia tidak mungkin membiarkan keheningan ini berlalu lebih lama.

"Hinata," sapanya.

Hinata terlonjak, sedikit melirik pada sosok pemuda yang kini telah menjadi pria. Ia menghela napas dalam.

"Ya?"

"Apa kabar?"

Setelah duduk berdampingan sekian lama, baru kali ini ia menanyakan kabar?

"Kabar baik, Naruto-kun. Kamu sendiri?"

Tadinya gadis itu ragu, haruskah ia memanggil dengan Uzumaki-Sama? Mengingat status pria itu sekarang adalah atasannya.

"Aku baik-baik saja."

Hinata mengangguk. Ia tak mau memulai apa pun, sebelum Naruto yang memulainya.

"Tidak kusangka, kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini," ujar Naruto.

Pria itu lalu mengambil teh hangat yang sudah tersedia sejak mereka masuk ke taman ini. Semoga cukup untuk mengurangi kegugupan.

"I … iya, siapa sangka. Takdir membawa kita bertemu kembali … meski dalam keadaan yang …."

Suara Hinata kian pelan, ia juga tak mampu melanjutkan ucapannya. Entah kenapa rasa sesak kini memenuhi rongga dadanya. Terlebih ketika ia mengingat seharusnya mereka bertemu pada waktu yang dijanjikan dahulu. Namun, ternyata Naruto tidak datang, karena sudah menikah.

"Apa kau ingat, betapa cengengnya kau dahulu, Hinata?"

Hinata terkesima, ia sama sekali tidak menduga Naruto akan mengajak bernostalgia.

"Dan apa kau ingat, betapa lemahnya aku dahulu?"

"…."

"Aku benar-benar ingin menjadi pelindungmu saat itu, saat dirimu menangis karena ayah yang kau sayangi pergi meninggalkanmu selamanya. Namun, aku sadar aku masih payah."

"Ka … kau tidak payah, Naruto-kun."

"Terima kasih," ucap Naruto sambil tersenyum ke arah Hinata.

Jujur, ada senyar menggelegar di jantungnya, saat mata birunya bersirobok dengan mata ungu pucat Hinata. Namun, ia redam sekuat tenaga, dengan mengalihkan pandangan.

"Sejak kau pergi, banyak yang terjadi. Ayahku diberhentikan dari pekerjaan, ibuku makin sakit-sakitan. Semua itu memaksaku untuk mengadu nasib … ke kota ini."

Naruto menatap langit yang dihiasi arakan awan. Kembali bibirnya terbuka, menceritakan jalan kehidupan yang membawanya pada takdir saat ini. Bagaimana dirinya dan Mei bertemu.

"Sampai pada satu saat, aku terkejut. Mei mengajakku menikah."

Naruto melirik Hinata, tak ada ekspresi apa pun yang diperlihatkan gadis Hyuga itu selain ketenangan. Apakah itu artinya Hinata sudah mengetahui cerita ini juga? Namun yang pasti, ada yang belum Mei ceritakan padanya.

"Sebelum itu, Hinata. Aku tak lupa dengan apa yang aku ucapkan padamu sepuluh tahun lalu."

Hinata menegakkan tubuhnya kaku. Ia tidak siap mendengar bagian ini. Dan apa itu tadi? Sebelum? sebelum maksudnya sebelum menikah?

"Aku datang ke tempat perjanjian kita, tapi ternyata … kau tak ada. Aku … aku kecewa Hinata. Aku berpikir mungkin kau sudah melupakanku dan menemukan penggantiku, sehingga kau tidak menemuiku."

"Tidak!"

Hinata tahu, suaranya terlalu lantang bahkan untuk didengar telinganya sendiri. Pun Naruto yang nyaris terjungkal dari posisi duduknya.

"A … aku ke sana saat itu, ta … tapi aku tidak menemukanmu, Naruto-kun. Aku bahkan datang ke rumah lamamu, tapi tidak ada apa-apa di sana."

Naruto terkejut. Ia yang ingatannya tajam, mengingat dengan jelas, ketika datang ke rumah lamanya, ada bekas tangan di jendela berdebu yang terlihat masih baru. Mungkinkah itu tangan Hinata?

"Benarkah?"

Hinata mengangguk pasti. Ia menerima keadaan ini, keadaan di mana Naruto sudah menikah. Namun ia tidak mau dianggap gadis yang dengan mudahnya mengingkari janji apalagi janji dengan orang yang paling ia sayang, janji untuk sehidup semati.

"Aku tidak menemukanmu, Naruto-kun. Aku pun berpikiran sama dengan apa yang kau pikirkan tentangku."

Naruto mematri senyum tulus. Rupanya memang waktu yang mempermainkan mereka. Saat mereka saling mencari … dan saat ini ketika bertemu kembali. Kenapa seperti ini? Apa memang harus dengan garis takdir yang menyesakkan dada?

"Minumlah dahulu, Hinata!"

Hinata menurut. Diambilnya teh yang belum ia sentuh sama sekali. Ia sesap, ia rasa, ada sebersit pahit di balik harum aromanya. Hinata tersenyum miris, seperti inikah kehidupan? Akan ada pahit di balik manis, akan ada hitam ketika ada putih. Namun pasti, akan ada pelangi di balik badai.

"Ketika Mei memintaku menikah dengannya, aku tidak langsung memutuskan. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana posisiku saat itu Hinata. Aku, yang masih sangat mencintaimu, dilamar oleh orang yang telah menyelamatkan bukan hanya hidupku tetapi juga hidup orang tuaku."

Hinata mengangguk paham.

"Aku merasa saat itu butuh waktu untuk berpikir. Mengesampingkan perasaan kepadamu dan kepada Mei. Aku butuh logika untuk memutuskan hal sebesar itu dalam hidupku."

"…."

"Saat itu, meskipun akhirnya memutuskan untuk menikahinya, aku meminta waktu satu bulan kepada Mei, hanya untuk memantapkan hati. Beberapa hari dalam waktu yang diberikan oleh Mei itu, aku bahkan masih berusaha mencarimu. Berharap bisa menemukanmu dan mengungkapkan perasaanku. Namun mungkin Tuhan sudah mengatur segalanya dengan baik. Aku tidak tahu apa yang akan aku katakan seandainya saat itu aku benar-benar menemukanmu. Aku pasti tersakiti, apalagi kau Hinata. Dari situ lah aku merasa bahwa ini yang sudah digariskan untukku. Aku sudah yakin menikahi Mei."

