Disclaimer: I don't own Naruto. I wish I did. But I don't. Masashi Kisimoto does. I don't take any profit from this fic.
Warning: profanity
Note(s): hanya untuk meperjelas (dan karena ada yang bertanya), di sini Sakura berusia 23 tahun, Kakashi dan Shizune 33 tahun, Genma 36 tahun, Mei 38 tahun dan Tsunade 42 tahun. Dan maaf juga saya bikin error, ternyata masa residensi untuk dokter di Jepang itu hanya dua tahun. Jadi seseorang baru bisa dipanggil dokter jika sudah sekolah kedokteran selama 6 tahun (kira-kira 4 tahun pematangan materi dan 2 tahun praktik) dan menyelesaikan internship/residensi di bagian mana pun yang diinginkan di rumah sakit. Setelah itu jika ingin mendapat lisensi mereka harus mengikuti ujian dari pemerintah, dan jika ingin mengambil spesialisasi mereka bisa melanjutkan sekolah lagi selama 4-5 tahun.
Selamat membaca xD
Sakura Haruno bukanlah orang yang bisa kau lihat sekilas kemudian abaikan, pikir Tsunade. Ia cerdas dan penyabar, teliti dan hati-hati, ia tahu jika ia tidak mengetahui segalanya dan pikirannya selalu terbuka kepada hal baru. Ia pekerja keras dan penuh determinasi. Ia tidak mudah menyerah.
Ia langsung diterima di Universitas Miyazaki begitu lulus sekolah menengah atas, menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lima tahun (setahun lebih cepat daripada mahasiswa yang tidak pernah mengulang kelas) dan selalu menempati peringkat pertama di kelasnya. Skor nasionalnya pun selalu bagus. Ia satu-satunya aplikan yang memenuhi standar untuk semua program residensi di rumah sakit, termasuk bagian radiologi yang terkenal ketat dan tidak menerima sembarang lulusan mahasiswa kedokteran.
Jadi mengapa ia memilih Instalasai Gawat Darurat untuk program residensinya? Kenapa ia hanya menarget lisensi untuk menjadi dokter umum supaya bisa membuka klinik kecil di daerah sepi? Bukan berarti Tsunade meremehkan dokter umum, tetapi Sakura mempunyai potensi dan Tsunade tidak percaya jika menjadi dokter umum adalah ujung dari potensinya. Ia bisa melakukan yang lebih baik, dan Tsunade berfirasat jika Sakura sendiri merasa seperti itu. Tetapi sesuatu menahannya. Tsunade tidak tahu apa, dan ia tidak tahu bagaimana cara supaya ia bisa mengetahuinya. Tetapi jika melihat bagaimana caranya Sakura bekerja di IGD, hampir terlihat obsesif, Tsunade mempunyai kesan jika itu adalah sebuah pengalihan. Sakura melarikan diri dari sesuatu dengan mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk bekerja di IGD. Ia tidak pernah mengambil cuti. Ia dengan senang hati mengisi tempat dokter jaga yang lain dan bisa bekerja 3x24 jam tanpa berhenti.
Tsunade tahu soal permasalahan kehidupan asmaranya dari Shizune, tetapi Tsunade tidak yakin jika itu satu-satunya faktor yang membuat Sakura tidak mau berkembang. Ia merasakan sesuatu yang lebih dalam, lebih tua, mungkin juga akar dari kurangnya ambisi dan rasa percaya diri dalam dirinya. Tetapi sekali lagi, Tsunade tidak tahu apa persisnya. Dan walaupun ingin, ia tidak bisa begitu saja mempsikoanalisa dokter muda di bawah pengawasannya. Hubungan mereka hanya sebatas profesionalisme. Dia bukan murid Tsunade, bukan pula temannya. Ia takut melewati batas dengan memaksa Sakura membuka dirinya.
Tetapi Tsunade peduli kepadanya, sangat. Jadi ketika Shizune membuat rencana untuk mencomblangkan Sakura dengan Kakashi, Tsunade mendukungnya. Mungkin jika seseorang bisa membuatnya merasa bahagia, Sakura bisa memahami dirinya dengan lebih jernih, dan Tsunade tidak bisa memikirkan orang lain untuk peran itu selain Kakashi, seseorang dengan kehidupan asmara yang tidak lebih baik dari Sakura setelah pertunangannya sebelum ini gagal. Mereka sama-sama masih muda—yah, mungkin Kakashi tidak semuda itu, tetapi jika dibandingkan dengan Tsunade ia tidak bisa disebut tua—dan segala hal masih mungkin bagi keduanya. Masih terlalu dini bagi mereka untuk menutup hati dan memandang dunia dengan pahit. Masih terlalu dini bagi mereka untuk menjadi sepertinya.
Tadi sore ketika Tsunade menelepon Shizune dan memberitahunya tentang Sakura dan Kakashi beserta kejadian yang membuat mereka dekat, Shizune sama bersemangatnya dengannya. Sepertinya sesuatu yang lebih berkuasa di atas sana mendahului dan mengambil alih pekerjaan mereka untuk mendekatkan Sakura dan Kakashi. Dan jika mengingat bagaimana cara mereka menatap satu sama lain, sepertinya ia dan Shizune tidak akan ikut campur lebih dalam.
Tsunade menyeringai.
Tetapi ia tetap membutuhkan rencana B jika hal-hal yang terjadi nanti tidak sejalan dengan apa yang ia harapkan. Ia menutup cetakan skripsi berjudul 'DNA Mitokondrial dalam Reperfusi-Iskhemia Jantung' yang ia cetak diam-diam dari file milik Sakura, menaruhnya ke dalam laci nakas di samping tempat tidurnya, kemudian mengambil ponsel dan menghubungkan dirinya dengan nomor seseorang.
"Halo, Shikaku. Ini aku," katanya, ketika nada tunggu sambungan berakhir dan seseorang menjawab panggilannya.
Tidak ada banyak hal yang bisa membuat Sakura takut di dunia ini. Ia tidak menjerit ketika menonton film horor, tidak panik ketika melihat darah, tidak memiliki fobia apa pun yang bisa membuat hidupnya sulit. Ia tidak bisa berenang tetapi bukan berarti ia takut air. Ibunya terkadang bisa menjadi sangat menakutkan jika sedang marah, tetapi itu tidak membuatnya merasa dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki seperti saat ini.
