Saya itu kalau minta hiatus nggak sampe sebulan kok, bisa dibilang ini late update.

Harusnya, minggu kemaren saya bisa update. Tapii, ibu saya ngekspor saya sama adik-adik saya ke Subang sampe 5 hari, tanpa INTERTEEEET!

Nah, saya di sini minjem laptop punya om saya, terus ketik ulang sesuai ingatan dari komputer di rumah saya. Ditambah harus minta hotspot tante juga ;-;)

Kalau soal judul webtoon ada di akhir chapter beserta pengumuman untuk chapter selanjutnya!

Anyway, kita balik aja ke cerita. Silakan warning dan kontennya diperhatikan dulu~

Warning and content for this chapter: OOCs, Typos, rude languages, selera humor saya lagi nurun, garing, imajinasi saya lagi mentok, drama mendominasi, flashback Suga.

...

This is Not Like You Think!

...

Chapter – 7: Kembali

"SUGAAAAAAAAA!"

Para anggota geng 7 mengambil langkah mundur dengan kaki yang gemetaran. Mereka tidak tahu jika tindakan mereka akan melesat keluar batas seperti ini. Setelah J melepas tongkat bisbolnya, mereka pun lari, kabur, meninggalkan Daichi yang shock, dan Sugawara yang tergeletak begitu saja.

Daichi merangkak dengan luka-luka di tubuhnya. Tangannya bergetar, mencoba memegang paras lelaki kelabu yang setengah hancur.

"Suga, Suga... bangun, Suga... b-bangun..." Ia menggoyangkan tubuh pucat Sugawara, berharap lelaki itu masih sadar dan sedikit bergerak.

Ingatan horror itu kembali menjumpai Daichi seakan-akan tubuh Suga itu kembali menjadi sosok teman pertamanya, Moniwa Kaname. Bayangan orang-orang dari SD sampai SMP itu kembali lagi, mulai tertawa dan mengejek-ejek. Berbisik, menatap jijik, dan menunjuk-nunjuk dengan penuh sorak.

"BANGS*T!"

Menyadari apa yang dilakukannya itu percuma, Daichi menggaruk-garuk kepalanya dengan keras. "Halo? Halo?! Di sini ada orang?! Ada orang nggak?!"

Kepalanya menoleh kesana dan kemari. Namun, ia tidak melihat satu batang hidung seseorangpun di sekitarnya. Berhubungan badannya juga terluka, ia tidak mungkin bisa berlari-lari keliling sekolah untuk mencari seseorang.

Kemudian, suatu ingatan terlintas di kepalanya.

Asahi!

Daichi langsung merogoh ponselnya di saku, dan mengetuk-ketuk layar ponselnya. Lelaki cepak itu terus menggumamkan nama itu. Dilihatnya kontak bernama Azumane Asahi, Daichi langsung meneleponnya.

"Angkat, angkat...!"

...

Semenara itu di kediaman Keluarga Azumane, Asahi sedang memakan chikinya sambil menonton TV dengan badan yang disengajakan merosot dari sofa.

Beberapa menit kemudian, ponsel di mejanya berdering. "Geh, siapa sih yang nelepon pas lagi pw sama mager gini?" Gerutu Asahi sambil mengambil ponselnya.

Ketika ia melihat layar ponselnya, Asahi mengangkat kedua alisnya.

"Eh, Dai. Kamu udah baikan sama Suga?"

"A-Asahi, untung kamu angkat teleponnya..."

"Eh, napa kamu? Suaranya pucet amat..."

"Asahi... tolong..." Suara Daichi di sana seperti ingin menangis. "Suga... Suga...!"

Asahi yang sedang menggaruk perutnya itu langsung diam. Cepat-cepat ia turun dari lantai dua dengan tangga, mencari sosok ayahnya. "Babeh! Babeh! BEH!"

"Kyaaa Asahi! Ningrat dikit manggilnya dong, jangan kampungan plis!" Ayahnya yang saat itu memakai kaos oblong pun uring-uringan. Asahi yang panik menghembuskan napasnya dengan stress. "Daddy!"

"Iya, anak kandungku?"

Asahi menghiraukan sembelit yang datang dengan tiba-tiba. "Daddy, ini beneran! Tolong telepon ambulans ke sekolah!"

Parut wajah ayahnya mendatar. "Kamu mau buat prank?"

