Lesson 17

Turn the page...(part two)


Song inspirations:

BTS V - Stigma

LuHan - Catch me when I fall

Echos – Stay

.

Pada malam Natal, aku membantu Sehun memakai cupluk berbulunya sebelum kami keluar rumah.

"Apa kita benar-benar harus pergi?" Sehun bertanya, merajuk.

"Ya!" jawabku dengan gembira. "Ini malam Natal!"

"Tapi kita sudah bersenang-senang hari ini." Dia mengentakkan kakinya. "Bermain video game dan berada dalam kehangatan apartemenku... Dunia luar begitu dingin..."

"Ugh Sehun-ah, berhentilah merengek," kataku selagi mengikatkan syal wol di leherku. "Kau sudah berjanji akan mendengarkanku sementara aku membantumu melewati Natal sebagaimana caraku,"

"Memang." Dia menghela napas. "Tapi aku belum pernah ke gereja sejak... Aku tidak tahu sejak kapan..."

Ada pohon Natal besar yang berdiri pongah di samping gereja yang kami kunjungi. Hanya dengan sekedar itu sudah membuatku merasa begitu bahagia. Beberapa anak tengah bermain lempar bola salju di sekitar pohon dan aku ingat bagaimana aku dan sepupuku juga suka melakukannya setiap tahun. Aku merindukan mereka dan aku berharap mereka baik-baik saja. Namun terlepas dari itu, tidak ada satu pun perasaan yang sama dengan bagaimana Sehun menggenggam tanganku dan berjalan di sampingku, meski dia tampak sedikit gugup.

"Jangan khawatir." Aku menggodanya. "Mereka tidak akan menendangmu keluar gereja hanya karena kau adalah Iblis."

Sehun menyipitkan matanya ke arahku sementara aku tertawa. Dia melingkarkan lengannya di leherku kemudian, berusaha main-main mencekikku dan aku menyerang perutnya dengan tinjuku.

"Ini hanya... Membawa kembali kenangan lama..." Dia akhirnya bicara. "Dan aku tidak tahu apakah aku ingin mengingatnya..."

"Kenapa tidak?" tanyaku, berhenti memukulnya.

"Itu mengingatkanku pada ibuku." Dia tersenyum. "Dia selalu menyeretku untuk ikut ke gereja bersamanya, sampai akhir hidupnya,"

"Maafkan aku," kataku, terkejut. "Mungkin ini bukan ide bagus..."

"Mmm..." Dia mengedipkan matanya padaku. "Tidak apa-apa. Itu bukanlah kenangan yang tidak menyenangkan, hanya agak emosional. Lagi pula aku sangat senang membuat kenangan indah bersamamu. Berdiri di sini..."

Dia mengambil fotoku di depan gereja. Aku ingin tahu seberapa noraknya aku terlihat dengan beanie, syal, mantel yang jelas bukan milikku serta hidung yang mulai meler karena suhu udara yang luar biasa dingin di luar sini.

"Ew ini adalah foto yang mengerikan," keluhku ketika dia menunjukkannya padaku. "Hapus!"

Dia tidak mau mendengarku meskipun, berkata bahwa hidungku yang penuh ingus tampak imut. Dia bisa menjadi begitu menjengkelkan kadang namun aku sangat mencintainya...

.

Hari Natal yang sesungguhnya begitu membahagiakan. Aku terbangun untuk menemukan tumpukan hadiah yang jauh lebih besar di bawah pohon dan aku terkejut. Sehun sudah bangun saat aku melangkah keluar dari kamar sembari mengucek mata.

"Marry Christmas, babe." dia menyeringai kemudian segera memelukku.

Aku terkekeh, balas memeluknya dan dia memberiku sepiring pancake yang lezat. Kami duduk dekat pohon sementara dia membuka hadiahnya satu per satu. Aku merasa malu karena hadiahku tidak terlalu hebat, hanya barang-barang dasar seperti syal hangat, sweter dan hal-hal kecil yang sekiranya menurutku barangkali Sehun suka. Sehun membuka semua hadiah dan mengagumi semuanya seolah dia belum pernah melihat benda seperti itu sepanjang hidupnya.