"Ah, ternyata ini benar kau, Sakura. Kebetulan sekali."
Napas Sakura tercekat dan suara yang ia keluarkan terasa mencekam. "Kabuto-senpai?"
Pria berambut putih dengan kacamata bundar itu tersenyum. "Aku mencarimu, Sakura. Tadinya aku ingin ke apartemenmu. Aku tidak menyangka akan menemukanmu di sini."
Sakura meng embuskan napas panjang, berusaha mengomando tubuhnya kembali, setelah itu mendesis rendah, "Kau mencariku, Senpai? Kenapa? Bukannya kita sudah selesai ketika kau berkata tidak ingin berurusan denganku lagi delapan bulan yang lalu? Ketika kau memberitahuku kita tidak berjalan sebagaimana mestinya?" Semua ketakutan Sakura kini bertransformasi sepenuhnya menjadi amarah dan kepahitan. "Ketika kau berkata jika kau menemukan perempuan lain yang tidak cerewet sepertiku?"
Ia bisa melihat Kabuto mati-matian mempertahankan sikap tidak terpengaruhnya. "Sakura, tenanglah."
Sakura meludahkan responsnya seolah mulutnya penuh racun. "Aku baru akan tenang jika kau menyingkir dari hadapanku, Senpai."
"Aku hanya ingin bicara." Kabuto mencubit pangkal hidungnya. "Kumohon?"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," tegas Sakura, rahangnya mengeras. "Aku tidak mau bicara denganmu lagi. Kau bisa kembali kepada pacara barumu dan minum hingga liver-mu hancur, Senpai. Aku tidak peduli."
Sakura berbalik dan mulai mengambil langkah untuk menuruni tangga ketika Kabuto berkata, "Aku menyesal, Sakura."
Dan Kabuto terdengar serius dengan ucapannya. Sakura berhenti.
"Mari cari tempat yang lebih tenang, oke? Kita jadi tontonan orang sekarang."
Mereka keluar dari statsiun dan mulai meniti trotoar, Sakura berjalan beberapa langkah di belakang Kabuto sambil memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Mereka kini melewati minimarket tempat Sakura belanja kemarin, kemudian masuk ke taman di mana ia bertemu dengan Naruto, juga kemarin. Sakura mengerutkan dahi ketika Kabuto menunjuk bangku di samping kolam pasir, tetapi mengikutinya tanpa berkata sepatah kata pun. Ia tidak mengerti mengapa ia bersedia mengikuti keinginan Kabuto, tidak tahu apa yang ia cari darinya. Rasanya sakit berada di dekat Kabuto, tetapi ia tidak bisa berpaling.
"Sakura, duduklah."
"Tidak." Ia menyilangkan lengan di dada, barang bawaannya ia taruh di samping kakinya. "Mari buat ini cepat, Senpai. Aku tidak punya banyak waktu."
Kabuto tahu waktu ketika ia tidak bisa memaksa. "Bagaimana kabarmu? Aku dengar kau sedang mengambil masa intern di rumah sakit Konoha?"
Sakura mengangguk. "Sesuatu yang seharusnya kaulakukan juga, Senpai, jika saja kau tidak terlalu peduli dengan minuman-minumanmu, jika saja kau tidak terlalu terobsesi untuk menghancurkan tubuhmu sendiri." Sakura menatapnya pahit. "Kau tidak selalu seperti ini, Senpai."
"Aku tahu, dan karena itu aku ingin berubah. Aku akan berhenti minum." Sakura pasti akan mempercayainya jika ia tidak mencium aroma tajam alkohol menguar dari mulutnya, jika saja ia tidak mendengar janji kosong itu berkali-kali di masa lalu. Ia mendengus. "Aku akan berhenti minum untukmu."
Sakura tertawa, tidak terdengar humor di sana sedikit pun. "Apa yang terjadi dengan pacar barumu, Senpai? Dia lebih cerewet dariku?"
Kabuto mengembuskan napas frustrasi. "Tolong jangan bersikap sulit seperti ini, Sakura."
Kata-kata itu mengembalikan amarah Sakura dengan kekuatan penuh. "Lalu apa yang kauharapkan, Senpai? Aku berlutut dan memohon agar kau mau menerimaku lagi?"
"Aku ingin kesempatan kedua."
Sakura memejamkan mata. "Kau sudah kehilangan kesempatan keduamu dulu."
"Kalau begitu kesempatan yang lain?"
Sakura mengerang. "Tidak. Tidak ada kesempatan yang lain juga."
Kabuto memberinya tatapan memelas yang menyedihkan. "Tidakkah kau mencintaiku, Sakura?"
"Aku mencintaimu, Senpai. Seharusnya kau tahu itu, kau terlalu larut dengan minuman-minumanmu sehingga tidak menyadarinya," jawab sakura lirih.
"Lalu mengapa kita tidak mencoba lagi?"
"Karena, Senpai," rahang Sakura mengetat, "kita akan kembali kepada siklus yang dulu. Kau tidak akan bisa lepas dari alkoholmu, dan aku akan menderita, dan kita akan saling menyakiti satu sama lain sampai kita berdua sama-sama hancur. Dan jika itu sampai terjadi lagi, kita akan saling membenci. Dan aku tidak menginginkan itu. Aku sangat mengagumimu, Senpai. Kau adalah seniorku di universitas dan calon dokter yang begitu hebat. Setidaknya aku ingin mempertahankan bayanganmu yang seperti itu, bayangan dari pria yang kucintai. Kau bukan lagi orang itu, Senpai."
Kabuto terdiam untuk beberapa saat, Sakura tidak bisa membaca raut wajahnya. Tetapi kemudian ia memegang kepalanya dengan kedua tangan dan berkata pilu, "Kau sangat kejam, Sakura. Sangat-sangat kejam."
Sakura menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Maafkan aku, Senpai. Aku tidak bisa memberi kita kesempatan kedua. Aku sangat lelah."
"Apakah ada orang lain?"
Sakura ingin sekali membenturkan kepala Kabuto ke aspal. "Itu bukan urusanmu, Senpai."