"Dad, aku serius! Pelipisnya Suga pecah!"

"APA?!" ayahnya melepas gelas plastiknya dengan kaget.

"AAA BABEH BANYAK MAIN SINETRON! CEPET TELEPON!"

"Iya iya! Cepet ambil hpnya!"

-TINLYT!-

Kemudian, ambulans datang ke SMA Karasuno. Para petugas di sana mengangkut tubuh lemahnya Sugawara ke dalam mobil, sedangkan Daichi harus diberi pertolongan pertama terlebih dahulu.

Asahi terlihat shock setelah ia benar-benar melihat apa yang dikatakan Daichi di telepon, melihat betapa banyaknya darah yang terciprat dan menggenang di sana.

Rumah sakit di sana tidak terlalu penuh akan pasien saat itu. Sugawara langsung ditujukan ke ruang UGD, dan Daichi diobati di ruang pengobatan bersama Asahi yang menemani.

"Memar-memar di seluruh badan, itu cukup membuat kerusakan fisik untuk tubuh seusia dirimu, Sakamoto-kun." Dokter yang bausan merawatnya berkata, menyadarkan Daichi yang menatap kosong.

"Keliatannya kamu sering dibully, ya. Nanti habis ini kamu harus hati-hati dengan pergaulan." Ujar dokter itu dengan penuh senyuman.

Daichi sedikit mengangguk. "Iya, dok..."

Dokter itu terkekeh. "Kamu temannya pasien yang barusan masuk ke UGD itu, kan?"

Daichi menatap dokternya penasaran. "Iya. Memangnya kenapa, bu?"

Dokternya terkikik. "Baru kali ini saya liat ada orang yang berani taruh nyawanya demi seseorang."

Asahi ikutan nimprung. "Bu dokter tau darimana?"

Dokter itu masih tersenyum. "Kondisi kalian juga sudah gampang terbaca kok. Pasti pasien itu bener-bener sayang sama kamu."

Seketika pipi Daichi menghangat, buru-buru dia langsung memalingkan pandangannya. "I-itu bukan apa-apa."

Asahi hanya menahan senyumnya yang ingin menggoda Daichi. Duh, romansa yang baru berbunga-bunga…

Setelah itu, lelaki yang dibaluti perban itu duduk di kursi tunggu depan ruang UGD setelah dokter memberinya nasehat. Namun, tetap saja. Tatapannya kembali kosong, Daichi bersandar di kursi dengan hampa seperti tidak ada harapan lagi di dunia ini.

Asahi berdiri di lorong, menatap iba teman sekelasnya. Perlahan kakinya melangkah mendekati pemuda yang diselimuti perban itu, lalu duduk di sebelahnya.

Lelaki dengan badan lebih besar itu mendesah napasnya. Tidak tahu darimana dia harus memulai pembicaraanya.

"Em... apa yang kamu pikirin sekarang, Dai?" Oh, itu memang pertanyaan yang sangat aneh.

Daichi menoleh ke Asahi dengan pandangan tidak suka. "Kobe[1] kamu Sah. Emangnya mau mikir apa lagi selain Suga?" Tangan kirinya yang masih terbebas mencengkeram kerah baju Asahi, walaupun tidak sekuat saat jam istirahat itu.

"Yaiyalah aku lagi mikirin dia! Ada berapa banyak masalah yang dia punya?! Pertama, dia ngaku dia bunuh kakaknya sendiri. Kedua, ada luka patah tulang di tangan kirinya. Terus apa yang ngebuat ayahnya benci banget sama dia?! Karena Suga udah bunuh kakaknya? Kenapa dia bunuh kakaknya?! Sialan!" Geram Daichi kecil dengan nada frustasi.

Matanya menyorotkan kesedihan yang dalam, seperti trauma dulu yang telah kembali ke hadapannya. "Kamu temen deketnya kan? Sahabatnya kan? Kamu pasti tau kan?! Kalo tau, cepet bilang! Udah nggak ada harapan lagi aku ada di sini!"

Asahi sedikit terkesiap melihat Daichi. Baru kali ini dia membuyarkan seluruh ekspresinya selain cuek dan acuh tak acuh.

Dia memegang tangan kiri Daichi, menurunkan tangannya agar lelaki cepak itu tidak menengkeramnya. "Aku tau masalahnya." Kata Asahi, sambil tersenyum lembut ke Daichi. "Semua masalahnya."