"Sekarang buka hadiahmu." Dia bangkit dengan gembira dan aku tidak bisa menahan tawa.

Dia memberiku konsol game portable, dengan beberapa permainan, buku-buku dan begitu banyak pakaian. Aku terkejut dan agak malu karena aku tidak bisa menerima banyak barang-barang mahal ini darinya.

"Biarkan aku membelanjakan uangku dengan royal untukmu." Dia tersenyum hangat. "Aku tidak memiliki siapa pun lagi yang bisa aku manjakan..."

Mataku berlinang air mata ketika aku memeluknya dan menciumi seluruh permukaan wajahnya. Aku hanya ingin seseorang yang memberinya begitu banyak cinta namun aku rasa aku tidak bisa menjadi orang itu untuknya. Dia rusak dan agak bingung namun dia masihlah seorang yang begitu baik dan lembut. Aku tahu siapa pun yang berakhir dengannya akan menjadi seorang paling beruntung yang pernah ada...

.

Sehun dan aku memutuskan bahwa aku tidak bisa dipercaya untuk berada sendirian di dapur, jadi kami bekerja sama untuk membuat makanan yang lezat. Kami berhasil memanggang kue tart putih untuk dessert dan kali ini aku berhati-hati dengan semua proporsinya.

Sehun mengeluarkan panggangan kecilnya untuk memanggang sayuran dan daging, membungkusnya dengan salada yang kemudian kami makan dengan kimchi dan japchae. Itu adalah salah satu makanan terbaik yang pernah aku makan dan aku masih menginginkannya lebih banyak. Setelah melahap banyak daging, aku merasa hampir meledak dan piamaku menjadi terasa lebih ketat di sekitar bagian pinggang.

Kami bersantai di sofa setelah makan malam, berada dekat dengan pohon, menyaksikan cahaya kerlap kerlipnya. Kepalaku beristirahat di pangkuannya sementara dia dengan lembut memutar-mutar rambut ikalku di antara jari-jarinya yang panjang, dengan satu tangannya yang lain berada di dadaku. Aku merasa begitu tenang, seolah tempatku memanglah di sana di rumahnya yang hangat dan begitu familier. Dikelilingi aroma, sentuhannya serta matanya yang aku tahu menatap padaku, bukan pada lampu-lampu cantik di pohon itu; itu membuatku merasa begitu bahagia. Mataku bertemu dengannya dan dia tersenyum. Aku mengangkat tangannya dari dadaku kemudian menciumi semua jarinya satu per satu... Dengan lembut dia membelai pipiku dan aku memejamkan mata, merasakan kekasarannya yang menenangkan di kulitku.

Aku tahu aku harus pergi meninggalkannya segera namun aku berharap kenangan indah ini tidak akan pernah pudar...

"Aku tidak akan melupakan Natal ini," bisiknya dan aku membuka mata melihatnya.

"Aku juga tidak akan." Aku tersenyum.

"Kau tampak mengantuk," kekehnya.

"Aku makan terlalu banyak," kataku, menutupi perutku yang buncit dengan kedua lenganku.

"Well, itu bukan Natal jika beratmu tidak bertambah." Dia mencubit pipiku membuatku merengek.

"Benar juga." Aku menyeringai dan aku senang melihatnya tertawa.

Apakah aku akan merasa senyaman ini dengan orang lain? Apakah aku bisa mencintai seseorang dengan semua yang kumiliki lagi?

"Aku tidak ingin hari ini berakhir," katanya sedih. Dia tampak begitu sendu hingga membuatku berpikir dia akan menangis.

Aku tidak bisa mengatakan apa pun dan hanya menggenggam jarinya yang bertaut dengan milikku.

"Kapan kau harus pergi?" tanyanya, menggenggam tanganku cukup erat hingga mungkin mampu menghancurkan tulang-tulangku.

"Apa kau ingin aku tinggal lebih lama?"

"Kumohon..."