Naruto menghela napas, butuh jeda untuk mengistirahatkan mulut dan mentalnya. Menceritakan hal ini, menguras perasaan. Terlebih ketika yang menjadi pendengar adalah sang gadis istimewa. Ia mengambil sepotong kue yang disajikan untuk menemani teh, melahapnya dalam satu kali telan. Seperti ingin memasok stamina demi melanjutkan cerita.

"Sejak hari aku memutuskan itu, aku sudah berjanji untuk mengabadikan perasaanku kepadamu, di bagian terdalam palung jiwaku," Naruto terkekeh dengan bahasanya sendiri, "Aku tidak mampu menghapus, aku tidak mampu meniadakan rasa itu, yang aku mampu lakukan hanyalah menyembunyikannya agar aku tidak mengecewakan Mei, ayah, ibu dan semua orang. Menjadikan itu rasa dan kenangan paling berharga yang aku punya."

Naruto menggeser posisi duduknya. Tak seberapa perpindahannya, mungkin untuk mengurangi kegelisahan saja.

"Sejak saat itu, aku juga berjanji untuk membahagiakan Mei, menjadi teman hidupnya sampai ajal menjemput, apa pun yang terjadi. Termasuk dengan menerima apa yang ada pada dirinya. Aku memahami dirinya, aku mengerti bahwa dalam kondisi seperti Mei saat ini, sangat sulit untuk kami mendapatkan keturunan. Aku sudah paham itu, Hinata. Aku pun telah menerimanya. Jujur, bagiku Mei sudah segalanya, aku tidak merasa harus ada keturunan untuk mendapatkan kebahagiaan kami."

Napas Naruto tampak semakin menggebu daripada sebelumnya.

"Maka aku sangat tidak mengerti ketika Mei tiba-tiba ingin aku menikah lagi? Untuk memiliki anak? Padahal aku sudah katakan kepadanya berkali-kali, aku menerimanya, aku menyayanginya dan aku tidak ingin mengkhianatinya. Bukankah kau pasti berpikir seperti itu Hinata? Ketika aku menikahi perempuan lain terlepas dari siapa pun itu, sementara aku sudah menikah dan mengikat janji dengannya, bukankah itu artinya aku berkhianat?"

"…."

"Aku tidak paham jalan pikirnya."

Sejujurnya sejak tadi, Hinata merasa sesak menyapa pernapasannya. Sebesar inikah kepedulian Naruto kepada Mei? Sedalam inikah rasa sayang pemuda itu kepada Mei? Bahkan meskipun di awal tadi Naruto mengatakan bahwa dia lah satu-satunya gadis yang dicintai, kenapa arah pembicaraannya seakan tidak seperti itu? Apakah Mei sudah mengganti posisi dirinya di hati Naruto?

Hinata tersenyum miris, kepalanya menunduk. Genggam tangannya mengerat pada sisi tubuh. Ia tidak boleh menangis, bukankah dahulu ia pernah berkata bahwa waktu mungkin saja mengubah perasaan orang? Bukankah dahulu ia juga sudah menyiapkan diri, seandainya ketika bertemu kembali ternyata Naruto sudah menikah? Kenapa ini sangat terasa menyakitkan? Apa karena wanita itu adalah Mei Terumi, orang yang sudah dekat dengannya sebelum pertemuan ini? Ataukah karena cara bicara Naruto yang membuatnya sedikit merasa disalahkan karena tiba-tiba muncul di saat seperti ini? Hinata tidak mau bersilat lidah dengan egonya, maka gadis itu memilih tetap diam dan mendengarkan.

"Aku tidak paham, Hinata."

Suara Naruto yang pecah, membuat Hinata yakin, pria itu tengah mengeluarkan segala emosinya. Emosi yang tidak ingin dia pahami.

"Sejak awal aku menentang niatnya untuk membuatku menikah lagi …"

" … tetapi hari ini ketika aku tahu bahwa kau yang akan dinikahkan denganku, aku menjadi ragu dengan pikiranku sendiri. Bukankah ini konyol? Bukankah aku egois jika seperti ini?"

Naruto tertawa, ia yakin Hinata tetap mendengarkan meskipun tidak menanggapi. Pria itu paham, Hinata pasti tidak tahu harus memberikan respons apa.

"Aku hanya bingung, aku tidak tahu mau berkata apa lagi. Semuanya terasa mendadak. Apa aku boleh jujur Hinata?"

Hinata mendongak, menatap sendu pada pria itu. Apakah Naruto akan berkata sesuatu yang menyakitinya? Memintanya pergi misalnya? Memintanya menolak kemauan Mei?

"Satu sisi dari hatiku, merasa senang ketika tahu kau yang mau dinikahkan denganku," Naruto menghela napas, "aku … masih mencintaimu, Hinata, sangat."

Hinata merasa jantungnya berontak. Sekuat tenaga ia menekan dadanya, seakan meminta sang pemilik detak untuk berdiam di tempat.

"Hahaha,aku tidak tahu apa aku masih pantas berkata seperti ini."

Naruto terdiam sejenak, ia tampak berpikir.

"Karena itulah aku takut … jika aku menikahimu, ini keputusan perasaan dan egoku semata, bukan hasil berpikir jernih. Jangan-jangan setelah menikahimu, aku akan mengabaikan Mei dan malah mencurahkan seluruh cintaku padamu. Yang pada akhirnya, aku justru menyakiti Mei dan gagal membahagiakannya. Itu bertentangan dengan janjiku."

"Apakah …."

Naruto terkejut, ketika mendengar Hinata memotong pembicaraannya. Ia mendengar gadis itu berdehem.

"Apakah Naruto-kun yakin, akan seperti itu andai menikah lagi?" tanya Hinata.

Kali ini ia tidak ragu, menatap tajam pada mata sewarna permata safir milik Naruto. Ia lelah, hanya mendengar keluh kesah Naruto yang seakan menyalahkan diri sendiri.

"Apakah setelah yang selama ini Mei-Sama lakukan kepada Naruto-kun, Naruto-kun yakin akan mengabaikan dan menyakitinya? Apakah perasaan sayang yang dimiliki Naruto-kun kepada Mei-Sama hanyalah perasaan semu yang akan dengan mudahnya terkikis?"

