UNBREAKABLE PROMISE

.

Disclaimer : Karakter yang dipakai di dalam ff ini adalah milik Masashi Kishimoto

.

Original Story : Si Hitam

Written by : Valentinexxx and JustNaruHinaAndKibaTamaLover

Editor : Si Hitam

.

Warning : Rate M for the story containt

.

.

.

PROLOG

Berawal dari beberapa tahun lalu.

Gadis kecil itu berjalan dengan riang menyambut pagi hari. Pakaiannya yang mirip dengan seragam pelaut tampak bersih dan mengkilap, pun dengan sepatu hitamnya. Tas ransel kotak kecil ia gendong di punggungnya, berjalan sesekali diselingi dengan lompatan kecil menciptakan goyangan pada rambut pendeknya yang berwarna indigo. Mulutnya tak henti-henti bersenandung ringan. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang tembam.

Saat melewati taman kota, langkah kaki kecilnya terhenti. Segerombol anak laki-laki menghampirinya. Sepertinya mereka bukan anak yang baik. Tetapi gadis itu tetap tersenyum sedikit berharap bahwa mereka ingin berteman dengannya. Harapannya pupus saat salah satu dari anak-anak itu menarik-narik tas ranselnya. Sekuat tenaga gadis itu berusaha mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

"Hoii, berikan tas ini pada kami!" perintah salah satu dari anak-anak itu.

Gadis itu menggeleng. Meski dengan ketakutan ia tidak membiarkan kedua tangan kecilnya melepas tas ransel itu.

"Ayo cepat berikan, dasar Mata Putih!"

Teman-teman anak itu mulai mengelilinginya. Mereka tertawa keras. Menertawakan ejekan yang diberikan oleh teman mereka kepada gadis itu.

"HAHAHA... Mata putih!"

"Jangan-jangan dia itu sebenarnya buta?"

Lontaran kata demi kata ejekan itu menusuk gendang telinga. Gadis itu hanya bisa terdiam. Kemudian iris opalnya mulai berkaca-kaca dan bibirnya membentuk lengkungan ke bawah.

"HAHAHAHAHA ... Mata putih cengeng! Kerjaanmu hanya menangis saja."

BRUKHH

Tubuh mungilnya terhempas begitu saja ke tanah saat salah satu dari mereka yang berbadan besar mendorongnya.

"Hiks ... Hiks ..."

Gadis kecil itu mulai menangis. Apalagi saat tas ranselnya ditarik begitu saja dan dibuka dengan paksa.

"Hei ... Apa yang kalian lakukan?"

Suara cempreng nan melengking itu berhasil menarik perhatian gerombolan anak nakal. Sebentar kegiatan mengacak-acak tas terhenti. Anak-anak itu berjalan mendekat ke arah bocah kecil yang berteriak tadi. Bocah kecil berrambut kuning jabrik dan bermata biru. Di kedua pipinya terdapat tiga guratan serupa kumis. Entah mengapa rasanya bocah itu lebih mirip kucing.

"Siapa kau?" tanya salah satu yang berperawakan gemuk. Kedua tangannya dilipat di depan dada sementara teman-teman yang lain berkacak pinggang.

"Aku Namikaze Naruto, aku akan jadi presiden kalau sudah besar nanti." teriak bocah itu lantang.

Suasana menjadi hening beberapa saat sebelum suara tawa anak-anak itu pecah. Beberapa dari mereka sampai membungkuk dan memegangi perutnya.

"HAHAHAHA ... Presiden katanya? Hahahaha ..."

Bocah kecil bernama Naruto itu mengerucutkan bibirnya, cemberut. Kemudian berlari mendekati anak-anak yang ukuran tubuhnya lebih besar dari dirinya. Naruto menyerang mereka, memukul dan menendang. Namun yang dia lakukan hanya sia-sia karena anak-anak nakal itu dengan mudah menangkis serangannya. Yang ada sekarang adalah tubuh kecil Naruto yang terhempas ke aspal jalanan dan hidungnya mengeluarkan darah.

.

Entah berapa lama tubuh kecil itu terkapar di jalanan. Saat membuka mata, yang dilihatnya bukan lagi anak-anak yang memukulnya tadi melainkan seorang anak perempuan bermata opal yang hendak ditolongnya.