Kemudian Kabuto menyeringai, kejam dan bengis dan membuat Sakura bertanya kembali mengapa ia bersedia mengikuti pria ini. Sakura merasakan ketakutannya kembali. "Tidak ada, bukan? Aku tahu itu. Tidak akan ada laki-laki yang ingin mendekatimu, Sakura. Tidak ketika kau tidak bisa memberi apa yang mereka inginkan. Tidak ketika kau mempunyai sensori seresponsif batu. Tidak ketika kau adalah seorang frigid."
Sakura merasa cukup. "Selamat tinggal, Senpai!" katanya muak. "Pergilah ke neraka dan jangan kembali lagi!" Ia sudah berbalik untuk meninggalkan tempat itu, untuk meninggalkan Kabuto selamanya, tetapi kemudian Kabuto mencengkram sikutnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat Sakura terkesiap. Ia yakin bagian itu akan memar besok. "What the Hell?!" Sakura mendesis. "Lepaskan aku atau aku teriak!"
"Kita belum selesai bicara, dasar wanita jalang!" Kabuto menggeram, dan Sakura bisa mendengar hatinya hancur berkeping-keping. "Kau pikir kau bisa pergi begitu saja dariku?" Cengkramannya di sikut sakura menguat, dan Sakura mulai merintih. "Jangan bercanda denganku, Sakura!"
"Kau gila!" Sakura melihat ke sekelilingnya dengan panik, ia tidak melihat ada orang lain selain mereka. "Lepaskan aku! Kau menyakitiku, Senpai!"
"Aku tidak akan melepaskanmu!" Kabuto menariknya lebih dekat ke tubuhnya dan berbisik di telinganya. Sakura mencium lagi aroma alkohol dari napasnya dan itu membuatnya ingin muntah. "Kau milikku, Sakura."
Sakura merasakan aliran panas menuruni pipinya, dan ia terisak. "Kumohon jangan jatuh serendah ini, Senpai—"
"Kau tidak berhak memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Dan ketika aku berkata aku tidak akan melepaskanmu, maka artinya itu—"
"Maaf, tetapi lelaki sejati tahu kapan untuk mundur ketika diberitahu untuk berhenti."
Sakura terkesiap, begitu pula Kabuto. Kemudian mata mereka sama-sama melebar ketika mendapati seseorang yang kini memegang tangan Kabuto yang ia gunakan untuk mencengkram Sakura. Ia tahu rambut keperakan itu di mana pun, tahu mata hangat itu yang kini tidak memancarkan apa pun selain amarah yang dingin.
"Kusarankan kau lepaskan tanganmu dari Sakura, atau aku sendiri yang akan melepaskannya dari persendian di bahumu," kata Kakashi, nada suaranya memastikan jika ia serius, dan mampu, untuk melakukan apa yang ia katakan.
Setelah beberapa detik yang terasa mencekam, Sakura bisa menemukan suaranya kembali. "Kakashi-senpai?" tanyanya, tidak memercayai penglihatannya sendiri.
Kakashi tidak menjawabnya, ia memusatkan seluruh perhatiannya kepada Kabuto dengan intensitas layaknya anjing pemburu yang sedang memojokkan mangsanya. Kabuto, tahu jika ia tidak bisa menang dari Kakashi yang lebih tinggi dan mengintimidasi darinya, perlahan melepaskan cengkramannya di sikut Sakura. "Siapa kau?"
"Hanya seseorang yang kebetulan lewat," jawab Kakashi, akan terdengar sangat normal dan sangat Kakashi jika saja ia tidak menatap Kabuto seolah ia ingin sekali mencabiknya. "Dan kebetulan juga perempuan yang kaukasari ini adalah kenalanku yang berharga. Jika aku jadi kau, aku akan meninggalkan tempat ini sekarang juga, kemudian menghilang dari hadapan Sakura selamanya."
Kabuto menyentakkan tangannya dari pegangan Kakashi, perlu tiga kali percobaan sebelum lengannya lepas. "Siapa pria ini, Sakura? Pacar barumu?" Ia menatap Kakashi dari atas ke bawah, kemudian tersenyum pongah. "Begitu. Jadi sekarang incaranmu adalah pria yang lebih tua, eh?"
Sakura menggertakkan gigi. "Kabuto-senpai, tutup mulutmu." Jika sampai dirinya mempermalukan Sakura di depan Kakashi—
Kabuto tertawa. "Itu pilihan yang bagus, Sakura. Pria muda mana pun tidak akan mau berhubungan dengan wanita yang sangat dingin di ranjang sampai bisa membuat selimut membeku. Pria tua, di lain pihak …."
Rasanya seolah Sakura terkena pukulan di perut, udara keluar dari paru-parunya dalam bentuk isakan menyakitkan. Sakura merasa sesak, marah dan terhina. Ia tidak bisa melihat Kakashi. "Tolong hentikan, Senpai. Aku tidak pantas menerima ini. Pergilah, kumohon."
Nada memelas Sakura sepertinya membangunkan Kabuto yang lama. "Oh, Kami … apa yang sudah aku lakukan—Sakura, aku tidak bermaksud—"
"Pergi!" Sakura mendesis. "Aku tidak mau melihatmu lagi!"
Kabuto menatapnya nelangsa. "Maafkan aku—aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku—Sakura, maaf …."
Sakura menjawabnya dengan isakan yang semakin keras, dan itu cukup untuk membuat Kabuto mundur seperti anak anjing yang tertendang.
Ia memeluk tubuhnya erat, isakannya menjadi semakin tak terkontrol ketika merasakan tatapan Kakashi di sampingnya. Sakura tidak bisa memandangnya, takut jika Kakashi menganggapnya rendah setelah apa yang dikatakan Kabuto barusan. Kami, rintih Sakura dalam hati. Padahal mereka baru mengenal satu hari.
"Sakura-chan …."
Sakura mengambil langkah mundur, tarikan napasnya mulai terasa menyakitkan.
Kakashi mencoba lagi, lebih halus kali ini. "Sakura-chan, kau harus mengatur napasmu. Kau mulai sesak napas."
Sakura tidak bisa berpikir. Ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya saat ini, ia lupa bagaimana caranya bernapas—
"Sakura!" Lengan Kakashi di tangannya membuat Sakura keluar dari kondisi semi-transnya. Panas tubuh Kakashi adalah satu-satunya hal nyata yang bisa ia rasakan saat itu. Sakura memaksa matanya untuk terbuka, langsung bertatapan dengan wajah Kakashi yang terlihat ketakutan dan sangat khawatir. Tetapi setelah melihat Sakura kembali, ia tersenyum lembut.