Dia memelukku dan aku perlahan menggapai bibirnya, dengan lembut menggigit kulit kenyal di antara gigiku. Pelan-pelan dia menempatkanku di tempat tidur, tubuhnya melayang di atasku dan bibirnya berada begitu dekat hingga aku bisa melakukan apa pun dengan itu. Setiap kali dia menatapku, aku kerap kali mempertanyakan keputusanku, dan barangkali itulah yang memang dia inginkan; bagiku untuk tidak pergi dan tetap bersamanya. Aku harus kuat meski pun. Aku tidak boleh kalah oleh emosiku dan berjalan pada jalan yang aku tahu akan terbakar. Namun begitu, aku bisa membiarkan diriku untuk satu malam menjadi lemah, bukan?

Ketika dia mencondongkan tubuh lebih dekat untuk mencium bibirku, aku berpikir...

Hanya untuk malam ini... Aku berjanji aku akan menjadi lebih kuat esok hari...

.

Namun esok hari yang kumaksud tidak kunjung tiba. Aku menghabiskan hari lain bersamanya dan itu lebih dari sekedar menakjubkan. Kami menonton film sepanjang hari, mengunyah popcorn sembari meringkuk dalam selimut hangat. Begitu aneh rasanya, bagaimana aktivitas normal yang biasa kulakukan dengan temanku menjadi begitu istimewa ketika dilakukan dengan Sehun. Rasanya seperti aku tengah menikmati hari terbaik yang pernah ada, berada begitu dekat untuk aku menyentuhnya dan kadang menciumnya, tapi kami tidak pernah melangkah lebih jauh dari itu. Aku tahu apa yang Sehun inginkan dan aku menghargai itu. Aku pun ingin menyimpan kenangan indah pada hari-hari yang kami bagi bersama...

Namun jam terus berdetak dan dua hari setelah Natal, aku mendapat panggilan.

"Luhan, apa pun yang kau lakukan aku ingin kau pergi dan menemui Baekhyun." Chanyeol nyaris berteriak pada ponselnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku, berubah ketakutan.

"Aku tidak bisa menjelaskannya lewat telepon yang jelas dia membutuhkanmu," kata Chanyeol buru-buru. "Dia sendirian di sana! Aku harus pergi sekarang, kumohon jangan abaikan ini!"

Dan sambungan terputus...

"Apa kau baik-baik saja?" Sehun bertanya dan aku mendongak padanya. Dia menatapku khawatir.

"Sesuatu yang buruk terjadi," gumamku. "Aku harus pergi..."

Sehun mendudukkan dirinya di sampingku, matanya tidak lagi menunjukkan kekhawatiran namun panik.

"Apa maksudmu?"

"Aku belum tahu, tapi sepertinya ini tidak bagus," kataku, jari-jariku beringsut mendekat pada miliknya di tempat tidur.

"Apa kau harus pergi sekarang juga?" Dia menelan ludah.

"Aku harus..." bisikku. "Apa kau akan baik-baik saja?"

Dia tidak menjawab dan aku tahu dia tidak ingin membuatku khawatir.

"Aku juga harus membawa barang-barangku dari apartemenmu..."

"Yeah," katanya kemudian berdiri sebelum aku bida menyentuhnya. "Lakukan apa pun yang harus kau lakukan. Ada ransel di rak bawah lemari, kau bisa memasukkan barang-barangmu ke sana..."

"Baiklah, terima kasih," kataku lemah.

"Ada beberapa hal yang harus kulakukan," katanya dengan punggung menghadap ke arahku.

"Oke," jawabku. Dia tidak ingin melihatku pergi...

Dan dengan itu, dia melangkah keluar... Meninggalkanku sendiri untuk menangis...

Aku tidak ingin menjadi begitu lemah. Hari ini akan tiba cepat atau lambat, namun aku dan dia berusaha memperpanjang waktu bersama selama yang kami bisa. Sahabatku membutuhkanku dan mungkin aku memang sebaiknya pergi sebelum tahun baru tiba. Aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu bersamanya jika pada akhirnya dia tidak akan menjadi bagian dari masa depanku...

