Seharusnya kencan hari ini berjalan seperti biasanya. Tak apa jika ia menginginkan hidupnya datar tanpa hambatan. Namun sore itu Daiki dikejutkan dengan sosok ayahnya yang tak sengaja melewati taman tempat dirinya dan Momoi berkencan.

"Daiki?"

Tentu lelaki paruh baya itu juga terkejut. Berpapasan dengan putra satu-satunya ketika pulang bekerja memang tak pernah terjadi selama ia hidup lima puluh tahun ini. Daiki canggung, bukan karena ayahnya ada di saat ia berkencan. Ada hal lain yang membuatnya tak enak disaat situasi sekarang ini. Daiki membiarkan ayahnya membuka percakapan lebih dahulu. Namun ayah Daiki hanya berdiri diam sambil melirik pada gadis berambut pink di samping Daiki. Ia kemudian kembali menatap Daiki dengan tatapan penuh tanya. Mengerti maksud dari tatapan ayahnya, Daiki buru-buru memperkenalkan ayahnya ke sang pacar.

"Ah, Satsuki kenalkan, ini ayahku." Momoi buru-buru membungkuk ketika ia diperkenalkan pada orang tua dari sosok yang ia cintai. Ini pertama kalinya ia bertatap muka dengan sosok paruh baya tersebut.

"Dan ayah, kenalkan. Ini Satsuki, temanku,"

"…..Eh?"

Manik pink milik Satsuki membola mendengar penuturan Daiki. Ia terdiam. Kepalanya masih menunduk beberapa detik, sebelum akhirnya Momoi sadar bahwa ia menunduk terlalu lama. Cepat-cepat ia menegakkan kembali tubuhnya dan memberikan senyuman sebagai bentuk sopan santunnya.

Pria itu hanya mengangguk singkat sebagai balasan. Tak mau berlama-lama, pria itu pamit karena masih ada urusan yang harus ia selesaikan. Momoi terus terdiam hingga pria tersebut pergi meninggalkan kembali mereka berdua.

"Maaf Satsuki," Momoi mengangkat wajahnya ketika sosok di sebelahnya mengajaknya berbicara. "Kalau aku sudah siap, pasti akan kuperkenalkan dirimu ke orang tuaku,"

Momoi hanya mengangguk sambil memberikan senyum kecil, "Tak apa, Dai-chan. Akan kutunggu,"

Momoi tersenyum. Meski senyum itu tak mencapai ujung matanya.

.

.

.

'Teruntukmu'

Kuroko no Basket by Fujimaki Tadatoshi

This Story by Akashiki Kazuyuki

Genre : Romance, Hurt/Comfort

Rated : T

Pairing : AoAka, Slight : KiAka, AoMomo

Warning : AU, OOC, Sho-Ai, Typo bertebaran

.

.

.

~ Happy Reading ~

.

.

.

"Kau tersenyum sendu, mengucapkan selamat tinggal padaku, dan punggung rapuhmu pergi menjauhiki. Tanpa memberiku waktu sedikit pun untuk melakukan apa pun selain memandangmu,"

.

.

.

Hiruk pikuk keramaian mengisi suasana taman bermain yang baru dibuka beberapa minggu lalu. Tak menghiraukan segala macam wahana seru disekitarnya, Seijuurou berjalan mantap menghampiri sesosok lelaki dengan muka datar bersurai kelabu yang sedang duduk di bangku taman. Laki-laki itu menengadahkan kepalanya sedikit ke atas ketika orang yang ia tunggu kini sudah berdiri tepat di depannya. Buku yang semula ia baca ia tutup dan ia letakkan tepat di sebelah bokongnya.

"Apa?" Seijuurou bertanya datar. Rautnya tak menunjukkan ekspresi apapun pada lelaki yang duduk di depannya. Ia sebenarnya tak mau menemui orang ini lagi. Tapi mungkin bertemu dengannya hari ini tak cukup buruk. Setidaknya ia sempat mengucapkan selamat tinggal pada sosok di depannya. Bagaimana pun pria di depannya pernah mengisi sebagian hatinya meski tak lama.

"Kudengar kau sudah tak lagi berhubungan dengan Daiki," tak ada basa-basi seperti biasa. Ya, basa-basi bukanlah prinsip hidup pemuda itu.

"Lalu?" Seijuurou menaikkan alisnya. Sejujurnya ia sudah tahu pembicaraan ini akan mengarah kemana.

Sosok yang bernama lengkap Mayuzumi Chihiro itu sempat memejamkan matanya dan mengambil napas sejenak sebelum berkata, "Kembalilah padaku, Sei,"

Raut yang ditampilkan Mayuzumi tak kalah datarnya dengan raut yang ditampilkan Seijuurou. Tapi Seijuurou tahu meski diluar Mayuzumi tampak datar tapi sebenarnya ia sosok yang hangat. Meski lawan bicaranya tak memiliki basa-basi sedikit pun dari dulu meski sekedar menawarinya duduk, Seijuurou tahu jelas Mayuzumi masih sangat mencintainya hingga sekarang.

"Daiki sudah memutuskanku sebelum ia mengetahui segalanya tentangku. Apa kau yakin mau kembali berhubungan denganku?"