Sungguh Hinata tak peduli jika kini air matanya membanjiri pipi, menuai tatapan sedih dan khawatir dari Naruto. Yang ia inginkan saat ini, Naruto tidak menyalahkan dirinya sendiri, tidak menyalahkan perasaannya, karena itu akan melukai gadis itu juga. Seakan ia menjadi penghalang bagi kisah Mei dan Naruto.

"Bahkan ketika menjalani kehidupan bersama Mei-Sama, Naruto-kun bisa menempatkan, di mana perasaan cinta kepadaku dan di mana perasaan cinta kepada Mei-Sama. Itu hal yang tidak mudah, walaupun bagi laki-laki yang lebih banyak memuja logika, Naruto-kun," Hinata memejamkan mata, menekan satu isak, "kau bahkan berhasil melakukan semua itu sampai sejauh ini, tapi kenapa sekarang kau malah meragukan dirimu sendiri? Ini membuatku berpikir apakah benar kau menyayangi Mei-Sama dan ingin membahagiakannya dengan menolak menikah lagi, ataukah kau hanya melarikan diri dari takdir yang memaksa mempertemukanmu denganku, untuk menguji sejauh mana logikamu bisa dijadikan sandaran?"

Naruto tertegun. Ia tak menyangka Hinata bisa mengeluarkan kalimat setegas dan sepedas itu. Kalimat itu menohoknya, tetapi pria itu tak mau membantah. Sebab ia paham, kata-kata gadis itu benar. Kata-kata yang panjang itu nyaris tak memiliki cela, padahal Naruto yakin, jika gadis itu hanya berbicara dengan perasaan. Gadis itu seakan sudah mengetahui terlalu dalam tentang bagaimana ia menjalin ikatan dengan Mei, lebih dari yang ia ketahui.

Pria itu masih menatap Hinata yang sembap. Ya Tuhan, Naruto ingin sekali memeluk gadis itu dan menenangkannya. Ia tidak bisa, dahulu sampai sekarang, melihat Hinata menangis, terlebih ketika ia sendiri menjadi penyebabnya.

"Kalaupun bukan aku yang ditakdirkan bertemu dengan Mei-Sama untuk kau nikahi, kau juga menolak pernikahan itu kan? Atas dasar apa? Naruto-kun tidak ingin mengkhianati Mei-Sama? Naruto-kun ingin membahagiakan Mei-Sama? Dengan cara menolak keinginannya? Itukah caramu membahagiakannya?"

"Mei memintaku menikah lagi agar aku punya keturunan, Hinata. Dia berpendapat itu untuk kebahagiaanku dan orang tuaku …"

"… dan kebahagiaannya juga," potong Hinata.

Hinata mengusap kasar wajahnya. Ia bersyukur tidak mengenakan make up apa pun yang mungkin bisa membuat wajahnya berlepotan di saat seperti ini.

"Tidakkah Naruto -kun berpikir, cara Mei-Sama membahagiakan dirinya adalah dengan memberikan kebahagiaan bagi orang lain? Memberikan anak atau cucu pada keluarga yang sudah menikah, bukankah itu juga sebuah kebahagiaan? Meski bukan dari rahim Mei-Sama sendiri. Tidakkah Naruto-kun juga berpikir, bahwa mungkin Mei-Sama menginginkan kehadiran keluarga utuh? Mungkin dia tidak menginginkan seorang anak, tetapi lupakah Naruto-kun bahwa Mei-Sama pernah kehilangan calon anak yang dia harapkan? Tidakkah Naruto-kun memahami, bahwa jika Mei-Sama bersikeras dengan kemauannya, berarti itu adalah hal yang paling diinginkannya?"

"…."

"Naruto-kun mungkin cukup dengan keberadaan Mei-Sama saat ini. Namun, ia paham, suatu saat nanti Naruto-kun akan membutuhkan seorang penerus. Mei-Sama hanya berpikir untuk menghadirkan hal itu. Dia ingin melakukan sesuatu yang benar menurut pikirannya."

".…"

"Setelah mendapat curahan kebahagiaan darimu, Mei-Sama juga ingin membahagiakanmu. Dia tidak ingin hubungan kalian hanya satu arah. Dia ingin hubungan dua arah. Di mana logikamu, hanya untuk memahami pikiran sederhana seorang wanita saja tidak sanggup?"

Naruto bungkam, apa logika yang ia pakai salah di mata gadis itu? Sampai Hinata sekeras ini bicara padanya.

Hinata menoleh, tersenyum manis dan memandang Naruto.

"Mei-Sama percaya kepada Naruto-kun, tetapi kenapa Naruto-kun malah meragukan diri sendiri?"

Naruto nyaris melewatkan satu tarikan napas. Wajah Hinata yang sayu, membuat jantungnya berdegup laju.

"Jika memang Naruto-kun tidak ingin aku yang menjadi istri kedua, Naruto-kun bisa mengatakannya langsung kepada Mei-Sama. Aku tidak keberatan Naruto-kun. Mungkin saat ini perasaanku masih begitu kuatnya pada Naruto-kun, tetapi aku yakin seiring waktu aku pasti bisa merelakan Naruto-kun. Karena cinta yang aku miliki untukmu, bukan cinta yang egois."

Kalimat terakhir bagaikan cambuk untuk menguatkan hati Hinata sendiri. Namun gadis itu tidak berbohong, ia berjanji pada diri sendiri untuk bisa melepaskan sang kekasih hati jika memang Tuhan berkehendak demikian.

Begitu lah, apa yang Hinata katakan baru saja akan ia pegang sungguh-sungguh. Ia belajar dari Mei, bagaimana hebatnya wanita itu mengelola hati dan perasaannya. Jika memang Mei menyebut cintanya adalah cinta romantis yang pamrih, egois, dan posesif, jika benar perasaannya setercemar itu. Maka mulai hari ini, Hinata ingin mengubah cintanya yang dangkal dan pikirannya yang tidak bijaksana. Ia bertekad akan membuat cintanya itu suci, menjadi cinta tulus yang sebenarnya. Walaupun Mei mengatakan cinta itu hanya ada dalam dongeng, Hinata ingin membantahnya, dan dia akan membuktikannya.