Dengan pandangan kabur, aku berhasil menemukan ransel kecil di lemari untuk memasukkan barang-barangku. Aku menangis sementara mengambil pakaianku dari lemarinya kemudian memasukkannya pada ransel tanpa peduli untuk melipatnya dengan benar. Aku menghapus jejak hari-hari indah yang kami habiskan bersama. Aku mungkin tidak akan pernah datang ke tempat ini lagi dan mungkin juga akan ada orang lain yang menggantikanku. Sehun membutuhkan seorang yang lebih tua dan lebih dewasa dariku bagaimana pun. Aku hanya seorang anak dari kelasnya yang begitu mencintainya dan selalu akan tersenyum setiap kali menghabiskan waktu bersamanya. Senyum yang tidak pernah hilang dan sensasi yang tak tertahankan yang tidak akan pernah padam...

Namun inilah keputusan yang aku ambil dan dia pun menerima itu. Dia tahu dia tidak bisa berkomitmen padaku. Aku memiliki pengalaman tentang itu dan aku tahu ini untuk yang terbaik...

Benar saja, aku menemukan bingkai foto silver di belakang lemarinya. Dia memang membenci itu, jadi aku memutuskan untuk membawanya bersamaku. Aku tidak tahu apakah aku akan menyimpannya atau menghancurkannya. Aku merasa hancur ketika aku melihat gambar itu lebih lekat. Itu diambil di pantai pada perjalanan kami beberapa bulan lalu ketika kami keluar untuk melihat matahari terbenam. Aku berusaha mengambil selfie aku dan Sehun namun dia begitu nakal dan tidak bisa diam, terus mencium pipi dan leherku. Namun aku berhasil mengambil gambar dengan benar pada akhirnya ketika dia melirik cepat ke kamera dengan bibirnya menempel di pipiku. Entah bagaimana aku berhasil mengambil potret sempurna kami, yang mana sekarang tidak lagi ada artinya.

Aku menangis memeluk bingkai itu di dadaku. Aku butuh mesin waktu untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya. Aku tidak bisa melawan perasaan ini dan aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupku. Aku merasa seperti telah kalah dalam pertempuran yang kuhadapi selama ini. Aku tidak bisa melangkah dengan ketakutan ini dalam pikiranku. Tidak pernah kubayangkan aku akan menemukan diriku sendirian, duduk di tengah bangkai mimpi-mimpiku...

Pintu dibanting terbuka dan aku terkejut. Cahaya dalam ruangan redup namun aku masih bisa melihat matanya yang berkilat di hadapanku. Dengan goyah aku bangkit berdiri, bingkai itu terlepas dari tanganku dan aku bertanya-tanya mengapa dia kembali begitu cepat setelah pergi beberapa saat lalu.

"Sehun?" Aku memanggilnya. "Apa kau baik-baik saja?"

Dia tidak menjawab dan hanya menyeret kakinya lebih dekat padaku.

"Sehun..." kataku, kini ia berdiri di dekatku.

Tanpa sadar aku mundur selangkah ketika menyadari apa yang ada dalam pikirannya. Namun dia dengan cepat meraih pinggangku, menarikku mendekat. Dalam sekejap, bibirnya menempel di bibirku dan bahuku yang tegang seketika merosot ketika kurasakan kelegaan meluap menembus tubuhku. Ciumannya putus asa dan menuntut, mulutnya sepenuhnya melahapku dengan giginya yang menjumput di bibirku. Jariku mencengkeram rambutnya erat sementara aku mengerang dengan rasa lapar ketika dia menggigit bibirku lebih keras.

Dia menarik kaosku kemudian, mengungkapkan dadaku namun aku menolak untuk melepas bibirnya, lidahku bergerak pada langit-langit mulutnya.