"Ka-kau tidak apa-apa?" tanya lirih anak yang sepertinya seumuran dengan dirinya itu. Dengan cepat anak laki-laki itu bangkit berdiri dan mengusap-usap hidungnya yang masih meneteskan darah. Kemudian menatap lawan bicaranya dengan pandangan berbinar-binar dan senyuman secerah mentari.

"Aku baik-baik saja-ttebayo." teriaknya lantang membuat anak perempuan itu tersenyum merona.

"A-ano namaku Hyu-Hyuuga Hinata." Anak perempuan itu mengulurkan tangan kanannya, menelengkan kepalanya sedikit dan tersenyum malu-malu.

"Aku Namikaze Naruto. Salam kenal."

Keduanya pun berjabat tangan kemudian melanjutkan langkah mereka untuk ke sekolah. Saat berjalan bersama mereka berdua terlibat perbincangan lucu khas anak-anak. Saling bercerita dan menanggapi, kadang dengan tawa, kadang dengan kikikan geli. Raut wajah mereka berdua pun berubah-ubah sesuai dengan genre cerita yang mereka perbincangkan.

.

Persahabatan mereka berlanjut hingga saat ini.

"HINATAA..." Suara lantang seorang pemuda sekolah menengah terdengar menggema di koridor. Derap langkah kaki lebar membawanya mendekati sosok seorang gadis yang ternyata juga sedang menunggunya. Gadis itu menyambutnya dengan senyuman manis.

"Na-Naruto-kun."

"Hosh ... Hosh ... Hinata, jalanmu cepat sekali-ttebayo." Ujar pemuda itu terengah-engah. Kedua tangannya ia tumpukan pada lutut.

Sementara sang gadis yang dipanggil sebagai Hinata mengatupkan telapak tangan ke mulutnya sendiri, demi menahan tawa pelan yang hampir lolos dari bibirnya. Naruto menaikkan sebelah alisnya dan memasang raut tak suka.

"Kenapa kau tertawa?"

Pertanyaan polosnya justru semakin membuat Hinata tidak bisa menahan diri. Bibir mungil itu berhasil mengeluarkan suara tawa yang sangat jarang terdengar. Entah karena satu atau lain hal, suara lembut itu kini membuat pipi kecoklatan si pemuda merona merah.

Tapi bukan Naruto namanya kalau ia tidak pandai menutupi kelemahan. Dengan cepat diaturnya kembali peredaran darah dalam tubuh hingga kadar eritrosit di pipinya menurun. Kemudian pemuda itu mendengus kesal.

"Jalanku ti-tidak cepat Naruto-kun."

"Nah tapi kenapa kau jauh di depanku sih?"

"Salah Naruto-kun sendiri, siapa suruh tidur pas jam pelajaran sampai-sampai ti-tidak mendengar bel berbunyi."

Hinata tertawa pelan saat melihat wajah Naruto yang kembali memerah malu. Tangan pemuda itu menggaruk belakang kepalanya yang mendadak terasa gatal.

"Kenapa kau tak membangunkanku Hinata?"

Dan perjalanan pulang ke rumah dari kedua remaja itupun diwarnai dengan argumentasi ringan.

.

Dan persahabatan itu terancam saat keadaan memaksa.

Dewasa ini cuaca benar-benar tidak bisa diprediksi. Lihat saja, menurut prakiraan cuaca tadi pagi, hari ini cuaca akan cerah. Namun nyatanya justru sebaliknya. Langit tidak tampak karena awan mendung menggantung menutupinya. Angin bertiup cukup kencang hingga menimbulkan suara yang cukup membuat gadis berrambut indigo itu merinding. Tiba-tiba gadis itu merasa kesal karena lupa tidak membawa payung. Atau mungkin sebenarnya ia bersalah sebab terlalu percaya pada ramalan cuaca?

Hinata, gadis itu, mendesah kesal memandang ke luar dari jendela ruang kelas. Hampir semua penghuni sekolah sudah pulang sejak sejam yang lalu karena mereka membawa payung. Sejenak pandangannya beredar ke sekeliling kelas yang benar-benar sudah sepi.

Gadis itu memutuskan untuk mengusir kebosananan, mulai membuka Hp dan memainkan salah satu aplikasi permainan yang ada di sana.

Belum sampai lima menit gadis itu bermain, tiba-tiba layar Hp berubah tampilan. Dengan cepat gadis itu menyentuh tombol hijau dan menggesernya.

"Ha-halo..."

"..."

"A-Apa?"

"..."

"A-aku akan segera pulang!"

"..."