Karena sudah tidak ada lagi kalimat-kalimat pedas yang Hinata lontarkan, Naruto menganggap kalau gadis itu sudah selesai menumpahkan emosinya. Setidaknya untuk saat ini. Untuk gadis itu, yang matanya kian sembap, hidungnya kian memerah, serta suara isak yang tak kunjung memelan, sebagai seorang laki-laki ia tak bisa melakukan apa-apa. Dan ia sangat menyesali ketidakmampuannya ini, pada orang terkasih yang sangat dicinta. Lebih menyesal lagi, saat Naruto telah disadarkan oleh hunjaman kalimat-kalimat menohok dari bibir Hinata.

Jujur, sekeras dan selama apa pun berpikir dengan logikanya, tetap saja kesimpulan yang ia dapat bahwa apa yang Hinata katakan tidak sepenuhnya benar, ada sisi yang belum sesuai logika. Sebagai seorang laki-laki yang cerdas dengan logika tajam, maka kesimpulan yang Naruto buat adalah yang terbaik dilihat dari sisi dan sudut mana pun.

Iya, Naruto masih yakin kalau dirinya benar. Namun kenapa luapan emosi Hinata barusan membuat perasaannya menyesal sedemikian dalam? Membuat hatinya meradang dan sakit sedemikian pedih? Pikiran pun sesak oleh perasaan bersalah yang kuat, pada gadis itu maupun pada Mei.

Hingga akhirnya sampai pada satu titik, Naruto menemukan cacat pada metodenya. Seharusnya, segala hal tentang perasaan jangan menggunakan logika sebagai dasar demi mencapai kesimpulan. Setajam apa pun logikanya, secerdas apa pun orangnya, ketika dihadapkan pada perasaan yang kuat dan dalam itu hanya ibarat membelah batu besar dengan pisau. Apalagi yang dihadapi ini adalah perasaan seorang perempuan. Lebih baik buang jauh-jauh logika ketika itu terjadi.

Naruto mau berkompromi dengan pikirannya sendiri, meski butuh belasan menit waktu berlalu. Selama waktu itu pula, Hinata menahan tangis yang perih sendirian. Tanpa siapa pun yang menguatkan, tanpa ada bahu sandaran, bahkan dari orang yang paling ia harapkan, yang jaraknya semeter pun kurang.

Naruto akhirnya dapat duduk di taman ini dengan rileks. Dengan membuang semua pikirannya, ia bisa menerima nasib ini. Menghadapi keinginan perempuan, cukup terima saja. Jangan memikirkan apa pun maka masalah tak akan ada.

"Naa, Hinata."

"Hm?"

Sebab isaknya baru saja pergi, Hinata bisa menjawab panggilan Naruto dengan lancar.

"Aku … aku sudah memutuskan."

".…"

"Aku akan menerimanya … pernikahan kedua ini."

Hinata menyandarkan tubuhnya pada kursi. Hal paling melelahkan hari ini sudah berlalu. Ia bisa sedikit lega.

"Jadi … Hinata, kau .…"

Gadis itu sampai heran, kenapa laki-laki yang tadi begitu kuat dengan logikanya tiba-tiba sekarang malah terbata-bata bicara. Wajahnya pun memerah. Tingkahnya tak ubah seperti kucing kecil yang malu-malu.

"Apa … kau … ehem, sudah siap jadi .…"

Naruto tampak kesulitan mengatakannya.

"Jadi apa, Naruto-kun?"

Melupakan semua perkara menyesakkan yang baru saja selesai, Hinata dibuat tidak mengerti dengan perubahan sikap laki-laki di depannya ini.

"Istri keduaku."

Naruto sedikit menunduk, dengan mata melirik ke arah lain.

Baiklah, Hinata tidak suka yang seperti ini. Satu dekade lebih tak bertemu, bukannya jadi lebih baik tapi malah sebaliknya.

Dahulu saat membuat perjanjian, Naruto mengatakan mencintai dirinya, bahkan dengan yakin melamarnya untuk menikah 10 tahun lagi. Kesungguhan yang Naruto tunjukkan waktu itu sampai menggetarkan jiwa, walau Naruto hanyalah seorang remaja tanggung yang tidak punya apa-apa.

Namun lihatlah sekarang! apa-apaan itu?

Apakah Hinata remaja dahulu yang salah, terlalu silau oleh perbuatan Naruto? Tidak, ia yakin dirinya masih sama. Pasti ini … pasti Naruto yang sekarang jadi lembek.

"Dengarkan aku, Naruto-kun! Memang benar, Mei-sama lah yang menawariku untuk jadi istri keduamu. Namun bukan berarti aku datang ke sini karena sudah setuju dengan tawaran itu. Sebagai seorang gadis, aku masih punya harga diri."

Apa lagi ini sekarang? Naruto pikir yang tadi sudah selesai, tapi kenapa Hinata masih begitu keras bicara pada dirinya?

Hinata melanjutkan, "Karena perasaan cintaku lah, aku di sini. Karena rinduku lah, aku datang menemuimu. Perasaanku yang begitu kuat lah, yang membuatku mampu menahan betapa menyakitkannya takdir ini, hanya agar aku bisa bertemu denganmu. Berbicara denganmu, menuntaskan segala rasa, dan meluapkan semua emosi di hati."

"Hinata."

"Hn."

"Maafkan aku."

Naruto menyadari kesalahannya. Perbuatannya tadi pasti telah membuat Hinata tersinggung.

Gadis itu membuang napas panjang. Setelah semua hal menyesakkan tadi, wajar kalau ia ingin marah pada seseorang. Ketika ada seseorang berada di dekatnya, ya lampiaskan saja.

"Aku mencintaimu, Hinata, sangat. Dari dahulu hingga kini, perasaanku padamu masih sama."

Nah kan? selalu saja begini, tidak adil. Ungkapan cinta Naruto, selalu bisa membuat jantung Hinata berdetak kencang dan hatinya jungkir balik. Amarah yang tadi sempat meluap pun dengan mudahnya tersingkir begitu saja.

"Aku juga mencintaimu. Dari dahulu, dan masih sampai sekarang."

Hinata menjawab begitu saja, dengan jujur, atas pengakuan cinta Naruto. Mana mungkin gadis itu mampu menahan perasaan yang masih menggebu ini.

Naruto tersenyum, ia masih bisa memenangkan pertarungan ini.

