Thanks for
Jaeyong twins / / LimitlessPleasure / fera95
+ Readers-nim yang sudah follow / favorite. ^^
.
.
If I Leave (Sequel)
.
Jung Jaehyun X Lee Taeyong
Kid! Lee Minhyung / Mark.
.
Angst, Hurt. Family.
Warn! OOC! Typo(S)
.
Taechnology
Mark menyandarkan tubuhnya di depan pintu kamar sang ibu. Mendengarkan suara tangisan orang tersayangnya itu dengan hati teriris. Ia tau, ini tujuh tahun tepat kepergian sang ayah. Orang yang dulu pernah menjadi penyelamatnya ketika Mark masih menjadi segumpal daging dalam perut Taeyong. "Ibu..." panggil Mark ketika ia merasa ibunya sudah sedikit tenang.
"M-mark? Ada apa, sayang? Apa kau terganggu dengan Ibu?" tanya Taeyong sambil mengusap air matanya kasar. Meski sudah mengikhlaskan Jaehyun, Taeyong masih sering menangis, ia rindu. Mark menggeleng, kemudian segera mendekati ibunya dan duduk di sebelah. "Ibu, uljima..." kata Mark menghapus air mata Taeyong yang masih menggenang. Taeyong ingin rasanya menangis. Ia mengangguk, kemudian segera memeluk putranya. "Terimakasih sudah hadir sebagai pengganti ayahmu." Kata Taeyong mengelus kepala putranya yang berusia tujuh tahun itu.
Mark mencoba untuk tidak menangis saat mendengar kata ayah. Sebenarnya ia ingin sekali bertemu dengan sosok yang Taeil ceritakan sebagai sosok pahlawan itu. Tapi, dunia mereka berbeda. Mark harus menunggu saat yang akan tiba nantinya. Saat ia dan ayahnya dipertemukan lagi, di Surga.
Lahir tanpa sesosok ayah, membuat Mark dulunya mengira bahwa ayahnya meninggalkannya karena tak sayang padanya dan Taeyong. Tapi saat usianya meng-injak lima tahun, pertama kalinya Taeyong menunjukkan letak seseorang yang ia cari itu. Sebuah gundukan tanah bertuliskan 'Jung Jaehyun', yang meninggal lima tahun yang lalu. "Ibu, ini Ayah?" Itupun jadi saat pertama kalinya, Mark menangis kencang karena sejak kecil ia jarang menangis.
"Mark, bukankah kau besok sekolah?" tanya Taeyong dengan mata sembab.
Mark mengangguk, "Ibu, boleh aku tidur dengan Ibu? Malam ini saja."
Taeyong menatap Mark, kemudian mengangguk dan segera membaringkan diri di sebelah Mark. Mengelus kepala anaknya dan menyanyikan lagu sebelum tidur. "Kau tau, suara ibu tidak sebagus ayah saat bernyanyi. Tapi Ayahmu selalu bilang jika suara ibu adalah suara paling indah yang pernah dia dengar." Taeyong bercerita dan membuat Mark menatap Taeyong khawatir. "Suara ibu memang yang paling indah. Aku menyukai setiap ibu bernyanyi. Ibu, bisakah suatu saat nanti aku dengar suara ayah?" tanya Mark.
"Tentu, sayang. Kau pasti bisa. Sudah, mari tidur." Taeyong menarik selimut dan menutupi tubuhnya serta Mark. Kemudian segera masuk ke alam mimpi dengan mata sembab dan bekas air mata yang mengering di pipinya. Mark tak bisa tidur dan berbalik, menatap wajah ibunya. Wajah tercantik yang pernah ia lihat, yang selalu ada untuknya. "Ibu, terimakasih..." Mark berucap lirih dan mengecup pipi Taeyong pelan. Lalu ia berjalan keluar kamar, dan menutup pintu kamar Taeyong serta mematikan lampu. "Selamat tidur, Bu. Aku mencintaimu."
.
.
"Mark, bukankah kemarin ada tugas bercerita? Kau menceritakan tentang siapa hari ini?" tanya Jeno ketika melihat Mark sedang menggambar di kelas. "Aku menceritakan soal kedua orang tuaku." Jawab Mark tersenyum tipis. Jeno mengang-guk paham, karena dia sudah tau bahwa Mark kehilangan ayahnya sejak masih dalam kandungan.