"Ti-tidak apa-apa Nii-san, la-lagipula hujannya su-sudah akan reda."

Setelah menutup sambungan telepon, gadis itu bergegas keluar kelas. Berlari tanpa mempedulikan suara alas uwabaki yang bergesekan dengan lantai koridor sekolah.

Setelah berada di luar, sejenak ia menatap ke arah langit yang masih bertahan meneteskan air. Kemudian segera berlari menerobos hujan yang sudah tidak terlalu deras.

Hinata tidak mempedulikan lagi baju yang basah terkena air hujan, ia tidak mempedulikan lagi sepatu yang basah akibat genangan di jalanan yang dipijak. Ia sudah tidak mempedulikan lagi langkah kaki yang terseok karena sempat tersandung dan jatuh.

Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah berlari cepat agar segera sampai di rumah. Air mata menetes bercampur dengan hujan saat memutar perkataan kakak sepupunya tadi di telepon.

.

"Hiashi-sama baru saja wafat."

.

Ayah, orangtua satu-satunya telah pergi meninggalkan Hinata. Menyusul sang ibu yang telah terlebih dahulu meninggal saat melahirkan adiknya yang juga tak sempat melihat dunia ini.

Meski perangainya dingin dan keras, sosok ayah adalah segalanya bagi gadis itu. Ayah adalah panutan dan semangatnya untuk terus melaju. Sejak dulu hingga saat ini, saat dimana kehidupan keluarganya sudah benar-benar terpuruk.

Awalnya keluarga Hyuuga hidup berkecukupan bahkan bisa dikatakan berlebih. Sang kepala keluarga memiliki beberapa cabang perusahaan yang bergerak di berbagai bidang di bawah pimpinannya di Hyuuga Corp. Dengan usaha sebesar itu tentu saja penghasilan Hiashi, ayah Hinata, lebih dari cukup untuk sekedar membiayai kebutuhan hidup keluarga.

Hiashi bahkan mengangkat Neji, keponakannya, sebagai anak semenjak ayah Neji meninggal.

Tiba-tiba saat yang paling tidak diharapkan terjadi dalam hidup mereka. Perusahaan yang Hiashi pimpin mengalami kerugian sebagai imbas krisis moneter dunia. Ia terpaksa hutang di sana sini untuk menutupnya. Hingga hutang sudah terlalu menumpuk dan ia tidak mampu lagi membayarnya, seluruh perusahaan disita oleh perusahaan lain yang memiliki piutang.

Hancur sudah apa yang telah terbangun saat itu. Bahkan Hinata terpaksa keluar dari sekolah yang merupakan sekolah elit dan pindah ke sekolah biasa. Rumah megah yang mereka tempati dijual dan mereka pindah ke rumah lain yang terletak di tepi kota dan berukuran kecil.

Hiashi terpaksa bekerja sebagai buruh di perusahaan mantan koleganya dulu.

Baru beberapa bulan bekerja, tubuh sang Ayah yang semakin menua tidak kuat lagi melakukan pekerjaan tersebut hingga jatuh sakit. Penyakit yang diderita cukup parah dan merupakan komplikasi dari berbagai jenis penyakit.

Hiashi kemudian terbaring sakit. Bukan di rumah sakit karena mereka sudah tidak mampu membayar biaya rawat di sana. Jadi pria paruh baya itu hanya menjalani rawat jalan. Hinata dan Neji merawatnya dengan sepenuh hati. Setelah lulus sekolah menengah atas, Neji bekerja di sebuah perusahaan IT di pusat kota. Meski bukan lulusan perguruan tinggi, kemampuan Neji dalam bidang IT cukup membuat pemilik perusahaan kagum dan mempekerjakannya dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran seorang anak lulusan sekolah menengah.

Sedang Hinata sendiri setelah pulang sekolah dan tidak ada kegiatan, bekerja paruh waktu di toko bunga milik Ino, teman sekolahnya.

Semua uang yang mereka peroleh, dikumpulkan dan dibagi-bagi. Untuk perawatan sang Ayah, untuk biaya sekolah Hinata untuk kebutuhan sehari-hari. Jujur saja uang tersebut sangat kurang, tetapi mereka memaksakan diri agar seluruh kebutuhan tercukupi.

Pernah suatu malam Hiashi menangis sesenggukan di hadapan kedua anaknya. Meminta maaf atas apa yang terjadi pada mereka.