"Kakashi-senpai—" Sakura tersedak. "Aku—"
"Tidak apa-apa, Sakura-chan." Kakashi meremas tangan Sakura lembut, masih tersenyum. "Tidak apa-apa."
Tidak apa-apa. Kalimat itu mewakili banyak hal. Kakashi tidak mempermasalahkan ucapan Kabuto tentangnya. Kakashi tetap melihatnya seperti biasa. Kakashi tidak memandangnya rendah.
Dengan tarikan napas panjang dan isakan keras, Sakura menghambur kepada Kakashi dan memeluknya erat, menangis kembali di dadanya. Kakashi balik merangkulanya setelah sedetik ragu, mengusap bagian belakang kepala Sakura sambil membisikkan penghiburan.
Mereka tetap seperti itu hingga malam semakin larut.
Sakura menggenggam kaleng sari jeruk panasnya kuat-kuat, putus asa untuk merasakah sesuatu yang hangat ketika tubuhnya menggigil. Jaket bomber milik Kakashi yang terlalu besar di tubuhnya tidak cukup untuk membuatnya tetap hangat.
Sakura merasa jika ia baru saja terbangun dari mimpi buruk, hanya saja yang baru ia alami adalah kenyataan, walaupun tidak kalah buruknya.
Maksudnya, siapa yang tidak akan jatuh mentalnya jika skandal seksnya diceritakan kepada seseorang yang baru dikenal dan kebetulan sangat disukai? Sakura baru saja dipermalukan dan rasa percaya dirinya seolah dibanting ke permukaan terendah dan hancur. Bukan berarti Sakura menganggap Kakashi sebagai pribadi yang dangkal hingga bisa menurunkan penilaiannya hanya karena masalah seperti ini, tetapi tetap saja ….
Kabuto juga, dengan menggunakan persoalan seks mereka, telah menghina Kakashi. Dan itu yang akhirnya menabrak batas kesabaran Sakura.
Sakura adalah seorang perempuan dewasa yang nyaman dengan seksualitasnya sendiri. Ia bukan aseksual. Ia tidak lagi perawan dan tidak merasa buruk karenanya. Ia bukan lagi remaja pemalu dan gugup dan selalu merona. Ia menikmati seks. Tetapi di bulan-bulan terakhirnya dengan Kabuto, Sakura mulai meragukan dirinya sendiri. Kenangannya bersama Kabuto didominasi oleh bayangan-bayangan di mana mantan pacarnya terlalu mabuk untuk melakukan segala sesuatu dengan benar. Ciuman-ciuman mereka berbau alkohol, sentuhan-sentuhan Kabuto terasa seperti muntahan. Kabuto menyebut nama perempuan lain ketika bercinta. Kabuto menyebut nama pria lain ketika orgasme lebih dulu dan membiarkan Sakura merasa seperti baru saja ditabrak truk dan tidak selesai.
Sakura mengerang, rasanya seolah ia meninggalkan Kabuto hanya karena masalah seks.
Tetapi masalah sebenarnya jauh lebih rumit dari itu. Setelah kecanduan alkohol, Kabuto menjadi seseorang yang tidak Sakura kenal, terkadang bisa begitu menakutkan. Seperti yang terjadi barusan. Kabuto bisa menjadi bengis jika ia mau, dan walaupun ia belum sampai ke tahap fisik sebelumnya, jika melihat kembali sikut Sakura yang memar sekarang, suatu hari nanti ia pasti akan sampai ke sana.
Sakura kembali menggigil, kali ini bukan karena udara yang dingin.
Seseorang di atas sana pastinya masih menyayanginya karena telah mengirim Kakashi kepada mereka sebelum Kabuto melakukan hal yang lebih buruk. Beruntung sekali Kakashi ingat jika ia harus membeli krim pencukur wajah dan langsung kembali menuju minimarket alih-alih melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Sakura merona kembali dan merasa tidak begitu dingin lagi jika ingat mereka berpelukan tadi—lebih pantas disebut Sakura yang menabrak Kakashi dan menggunakan dadanya untuk bantal menangis, sebenarnya.
Pria itu adalah seorang malaikat, Sakura bersumpah. Ia tidak terlihat terganggu sedikit pun dengan Sakura yang terus membasahi kemejanya dengan air mata dan ingus, terus berusaha menenangkan Sakura ketika ia berceloteh tidak karuan, dan Kakashi sangat wangi dan dadanya terasa begitu solid—
Sakura menghentikan pikirannya sendiri dengan paksa. "Bukan saatnya memikirkan itu, Sakura."
"Hm? Apanya yang bukan saatnya memikirkan apa?"
Sakura hampir saja melompat dari kursi taman tempatnya duduk sekarang. "Ah, Kakashi-senpai." Ia tertawa gugup. "Bukan apa-apa. Hanya sedikit teralihkan, itu saja." Yah, itu tidak sepenuhnya bohong.
"Kulihat kau sudah bisa tersenyum. Apa aku salah jika mengira kau sudah baikan, Sakura-chan?"
Sakura menggosok belakang lehernya. "Iya, aku sudah merasa baikan. Maaf sudah merepotkan. Sudah selesai belanjanya, Senpai?"
Kakashi mengangguk, kemudian menunjukkan kantung pelastik kecil berisi kotak kertas di dalamnya, terkekeh. "Naruto tidak suka melihatku menumbuhkan jambang, jadi aku harus rutin bercukur. Padahal sesekali aku ingin mencoba mengubah penampilan, kau tahu."
Jujur saja, Sakura juga sangat ingin melihatnya. Kakashi pasti akan terlihat semakin maskulin dan tampan—tidak, walaupun Kakashi botak ia juga pasti akan terlihat tampan.
Tanpa diminta, gambaran Kakashi yang botak menginvasi benak Sakura dan ia hampir tidak bisa menahan tawanya.
"Ini, aku membawakanmu sesuatu." Kakashi menyodorkan sebuah batangan ketika ia mendudukkan dirinya di samping Sakura.
"Cokelat?" tanya Sakura memastikan ketika menerima sodoran dari Kakashi, melihat bungkusan dan merk yang tercetak di sana. Ia benar. "Terima kasih, Senpai," lanjutnya, tahu benar jika percobaan menolak pemberian Kakashi adalah hal yang percuma. "Tidak ada yang lebih manjur sebagai obat patah hati selain cokelat." Sakura tertawa.