Mayuzumi langsung berdiri mendengar penuturan Seijuurou. Kedua tangannya memegang kedua bahu Seijuurou erat. Raut wajahnya memberikan isyarat kepastian. "Aku tak akan pernah meninggalkanmu, Sei. Percayalah padaku,"

Seijuurou tersenyum miris. Ia membuang muka ke samping, "Itu adalah kalimat yang sama persis Daiki ucapkan ketika ia masih menjalin hubungan denganku,"

"Sei, mungkin dulu aku pernah meninggalkanmu. Tapi ingat, siapa yang memutuskan hubungan kita. Kau sendiri 'kan?"

"Aku melakukannya karena aku tak mau melakukan hubungan jarak jauh."

"Sekarang aku disini, Sei. Aku akan selalu disini dan aku tak akan pernah meninggalkanmu," bahu Seijuurou masih setia Mayuzumi genggam erat. Ia ingin Seijuurou tahu dari bahasa tubuhnya, bahwa ia tak akan lagi meninggalkan Seijuurou.

Seijuurou menunduk dalam. Kedua tangan di sisi tubuhnya sedikit gemetar. "Kalau aku yang gantian pergi meninggalkanmu, apa kau masih bertahan mencintaiku?" Ah, bukan hanya tangannya yang gemetar, sepertinya bibirnya pun juga sedikit bergetar.

"Ya,"

"Kau yakin?" pelan, Seijuurou kembali mengangkat kepalanya. Tak ada raut keraguan pada diri Mayuzumi, Seijuurou tahu itu. Tapi justru itu yang membuat Seijuurou semakin sedih.

Seijuurou menghela napas. Genggaman Mayuzumi pada kedua bahunya ia lepaskan. Tapi Seijuurou gantian menggenggam tangan milik Mayuzumi. Ia menampilkan senyum lembut. "Terima kasih sudah mau mencintaiku, Chihiro. Tapi maaf, aku tak bisa setia sepertimu." Seijuurou mundur beberapa langkah. Tangan Mayuzumi sudah ia lepaskan. "Selamat tinggal, Chihiro,"

Seijuurou berbalik melangkah pergi meninggalkan mantan senpainya ketika di SMA dulu. Mayuzumi hanya mematung memandang punggung tegap milik Seijuurou. Mayuzumi Chihiro seumur hidupnya tak akan pernah mau menampilkan ekspresi yang sesungguhnya di depan umum. Tapi kenapa tiba-tiba ia ingin menangis di tempat seramai ini?

.

.

.

Kise berjalan cepat ketika mengetahui Seijuurou sudah pergi dari tempat pertemuannya dengan laki-laki bersurai kelabu tadi. Kakinya melangkah tergesa-gesa dan sesekali tak sengaja menabrakkan tubuhnya pada orang yang berlalu lalang di taman tersebut. Pikirannya hanya satu, kembali ke mobil sebelum Seijuurou tiba disana lebih dulu. Ya, ia memang ditugaskan oleh ayah Seijuurou untuk menjaga Seijuurou. Dan sekarang ia telah merangkap dari penjaga Seijuurou menjadi supir pribadi Seijuurou. Terima kasih pada dirinya yang masih setia jatuh cinta pada Seijuurou. Kalau bukan karena cinta, Kise Ryota yang merupakan seorang aktor terkenal tak akan sudi melakukan hal seperti ini terlebih tak dibayar.

'Bruk!'

Lagi-lagi Kise tak sengaja menabrak seorang perempuan yang sedang berjalan di depannya. Hanya mengucapkan permintaan maaf pelan, Kise kembali berjalan ke depan. Tak dipedulikan gerutuan sosok yang ditabraknya di belakang. Toh ketika ia membuka penyamarannya seperti topi dan kaca mata hitam, Kise sangat yakin perempuan itu pasti akan berkata, "Tidak apa-apa," dengan muka bersemu merah.

Kise menghela napas dan tersenyum senang ketika mobilnya sudah dalam jangkauan pandangannya. Ia melangkah dua kali lebih cepat dari kecepatan semula kemudian bergegas masuk ke dalamnya. Sambil mengatur napas, manik goldnya kemudian menangkap Seijuurou berjalan ke arahnya. Ia sedikit lega, kalau terlambat sedikit saja Seijuurou pasti curiga.

Tadi Seijuurou menyuruhnya untuk mengantar ke taman hiburan ini dengan alasan ingin bertemu seseorang. Ketika ditanya siapa, Seijuurou enggan menjawab. Katanya bukan urusannya. Ya memang bukan urusannya, tapi kan Ryota penasaran. Maka dari itu, ketika Seijuurou keluar dari mobil dan menyuruhnya untuk menunggunya di dalam mobil, Ryota kemudian mengendap-endap mengikuti Seijuurou. Sehingga ia tak sengaja mendengar seluruh pembicaraan antara Seijuurou dengan Mayuzumi. Pertama kali Kise pikir lelaki berambut kelabu itu adalah sosok yang bernama Daiki. Tapi sepertinya bukan.

'Cklek!'

Pintu mobil terbuka. Seijuurou masuk dan duduk tepat di sebelah kursi pengemudi. Ryota mencoba tersenyum samar. Mengabaikan beberapa titik keringat yang hinggap di wajah tampannya.