Jeno juga kagum pada Mark yang selalu bisa tersenyum, mencoba selalu me-lindungi ibunya. Karena Mark, adalah pengganti Jaehyun untuk Taeyong.
.
.
"Mark, silahkan bawa kertasmu. Ceritakan soal orang yang kau sayangi."
Mark menghela nafas, kemudian maju ke depan. Menatap puluhan temannya yang tersenyum padanya. Mark ikut tersenyum, kemudian menghadap gurunya dan mengangguk.
"Ini soal Ayah dan Ibuku." Mark tersenyum, kemudian menghadap kertasnya lagi. "Ayah, kemarin tepat tujuh tahun Ibuku kehilangan ayahku. Aku tidak tau seperti apa sosok ayah. Tapi ibu bilang Ayah adalah sosok yang tampan, gagah, perhatian, dan juga suka menolong. Ibu bilang suara Ayah seperti malaikat ketika bernyanyi. Ayah adalah orang yang ingin aku temui saat ini. Meskipun hanya sebentar, aku ingin bicara pada Ayah. Menceritakan semua yang terjadi pada Ibu yang setiap hari tak henti me-manjatkan do'a untuk Ayah, menangis ketika ia rindu pada Ayah, dan bahkan tak ber-henti menceritakan semua hal hebat yang ada pada diri Ayah. Aku juga ingin berterima kasih pada Ayah. Sebab Paman Taeil bilang, jika saja waktu dulu ayah tidak menyelamatkanku, mungkin aku dan Ibu sudah tidak ada.
Ibu, dia orang tercantik yang pernah aku temui. Orang paling berjasa dalam hidupku karena membesarkan aku tanpa mengeluh. Dia yang melahirkanku, dia juga yang mendidikku untuk menjadi anak yang baik. Aku berharap, tak ada air mata lagi yang keluar dari mata Ibu. Karena aku sakit, sakit setiap melihat Ibu menangis dan kemudian sakit keesokan harinya. Aku menyayangi kedua orangtuaku. Meski aku belum pernah bertemu dengan salah satu dari mereka, tapi aku tau bahwa mereka ber-dua sangat menyayangiku. Ayah, semoga Ayah selalu tenang disana. Ibu, aku selalu mencintai Ibu." Mark menghela nafas, menghapus air matanya yang menggenang.
Satu kelas terdiam, menatap Mark dengan tatapan kagum. Bahkan sudah ada yang menangis. "Jika kalian masih punya Ayah, seharusnya kalian menyayanginya." Ucap Mark yang langsung mendapat pelukan dari gurunya. "Mark..." Ten, guru dan juga istri dari Yuta langsung menciumi wajah Mark saat melihat anak didik sekaligus keponakannya itu berkaca-kaca. "Uljima, Mark. Ayah dan Ibumu pasti bangga pada kau." Mark tak bisa untuk tidak menangis. Akhirnya ia menangis keras dipundak Ten dan mendapat elusan pelan.
Teman-teman mengerubunginya, dan segera memberikan kalimat penenang. "Aku kagum pada Mark!" teriak Jeno. "Mark, Ayahmu pasti pahlawan hebat, ya? Ibu Mark juga cantik. Aku pernah dua kali melihatnya!" ucap Renjun.
"Mark, uljima..kami ada disini." Kata Haechan.
Mark menoleh, "T-terimakasih."
.
.
"Mark, kau tunggu disini sebentar temani Ayah, ya? Ibu akan beli bunga dulu di depan!" kata Taeyong sambil berlari meninggalkan Mark yang mematung sambil melihat makam Jaehyun. Mereka datang untuk memperingati tujuh tahun kepergian pria bermarga Jung itu. Rambut Mark berkibat terkena angin siang yang menyejukkan saat melihat foto pria berdimple yang sedang tersenyum sambil menunjukkan V sign.
"Mark?"
Mark menoleh, kemudian membulatkan matanya. "A-ayah?"
"Iya, sayang. Ini Ayah."