Kakashi menatapnya sambil tersenyum. "Syukurlah kau benar-benar sudah baikan. Tadi kau sangat pucat dan dingin. Kau membuatku takut, Sakura-chan."
Kesungguhan dalam nada suara Kakashi menyentuh hati Sakura, membuat belakang matanya memanas. "Aku minta maaf. Sebenarnya aku tidak ingin kau melihat kejadian tadi—"
"Dan meresikokan dirimu disakiti lebih jauh oleh pria itu?" potong Kakashi. "Tidak, Sakura-chan. Aku bersyukur karena sudah melihat kejadian tadi." Kakashi mengembuskan napas panjang, terlihat berusaha keras mengendalikan emosi yang Sakura tahu tidak Kakashi tujukan kepadanya. Naruto tidak main-main ketika berkata jika Kakashi akan menjadi sangat menakutkan bila sedang marah. Sakura bersyukur karena ia bukanlah objek kemarahannya. "Aku lega kau bisa melepaskan dirimu dari pria seperti itu."
Sakura terkekeh pahit. "Dia tidak selalu seperti itu," katanya, matanya terpejam ketika mengingat momen-momen bahagianya bersama Kabuto ketika pria itu masih manis dan penuh determinasi untuk mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. "Tetapi yah, dia sangat berengsek sekarang."
"Dia mempermalukanmu ketika tidak mendapatkan apa yang dia inginkan." Suara Kakashi terdengar seperti geraman pelan. "Itu rendah sekali."
Sakura mengedikkan bahu. "Aku pernah dihina lebih buruk dari itu ketika kami putus, ia berkata jika ia menemukan perempuan lain yang bisa memuaskannya, tidak seperti aku, karena berhubungan badan denganku rasanya seperti bercinta dengan kulkas."
Kakashi mengerutkan dahi, kemudian bertanya hati-hati, "Apakah yang dikatakannya itu benar?"
"Soal aku yang frigid?" tanya Sakura, tersenyum ketika melihat wajah bersalah Kakashi sebelum pria itu mengangguk. "Tidak, aku tidak frigid, Senpai. Aku … aku suka dicium dan … disentuh." Ia berdeham, wajah memanas. Mimpi apa ia semalam sehingga hari ini ia berbagi hal yang sangat privat kepada pria yang baru dikenalnya selama satu hari. "Kabuto hanya melakukannya supaya ia tidak disalahkan. Ia tidak suka menjadi salah, baik dengan intensi benar ataupun buruk."
"Jadi ini salahnya, kalau begitu?"
Sakura mengangguk. "Dia … tidak bisa membuatku orgasme."
There, pikir Sakura. Ia telah menunjukkan Kakashi semuanya. Tidak ada waktu untuk malu setelah ini.
"Hmm …." Kakashi mengelus dagunya, kemudian menatap Sakura dengan mata yang berkilat jahil. "Bolehkah aku menebak kenapa ia bisa seperti itu?"
Sakura mati-matian menahan dirinya untuk tidak tersenyum. "Mari dengar apa tebakanmu, Senpai."
Kakashi mengangkat satu jari ketika berkata dengan wajah yang terlampau datar. "Penisnya kecil."
Sakura terbatuk, kemudian tertawa. "Tidak, aku bisa pastikan ukuran penisnya memenuhi standar, Senpai."
Kakashi mengangkat jari kedua. "Ejakulasi dini?" Ketika Sakura menggeleng sambil memegangi perutnya yang sakit karena tertawa, ia mengangkat jari ketiga. "Tidak bisa ereksi?"
Tawa Sakura tidak terkontrol di bagian ini. "Kami—Senpai! Aku yakin telinga Kabuto sedang berdengung saat ini!" Sakura bersyukur ia dan Kakashi adalah seorang medis sehingga bisa berbincang dan membuat lelucon tentang hal seperti ini tanpa membuat mereka merasa canggung. "Tidak," lanjut Sakura setelah bisa mengatur napasnya kembali. "Seks dengan Kabuto baik-baik saja sebelum dia menjadi pecandu alkohol."
Pemahaman dengan cepat terpancar di wajah Kakashi. "Ah."
Sakura mengembuskan napas panjang. "Aku selalu berusaha untuk membuatnya berhenti. Tetapi sekuat apa pun aku mencoba, dia tidak pernah berhenti. Dia tidak bisa berhenti. Kemudian dia perlahan-lahan berubah dan aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Diputuskan olehnya memang menyakitkan, tetapi kupikir itu malah berakhir baik bagiku. Benar, 'kan, Senpai?"
Kakashi menjawabnya dengan tersenyum.
"Tetapi ada saatnya aku merasa buruk karena telah meninggalkannya," lanjut Sakura, merasakan kebenaran dalam kata-katanya sendiri. "Ini rasanya seolah aku tidak cukup mencintainya. Ada saatnya aku berpikir jika seharusnya aku tetap bersamanya, mungkin aku bisa membuatnya berubah dan keadaan menjadi lebih baik untuk kami."
"Dia mempunyai kesempatan itu ketika masih bersamamu. Dan nyatanya dia tidak memanfaatkannya, Sakura-chan," komentar Kakashi, tepat di fakta.
"Aku tahu, Senpai," bisik Sakura. "Tetapi aku tidak bisa membuang kemungkinan itu, apalagi tadi dia berkata jika dia ingin berubah. Dia bilang akan berhenti minum untukku."
Kakashi menggeleng. "Sudah berapa kali dia berkata seperti itu, Sakura-chan?"
"Sering," jawab Sakura jujur, Kakashi mengangkat sebelah alis. "Tapi—dengarkan aku dulu, Senpai. Bagaimana kalau dia sungguh-sungguh sekarang? Jika aku memberinya kesempatan mungkin keadaan akan lebih baik untuk kami?"