"Kau tampak lelah, kau habis darimana?" Seijuurou mengangkat alis ketika melihat ketidakberesan pada sosok si pirang.

"Eh?" Ryota menelan ludah gugup. Pandangan ia alihkan ke depan. Tak berani bertatap langsung dengan Seijuurou. "Ke... –Ke kamar mandi-ssu!"

Hanya itu jawaban yang ia pikirkan. Seijuurou menaikkan alisnya. Bola mata Ryota bergulir ke samping menghindari tatapan dari Seijuurou yang seperti menyelidik. Bagaimana pun Ryota tahu, seratus persen Seijuurou pasti tak percaya dengan jawabannya.

"Ke kamar mandi dan kau kelelahan?" Seijuurou masih melanjutkan pertanyaannya. Ryota beruntung ia agak pintar. Jadi dengan cepat ia kembali memutar otaknya.

"Aku terburu-buru karena takut ketika Akashicchi tiba lebih dulu disini, akan kebingungan mencariku-ssu," jawaban yang lumayan masuk akal menurut Ryota. Ryota hanya diam ketika sekali lagi Seijuurou memperhatikan tubuhnya dari bawah ke atas. Ia bahkan tak sadar bahwa ia telah menahan napasnya.

"Aku tak akan kebingungan, Ryota. Aku membawa kunci mobil cadanganmu. Jadi mungkin kau yang akan bingung mencari mobilmu," Seijuurou berujar kalem. Ryota melotot begitu Seijuurou memamerkan kunci mobil cadangannya dari kantung celananya dengan senyum jahil.

"Sekarang ayo kita pulang," Seijuurou menyamankan kembali posisi duduknya. Sambil memutar matanya, Ryota menyalakan mesin mobil dan melajukannya mobilnya kembali ke apartemen Seijuurou. Setidaknya kebohongannya tak akan ketahuan dalam waktu dekat.

.

.

.

"Akashicchi, tolong deskripsikan orang yang bernama Daiki itu padaku," Ryota berujar serius. Ia menghampiri sofa tempat Seijuurou menyelesaikan dokumennya. Sosok yang dihampirinya hanya melirik sebentar, kemudian kembali melanjutkan ketikan di laptop dengan sepuluh jarinya tanpa kembali memandang sosok model yang duduk di sebelahnya.

"Dia tampan," Seijuurou berujar singkat.

Terdengar Ryota mengerang. "Definisi tampan itu luas. Tolong yang lebih jelas sedikit."

Nada bicara Ryota masih terdengar serius. Seijuurou menghela napas. Ia harus segera menyelesaikan pembicaraan ini kalau tak mau dokumennya selesai dengan terlambat. Seijuurou menghadapkan tubuhnya ke arah Ryota. Dokumen yang masih setengah jalan ia tinggalkan sementara. Seijuurou menatap Ryota lagi sebentar kemudian ia menampilkan seringai mengejeknya.

"Yang jelas dia bukanlah sesosok lelaki bersurai abu yang kau lihat di taman,"

Manik Ryota membola. "Uhuk! –Maksud Akashicchi?" Ryota berpura-pura terbatuk. Meski ia tak sedang minum atau apa. Seijuurou memutar bola matanya jengah. Akting Ryota ketika berbohong tidak bagus ternyata.

"Tak usah berbohong padaku, aku tahu jelas apa yang kau lakukan kemarin,"

Ryota menggembungkan pipinya. Kalau sudah ketangkap basah apa boleh buat. "Aku hanya penasaran dengan sosok Daiki yang selalu Akashicchi sebut disetiap waktu," ucapnya jujur. Ya meski kata 'setiap waktu' itu sepertinya terlalu berlebihan juga.

Pandangan Seijuurou tiba-tiba meneduh. Tak perlu bertanya Ryota tahu kalau pemuda cantik bersurai merah itu pasti sedang terbayang dengan sosok mantan kekasihnya. Lengkungan ke atas di sudut bibirnya itulah yang membuktikannya.

"Kau tahu, dia akan melakukan apapun untuk orang yang ia cintai. Dia sosok yang hangat."

Ryota diam sesaat. Wajah Seijuurou tampak sangat cantik kalau sedang diam dan tersenyum seperti ini. Berbeda sekali kalau ketika ia sedang marah ataupun jahil. Ya meski mau Seijuurou yang seperti apapun Ryota tetap cinta. "Apa sampai sekarang Akashicchi masih berpikiran dia seperti itu?"

"…Mungkin." Seijuurou mengangkat bahu. Ia kembali meghadapkan badannya pada laptop yang masih menyala. Mengetik kembali laporan yang tersisa. Diamnya Seijuurou kemudian menunjukkan bahwa ia tak ingin diganggu lebih lanjut. Pembicaraan itu selesai tanpa Ryota menemukan titik terang. Padahal kalau ia menemukan sedikit saja petunjuk mungkin Ryota bisa dengan cepat menemukan sosok yang bernama Daiki dari seorang mata-mata yang akan disewanya.

.

.

.

Sinar matahari masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang sudah terbuka. Ryota harus menyipitkan matanya sambil melirik pada jam di atas nakas yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Beruntunglah hari ini jadwal syutingnya sore, sehingga ia tak perlu dimarahi managernya atas keterlambatannya.