"Jangan senang dahulu, Naruto-kun!"

"Eh?"

"Kalau kau masih mengharapkanku menjadi istrimu, lamar aku dengan benar!"

Oh, begitu rupanya. Hanya karena gengsi, gadis ini marah-marah padanya tadi.

Tidak ada persiapan sebelumnya, dan lagi Hinata tampak tidak ingin dibuat menunggu lagi. Tidak tahu lamarannya ini akan romantis dan berkesan, yang penting lamar saja dahulu. Begitu pikir Naruto.

Naruto menoleh, mencari-cari sesuatu untuk bisa ia jadikan bahan lamaran sekarang juga. Ketika mendapatkan ide gila, ia lantas masuk ke rumah, menuai raut bingung dari Hinata.

Tak lama ketika akhirnya pria itu kembali lagi, dengan senyum lebar tersemat di bibirnya. Naruto menghampiri Hinata, merendahkan tubuh dan bertumpu pada satu lutut. Tangannya menengadah, hendak menyerahkan lingkaran kecil di tangannya kepada Hinata.

"Hinata, maukah kau menikah denganku? Menjadi istri keduaku, hidup bersamaku dan Mei?"

Hinata mengamati. Bukan hanya cincin itu yang terlihat lusuh, pun dahi Naruto yang benjol membuatnya bertanya-tanya. Gerangan apa yang terjadi di dalam sana?

"Ini cincin siapa? Dan, dahimu kenapa Naruto-kun?"

Naruto tertawa canggung. Pertanyaan Hinata sudah ia duga, tapi jelas ia hindari. Akhirnya ia terpaksa bercerita.

"Aaaa … itu, aku belum mempersiapkan apa pun untuk melamarmu, jadi aku meminjam cincin ibu. Karena ibu sedang memasak aku menariknya paksa dan ya … spatula kayu itu menghantam dahiku," ujar Naruto sambil tertawa, "sial, ini sakit sekali," ringisnya pelan.

Aslinya Hinata ingin tertawa. Bukannya romantis, lamaran ini malah terkesan konyol. Namun apa yang pria itu lakukan mampu membuatnya terharu, kendati dengan hal sekecil itu.

Ya, ia sungguh senang dengan lamaran ini. Namun gengsinya sebagai gadis belum lah luluh.

"Ehem, begini Naruto-kun."

"Ada apa lagi?"

Naruto bingung, kenapa harus berbelit-belit seperti ini.

"Kau melamarku sementara dirimu berstatus suami orang. Bukankan itu tidak etis? Sana, beri tahu dahulu Mei-sama bahwa kau ingin menikahiku. Minta izin padanya. Setelah mendapat izin, baru kau lamar aku lagi dengan sungguh-sungguh."

"Loh? untuk apa lagi minta izin, dia yang ingin aku menikah lagi. Bahkan dia yang membawamu ke rumah ini."

"Bukannya kau dengan lantang menentang keras keinginannya, bahkan sampai berdebat dan bersitegang dengannya."

Oh ya ampuuun! Baiklah, demi menikahi Hinata gadis pujaannya ini, dia akan melakukan itu. Biarlah Mei menertawakan dirinya sampai membuat malu setengah mati. Toh, demi cinta laki-laki harus berjuang bukan?

"Jadi … setelah aku mendapatkan izin dari Mei, melamarmu lagi, lalu kita akan menikah, ya kan?"

Apa Naruto sudah tidak sabar lagi?

"Siapa bilang hm? Aku belum memutuskan untuk menerima lamaranmu."

Dasar perempuaaannn! Naruto menggerutu dalam hati. Mengurus satu perempuan saja merepotkan, apalagi kalau dua. Padahal ini belum apa-apa, bagaimana nanti saat mereka hidup bersama?

Hinata tidak bisa menahan gelak karena berhasil mempermainkan laki-laki ini. Setelah seharian yang menyesakkan, hatinya harus didinginkan dengan sedikit bercanda. Kalau tentang bagaimana hubungan mereka akan berlanjut, Hinata sudah membuat jawaban sebelum ke sini, yang ia beritahukan pada Mei sebagai syarat atas kesepakatan yang ditawarkan padanya. Hinata mengatakan bahwa, dirinya mau atau tidak dengan tawaran itu, tergantung pada apa yang Naruto ingikan setelah mereka bertemu dan bicara.

.

.

.

TAMAT

.

.

.

BAB EKSTRA

Delapan tahun kemudian ...

Wanita cantik berambut nila itu mendesah kasar. Sekarang hanya mau melihat saja, dua anak kecil yang sedang asyik bermain air di taman. Saling menyemprot dan menciprat. Entah sudah berapa kali ia nyaris berteriak, lantaran mereka membuat becek taman dan hampir terpeleset. Bukan hanya itu, ini sudah kali kedua mereka berganti baju.

"Serangan Megaroid, dudududududududu …."

Si sulung menirukan suara senjata dari film robot yang selalu ditontonnya. Menembak melalui pistol air dan mengenai hidung sang adik. Gadis kecil yang menjadi sasaran kakaknya, maju dan hendak memukul, tapi sayang kaki kecilnya terpeleset.

Hinata menahan napas. Sebentar lagi pasti gadis kecil itu menangis.

"Huwaaaaa …."

Bibir Hinata membentuk garis tipis. Ia melipat tangan di depan dada, memperhatikan bagaimana si sulung akan bersikap.

"Jangan menangis, Himawari! Kau cengeng sekali," sentak bocah laki-laki umur tujuh tahun itu.

"Kakak menembak ke hidungku, sakit tahu?" jawab sang adik.

Suasana menjadi riuh karena tidak ada yang mau mengalah. Boruto, si sulung, terus mengelak dan Himawari yang masih menangis berteriak.

Hinata berjalan kesal, "Boruto, Himawari!"

Kedua bocah yang sedang adu suara terdiam. Menyadari hawa mencekam yang datang dari sang bunda. Mereka menoleh patah-patah, mendapati wajah Hinata yang tak lagi ramah. Tahu akan dimarahi, mereka berlari mendekati seorang wanita tua yang sedang duduk merajut di teras rumah.

"Neneeeek ….," teriak mereka bersamaan.