"Mmm sial!" Dia terengah, jarinya menjambak rambutku, kemudian dia mulai menjilat dan menggigit leherku tanpa ampun. Organ di antara kedua kakinya sudah sangat keras, menggesek dan membangkitkan milikku juga. Dia berhasil melepas kaosku lantas mulai melepas jins dari pinggangku pula. Kulingkarkan lenganku di lehernya dan menciumnya, membiarkan ia menanggalkan setiap kain dari tubuhku. Kakiku tersandung dan aku terjengkang ke belakang namun dia memelukku erat dan perlahan mendorongku menuju tempat tidur.

Mata kami terkunci satu sama lain ketika dia berhasil mengenyahkan celana jinsku, membuatku telanjang bulat dalam pelukannya.

"Aku merindukan ini..." Dia bergumam, kembali menyerang leherku, meninggalkan ciuman basah ketika bibirnya menghisap kulitku.

Lengannya di sekitar punggung dan pinggangku ketika dia membaringkanku di atas tempat tidur. Aku berpegang pada lehernya ketika kurasakan mulutnya bergerak ke bawah menuju dadaku. Ciuman lembut dan manis ia tanam di sana dan tubuhku seketika membusur. Secara naluriah kakiku terangkat pada tonjolan selangkangannya. Dia mengerang, menggigit putingku lebih keras, merasakan ereksinya di gosok perlahan olehku dan aku melenguh akan sensasi yang menakjubkan.

Tubuhku begitu terangsang dan berkeringat banyak ketika bibirnya menyentuh pusarku, bibir dan lidahnya menyiksaku dengan kenikmatan. Kakiku dibentangkan lebar-lebar oleh tangannya yang kuat dan akhirnya aku membuka mataku untuk melihatnya. Dia menatapku lekat-lekat, seolah tengah berusaha merekam potret tubuh telanjangku di kepalanya... Mata kami bertemu, kurasakan desiran di kulitku dan aku melihatnya menggigil juga.

Dia mulai menciumi pergelangan kakiku kemudian ciumannya perlahan naik hingga ke pahaku. Aku tersentak, tanganku mencengkeram batang headboard tempat tidur, napasku tersendat pada setiap ciuman posesif yang kuterima di kulit sensitifku. Lagi, mata kami terkunci dan aku mengerang memberitahunya betapa seksinya dia. Dia beringsut lebih dekat pada organ bocorku dan aku semakin terangsang ketika dia menciumnya yang sudah sangat keras.

"Aku merindukan rasamu yang begitu nikmat." Dia mengerang, mencium dan menjilat lebih banyak. Lidahnya berputar-putar di ujung sebelum dia melahap seluruh batangku ke dalam mulutnya. Aku merasa begitu dikuasai, tidak berdaya saat dia membawanya keluar masuk, semakin cepat dan semakin liar.

"Sehun!" Aku menjerit. "Sehun kumohon..."

Dia menanggapi permohonanku dan melepasku dari mulutnya. Mencium pahaku kembali, dia menurunkan kakiku ke bawah kemudian, dan meraih bibirku. Aku membuka mulut dan lidah kami saling membelit dalam permainan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk melepas kemeja basahnya dan dengan senang hati dia membantuku menyingkirkannya. Dia menciumi pipi dan telingaku sementara aku berusaha melepas celana jinsnya dari tubuhnya yang luar biasa dengan tanganku yang gemetar. Seluruh tubuhku berdenyut dengan begitu banyak keinginan, dikuasi oleh tubuhnya dan berkeinginan untuk berlindung di sana selama sisa hidupku. Otakku begitu lumpuh karena keinginan yang bahkan tidak aku sadari ketika dia berhasil meraih lube di tangannya.

"Cium aku." Dia menuntut, kemudian aku patuh melakukannya. Tangannya yang licin mencapai kerutanku dan aku merintih begitu jari-jarinya menembusku. Dia menyodokku dengan begitu lembut dan menggoda dan aku mengerang dalam ciuman dengan tubuhku yang gemetar begitu parah. Rasanya seperti aku mendapatkan stimulasi setelah sekian lama dan dia membuatku merasa jauh lebih sakit. Ini begitu tak tertahankan hingga aku takut akan klimaks dan tidak cukup membuatnya puas.