Dengan keadaan yang belum sepenuhnya sadar, Ryota berjalan keluar kamar dan langsung menemukan Seijuurou yang sedang sibuk memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam koper.

"Akashicchi sedang apa?" Ryota mengucek-ucek matanya sambil menguap kecil. Rambutnya nampak berantakan karena baru bangun tidur.

Seijuurou menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya. "Jangan katakan kalau ayah tak memberitahumu,"

"Tentang?"

"Ayah mengambil cuti selama seminggu dari pekerjaannya. Dan ia menginginkan kita untuk tinggal di rumah utama selama masa cutinya,"

"Ohh..." Ryota mengangguk lemah kemudian duduk di salah satu sofa dekat Seijuurou. Sepasang manik ruby mengikuti kemana Ryota berada. Seijuurou menghela napas. Ryota itu agak lemot.

"Kalau begitu jangan hanya diam disitu. Cepat cuci mukamu dan bereskan barang-barangmu. Jika dalam waktu tiga puluh menit kau belum selesai, akan kupastikan engkau kukunci di apartemen ini selama seminggu penuh."

"EHH? Tak mau-ssu!" Ryota berteriak nyaring kemudian dengan hebohnya berlari masuk kembali ke dalam kamarnya. Seijuurou dibelakangnya hanya melihatnya dengan muka masam. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa orang seperti Ryota bisa sangat terkenal dan banyak sekali penggemarnya.

.

.

.

Daiki menutup sebelah telinganya. Suara nyaring berasal dari handphonenya hampir saja memecahkan gendang telinganya. Dari seberang telepon terdengar gerutuan panjang yang dalam hati membuat Daiki kesal. Lagipula siapa yang menginginkan ini. Tak ada yang menginginkan perubahan jadwal secara mendadak di hari yang seharusnya ia pulang cepat. Ia memang sudah berjanji pada Satsuki untuk mengantarkannya berbelanja sehingga mereka sepakat untuk pulang bersama. Dan sekali lagi, ini bukan kemauannya mendapat jadwal mendadak di perkuliahannya yang mengharuskan ia pulang jam tujuh malam.

"Lalu bagaimana dengan rencana kita?"

Daiki sedikit bernapas lega karena pada akhirnya Satsuki menyudahi omelannya.

"...Dibatalkan mungkin,"

"Apa? Dibatalkan? Jadi aku menunggumu disini dua jam hanya sia-sia?"

Lagi-lagi terdengar suara nyaring dari handphonenya. Daiki melirik jam tangannya. Sudah hampir sepuluh menit ia izin ke toilet untuk mengangkat telepon dari Satsuki. Salahkan dirinya yang lupa menghubungi Satsuki atas tambahan jadwal perkuliahan hari ini sehingga membiarkan Satsuki menunggu lama di kafetaria kampusnya. Karena Satsuki yang menghubunginya berulang kali lah yang mengharuskan ia untuk izin ke toilet untuk mengangkat teleponnya. Dan sekarang ia harus kembali bergegas ke kelas kalau tak mau dikira ia sedang sembelit.

"Maaf Satsuki, aku harus kembali ke kelas. Kututup ya,"

"–Tunggu, Dai-chan! Aku akan tetap menunggumu disini hingga perkuliahanmu berakhir."

Daiki mendenguskan napas kasarnya meski dalam hati berharap Satsuki tak mendengar kekesalannya. Ia kesal, kenapa ia harus dihadapi seseorang yang begitu keras kepala seperti Momoi.

"Oke, kututup ya,"

Daiki segera menyudahi teleponnya. Meski harus memotong pembicaraan kekasihnya. Setelah mengembalikan handphonenya kembali ke dalam kantung celananya, Daiki memejamkan matanya dan menghela napas lelah.

.

.

.

Seperti yang diberitahukan, pukul 7 malam tepat perkuliahan Daiki pun selesai. Sembari merapikan peralatan tulisnya di atas meja, Daiki mengeluarkan kembali handphonenya untuk sekedar mengecek email yang masuk. Namun nihil, padahal ia mengira Momoi akan kembali mengiriminya email. Ataukah mungkin Momoi sudah pulang lebih dulu menuruti perkataannya tadi?

Pada akhirnya setelah semua barangnya sudah ia masuki ke dalam tas, Daiki buru-buru keluar ruangan dengan jemari menekan nomor handphone yang sudah dihafalnya. Ia ingin memastikan apakah Momoi masih menunggunya atau sudah pulang. Sambil menunggu nada yang tersambung, Daiki mengedarkan pandangannya keluar gedung sambil merapatkan jaketnya. Sudah memasuki musim gugur, yang berarti cuaca sudah mulai dingin. Sepasang manik safirnya kemudian membola ketika sepasang maniknya beredar dan berhenti pada suatu objek di dekatnya. Dan Daiki hanya bisa menelan ludah ketika pada akhirnya teleponnya tersambung dan suara Momoi sudah menyapanya dari seberang.

"Satsuki, maafkan aku. Mungkin kita tunda dulu jadwal kita, aku ada urusan mendadak. Kau sudah pulang 'kan?"