Wanita tua yang dipanggil nenek itu sedang dipijit oleh Konan. Sejak kenal dengan pijitan tangan Konan, Kushina tidak mau lagi dipijit oleh yang lain, termasuk suaminya sendiri. Bagi Kushina, Konan sudah seperti dokter pribadi.

Hinata menghela napas, selalu saja seperti ini. Ketika ia akan memarahi kedua anaknya, mereka pasti lari mencari pembelaan.

"Sudahlah Hinata, biarkan saja, mereka kan masih kecil," kata Kushina.

Hinata menggeleng. Jika dibiarkan, anak-anak pasti akan kembali melakukan hal yang sama dan mencari pembelaan ketika dipersalahkan. Namun Hinata maklum, Kushina memang sangat memanjakan cucu-cucunya. Itu juga membuatnya teringat sosok mendiang neneknya dahulu. Bukankah memang sudah kodrat seperti itu? Seorang nenek akan selalu menyayangi cucunya lebih dari menyayangi anaknya dahulu. Itu makna tidak secara harfiah, karena pada dasarnya rasa sayang itu sama besarnya, yang membedakan hanyalah bagaimana cara mereka menyampaikan.

"Tapi ibu, ini sudah kesekian kali mereka berulah. Mengotori taman, bajunya basah, bahkan bertengkar."

Kushina dan Konan tersenyum mendengar keluh Hinata. Wajar saja, memiliki dua anak yang berjarak hanya tiga tahun memang sedikit merepotkan. Apalagi jika dua anak ini hampir secara keseluruhan mewarisi sifat bandel ayahnya.

Kushina menoleh pada sang suami yang sedang menikmati teh hangat. Mereka saling pandang dan melempar senyum, seperti nostalgia kan melihat kelakuan kedua cucu tersayangnya ini?

"Boruto, Himawari," panggil Kushina.

Dua bocah itu mendongak, menatap sang nenek penuh tanya.

"Kalian asyik ya bermain air?"

"Iya Nenek."

"Seru sekali-ttebasa!"

"Tapi karena kalian bermain terlalu asyik, kalian lupa sesuatu kan?" imbuh Konan.

"Lupa apa Konan-san?" tanya Himawari.

"Kalian lupa waktu. Boleh bermain air, tapi tidak boleh lama-lama, nanti kalian masuk angin. Belum lagi kalian terpeleset seperti tadi, baju kalian kotor berlepotan tanah, iya kan?"

Lama kedua bocah itu terdiam lantas mengangguk.

"Kalian tidak kasihan sama Mama Hinata yang mencuci baju itu? Mama Hinata sudah capai lho, memasak untuk kita, mencuci baju kalian juga kan?" tukas Kushina.

Ya, meskipun ada pembantu, sebisa mungkin Hinata selalu menghandle sendiri semua yang berkaitan dengan suami dan anaknya.

"I … iya," suara si sulung.

Kedua anak itu mendekati Hinata. Menatap takut-takut sembari berujar maaf.

"Mama, maafkan kami."

Hinata tersenyum, menatap bergantian Boruto dan Himawari.

"Iya, mama maafkan."

Hinata memeluk kedua anaknya.

"Aku pulang. Wah … wah … ada apa ini?"

Semua yang ada di teras menatap Naruto yang baru saja masuk.

"Selamat datang, Naruto-kun," ucap Hinata.

Ucapan Hinata itu sedikit terlambat, lantaran kedua buah hatinya telah menyerang Naruto dengan pelukan.

"Papa!"

"Apa papa melewatkan sesuatu? Kalian kotor sekali-ttebayo."

Hinata, Kushina dan Minato hanya tersenyum bahagia menatap interaksi ayah dan anak-anak itu.

-x-

"Tumben kau pulang sedikit lebih lambat."

Hinata mendekati suaminya yang sedang duduk di sofa kamar. Setelah mandi dan berganti pakaian Naruto memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum makan malam.

"Iya, tadi ada sedikit masalah di laporan yang dibuat Shikamaru. Jadi aku memeriksanya dahulu."

Naruto merangkul bahu sang istri, menariknya pelan dalam dekapan, menenggelamkan indra penciumannya ke dalam rambut panjang Hinata. Ia menghirup dalam aroma lavendel yang menenangkan. Hinata dan segala yang ada pada dirinya adalah penawar bagi hati dan raganya yang penat.

"Aku mencintaimu," bisik Naruto.

Hinata mendongak, menatap lurus iris safir Naruto.

"Aku juga mencintaimu. Kita harus terus bersyukur kepada Tuhan, yang akhirnya menyatukan kita dengan cara yang unik."

"Dan juga berterima kasih pada Mei," sambung Naruto.

Hinata mengangguk. Wanita itu meluruskan punggungnya. Mata pias menerawang pada langit-langit kamar.

"Aku merindukan Mei," lirihnya.

Naruto ikut memandang langit-langit, "Dia juga pasti merindukanmu, Hinata."

Setelah menerima lamaran Naruto dahulu, mereka berdua melangsungkan pernikahan. Hanya secara agama dan adat, tanpa mencatatkannya dalam dokumen kantor sipil negara karena hukum negara ini melarang suami beristri lebih dari satu. Pernikahan dilaksanakan tertutup internal keluarga. Hanya disaksikan keluarga terdekat yaitu, Neji, Hanabi, Minato, Kushina, dan Mei Terumi sendiri. Sisa yang hadir pada pernikahan itu adalah pekerja dan pelayan yang ada di dalam rumah Mei serta seorang pendeta dari luar yang memang harus dihadirkan.

Meski kehidupan setelah itu pada awalnya sedikit canggung, semakin lama mereka semakin terbiasa. Mei dan Hinata bahkan lebih sering menghabiskan waktu bersama saat Naruto sedang pergi bekerja. Tak ada rasa cemburu, sebab meski cinta mereka memiliki definisi yang berbeda, tujuan mereka sama, mencintai dengan tulus, membagi kebahagiaan.

Hinata teringat ketika melahirkan anak pertama, Mei lah yang menemaninya. Pada saat itu Naruto sedang berada di luar negeri untuk mengurus kerja sama. Bagaimana Mei melayani Hinata ketika itu, tak akan Hinata lupa. Mei lambat laun menjadi tempat bersandar bahkan berkeluh kesah bagi Hinata. Ketika ada permasalahan antara Naruto dengan Hinata, Mei akan menjadi penengah. Begitu pula sebaliknya. Mungkin ini aneh bagi sebagian besar orang, termasuk para pelayan di rumah Mei. Namun, nyatanya hal seperti ini ada dan terjadi di depan mata mereka.