"Aku merindukan kehangatanmu." Bibirnya gemetar. "Panasmu membungkus penisku... Begitu tak tertahankan..." Dia menghentikan gerakan menyodoknya membuatku mengerang protes. Dia memberiku botol lube kemudian dan aku tahu aku harus mempersiapkannya. Aku menuang cairan licin itu di tanganku kemudian membuang botolnya, lantas menyambar kejantanannya. Aku merasa begitu gembira ketika mendapat balasan berupa erangan berantakannya yang menyebut namaku.

"Cepat... Lebih cepat..." Dia berbisik sementara aku memompanya.

Aku sungguh tidak sabar, menginginkan dia berada dalam diriku segera. Dia tampak digantung pada seutas benang juga dan aku ingin membuat kami berdua keluar dari penderitaan.

Ketika dia memasukiku, aku menjerit tanpa suara. Dia merenggangkanku begitu lebar dan meski kami menggunakan lube, aku masih bisa merasakan rasa sakitnya merobek tubuhku. Aku menatap matanya, begitu liar namun penuh kasih sayang pada saat bersamaan. Dia menjepit daguku di antara jari-jarinya kemudian menciumku dengan lembut, membuatku lupa akan rasa sakit ini dan aku membiarkannya mengalihkan pikiranku lebih jauh.

"Ini adalah apa yang akan paling aku rindukan." Dia terengah. "Berada dalam dirimu sementara menatap jauh ke dalam matamu yang cantik... Mengetahui bahwa selama beberapa menit berikutnya, tubuhku akan terperangkap oleh pesonamu...'

Genjotan dimulai; kata-katanya dan gairah mematikan membayangi pikiranku, menghalang setiap kilasan perasaan yang ingin terlepas. Di tengah musim dingin, api berkobar dan itu tidak lagi rasa hangat; itu siap membawa dunia terbakar dalam nyala api yang membara. Rasa dingin di musim dingin telah di lahap oleh api posesisif, dan semua yang kuinginkan hanya melambung dalam asapnya dan menyatu dengan udara. Tubuh kami saling menempel, bibir dengan berantakan berusaha saling memagut layaknya tarian menggoda dari bara api, hingga panasnya menelan kami sepenuhnya dan yang bisa kudengar hanyalah suara kami yang saling memanggil satu sama lain pada detik yang paling intim... Teriakan nama kami saling menyahut bersama dengan indah, merayakan klimaks dengan kami yang saling menatap jauh ke dalam mata satu sama lain.

Kami saling berpelukan, hangat dan nyaman. Kuhirup aroma rambutnya kemudian kucium keningnya, menikmati apa yang kuketahui adalah saat terakhir kami bersama.

"Aku takut." Dia berbisik. "Begitu kau pergi, apa yang akan terjadi denganku? Aku ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri tapi... Aku sudah begitu egois selama ini, aku ingin menuruti apa yang kau katakan..."

"Sehun-ah..." Aku mulai menangis.

"Selalu tersenyum untukku, Luhan," katanya, mencium pipiku. "Jika kau sedih aku pun akan sedih pula..."

"Maukah kau berjanji padaku juga, Sehun?" Aku bertanya dan senang ketika dia mengangkat pandangannya yang lelah untuk menatapku.

"Berjanjilah padaku, kau akan menemukan seseorang yang akan menemanimu..." bisikku, menyisir rambutnya dengan jari-jariku.

Matanya terpejam perlahan namun dia membukanya kembali beberapa detik kemudian. Itu basah dan yang bisa kulakukan hanya mencondongkan tubuhku ke depan kemudian menciumnya tepat di antara alis. Aku tahu dia ingin aku tinggal, karena itulah dia menjadi begitu putus asa bercinta denganku. Namun aku tidak bisa kembali dari titik ini. Aku tidak mengerti perasaan aneh ini, perasaan yang berkata padaku bahwa aku mencintainya seolah aku belum pernah sebelumnya mencintai seseorang dalam hidupku, namun juga sekaligus memperingatkanku untuk tidak kembali kepadanya. Aku merasa begitu lelah dengan segala pikiran yang membingungkan dan Sehun tampak seperti dia membutuhkan istirahat juga.