Perkataan sang Ayah sontak membuat keduanya bersedih. Dalam satu malam itu mereka menangis bersama di dalam kamar yang ditempati sang Ayah.

Terlalu lama bergelut dengan pikiran, Hinata sampai tidak sadar kalau saat ini sudah berada di depan rumah. Suasana rumah cukup ramai dengan tetangga yang berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Tergesa-gesa gadis itu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar sang Ayah.

Di sanalah sosok tubuhnya terbaring.

Air mata mengalir deras membasahi pipi.

Detik berikutnya Hinata tidak tahu lagi apa yang terjadi karena pandangan mata yang menggelap.

.

.

.

Laju derap langkah kecil kaki jenjang gadis remaja itu sedikit meningkat saat mata opalnya melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Deru nafasnya yang berlomba dengan degup jantung yang bertalu-talu. Keceriaan beberapa jam lalu kini tidak lagi menghiasi wajahnya. Alis bertaut, bibir melengkung ke bawah, mata berkaca-kaca. Sedikit saja ia melepas kendali, bisa dipastikan air akan turun dari sudut matanya.

Kaki jenjang itu kini berbelok di tikungan sempit, meneruskan lajunya ke padang rumput yang cukup luas meski terlihat tak terurus. Berjalan lurus ke depan hingga ia menemukan sebuah danau kecil dengan air yang cukup tenang. Setelah berhasil mengatur nafas, gadis remaja cantik itu duduk menyandarkan punggungnya ke batang pohon besar. Pandangannya beredar mencari sosok yang ingin ia temui. Beberapa menit berlalu matanya menangkap bayangan seorang pemuda dari balik semak belukar di sisi kanan tempatnya duduk. Pemuda itulah yang saat ini sedang ditunggunya.

"Hinata.."

Panggilan lembut pemuda itu malah semakin membuat sang gadis menangis. Pemuda itu berjalan cepat ke arahnya dan menubruk begitu saja tubuh mungil itu. Keduanya tenggelam dekapan hangat yang menguarkan aroma berbeda dari tubuh masing-masing.

"Naruto-kun ..." lirih panggilan Hinata tak terlewat sedikitpun dari pendengarannya. Naruto semakin mempererat pelukannya, berusaha memberikan kenyamanan bagi gadis yang sangat disayangnya. Naruto tahu Hinata sudah begitu rapuh ketika pertama kali mereka bertemu. Yang ia dengar semua itu bermula sejak Ibugadis itu meninggalkannya untuk selamanya. Dan kini Hinata semakin rapuh setelah beberapa hari lalu Hyuuga Hiashi, sang ayah, meninggal karena penyakit yang dideritanya.

"Na-Naruto-kun ..."

Naruto mengendurkan pelukannya dan menunduk, menatap iris mata sendu sang gadis. Ya Tuhan, betapa hancur hati Naruto saat melihat keadaan Hinata yang seperti ini. Ingin rasanya ia kembali merengkuh gadis itu dalam pelukan dan membawanya pulang.

"Ada apa Hinata?"

"A-aku akan pindah."

Kedua alis blondie si pemuda bertaut.

"Pindah? Apa maksudnya pindah sekolah? Kau akan pindah ke sekolah mana?"

Hinata hanya menggelengkan kepalanya. Pandangannya menunduk cukup lama. Sangat kentara bahwa saat ini ia tengah menahan tangis yang akan kembali meledak.

"Neji-nii dipindahtugaskan ke Ame." Jawabnya lirih.

Suara pelan nan lembut itu justru dirasakan seperti petir yang menggelegar bagi Naruto. Reflek ia melepaskan pelukannya dan menyejajarkan pandangannya dengan wajah Hinata. Hinata tidak bergeming membuat Naruto menarik dagunya hingga pandangan mata mereka bertemu.

Hinata merasa hidupnya berakhir saat melihat tatapan terluka si pemuda pirang. Namun bagaimanapun juga ini sudah menjadi keputusannya dan keluarganya. Merasa tidak mampu menghindari tatapan tajam safir di hadapannya, Hinata menggigit bibir bawah.

"Apa maksudmu Hinata?"

"Su-sudah jelas bukan Na-naruto-kun."

Naruto menghela nafas dalam. Kemudian ditariknya Hinata untuk duduk bersama. Cukup lama mereka terdiam, tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Karena mereka takut jika kalimat yang keluar dari bibir mereka justru akan semakin membuat masing-masing sakit hati.