Daichi langsung melotot, membuat Asahi tertawa. "Iya, aku bakal ceritain kok. 'kan Suga sayang sama kamu, jadi dia pasti bakalan izinin aku cerita tentang dia."

"Berisik dah."

-TINLYT!-

"Kakaknya Suga, Sugawara Seiji-san, orangnya itu pinter banget." Asahi mengawali, sambil memainkan jarinya. "Nilai kelulusan SMA-nya itu bisa dibilang yang tertinggi se-Hokkaido. Lulus kuliahnya juga cepet banget, dia kuliah di kedokteran cuma 2 tahun."

Daichi mengangguk-angguk, tiga hari yang lalu dia dengar itu dari ayahnya Sugawara yang mampir.

Asahi melanjutkan, "Mereka berdua beda kurang lebih 5 tahun. Terus Suga seneng banget punya kakak kaya Seiji-san. Dan gara-gara Seiji-san, dia pernah jadi juara umum di olimpiade fisika."

"Dia pinter banget," komentar Daichi. Asahi membalasnya dengan senyuman. "Itu semua berjalan dengan baik sampe beberapa hari setelah Seiji-san wisuda..."

~Flashback~

3 tahun yang lalu...

"Kamu mau masuk klub volley?" Tanya ayah sembari meminum kopinya, melihat ke Sugawara kecil yang masih berumur 14 tahun. Sugawara mengangguk, penuh dengan kepercayaan diri. Ayah hanya memandang anak keduanya dengan acuh tak acuh.

"Tidak usah. Itu tidak berguna. Kamu cuma ngabisin waktu buat lempar-lempar bola aja."

Sugawara mengerutkan keningnya. "Yah, volley itu olah raga, bukan cuman main-main aja!"

"Kamu itu lahir di keluarga kedokteran, Koushi. Terus kalo kamu ikut klub volley, penghargaan fisika kamu mau dikemanain?!" Suara ayahnya meningi, tapi Sugawara tetap saja keras kepala.

"Tapi aku ga ada niatan jadi dokter! Sei-nii kan udah jadi calon dokter! Kalo gitu aku terserah kan mau jadi apa aja? Apa ayah maniak dokter sampe semua anaknya sendiri dipaksa jadi dokter?!"

"KOUSHI!" Ayahnya mulai membentak Sugawara, hingga kopi yang ada di dalam gelas itu setengah tumpah. Yang dibentak tersentak, mundur beberapa langkah karena kaget.

Ayah menatap tajam langsung ke kedua bola mata Sugawara. "Kamu bisa dibilang aib keluarga nanti kalau masuk klub volley." Ayahnya berkata. "Kamu mau dicoret dari kartu keluarga?!"

"Sayang, jangan terlalu kasar ke Koushi! Dia belum sebesar Seiji, jangan dibentak seperti itu!" Sela ibu sambil memegang kedua pundak ayah. Sorot mata ayah mulai menenang saat ibu berada di sampingnya. "Umur nggak pengaruh, dia itu laki-laki. Pantas untuk diperlakukan dengan kasar."

Mendengar ayahnya berkata seperti itu, Sugawara naik pitam. Amarahnya sudah ditahan lagi. Dia ingin bebas, bukannya bekerja seperti robot. "AYAH AJA UDAH NGGAK NGANGGAP AKU SEBAGAI ANAKNYA SENDIRI! CORET AJA SEKALIAN! LAGIAN AKU TETEP GAK AKAN MAU JADI DOKTER!" Sugawara berteriak, lalu belari keluar rumah.

Seiji yang sedang menonton televisi merasa bingung saat Sugawara membanting pintu ruang tamu. Dia pun pergi ke ruang makan, melihat orangtuanya yang tidak begitu bahagia. "Kenapa Koushi keluar rumah malem-malem begini? Udah jam 11 malem lho…" Seiji dengan suara beratnya berbicara.

"Itu bukan urusanmu, Sei. Kamu fokus aja ke pekerjaanmu nanti." Ujar ayah sambil mengelap tumpahan kopinya.

Anak sulung dari keluarga Sugawara itu mengerutkan dahinya. "Aku susul ya."

"Nggak usah, Seiji! Nanti dia juga pulang kok!" Seru ibu sambil sedikit berlari kecil ke Seiji.

Pemuda itu tersenyum. "Nggak apa-apa kok ma, aku cuma cek Koushi apa dia baik-baik aja atau nggak."