"Itu mungkin saja terjadi," jelas Kakashi. "Atau mungkin saja keadaan tidak akan berubah hingga kau terjebak dalam hubungan penuh racun seperti ini dan tidak bisa keluar. Dengarkan aku, Sakura-chan. Tidak akan ada yang menyalahkanmu karena kau ingin mencari kebahagiaan. Dengan terus bersama Kabuto, kau tidak akan merasa bahagia, begitu pula dengannya. Kalian hanya akan saling menyakiti satu sama lain hingga tidak ada dari diri kalian yang tersisa." Sakura tidak bisa mendebat itu, karena dirinya pun tahu persis hal itulah yang akan terjadi. Ia hanya tidak ingin mengakuinya. "Dan untuk Kabuto, jika dia ingin berhenti minum untukmu, maka dia akan melakukannya sejak dulu. Itu berarti motivasi yang tepat baginya bukan dirimu, Sakura-chan. Jika dia ingin berhenti, maka dia harus melakukannya untuk dirinya sendiri."
Kata-kata Kakashi terasa sangat masuk di akal. Mungkin karena itu adalah kebenaran. "Kau benar, Senpai," kata Sakura, matanya jatuh ke lengan Kakashi di sampingnya. Kakashi memiliki tangan yang besar dan terlihat kokoh, jalinan urat yang bertaut dan menonjol menghiasinya. Sakura bisa menatap tangan Kakashi seharian. "Aku harap dia menemukan alasan untuk menjadi lebih baik, kemudian mencari pertolongan. Aku tidak ingin hidupnya sia-sia, Senpai. Dia begitu brilian. Dia bisa menggapai banyak hal."
Kakashi menyikutnya lembut. "Apa kau sadar kalau kau baru saja mendo'akan hal yang baik untuk seseorang yang baru saja menyakitimu?"
Sakura tersenyum lebar. "Kurasa memang begitu. Walaupun begitu Kabuto tetap berengsek. Ah—maaf karena aku harus mengatakan ini, Senpai, tetapi semua lelaki itu berengsek."
Kakashi mengangguk. "Kau benar sekali, Sakura-chan. Karena itulah aku lebih menyukai perempuan."
Sakura berkedip, kemudian tertawa keras.
Setelah itu Kakashi mengantarnya hingga mulut peron statsiun. Ia menolak jaketnya dikembalikan supaya Sakura tidak kedinginan dalam perjalanan pulang. Kakashi tidak tahu jika bukan hanya kehangatan fisik saja yang diberikan oleh jaketnya, tetapi juga aroma segar rempah yang akan selalu mengingatkannya kepada sosok kokoh dan konstan pria itu.
Malam itu Sakura pulang dengan hati yang patah, tetapi ia bisa berkompromi. Dengan Kabuto dan dengan dirinya sendiri. Semuanya berkat Kakashi. Mungkin pria itu juga telah memberinya sesuatu yang membuat Naruto bisa berani menghadapi dunia dengan satu Kaki.
Malam itu hati Sakura patah, namun sesuatu di dalamnya mulai berubah.
Esoknya ia bertemu dengan Kabuto di rumah sakit, mereka berpapasan ketika Sakura menyelinap untuk membeli makan siang dan Kabuto baru saja keluar dari ruangan terapisnya, menyerupai dirinya yang lama. Sakura tidak pernah sebahagia ini ketika melihatnya. Mereka sama-sama menyapa dengan senyuman tulus, kemudian saling merangkul dan bertukar permintaan maaf. Sakura mencium bibirnya untuk yang terakhir kali; manis dan pahit dalam waktu bersamaan, sebagai tanda finalitas, sehingga mereka bisa saling mengucapkan selamat tinggal dengan semestinya. Kabuto berkata jika ia masih berharap jika mereka tidak berakhir seperti ini, tetapi ia mengerti jika ini adalah pilihan terbaik. Mereka harus mengambil jalan terpisah dan belajar untuk berdiri dengan kaki sendiri.
Dan waktu pun terus berjalan maju.
Dua pekan berlalu semenjak Sakura mengenal Kakashi dan keduanya membentuk tim yang solid di IGD. Malam ini adalah hari pertama dari siklus shift malam dan Sakura tengah duduk di depan mesin penjual minuman ketika Kakashi berjalan ke arahnya, menyusuri lorong. Masih sekitar dua puluh menit sebelum mereka menyambung shift. Kakashi sudah memakai seragam serba birunya, hanya saja jaket musim dinginnya tidak ia lepas. Ia terlihat grogi dan mengantuk, kentara sekali belum terbiasa dengan jam tugasnya. Ketika melihat Sakura, senyumannya terlihat lelah.
"Apa itu kopi?" Kakashi menunjuk gelas plastik di genggaman Sakura.
Sakura mengangguk. "Espresso, yang paling kuat. Mau seteguk, Senpai? Kelihatannya kau sangat membutuhkan ini."
Kakashi mengerang. "Yes, please."
Sakura tertawa pelan ketika menyodorkan gelasnya kepada Kakashi setelah pria itu duduk di sampingnya. Kakashi menerimanya dengan hati-hati, kemudian meringis ketika mengambil tegukan pertama, lalu kedua, setelah itu mengembalikan gelasnya kepada Sakura. "Bukan penggemar kopi," jelasnya.
Sakura tidak terlalu tahu persis kapan tepatnya mereka bisa nyaman dengan satu sama lain sehingga bisa berbagi gelas minuman tanpa merasa canggung. Ia tidak ingat kapan mereka mulai menjadi akrab dan berhenti ragu di sekitar satu sama lain. Ia tidak pernah merasa asing di sekitar Kakashi, tidak pernah ada tahap formalitas seperti hubungannya dengan rekan kerjanya yang lain, termasuk Shizune. Peristiwa di malam ia bertemu dengan Kabuto jelas mempunyai andil karena Kakashi mengetahui masalah Sakura yang bahkan Shizune pun tidak tahu, dan ia tidak keberatan dengannya bahkan setelah tahu. Kakashi mungkin tidak menyadarinya, tetapi Sakura sangat menghargai apa yang telah pria itu lakukan untuknya. Kakashi membuatnya percaya diri. Ia lebih sering tersenyum dan tertawa dengan sungguh-sungguh di sekitarnya. Dan jika mengingat itu, jantung Sakura berpacu lebih kencang.
Sakura tidak bisa menyanggah jika sebagian hatinya, kalau bukan semuanya, telah dicuri Kakashi.
"Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tetapi kau terlihat lebih segar ketika bekerja malam daripada ketika bekerja pagi atau siang, Sakura-chan. Tipe nokturnal?" Kakashi meliriknya, tubuhnya bersandar ke pungung kursi, posisinya agak merosot. Kedua tangannya ia masukkan ke saku jaket.