Mark hampir menangis lagi, kemudian segera memeluk pria yang ternyata lebih tinggi dari dugaannya. "Mark, apa ibumu sering menangis? Apa Ibu sering cerita soal Ayah?" Mark mengangguk, membiarkan bau kasturi dari Jaehyun me-nyapa indra penciumannya. Ia tak bisa berkata-kata sekarang. Entah ini nyata atau tidak, tapi Mark tak ingin melepas pelukan ini.
"Mark, jadilah anak yang kuat, oke? Jangan biarkan Ibu terluka. Kau adalah pengganti Ayah untuk Ibu."
"A-ayah, kenapa Ayah pergi untuk Mark?"
"Karena Ayah menyayangi kalian berdua, Mark. Ayah sangat senang meski ayah hanya bisa melihat kalian dari atas sana." Jaehyun menghapus air mata yang ada di mata Mark, meski sedikit. "Hei, anak laki-laki tidak menangis, kan? Sudahlah. Jika Mark sayang Ayah, Mark hanya perlu mendo'akan Ayah." Mark mengangguk dan menatap pria didepannya. "Apa Ayah akan pergi?" tanya Mark.
Jaehyun mengangguk, "Ayah kesini untuk menemuimu. Ayah beruntung bisa menemuimu meski sekali dan kau bisa melihat Ayah. Setelah ini, hanya Ayah yang bisa melihatmu. Mark, dengarkan Ayah. Meski Ayah sudah berbeda alam, tapi Ayah selalu memperhatikan Mark, oke? Jadi jangan menyusahkan Ibu, jangan buat Ibu menangis, jangan pernah membangkang pada Ibu. Nanti Ayah sedih, bagaimana?"
"Mark janji akan buat Ibu bahagia!"
"Anak pintar. Ayah pergi sekarang, ne?" Jaehyun memeluk dan mencium pipi putranya sebelum akhirnya benar-benar menghilang saat angin berhembus pelan. "Ayah..." Mark meraba udara kosong di depannya, tempat Jaehyun berdiri tadi. Ia lalu menghela nafas, "Sudah pergi, ya?"
"Mark. Maaf membuatmu menunggu lama. Eoh, kau menangis? Apa sesuatu terjadi?" tanya Taeyong sambil membawa sebuket bunga mawar merah. "Tadi Ayah menemui Mark. Dia bilang agar Mark menjaga Ibu dengan baik." Jawab Mark sambil mengelus foto Ayahnya. Taeyong tersenyum, "Benarkah? Oh, pasti Ayahmu melihat jika Ibu sering menangis saat merindukannya."
Mark mengangguk, "Ayah benar-benar sangat sempurna. Seperti yang Ibu ceritakan setiap hari. Tapi meskipun Ayah sudah tidak ada, Mark tetap senang sebab ada Ibu disamping Mark. Ayah juga bilang, Ayah sering memperhatikan kita dari atas sana." Bocah itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. Taeyong tersenyum dan lalu memeluk Mark. "Mari kita pulang. Sebentar lagi hujan." Kata Taeyong.
Mark beranjak, kemudian segera berjalan beberapa langkah di depan Mark. Taeyong menatap kembali makam Jaehyun, "Jae, aku mencintaimu. Semoga selalu tenang."
"Aku juga, hyung..."
"J-jae?"
"Pulanglah, hyung. Terimakasih sudah mengunjungiku." Jaehyun berkedip genit. Taeyong mematung sesaat, sebelum suara Mark mengintrupsinya. "Ibu, hujan gerimis!" teriak Mark menggema. Taeyong berbalik, kemudian segera menyusul Mark sambil sesekali menghadap ke belakang. Jaehyun sudah tidak ada di tempatnya.
Perlahan sebuah senyuman timbul di bibirnya, ia jadi percaya jika Jaehyun memang masih selalu ada untuknya dan Mark meskipun mereka sudah berbeda alam.
.
.
.
END.
Maap atas ketidakjelasan cerita ini :'
Sequel kelar. :'' Yang ini menceritakan Mark pas udah tujuh tahun, ya?
Ya Allah nak aku kagum sama kamu. *plak
Review yaaa..