...

Di lereng Gunung Kitahiroshima, sebuah sepeda tua bersandar ke bebatuan besar di pinggir jalan setapak. Sugawara berjongkok di dekat sisi jurang yang cukup curam. Dia di sana memeluk kedua lututnya sembari menatap air terjun yang hanya telihat dari cahaya bulan.

"... Mendingan nggak usah dilahirin aja dari awal." Gerutunya menahan tangis.

"Koushi!"

Mendengar suara itu, Sugawara langsung menoleh. Dilihatnya kakak, sedang menaiki sepeda sambil melambaikan tangannya. "Sei-nii!" Serunya, sambil bergerak cepat agar Sugawara bisa menghampiri sosok itu.

Tapi, karena tanahnya licin akibat hujan, kaki Sugawara terpeleset hingga badannya ikut tergelincir.

"KOU—!"

~Flashback end~

"Untungnya, Seiji-san langsung memegang tangan kanan Suga. Seiji-san berhasil nyelamatin Suga, tapi dia nggak sempet nyelamatin dirinya sendiri." Jelas Asahi sambil menatap lantai dengan lesu. "Sehabis ayahnya Suga tau, ayahnya murka banget ke Suga."

"... Terus matahin tangan kiri Suga biar dia nggak bisa main volley, dan suruh Suga biar gantiin posisinya Seiji-san." Asahi menghembuskan napasnya. "Untung aja Suga itu pinter. Kalau nggak, mungkin aja kedua tangan Suga udah patah." Asahi menutup ceritanya.

Lorong yang Daichi dan Asahi diami itu hanya memunculkan suara-suara langkah kaki orang-orang yang hendak menjenguk pasien lain.

Daichi terdiam. "Jadi, maksudnya dia nggak ngebunuh kakaknya?"

Asahi mengangguk. "Fakta aslinya, Seiji-san wafat gara-gara nolongin Suga." Jelasnya. "Tapi karena tingkat depresi Suga tinggi, dia sering ngaku kalo dia yang ngebunuh kakaknya sendiri, atau meninggal gara-gara kecerobohannya. Sebagian siswa sekolah ngucilin dia, ngejek-ngejek dia ngebunuh kakak sendiri, pembunuh, adik durhaka, sama sebangsanya. Tapi Suga cuek-cuek aja."

Setelah mendengar penjelasan Asahi, Daichi menyenderkan tubuhnya ke dinding. Dia mengerang. "… Semua ini salahku."

"Ini emang salah kamu, Dai!"

Lelaki cepak itu sedikit tersentak. "Aku kira kalo ada orang yang bilang kaya gitu, kamu bakalan nenangin dia."

Asahi mengerutkan dahinya. "Aku juga nggak sebaik itu kali! Kamu udah ngebuat pertolongan Seiji-san jadi sia-sia! Kalo kamu nggak berantem aja sama anak Shiratorizawa sama Aoba Johsai, mungkin aja kamu sama Suga nggak akan jadi kaya gini!"

"Kamu tau darimana aku berantem?!"

"Ya dari rumor-rumor sama Suga lah!"

Daichi membelalakkan matanya saat melihat Asahi berseru kepadanya. Suaranya menggaung ke seluruh ruangan, beberapa orang yang ada di sana sekilas menoleh ke mereka berdua.

"Oke, oke." Daichi menenangkan Asahi. "Suaramu itu terlalu keras. Inget, ini masih ada di rumah sakit."

Asahi mengerjapkan matanya, lalu terkekeh sambil menggaruk tengkuknya dengan kikuk. Daichi tersenyum kecil, lalu menatap pintu ruang UGD lagi.

"…"

Ah, dia rindu musik sekarang… Kira-kira, lagu apa yang bagus untuk dimainkan sekarang? Sad Song? Lagu penyesalan? Atau lagu rindu?

Mungkin lagu rindu lebih enak buat didengar.—Batin Daichi. Ya, dia benar-benar ingin melihat wajah Sugawara sekarang. Yang tersenyum, bukan yang terkotori oleh darah. Yang tertawa, bukan yang dipenuhi dengan amarah.

Dia ingin melihat wajah Sugawara yang manis. Sialan, perasaan apa yang merasuki pikiran Daichi?

Sugawara Koushi yang hebat.

Sugawara Koushi yang berjuang seorang diri.