Satu tahun setelah melahirkan Himawari, Mei Terumi meninggalkan mereka untuk selamanya. Wanita berhati malaikat itu meninggal karena kanker rahim. Saat itu Mei merasa kesakitan tetapi tidak mau dibawa ke rumah sakit dengan dalih hanya masuk angin. Hinata sampai terpaksa memberikan ancaman akan pergi dari rumah, barulah Mei setuju untuk ke dokter. Hasil diagnosis sungguh mengejutkan, Mei menderita kanker rahim, dan sudah tumbuh sejak lima belas tahun lalu. Dokter kecewa karena menurutnya, Mei terlambat memeriksakan diri. Sempat Mei, Hinata dan Naruto bingung, selama ini Mei tidak pernah mengeluh sakit, dan wanita itu jujur memang tidak pernah merasakan sakit.

Mei dirawat di rumah sakit selama dua bulan, lalu mengembuskan napas terakhirnya dengan tenang. Sebelum meninggal sang wanita memanggil mereka semua. Ia menatap sayu satu per satu mereka yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Naruto, sang suami, Hinata, adik madunya, Boruto dan Himawari, anak-anaknya, Minato dan Kushina mertua yang telah dianggap sebagai orang tua serta Konan dan Shizune, pelayan setianya. Di akhir waktu, Mei mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena telah berkenan menghadirkan sebuah keluarga besar yang sempurna, sebuah rumah tempat kembali, sebuah kebahagiaan tak ternilai, bagi dirinya.

"Kau menangis Hinata?"

Hinata tersentak saat tangan Naruto mengelus pipinya yang telah basah oleh air mata. Ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. Hatinya sedih ketika mengingat sosok Mei Terumi. Wanita itu memiliki kebaikan yang luar biasa.

"Ma … maafkan aku, Naruto-kun. Aku tidak sadar."

Naruto mengangguk. Ia memeluk Hinata dan mencium bibirnya lembut, menuai rona merah di pipi sang wanita.

"Jangan menangis! Aku tidak suka melihatmu menangis," ujar sang pria.

"Aku tidak bisa tidak menangis jika mengingat Mei, Naruto-kun."

Naruto mafhum, wanita memang penuh dengan perasaan. Hinata selalu lebih terlihat sedih dibanding dirinya jika sedang mengingat Mei.

"Tapi kalau kau menangis, Mei pasti sedih," lanjutnya.

Hinata menyeka air matanya dengan ujung baju, kemudian merangsek ke dalam pelukan sang suami, yang disambut dengan remasan erat di pinggangnya.

"Pinggangmu sekarang berisi ya Hinata."

Seketika itu juga Hinata menarik diri dan memasang wajah jengkel. Laki-laki ini pandai sekali merusak suasana.

-x-

Rumah megah itu semakin hari semakin terlihat riuh. Pelayan lalu lalang, ditengahi dengan teriakan khas wanita tua bernama Kushina.

"Restoran apa sudah kau hubungi Shizune?"

Yang dipanggil datang dengan tergopoh-gopoh. Shizune membawa sebuah kertas dan pena, mulutnya komat kamit menjelaskan kepada si wanita tua tentang segala persiapan.

Heran, Kushina meski sudah tua masih saja bersemangat untuk hal seperti ini. Walaupun hanya dengan duduk di ruang tamu, ditemani sang suami yang lebih memilih membaca koran, Kushina mendengarkan kadang mendebat ketika Shizune sedang berbicara.

"Tapi tidak bisa begini, paling tidak dekorasi harus selesai hari ini," tegas Kushina.

"Baik, sedang diusahakan Kushina-San."

"Kau jangan lupa memasang wisteria di ruangan ini juga. Walaupun pernikahan tidak diadakan di sini, tetapi untuk berjaga-jaga siapa tahu ada tamu yang tidak datang saat pesta dan malah datang ke rumah."

"Baik."

"Dan juga …."

"Sudahlah Kushina, kau membuat Shizune pusing dengan omelan-omelan itu. biarkan dia bekerja, dia sudah berpengalaman jadi pasti tidak akan gagal. Kau ini, tidak dahulu pernikahan anak kita dengan Mei, tidak sekarang, sama saja."

Percakapan berakhir dengan dahi Minato kena getok.

-x-

Sore ini hujan turun rintik, mencipta petrichor yang menembus penciuman. Pun keheningan di tanah pesara. Seakan melambangkan dunia yang damai. Seseorang tengah berjalan, di antara deretan makam. Jas hitam membalut tubuhnya lekat. Sebuah payung menaunginya dari tetesan sang rinai. Langkah itu lebar, mendekat pada satu makam. Netra safirnya menatap, pada sesosok wanita yang tengah berjongkok di dekat makam itu.

"Hinata, hujan."

Ia ikut berjongkok, di sebelah sang wanita, dengan payung melebar di atas mereka.

"Aku sedang menyapa Mei, Naruto-kun."

Naruto memandang ukiran emas di batu nisan.

Mei Terumi

Pemilik nama itu sangat ia puja, sangat ia hormati dan ia sayang. Bibirnya menoreh senyum tipis.

"Mei, aku dan Hinata akan mengadakan resepsi pernikahan malam nanti. Kami ingin memiliki kenangan, sebagaimana kenangan kami bersamamu. Seharusnya aku tak perlu mengatakan ini, tapi maukah kau merestui kami, Mei?"

Hinata menyikut perut Naruto, "Jangan berbicara hal konyol."

Yang dikatakan Hinata sepenuhnya benar. Bagaimana mungkin Naruto menanyakan itu, sudah jelas-jelas Mei yang dahulu meminta mereka menikah.

"Maafkan Naruto-kun, Mei. Dia memang konyol sejak lahir."

"Hei."

"Baiklah, izinkan kami berpamitan Mei. Aku menyayangimu, semoga kau bahagia di sana," ujar Hinata sembari meletakkan bunga hydrangea ungu ke atas makam.

Wanita itu berdiri, tak mengacuhkan Naruto yang masih berjongkok, malah melenggang pergi.

"Huft … kau tahu Mei? Hinata dahulu tidak seperti ini, dia gadis yang kalem dan pemalu. Jangan-jangan dia terpengaruh olehmu?" bisik Naruto.