Nada bicara Daiki lebih seperti meyakinkan bahwa Momoi sudah di rumah dibandingkan bertanya. Ia mengira Momoi akan kembali mengomelinya dengan sumpah serapah seperti yang ia lakukan tadi. Namun jawaban Momoi menenangkan hatinya.

"Iya aku sudah pulang, Dai-chan. Tapi lain kali kau harus tepat waktu mengantarku ya. Akan kutunggu di hari selanjutnya." Momoi berucap singkat.

Setelah mengucapkan selamat malam, Daiki menutup teleponnya. Kedua manik safirnya selama ia menelpon tak pernah berhenti memandangi objek yg tadi dilihatnya. Daiki berjalan maju beberapa meter dari posisinya. Sebuah kursi panjang berhadapan dengan sebuah meja beratapkan payung besar menjadi tempat tujuannya. Langkahnya terlalu halus untuk sekedar membangunkan sosok di depannya. Pemuda bersurai merah halus sedang tertidur dengan kepala diletakkan di atas meja. Daiki tak perlu bertanya apa yang dilakukan pemuda ini disini. Yang pasti jawabannya akan sama dengan yang tadi Momoi lontarkan, –menunggunya.

Angin malam berhasil menggoyangkan surai merah yang masih terlelap di depannya. Daiki melepaskan jaket tebalnya yang berwarna senada dengan rambutnya sendiri, kemudian menutupi punggung kecil di depannya dengan jaket miliknya –sekedar memberinya sedikit kehangatan.

Herannya, ketika Daiki memindahkan tubuh mungil pemuda tersebut ke atas punggungnya, Seijuurou sama sekali tak terbangun. Padahal Daiki yakin, goncangan yang Daiki berikan di tubuh mungil itu ketika Daiki menggendongnya cukup besar. Apa mungkin karena Akashi yang terlalu lelah sehingga gangguan apapun tak akan mudah membangunkannya.

"Apa yang harus kulakukan agar kau tak mau menemuiku lagi?" Daiki berujar pelan, bertanya lebih kepada dirinya sendiri. Sebuah gerakan menggeliat di atas punggungnya membuat Daiki menghentikan langkahnya. Daiki menoleh ke balik tubuhnya. Ia kira Seijuurou akan segera terbangun, namun ternyata tidak. Seijuurou hanya membetulkan posisi kepalanya untuk bersandar di salah satu bahu Daiki sehingga Daiki harus menahan geli karena napas hangat Seijuurou menerpa lehernya. Daiki kembali melanjutkan langkahnya ketika Seijuurou sudah tak lagi menggeliat di punggungnya.

Tanpa sadar Daiki sudah berjalan selama 30 puluh menit. Kini ia sedang berdiri di depan rumah mewah dengan gerbang tinggi bercat hitam menjulang di depannya. Belum sempat Daiki menekan bel, gerbang rumah tersebut sudah dibukakan oleh penjaga rumah. Mungkin karena ia sedang menggendong tuan muda mereka di pundaknya sehingga mereka tak bertanya lebih lanjut maksud dari kedatangannya. Salah satu pelayan rumah yang kebetulan masih berada di halaman terburu-buru membukakan pintu rumah mahoni di depannya. Mereka semua menatap Daiki dalam diam yang terus berjalan masuk ke rumah sang surai merah.

Daiki hendak masuk lebih dalam kalau saja ia tak berpapasan dengan sang tuan rumah yang tanpa ia sadari sudah berdiri di depan pintu menuju ruang keluarga. Daiki mengangguk singkat ke sang kepala keluarga yang kemudian kembali dibalas dengan anggukan singkat. Akashi yang lebih tua kemudian menggeser tubuhnya memberi akses Daiki untuk masuk lebih dalam. Daiki tak perlu bertanya dimana letak kamar Seijuurou karena ia sudah hafal di luar kepala. Setelah menaiki anak tangga, Daiki langsung masuk ke dalam kamar pertama yang ada di sebelah kiri. Namun sayangnya pintu kamar tersebut terkunci. Salah satu pelayan datang menyusul Daiki dan memberitahu bahwa tubuh sang tuan muda diletakkan saja di kamar tamu yang letaknya tepat di sebelah kanan kamar Seijuurou. Daiki mengikuti apa yang dikatakan pelayan rumah. Kemudian ia masuk begitu saja dan meletakkan tubuh Seijuurou di tempat yang nyaman. Daiki menatap wajah Seijuurou yang tertidur pulas beberapa detik sebelum pergi meninggalkan ruangan. Ketika ia keluar dari kamar tersebut, Akashi Masaomi sudah kembali hadir berdiri di depan pintu kamar. Mata kecoklatan milik kepala keluarga tersebut hanya diam sambil melihat tubuh Seijuurou yang terbaring di atas tempat tidur kemudian beralih pada Daiki di depannya. Sebetulnya banyak sekali yang ingin Daiki bicarakan dengan sang tuan rumah. Namun sayangnya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Justru ia hanya kembali mengangguk singkat dan mengucapkan selamat malam sebelum pamit meninggalkan kediaman megah tersebut.

.

.

.

Seijuurou membuka matanya. Ia menoleh ke kanan dan mendapati dirinya sudah tidur di tempat yang berbeda dari yang sebelumnya. Yang Seijuurou ingat seharusnya ia sedang berada di depan gedung tempat Daiki menimba ilmu dan kemudian tak sengaja tertidur disana. Tapi kenapa sekarang ia malah berada di kamar pribadinya?