Keduanya memang bukan kekasih. Tetapi hubungan mereka juga lebih jika dikatakan sebagai sahabat. Mereka berdua saling mencintai, hanya saja memang tidak merasa perlu untuk mengungkapkan. Sejauh ini mereka benar-benar menikmati kebersamaan.

"Aku sebenarnya tidak ingin, tetapi aku juga tidak mungkin menolak pindah. Bagaimanapun ini menyangkut pekerjaan Nii-san yang artinya juga menyangkut kehidupanku."

Hinata menatap sendu hamparan air tenang di depannya. Sebenarnya ia menanti Naruto untuk berbicara seperti yang biasanya pemuda itu lakukan saat mereka menemukan kecanggungan semacam ini. Tetapi ia terpaksa menelan kekecewaan karena yang didengarnya hanyalah helaan nafas kasar dari Naruto.

"Aku mencintaimu Hinata."

Mata opal sang gadis membelalak begitu lebar. Perlahan ia menoleh ke samping dan pandangannya bersirobok dengan tatapan mata biru itu. Tak mampu lagi menahan sesak yang menyerang dada, Hinata kembali meneteskan air mata.

"Aku mencintaimu Hinata. Apa kau punya perasaan yang sama untukku?"

Isakan tangis gadis indigo itu semakin keras, namun anggukan kepalanya cukup untuk membuat Naruto tersenyum. Dielusnya puncak kepala Hinata dengan penuh kelembutan.

"Pergilah! Tapi aku ingin kita berjanji, saat sudah dewasa nanti aku kan menjemputmu atau kau yang kembali ke sini dan kita akan menikah. Bagaimana?"

Lagi dan lagi kalimat yang diucapkan Naruto semakin memperbesar gumpalan yang menyumbat dada Hinata. Hinata tak mampu menjawab tetapi justru menjatuhkan dirinya dalam pelukan si pemuda.

"Sepuluh tahun lagi, Hinata... Sepuluh tahun lagi aku akan menunggumu di sini untuk menepati janji kita."

Hari ini persahabatan mereka belum berakhir hanya saja meningkat menjadi sebuah ikatan yang sebenarnya justru lebih rumit. Mereka menghabiskan senja hingga sang mentari terlelap kembali ke peraduannya.

Mereka terlihat nyaman saat tubuh saling mendekap. Asa menjadi satu tujuan pasti tentang kehidupan mereka di masa depan. Senyum tertoreh di bibir sepasang remaja tersebut. Sensasi asing dan kehangatan menjalar di sekujur tubuh, diiringi dengan detak jantung yang mendayu.

Tanpa mengetahui, takdir mungkin tidak akan semulus harapan mereka.

.

.

.

Manusia hanya bisa berharap namun terkadang takdir lebih suka memilih jalan yang berbeda.

Naruto mengusap perutnya, ia sangat Iapar, namun tidak memiliki uang sepeserpun untuk membeli sejumput nasi. Ia kini tidak memiliki apa-apa, hidup terlunta-lunta di pusat kota. Semua terjadi setelah beberapa masalah menimpanya dalam kurun bersamaan. Sang Ayah diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik elektronik dan menjadi pengangguran, sedangkan sang Ibu yang biasanya menerima pesanan menjahit, kini tidak mampu lagi melakukan pekerjaannya. Wanita yang sangat ia cintai itu sakit-sakitan di rumah.

Naruto memutuskan untuk mengadu nasib di kota. Namun sepertinya kemalangan justru menimpa dirinya. Tas dicuri, semua pakaian dan uang ada di dalam tas itu, begitu pula ponselnya, ia tidak bisa menghubungi siapapun, membuatnya menjadi gelandangan kumuh di tengah-tengah gemerlapnya pusat kota Konoha ini. Sebenarnya ia ingin kembali ke desanya dulu yang ada di pinggiran Konoha, tetapi apa daya ia tidak lagi memiliki uang untuk pulang.

Tak ingin meratapi nasibnya lebih lama, Naruto segera bangkit. Tangannya berpegangan pada pinggiran bak sampah. Ia melihat sekeliling, jalanan di perumahan ini terlihat sepi. Pemuda itu menyeka keringat di dahi dengan kaos lusuhnya. Terik matahari siang ini terasa begitu menusuk.