"Tutup matamu..." Aku berbisik padanya.

Aku tidak sadar kapan kami tertidur, dan aku merasa seperti aku belum pernah tidur senyenyak ini sebelumnya.


.


Aku meninggalkan tempat Sehun saat dia masih tidur. Itu sudah larut ketika aku sampai di rumah Baekhyun.

"Luhan!" Baekhyun memelukku begitu aku masuk.

"Baek..." Aku menatapnya dengan mata bengkak karena tangisanku sepanjang jalan menuju rumahnya. "Katakan kau baik-baik saja..."

Ibunya mempersilahkan aku masuk dan dia tidak tampak begitu senang. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi sejak beberapa hari lalu, aku melakukan percakapan normal dengan Baekhyun...

"Luhan, apa kau tahu...?" Ibunya bertanya ketika ayah Baek bergabung dengan kami.

"Tahu apa?" tanyaku, melihat kekecewaan di wajah mereka.

"Baekhyun, kami perlu bicara dengan Luhan, jadi pergilah," perintah tuan Byun dan akhirnya Baekhyun melepas pelukannya dan melangkah mundur.

Aku menyaksikan sahabatku gemetar takut. Matanya juga sangat merah dan aku merasakan dadaku menjadi lebih berat karena khawatir.

"Baekhyun memiliki pacar laki-laki," kata ibunya terisak. "Dan dia membawanya pada makan malam Natal! Apa kau tahu...bahwa anak kami tertarik pada pria?"

Oh sial... Mengapa Baekhyun melakukan itu? Mengapa Baekhyun tidak merahasiakannya?

Kedua orang tuanya memandangku lekat-lekat sementara aku tidak bisa berkutik berdiri di sana. Pantas saja Chanyeol panik karena nampaknya kedua orang tua Baekhyun sepenuhnya menentang gagasan tentang putra mereka yang berkencan dengan seorang pria.

Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana aku harus menjawab? Jika aku mengatakan ya, mereka pasti tidak akan membiarkan Baekhyun bergaul denganku lagi karena tahu bahwa aku telah mendukungnya dengan Chanyeol sejak hari di mana Baekhyun menceritakan padaku tentang prefensinya. Aku terkejut ketika itu tapi aku bahkan tidak pernah terpikirkan untuk meninggalkan sahabatku hanya karena siapa dia.

Mengatakan tidak maka berarti aku tidak pernah tahu apa yang dilakukan Baekhyun di belakang punggungku dan berarti pula aku tidak mendukungnya. Namun bagaimanapun, itu sepertinya satu-satunya opsi yang aman.

"Aku tidak tahu," jawabku, berusaha untuk tidak menatap Baekhyun. Aku mendengar embusan napas pelan dan sepertinya dia ingin aku mengatakan itu juga.

"Luhan." Tuan Byun melangkah maju. "Kami ingin kau bicara dengan putra kami dan menjelaskan padanya bahwa itu tidak pantas baginya untuk memiliki perasaan pada seorang pria,"

"Tapi—"

"Karena kau adalah sahabatnya, barangkali dia akan mendengarmu." Tuan Byun berkata dengan tegas. "Kau akan mengawasinya untuk memastikan dia tidak menemui pria itu lagi. Selamanya. Apa itu jelas, Luhan?'

"Ya," kataku, tegas. "Bolehkan aku bicara dengan Baekhyun secara pribadi?"

"Kalian bisa pergi ke kamar Baekhyun," kata Nyonya Byun sembari menyeka air matanya. "Aku akan memanggil kalian saat makan malam siap."

Aku membungkuk kemudian aku dan Baek pergi ke kamarnya dalam diam. Entah bagaimana kami berdua mulai menangis karena dua alasan yang berbeda.

"Ini hari yang mengerikan!" Aku terisak. Kami berusaha menenangkan diri agar bisa melakukan percakapan normal namun itu terlalu sulit untuk tidak menangis lagi.