Seijuurou bangun kemudian mengubah posisinya yang tadi terbaring menjadi bersandar di kepala tempat tidur. Satu tangannya memegang kepalanya yang sedikit berdenyut. Ia menoleh untuk melihat jam dan mendapati dirinya sudah melewatkan beberapa jam yang sangat penting. Memang kemarin setelah mereka kembali ke rumah utama, Seijuurou pamit sebentar ke ayahnya untuk pergi ke suatu tempat karena ada urusan. Ia tak mengatakan akan menemui Daiki karena ayahnya akan banyak bertanya tentang hal ini. Maka dari itu wajahnya dipenuhi tanda tanya mengetahui posisinya sekarang. Siapa yang memindahkannya ke atas tempat tidurnya? Apakah Daiki yang membawanya pulang ke rumahnya dan melakukan ini semua? Lalu siapa yang mengganti pakaiannya dengan piyama? Pikirnya lagi setelah mengetahui bukan hanya posisinya saja yang berubah tapi pakaian yang dikenakannya juga telah berubah.

"Eh, Akashicchi sudah bangun rupanya,"

Seijuurou mengangkat wajahnya, menyudahi segala pertanyaan yang memenuhi pikirannya dan menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Terlihat kepala kuning Ryota yang menyembul masuk ke dalam kamarnya tanpa alih mengetuk ataupun mengucapkan salam. Seijuurou ingin marah atas ketidaksopanan Ryota yang tiba-tiba masuk ke kamarnya, namun ia tahan sebelum ia menanyakan sesuatu pada sosok pirang yang masih setia di pintu.

"Akashicchi sepertinya kelelahan sekali sampai semalam tertidur seperti itu. Apa Akashicchi baik-baik saja?"

Seijuurou mengerutkan alis. Jadi semalam ia hanya bermimpi bahwa ia merasa Daiki ada di dekatnya dan menggendongnya pulang. "Jadi kau yang membawaku kesini?" Seijuurou akhirnya menanyakan pertanyaan yang dari tadi memenuhi pikirannya.

Ryota mengangguk dan memberikan senyuman cerahnya pada Seijuurou. "Tentu saja,"

Entah jawaban singkat dari Ryota meruntuhkan semangat paginya atau ia memang sakit mengetahui faktanya. Pandangan Seijuurou beredar ke bawah, entah memikirkan apa.

Raut wajah Seijuurou tiba-tiba menggelap. "Keluar, Ryota. Aku ingin berganti pakaian dan bersiap-siap untuk sarapan,"

Tanpa menjawab, Ryota sudah menarik diri dari kamar Seijuurou dan menutup kembali pintu kamar rapat-rapat. Setelah sepenuhnya ia kembali sendiri di dalam kamar, sepasang tangannya meremas selimut yang masih menutupi dirinya diikuti dengan wajah sendu.

.

.

.

Hari Sabtu seperti biasa Daiki melatih murid-muridnya di klub basket yang ia pegang. Meski sedang tak ada pertandingan dalam waktu dekat, Daiki tetap mewajibkan murid-muridnya untuk datang berlatih agar kemampuan mereka tidak tumpul. Latihan basket disudahi ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Daiki memberikan instruksi untuk beristirahat sejenak kepada murid-muridnya sebelum merapikan beberapa bola basket yang bertebaran di atas lapangan.

Beberapa muridnya ada yang langsung duduk selonjor ketika Daiki membunyikan pluitnya, namun ada juga yang masih semangat untuk bermain one on one dengan temannya.

"Onii-san," Daiki menoleh ketika salah satu muridnya memanggilnya dan menghampirinya ketika ia sedang membenahi seluruh barangnya. "Pacarmu telah menunggumu dari tadi,"

"Pacar?" Daiki menaikkan alisnya tak paham. Setahunya Momoi hari ini ada urusan dengan keluarganya. Lalu kenapa ia justru menjemputnya kesini.

"Itu,"

Sepasang manik safir mengikuti arah jari telunjuk dari muridnya. Ia terkejut begitu ada sosok yang sangat ia kenali sedang duduk di bangku pinggir lapangan yang berseberangan dari tempatnya. Kenapa ia tak menyadari ada Seijuurou yang menunggunya?

"Tolong katakan padanya tunggu sebentar lagi,"

Anak tersebut mengangguk kemudian berlari ke arah Seijuurou untuk menyampaikan pesan dari Daiki. Daiki mempercepat merapikan barang-barangnya kemudian tas ia sampirkan di bahunya dan berjalan menuju pinggir lapangan tempat Seijuurou duduk menunggu.

"Maaf menunggu." Daiki berujar ketika jaraknya sudah tak jauh dari Seijuurou. "...Ada apa?"

Seijuurou mengangkat kepalanya begitu sosok yang ditunggunya melangkah mendekatinya. Ia memberikan senyum tipis.

"Silahkan duduk, Daiki."

Seijuurou sedikit menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk Daiki duduk di sebelahnya. Daiki menurut. Ia mengambil tempat tepat di sebelah Seijuurou. Ruang tempatnya duduk yang Seijuurou berikan tak cukup panjang, sehingga Daiki merasakan pahanya saling bergesekan dengan milik Seijuurou. Di sebelahnya Seijuurou masih diam. Daiki berpikir ia tak harus memulai pembicaraan ini lebih dahulu. Biar Seijuurou yang memulainya.