Naruto bersandar pada dinding pagar sebuah rumah mewah. Ia melirik pada tumpukan sampah tak jauh dari tempatnya duduk. Ia mengambil kardus bekas dari bak sampah kemudian menyobeknya hingga menjadi lembaran yang bisa ia jadikan alas. Ia menenggelamkan wajah pada lutut, mencoba tak mengacuhkan rasa lapar yang semakin melilit perut.

Naruto merasakan sorot cahaya matahari terhalang oleh sesuatu di depannya. Ia mendongak, dilihatnya sesosok wanita berambut merah panjang berdiri di hadapannya.

"Kau terlihat menyedihkan, mau ikut bersamaku?" tawar wanita itu.

.

.

.

10 tahun setelah terakhir kali mereka bertemu

"Aku sudah tiba di Konoha, Neji Nii-san."

"..."

"Iya, baiklah aku mengerti."

Hinata menutup ponselnya. Pandangan matanya tertuju pada jalan beraspal yang sudah terkikis di beberapa bagian, ini adalah jalan menuju desa tempat ia tinggal sepuluh tahun yang lalu.

Kelebat masa lalu membayanginya, hatinya menghangat, akhirnya ia akan menemui seseorang yang sudah ia tunggu lama.

Dinding-dinding retak berlumut, kaca jendela pecah di sana-sini, cat yang sudah mengelupas, daun pintu yang terkikis dimakan rayap. Itulah hal pertama yang dilihat Hinata saat tiba di rumah Naruto. Decitan lantai kayu terlihat rapuh saat Hinata menginjakkan kaki di atasnya. Rumah ini terlihat sudah lama tak berpenghuni.

Jadi, sepuluh tahun Hinata mengharapkan Naruto dan pria itu pergi begitu saja?

.

Naruto turun dari Range Rover hitamnya, kaki tegap terbalut sepatu mengkilap menapak pada jalanan aspal yang sudah sedikit terkikis menyisakan kerikil-kerikil. Ia berdiri di depan rumah kecil yang dulu ia tinggali. Sekarang rumahnya terlihat seperti gubuk tak terpakai. Wajah dewasanya menyunggingkan senyum mengingat rumah yang penuh kenangan itu.

.

Hinata percaya Naruto takkan mengingkari janjinya. Ia pergi menuju tempat terakhir ia menghabiskan waktu senja bersama Naruto. Rumput ilalang sudah tumbuh semakin tinggi, namun tempat ini masih terlihat sama. Danau kecil di depannya seolah memantulkan bayang masa lalu saat mereka bermain bersama di tempat ini. Hinata menunduk, menahan air matanya agar tak jatuh. Ia sudah bisa kembali namun ia tak bisa menemukan Naruto di manapun. Benarkah? Benarkah Naruto tidak menepati janjinya? Tak kuat menahan rasa kecewa, ia berlalu dari tempat itu dan memutuskan untuk kembali ke Ame hari ini juga.

.

Naruto melangkahkan kaki pada padang rumput tempat ia sering bermain dengan Hinata, ia terkejut melihat ternyata rumput-rumput di sini sudah meninggi. Mengabaikan hal itu, ia melanjutkan langkah ke sebuah danau kecil yang ada di sana. Ia mengambil sesuatu dari kantongnya. Selembar foto usang menampilkan figur dirinya dengan cengiran lebar dan gadis berambut biru tua dengan ekspresi malu-malu. Itu adalah fotonya bersama Hinata saat remaja dulu.

.

'Hinata, aku tidak tahu di mana kau berada, aku tidak bisa menemukanmu, tapi aku selalu yakin kau pasti kembali ke sini untuk menemuiku, bukankah begitu, Hinata?'

.

Ia mengeratkan genggaman tangannya pada sudut lembar foto itu, menyalurkan rasa sakit yang menderanya ketika menyadari bahwa gadis yang dicintainya tidak datang untuk menepati janji mereka.

.

.

.

Harusnya cinta itu mudah. Dua orang yang saling mencintai harusnya bisa bersama. Namun segala hal yang mengiringinya selalu rumit untuk dijalani.

Janji sepuluh tahun yang belum sempat terwujud, masih adakah kesempatan bagi dua orang yangsaling mencintai untuk bertemu kembali dan mewujudkan janji mereka setelah sekian lama?

.

.

.

Halo Minna-san ...

Terimakasih atas kesediaannya membaca. Silakan tuangkan uneg-uneg di kolom review atau PM ya.

Untuk update tidak akan secepat fic Love and Hatred ya, mungkin sekitar seminggu sekali atau lebih cepat. Semoga bisa konsisten.

Salam.