Sakura menyeringai kecil. "Tugas malam adalah favoritku. Alasan utamanya adalah karena tidak ada Tsunade. Susah menikmati pekerjaanmu jika kau selalu diawasi olehnya, rasanya aku adalah seekor tikus yang sedang diperhatikan elang jika aku bertandem dengan Tsunade. Tetapi ketika malam aku bebas melakukan apa pun yang aku mau tanpa takut diteriaki olehnya." Ia tertawa.
"Hm, aku rasa itu tidak berlaku lagi karena Tsunade memberiku tugas ekstra untuk mengawasimu ketika dia tidak ada, Sakura-chan."
Sakura hampir menjatuhkan gelasnya yang masih terisi setengah. "Kakashi-senpai, bagaimana bisa kau—" Sakura tidak menyelesaikan tuduhannya karena kini Kakashi menatapnya dengan senyuman jahil, dan alih-alih lanjut mencecarnya, Sakura meninju lengan atas Kakashi. "You're impossible!"
Kakashi meringis dan erangannya terdengar didramatisir ketika menggosok titik yang baru saja dipukul oleh Sakura. "Kau kejam sekali, Sakura-chan. Naruto tidak main-main ketika berkata kau sangat kuat."
Sakura memutar bola mata. "Jangan seperti bayi, Senpai. Aku hanya menggunakan sedikit tenagaku. Dan kau pantas mendapatkannya karena sudah menakutiku. Klinik pribadi impianku bergantung realisasinya dengan secarik kertas yang ditandatangani Tsunade, dan kau berani-beraninya membuat lelucon seperti itu."
"Klinik pribadi?" Kakashi mengerutkan dahi. "Kau tidak ingin bekerja di rumah sakit?"
Sakura mengedikkan bahu. "Tidak tertarik. Kalau ingin, aku sudah mengambil program intern dan residensi di bagian lain, setelah itu sekolah lagi untuk spesialisasi. Genma pernah menawariku untuk mengganti program ke radiologi, tetapi aku menolak. Katanya aku punya potensi di sana, tetapi aku tahu tujuan sebenarnya adalah supaya dia bisa membuat hidupku sulit setiap menitnya," Sakura menggerutu.
Kakashi terkekeh. "Mengingat seperti apa Genma, aku tidak bisa menyalahkanmu." Kemudian ia menutup mulutnya dengan punggung tangan dan menguap. "Berapa lama lagi sebelum kita menyambung shift?"
Sakura melirik jam tangannya. "Sepuluh menit."
Kakashi menggeleng. "Tidak, kau salah, Sakura-chan. Masih setengah jam lagi sehingga aku bisa tidur sebentar," katanya, kemudian memejamkan matanya.
Sakura tersenyum kecil. "Senpai, berhenti mainnya. Kita harus mulai siap-siap."
"Aku tidak mendengarmu, Sakura-chan. Aku sudah menyatu dengan kursi ini. Tidak ada yang bisa memisahkan kami." Kakashi memalsukan dengkuran.
Sakura menutup tawanya dengan punggung tangan. "Kita benar-benar harus mulai bersiap, Senpai." Dan ketika Kakashi tidak juga bergerak, Sakura berkacak pinggang, setelah itu mengambil satu tangan Kakashi dan menariknya hingga berdiri. "Senpai, kita harus segera masuk ke IGD atau tim siang akan komplain."
"Bagaimana jika kita meminta istirahat karena sakit dan bisa kembali pulang untuk tidur? Tempat tidurku merindukanku."
"Tidak boleh, itu namanya memalsukan wewenang," omel Sakura ketika ia mengambil posisi di belakang Kakashi dan mulai mendorong punggungnya untuk membuat pria itu berjalan. "Sebagai pekerja teladan rumah sakit seharusnya kau memberi contoh yang baik kepada juniormu, Senpai," lanjutnya tanpa berhenti tersenyum.
Tanpa Sakura ketahui, Kakashi juga tidak bisa berhenti tersenyum selama perjalanan mereka menuju Instalasi Gawat Darurat.
Satu pekan yang lain berlalu dan tim Sakura akhirnya mendapat giliran hari libur. Sakura biasanya tidak antusias dengan hari libur karena pilihan kegiatan yang bisa ia lakukan di waktu itu sangat terbatas. Ia suka belanja dan pergi ke bioskop, tetapi ia tidak suka belanja sendirian. Mengajak teman-teman dekatnya sekarang sangat sulit karena jadwal pekerjaan mereka yang bertabrakkan. Pada akhirnya ia tidak pergi kemana-mana dan menghabiskan waktunya di rumah untuk maraton menonton drama atau tidur.
Tetapi kali ini ia bisa mengajak Shizune, dan mereka kini tengah mengunjungi toko perlengkapan bayi yang direkomendasikan Sakura beberapa minggu yang lalu.
Mereka sudah berada di penghujung musim semi tetapi cuaca masih tetap sejuk. Sakura masih bisa memakai switer rajut berwarna merah muda pucat yang memang dimodelkan longgar (baru dibeli bulan kemarin bersama Ino dan Hinata), kamisol hitam, celana jins pensil biru tua dan sepatu buts kulit berwarna cokelat. Rambutnya ia kepang asal namun tetap terlihat stylish. Untuk pertama kalinya setelah beberapa lama, Sakura bisa merasa puas melihat penampilannya sendiri.
Sudah lama sekali rasanya semenjak terakhir kali Sakura merasa seperti ini, dan ia tahu persis siapa penyebabnya.
Sesuatu dalam perut Sakura menggelepar ketika ia mengingat bagaimana cara Kakashi menatapnya; selalu tulus dan penuh kekaguman, di beberapa waktu bisa terasa begitu intens seolah Kakashi tidak akan pernah merasa cukup untuk menatapnya. Mungkin ini hanyalah ilusi Sakura semata, tetapi walaupun begitu ia tidak akan menyesal karena merasa nyaman dengan dirinya sendiri adalah perasaan paling menakjubkan di dunia.
"Sakura-chan, lihat kaus kaki ini—kenapa kau senyam-senyum sendiri seperti itu?"