"Beberapa hari yang lalu, tak sengaja aku berpapasan dengan orang tuamu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya mengapa aku sudah jarang sekali mampir ke rumah. Daiki, kau belum memberitahu orang tuamu tentang hubungan kita?"

Seijuurou membuka pembicaraannya. Daiki cukup terkejut Seijuurou tak berbasa-basi lagi menanyakan kabarnya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah Seijuurou membahas masalahnya yang tak terlalu jauh dengan masalah yang dihadapinya dengan Momoi. Dan sejak kapan Seijuurou dekat dengan orang tuanya?

"Ya, mungkin memang bukan urusanku lagi. Bahkan aku belum mengatakan hal ini pada Ayah. Tapi tolong pikirkan perasaan kekasihmu bagaimana jika ia tahu tentang hal ini," Seijuurou menyambung ucapannya yang sempat terhenti.

"Kalau Ayahmu, tak perlu dikasih tahu pun ia akan tahu 'kan?"

Daiki tak sengaja memperhatikan wajah Seijuurou yang kian hari kian pucat. Hanya saja ia tak menyangka jawaban yang dilontarkan untuk Seijuurou cukup sinis dan membuat Seijuurou terdiam beberapa detik.

"...Ya, kau benar."

Suasana lagi-lagi hening. Daiki mulai gelisah dengan keadaan ini. Seharusnya duduk berdua dengan Seijuurou tak akan membuatnya secanggung ini mengingat dirinya cukup lama berhubungan dengan pria itu.

"Aku mendapatkan titipan bunga dari fansmu ketika di restoran waktu itu." Daiki pada akhirnya membuka topik baru yang terjadi beberapa saat lalu. "Aku tak membawanya sekarang, mungkin lain kali–"

"Buang saja. Aku tak butuh itu." Seijuurou cepat memotong perkataan Daiki. Lagipula bunga itu bukan dari Daiki, jadi tak ada gunanya ia terima dan ia simpan.

"Sudah kuduga," suasana kembali lagi hening. Dan Daiki tak betah lama-lama dengan situasi ini. "Aku belum makan siang. Mau sekalian makan siang dekat sini?" tawar Daiki. Mungkin Daiki terlalu naif karena ia berpikir Seijuurou akan menerima ajakan makan siangnya. Karena selama ini selalu Seijuurou yang berusaha untuk menemuinya dan mengajaknya. Hanya saja hati seseorang bisa cepat sekali berubah.

"Aku sedang tak lapar, terima kasih." Seijuurou mulai berdiri. Daiki mengangkat kepalanya mengikuti Seijuurou yang berdiri. Ia sempat tercengang mendengar penolakan Seijuurou secara halus. "Mungkin hanya itu yang ingin kukatakan. Aku pamit, Daik-"

Seijuurou hendak membungkuk untuk pamit, tapi tak jadi. Tangannya tiba-tiba tertarik dan membuat tubuhnya sedikit oleng. Seijuurou menoleh pada sosok yang menarik sebelah tangannya.

"Wajahmu pucat. Akan kuantarkan kau pulang," Daiki sudah berdiri dan berjalan ke depan Seijuurou. Ia kemudian membungkukkan sedikit tubuhnya. Seijuurou menaikkan alisnya.

"Naiklah ke atasku, aku akan membawamu pulang,"

Kalau ini kondisi normal, Seijuurou pasti akan menolaknya karena ini merupakan hal memalukan. Tapi sekarang ia berada di kondisi yang berbeda. Tubuhnya lemah. Dan ia sangat rindu akan sentuhan Daiki.

Seijuurou maju satu langkah. Kemudian ia mengalungi leher Daiki dari belakang. Ketika Daiki merasa Seijuurou sudah naik ke atas tubuhnya, Daiki pun berdiri dengan kedua tangan di belakang ia gunakan untuk menahan bobot Seijuurou.

"Apa berat?" Seijuurou bertanya ketika Daiki sudah sepenuhnya berdiri dengan mengangkat tubuhnya di punggungnya.

"Tidak. Sangat ringan," Seijuurou tersenyum tipis. Kedua tangan ia sampirkan erat di atas bahu Daiki. Daiki mulai melangkah ringan. Seijuurou memberanikan diri menyandarkan kepalanya di punggung Daiki. Dan beruntunglah Daiki tak memprotes.

"Jadi teringat ketika kita masih bersama dulu," kenang Seijuurou. "Ketika kita kencan hingga larut, aku akan mengeluh capek dan kau akan menggendongku ketika pulang. Dan kau akan membaringkanku yang sudah tertidur di pundakmu ke atas kasur,"

"….Ya,"

Daiki diam mendengarkan perkataan Seijuurou. Bayang-bayang ketika ia masih bersama Seijuurou seketika memenuhi ingatannya.

"Kita tak akan bisa kembali lagi ke waktu-waktu itu, Daiki. Tapi aku senang, setidaknya aku memiliki banyak kenangan manis ketika bersamamu.