"Naruto-kun, aku ke mobil dahulu ya, sebelum hujannya semakin deras."

"Iya Hinata," teriak Naruto, "Mei, terima kasih. Hanya itu yang mampu kuucapkan karena aku tidak tahu lagi mau berkata apa padamu. Aku menyayangimu, dahulu, sekarang dan selamanya. Aku bahagia pernah bersamamu, dan semoga kau selalu bahagia, di sana."

-x-

Aula utama gedung Mizu Grup telah disulap sedemikian rupa. Wisteria aneka warna bergantung dan menghias dinding. Di beberapa sudut, buket mawar diletakkan, sebagai simbol cinta. Meski begitu, suasana putih tetap menjadi dominan.

Para tamu yang memakai dresscode putih, memenuhi hampir setiap jeda ruang di dalam aula. Beruntung aula ini benar-benar luas, jika tidak, mungkin banyaknya tamu undangan tidak akan tertampung.

Di bagian dalam, sebuah pelaminan dihias dengan variasi bunga berwarna putih dan pastel. Kursi pelaminan juga berwarna putih, dengan bentuk ukiran sulur tanaman merambat. Pada singgasana sementara itu, Naruto dan Hinata duduk. Sang pria tampak gagah dalam balutan tuksedo putih dan sedikit rompi hitam yang terlihat di bagian kerah yang rendah.

Sedang Hinata terlihat memukau. Keanggunan alami dipertajam dengan balutan gaun pengantin berbahan dasar satin yang dibungkus brokat bersulam benang perak. Ekor gaunnya menjuntai hingga ke tanah, melebar pada tepi. Rambut Hinata disanggul tinggi, tertutup veil transparan yang menambah ayu sang rani.

Di sisi kanan dan kiri mereka, Boruto dan Himawari berdiri. Dua bocah itu diberikan dandanan layaknya putri dan pangeran. Senyum tak henti tersemat di bibir Naruto, Hinata dan kedua anak mereka. Duduk manis, dan berdiri menyambut ketika ada tamu datang. Binar bahagia jelas terlihat, kendati ini hanyalah sebuah pesta simbolis dari pernikahan yang telah dahulu dilaksanakan.

Pesta ini, sekadar untuk memberitahukan kepada dunia, tentang status hubungan mereka yang sebenarnya juga bukan merupakan rahasia lagi. Para tamu dibuat takjub, dengan keeleganan pesta yang digelar. Decak kagum dan kadang diselingi iri memenuhi aula sebagai bisik-bisik.

Di bagian selatan gedung, Minato, Neji dan Hanabi asyik mendengarkan Kushina yang sedang berceloteh melucu. Hubungan mereka semakin akrab sejak pernikahan Naruto dan Hinata delapan tahun lalu.

Hinata tersenyum, ia membayangkan sosok Mei tengah berdiri di antara mereka dan ikut bercanda tawa. Oh betapa Hinata merindukan wanita itu.

"Selamat Naruto, akhirnya kau merayakannya."

"Aaa … Sakura, kapan kau menyusul?"

Sakura langsung memukul lengan Naruto, "Jangan menyindirku, Bodoh! Sebentar lagi juga aku akan menyusul."

"Ya … ya … semoga suamimu tidak babak belur," gumam Naruto yang sayangnya masih terdengar oleh Sakura.

"Apa? Ahh sudahlah, kau membuatku emosi saja. Hinata, setan mana yang merasukimu sampai mau menikah dengan si Bodoh ini?"

"Si Bodoh itu masih berdiri di sini," dengus Naruto.

Hinata tertawa, "Entahlah Sakura-chan, aku bahkan tidak tahu apakah beruntung atau tidak menikah dengannya."

Sakura dan Hinata tertawa sedangkan Naruto mengerucutkan bibir.

Setelah Sakura pergi, Naruto menarik Hinata mendekat, mumpung belum ada tamu yang mengajak salaman lagi.

"Kau harus dihukum Hinata," bisik Naruto.

"Kenapa?"

"Karena bersekongkol dengan Sakura untuk meledekku."

Hinata tertawa. Matanya masih menatap pada kumpulan manusia yang tengah menikmati pesta, tetapi ia ikut berbisik menantang.

"Memang kau berani menghukumku?"

"Tentu saja, bahkan kau akan menikmati hukumanmu."

Hinata sudah mencium ketidakberesan, dikuatkan dengan seringai Naruto yang ia tangkap ketika menoleh.

"A … apa?"

"Sepertinya Boruto dan Himawari butuh adik, untuk teman bermain mereka."

"Ya Tuhan, Naruto-kun, dua saja sudah membuat rumah ribut sekali," teriak Hinata tertahan.

Naruto tertawa. Ketika Hinata lengah, ia mencuri sebuah kecupan di bibir.

"Kau lupa, dahulu Mei bilang ingin sepuluh anak kan?"

"Naruto-kun!"

Mana pernah Mei berkata seperti itu. Naruto tertawa keras.

Hatinya yang tengah menghangat diam-diam memanjatkan doa. Mengharap kebahagiaan sejati bagi Mei juga bagi dirinya dan keluarganya.

Terkadang takdir memang terlihat buruk ketika tidak sesuai dengan rencana manusia. Seakan kebahagiaan itu terpatahkan oleh Tuhan. Namun, sejatinya justru manusialah yang tak mampu menyadari kekuasaan Tuhan. Bahwa apa yang telah digariskan oleh-Nya, apa yang telah tertuang dalam aturan-Nya, adalah yang terbaik bagi setiap makhluk-Nya.

Kebahagiaan akan tercipta jika mensyukuri apa yang telah kita miliki, dan berusaha berbuat baik dengan saling membagi kebahagiaan pada sesama manusia.


A/N:

Bagaimana? Anda kecewa atau puas? Yang mana saja kami terima. Kami adalah manusia biasa yang tidak sempurna.

Maka dari itu, mohon maaf lahir batin jika selama penulisan cerita ini menimbulkan ketidaknyamanan pembaca. Selamat menunaikan ibadah Ramadan bagi yang menjalankan.

In syaa Allah akan ada side story lain dari cerita ini, Hinata-chapter.

Terima kasih atas kesetiaannya menunggu, terima kasih atas kesediaannya membaca.