Kami berbaring di tempat tidurnya, berpelukan dan berusaha mencari secercah harapan kecil yang tampak memudar setiap detiknya.

"Beri aku distraksi." Baekhyun memohon. "Ceritakan apa yang terjadi padamu dan Sehun."

"Tidak ada." Aku memejamkan mataku. "Kami... Tidak kembali bersama."

Baekhyun mendudukkan diri di tempat tidur, menatapku bingung.

"Tapi kau tinggal bersamanya selama seminggu." Dia tersentak. "Apa yang kalian lakukan?"

"Kami merayakan Natal." Aku berusaha tersenyum. "Menghabiskan waktu damai yang menyenangkan bersama dan membicarakan... Akhir..."

"Dan kalian berhubungan seks juga." Baekhyun menaikkan alisnya. Dia benar-benar tidak berhenti menggodaku tidak peduli meski berada dalam situasi apa dia. Tapi aku senang mengalihkan perhatiannya meski pun.

"Hanya sekali." Aku memerah.

Baekhyun terkekeh dan aku pun merasakan senyuman di bibirku.

"Kalian berdua gila," katanya, berbaring kembali di sampingku. "Kalian menghabiskan Natal seolah kalian berdua adalah pasangan dan kemudian hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengakhiri perasaan dari satu sama lain... Siapa manusia di dunia ini yang bahkan melakukan itu?"

"Kapan ada hal yang normal di antara kami memangnya?" gumamku dan Baekhyun menyetujuinya dengan tawa.

"Begitu menakjubkan rasanya berada bersamanya," renungku, menggenggam tangan Baekhyun. "Dan aku tidak akan pernah bisa mendapatkan kembali hari-hari itu..."

"Terlalu cepat untuk berasumsi demikian," kata Baek, mengacak rambutku.


.


"Boys, apa kalian sudah siap?" Ibu Baekhyun memanggil kami. Itu adalah malam tahun baru dan kami hendak menonton kembang api di tepi sungai. Sulit meyakinkan orang tua Baekhyun untuk membiarkan kami keluar dari pengawasan mereka. Baik aku mau pun Baekhyun merasa tercekik, namun kami memutuskan bahwa ini bukan saatnya bagi kami untuk melakukan tindakan gegabah. Akan tiba waktunya kelak untuk kami memperjuangkan apa yang kami inginkan di dunia ini dan untuk saat ini, kami hanya ingin menikmati apa yang kami tahu adalah akhir dari hari-hari damai dalam hidup kami.

Tepi sungai dipenuhi orang-orang yang semuanya mengantisipasi pertunjukan kembang api yang brilian. Baekhyun dan aku berpegangan tangan erat menembus kerumunan untuk sampai ke depan sehingga kami bisa mendapatkan pemandangan langit yang tidak terhalang. Orang tuanya berada tepat di belakang kami jadi kami harus berhati hati dengan apa yang kami bicarakan. Itu tidak terlalu buruk meski pun. Sekali pun udara begitu dingin dan kami berdua merasa sangat kesepian, setidaknya kami masih saling memiliki satu sama lain. Aku berharap dengan segenap hatiku bahwa sahabatku akan keluar dari situasi ini tanpa kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya...

Tepat pukul dua belas tengah malam, kembang api meluncur ke langit. Kami berdiri di sana dengan takjub, menyaksikan cahaya yang membentuk pola indah dan membuat kami melupakan kekhawatiran kami untuk beberapa saat. Jari-jari kami bertaut lebih erat sementara kami saling berjanji. Tahun depan akan menjadi bencana, kami bukan lagi anak kecil naif yang berasumsi bahwa segalanya akan sesuai dengan keinginan kami. Kami akan membutuhkan semua kekuatan agar kami bisa bertahan...

Kemudian lagi suatu hari nanti barangkali kami akan menemukan apa yang kami cari atau barangkali juga kami malah akan menemukan sesuatu yang lebih baik dari yang kami pikir pantas untuk kami dapatkan...


.


Fiuhhh

.

520!