Sugawara Koushi yang berbeda.

Sugawara Koushi yang kesepian.

Sugawara Koushi yang spesial.

Begitu banyak hal yang tak bisa Daichi sebutkan satu-persatu di dalam remaja lekaki itu yang mampu membuatnya terbuka dan melihat betapa luasnya kehidupan di dunia ini. Sugawara telah berjalan di sebuah tali yang diikatkan ke kedua ujung jurang begitu lama, dan kehilangan keseimbangannya sampai terjatuh ketika bertemu dengan Daichi.

Ah…

Sugawara Koushi-nya yang manis.

Daichi tersadar dari renungannya saat ponselnya berbunyi. "Hm, siapa tuh, Dai?" Tanya Asahi menoleh ke Daichi yang menatap layar ponselnya. "… Cuma temen hangout di Tokyo." Jawab Daichi sambil berdiri.

"Sah, aku ijin keluar dulu ya."

"Ya, sok aja."

"Oi, Dai, lo lagi dimana sekarang? Gua ama Bokuto mau caw ke Osaka. Lo mau ikut ga?" Tanya Kuroo dari ponsel. Daichi yang duduk di depan taman rumah sakit itu menjawab. "Hehe, mau sih, tapi gua gaada waktu."

"Halah. Waktu adalah uang, bro. Lo gaada waktu berarti lagi gaada uang yak?"

"Hush, ini beneran. Gua lagi ada di daerah Hokkaido. Gabisa ke sana."

Suara sorakan pun terdengar dari ponsel Daichi. "Anj***t Dai! Lo ke Hokkaido gak bilang-bilang dah!"

"Lo nggak liat berita kalo gua hiatus sampe 3 bulan?"

"Oh iya, hehe, lupa."

"Haish. Yaudah lah. Lo aja sama Bokuto duaan ke Osakanya, jangan lupa kasih gua oleh-oleh ya."

"Okelah, ntar gua pc-pc lo mau apa. Lo juga bawa something-something yak dari Hokkaido ke kita-kita!"

"Ya, ya." Kata Daichi sambil menutup teleponnya. Dia menghembuskan napasnya, bosan. Daichi mengetuk-ketuk layar ponselnya dengan malas. Oh iya. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ukai sekarang?

"Ah, palingan dia hura-hura di apartemen sana." Gumam Daichi acuh tak acuh.

"Siapa bilang cuma hura-hura?"

Daichi hampir tersedak dengan air ludahnya sendiri. "Ukai-san, kok ada di—?!" Ukai yang bersandar di dinding itu mengerutkan dahinya. "Yaiyalah aku ada di sini. Emangnya aku gatau apa yang kamu lakuin di sini?"

Ukai berjalan hingga Daichi dan dirinya saling berhadapan. "Baru aja ditinggal seminggu, kamu udah buat masalah lagi. Haduh…" Daichi menunduk, siap mendengarkan omelan-omelan dari managernya. Ia tahu semua ini salahnya. Dan blah blah blah, dia sudah tidak peduli lagi.

"… ayo, kita balik ke Tokyo."

Daichi tiba-tiba tidak bernapas, tersentak dan langsung melihat Ukai dengan tatapan tidak percaya. Ukai di sana hanya sedikit tersenyum. "Aku tau, sebenernya kamu diem di sini selama 3 bulan itu ide yang aneh. Jadi, sekarang…"

"… Ayo kembali ke Tokyo. Jadi Sawamura Daichi lagi."

Bersambung…

This is Not Like You Think!

A/N:

[1]: Kobe = Kokolot Begog, artinya Pikiran tua dalam bahasa Sunda aku-ke-teman.

Judul Webtoon: Layang-layang

Link: www. webtoons id/challenge/layang-layang/list?title_no=81636

Alur cerita utamanya hampir sama persis sama cerita ini, cuma diganti orang-orangnya sama beberapa adegan. Kalo pingin liat prosesnya, silakan liat di Instagram, ID: alyasawi_

Next chapter itu… entahlah. Mungkin lebih mencondong ke masalah Daichi. Update juga ga nentu, mungkin 2 minggu lagi…

Maafkan saya, chapter sekarang lebih pendek dari biasanya.

Thanks To: Vie Amaru, Lean Aviliansa, dan Hades DD yang sudah me-review chapter sebelumnya…

Kritik dan saran saya terima di review, ya…

Maafkan saya.