Daiki lagi-lagi diam. Tak menanggapi meski hanya membalas satu kata. Ia merasakan baju belakangnya basah. Seijuurou menangis dalam diam dengan kepala masih bersandar di atas punggungnya. Membiarkan Seijuurou mengelap sisa-sisa air mata dengan bajunya. Ia hanya diam meski kakinya masih melangkah. Untuk saat ini Daiki tak tahu harus berkata atau bertindak seperti apa.

"Turunkan aku, Daiki."

Sebuah kalimat tegas dari Seijuurou menghentikan langkah kaki Daiki. Daiki bingung, tak mengerti. Ia mencoba menolehkan kepalanya ke belakang meski agak susah karena beban tubuh yang ada di pundaknya. Daiki merasakan tubuh Seijuurou bergerak dan kakinya mengayun ke bawah. Sesuai insting Daiki sedikit membungkukkan tubuhnya menunggu Seijuurou turun dari punggungnya. Ketika terdengar suara kedua kaki Seijuurou menapak jalan, Daiki langsung memutar badannya seratus delapan puluh derajat menghadap Seijuurou.

"Sudah cukup. Aku sudah puas dengan ini," Seijuurou menyunggingkan senyum kecil.

Daiki tak paham. Tingkah Seijuurou aneh. Ia hanya diam tak menjawab sambil menaikkan kedua alisnya. Ia biarkan tangan Seijuurou terulur meraih salah satu sisi wajahnya. Rasa dingin menjalar di wajahnya ketika tangan pucat Seijuurou menyentuhnya. Daiki masih bergeming. Membiarkan Seijuurou menjelajahi daerah wajahnya. Tangannya sedikit gemetar. Daiki ingin ikut meraih wajah Seijuurou. Ingin sekali mengangkat salah satu tangannya dan ia gunakan untuk menghapus genangan air di ujung mata indah milik Seijuurou. Namun sekali lagi ia urungkan ketika menyadari bibir Seijuurou bergetar ingin mengucapkan sepatah dua kata.

"Sekarang kau sudah dengan gadis itu dan aku sendiri." Jempol Seijuurou bergerak mengusap pipinya. Seijuurou masih mempertahankan senyum kecilnya. "Meski aku tak rela, kuharap kau akan selalu baik-baik saja,"

Tangan pucat Seijuurou akhirnya turun kembali ke sisinya. Seijuurou memundurkan kakinya sekitar dua langkah, memberi kembali jarak antara dirinya dan Daiki. Wajahnya kembali menengadah dan sekali lagi menatap wajah rupawan Daiki.

"Selamat tinggal, Daiki. Sebenarnya aku menemuimu hanya ingin mengucapkan salam perpisahan padamu," Sambil menampilkan senyum hangatnya, Seijuurou berbalik arah berjalan meninggalkan Daiki.

Hingga detik itu Daiki tak tahu harus berbuat apa. Ia tiba-tiba merasa di sekelilingnya terasa gelap. Sang pejalan kaki yang berlalu lalang di dekatnya tiba-tiba menghilang tak tersisa. Suara langkah kaki Seijuurou entah kenapa terdengar jelas dipendengarannya meski yang bersangkutan sudah semakin menjauh. Yang bisa ia tangkap di penglihatannya kini hanya dirinya yang membisu melihat punggung Seijuurou berjalan menjauhinya. Pada akhirnya setetes air mata yang telah ditahannya selama beberapa bulan itu pun jatuh memberikan jejak pada pipinya.

"Seijuurou, maafkan aku,"

Meski ucapan itu tak akan mampu Seijuurou dengar.

.

.

.

~ TBC ~

.

.

.

A/N :

Untuk review chapter kemarin saya balas disini saja ya, berhubung ya sedang malas /plak

novia11 : *berkedip* kenapa menangis Novia-san?

24AkasaVinka20 : Maaf kalau untuk chapter ini updatenya terlalu lama. Saya berharap Vinka-san masih mau membacanya. Dan terima kasih atas semangatnya

Natsukeshi : Makasih atas doamu untuk Sei-chan. Sei-chan strong kok.

Hinamori Hikari : Ryota jangan diambil Hinamori-san, ntar gak ada korban buat dikacangin lagi. Saya juga maso kok, makanya buat fict beginian. Tapi kalo untuk orang lain yang buat fict saya lebih suka happy end, cuman kalo saya yang bikin lebih suka yang nyesek haha /ketawa setan/ Terima kasih sudah mau menunggu yang bagian nyesek, meski saya nggak janji bakal ada adegan nyeseknya sih.

rotlicht : terima kasih atas semangat dan penantiannya. Semoga kamu tidak bosan membacanya.

etsukoyukiai : maaf yuki-san, sepertinya untuk saat ini saya masih membuat kise tersakiti. Habis wajah Kise memang maso sih /digampar fans Kise

Agak sedih karena sepertinya lambat laun fandom ini semakin sepi. Semoga saja masih ada yang menyempatkan diri untuk mampir kesini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih banyak bagi para reader yang menyempatkan diri membaca, memberikan review, fav, ataupun follow cerita ini. Saran dan Review masih saya butuhkan untuk penyemangat dan penulisan yang lebih baik ke depannya. Terima kasih.

Salam Cinta

_Akashiki Kazuyuki_