Sakura mengerjapkan mata dan menurunkan selimut bayi yang (dulunya) tengah ia perhatikan, mendapati Shizune tengah menatapnya dengan alis terangkat. Ia nyengir selebar yang ia bisa, berharap itu mampu menyamarkan salah tingkahnya sekarang. Sakura memutuskan ia harus melatih pikirannya setelah ini. "Aku hanya berpikir kalau selimut ini imut sekali, Senpai. Kalau ada ukuran untuk dewasa aku pasti akan mengambilnya. Boleh aku membelinya untuk Dan? Hitung-hitung mengganti karena ketika acara baby shower kemarin aku tidak bisa datang, apalagi memberi hadiah."
Shizune tersenyum. "Aku tidak ingin merepotkanmu, Sakura. Tetapi kurasa Dan akan sangat senang memakainya nanti."
Sakura memeluk Shizune ringan. "Terima kasih, Senpai. Oh, iya. Tadi kau mau menunjukkan apa?"
"Oh!" Shizune memperlihatkan sepasang kaus kaki rajut dalam kotak kemas, warnanya biru pastel dan ada hiasan kelinci putih di bagian depannya. "Bagaimana menurutmu?"
Sakura terkesiap. "Ini imut sekali! Dengan hanya melihatnya saja membuatku ingin punya bayi juga!"
"Kau bisa kalau kau mau, Sakura-chan," goda Shizune, menyeringai kecil.
Sakura merengut. "Terakhir kali kuingat, butuh dua orang berbeda jenis kelamin untuk membuat bayi, Senpai."
"Dan?"
"Dan," Sakura mengembuskan napas lewat mulut. "Aku belum menemukan orang berlainan jenis kelamin itu. Terlebih aku ini masih belum mendapatkan lisensiku dan sangat-sangat miskin. Aku tidak bisa membiayai seorang bayi saat ini."
"Benarkah?" Seringai jahil di wajah Shizune tidak hilang, dan Sakura mempunyai firasat ia tidak akan menyukai apa pun yang terjadi setelah ini. "Menurut informasi yang kudapatkan dari informan pribadiku, saat ini IGD tengah diwarnai romansa yang tengah mekar antara seorang dokter berambut merah muda dan perawat penggantiku."
Rahang Sakura jatuh membuka. "Ap-apa? Bagaimana—"
"Jadi itu benar, kalau begitu? Ada sesuatu di antara kau dan Kakashi?" Seringai Shizune semakin melebar dan ia terlihat seperti rubah sekarang.
"Tidak, tidak, tidak—itu bohong, Senpai. Tidak ada apa pun antara aku dan Kakashi—lagi pula dari mana kau mendapat rumor seperti itu? Genma?"
Shizune menggeleng. "Aku tidak bisa membocorkan identitasnya, tetapi dia bisa dipercaya." Ia terkekeh. "Aku tahu segalanya walaupun tidak berada di sana, Sakura-chan, jadi percuma saja berbohong kepadaku. Aku tahu Kakashi sering membelikanmu makan siang, dan tentang bagaimana kalian seolah tak terpisahkan ketika sedang berada di IGD."
Sakura terbatuk. "O-oke. Kakashi-senpai memang beberapa kali pernah membelikanku makan siang. Tetapi apakah itu berarti ada sesuatu di antara kami? Dan aku dan Kakashi-senpai selalu bersama karena kami … satu tim? Akan sangat aneh kalau kami tidak selalu bersama, bukan?"
"Oh, Sakura-chan. Kau adalah satu-satunya yang tidak menyadari ini, hm?" Ketika Sakura mengerutkan dahi, Shizune melanjutkan. "Kakashi hampir tidak pernah memberi siapa pun apa pun, Sakura-chan, kecuali Naruto, atau pacarnya, atau seseorang yang sangat berharga baginya. Dia itu sangat pelit. Tiap ada kesempatan dia selalu berhasil membuat kami yang membayar tagihan ketika makan di luar."
"Be-benarkah itu? Apakah itu berarti kau juga tidak pernah diberi apa-apa olehnya, Senpai?"
Shizune tersenyum. "Kakashi sudah menganggapku seperti saudari yang tidak pernah dia miliki, begitu pula sebaliknya. Tidak, Kakashi tidak pernah absen memberiku kado ketika aku berulang tahun, dia juga memberi baby walker untuk Dan kemarin. Aku masih menyimpan boneka teddy yang dia beri untuk ulang tahunku yang keduapuluh. Dan soal kalian yang selalu bersama di IGD, perlu kau ketahui jika Kakashi adalah pemain penyendiri, dan itu sempat menimbulkan masalah besar dengan Tsunade di tahun-tahun awal kami. Sekarang dia sudah melembut dan bisa berkompromi dengan dokter dan perawat lain, tetapi bukan berarti dia bisa langsung dekat dengan seseorang yang dia kenal. Mengerti maksudku, Sakura-chan?"
Sakura menelan ludah, jantungnya berpacu kencang. "Ja-jadi maksudmu … Kakashi menganggapku spesial, begitu, Senpai?" Apa yang ia rasakan dari tatapan-tatapan Kakashi selama ini bukan ilusi, kalau begitu? "Tapi dia juga bisa seperti itu kepada teman dekat, bukan?"
Shizune mendengus. "Kalau dia seperti itu kepada teman dekat, Genma pasti sudah menjadi miliuner sekarang. Mereka itu satu kampung halaman, kau tahu. Dan aku yakin dia juga tidak melihatmu sebagai seorang saudari. Kakashi tidak memperlakukanmu seperti dia memperlakukanku."
"O-oke." Sakura menarik napas panjang. "Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang."
Shizune menjadi khawatir dengan cepat. "Apakah itu berarti kau tidak menyukainya, Sakura-chan? Kenapa? Apa karena usia kalian terpaut cukup jauh? Apakah itu aneh bagimu?"
"Heh?" respons Sakura, seolah pertanyaan itu adahal hal paling konyol yang pernah ia dengar. "Tidak, bukan begitu, Senpai. Kakashi secara praktik adalah pria paling seksi dan lajang di rumah sakit, kalau bukan di seluruh dunia, dan siapa pun perempuan yang menolaknya hanya karena perbedaan usia adalah perempuan paling bodoh yang pernah hidup." Di sini seringai Shizune kembali. "Aku bohong jika berkata aku tidak tertarik dengannya, aku straight, dan hanya lesbian saja yang tidak akan tertarik kepada Kakashi—maksudku, dengan wajah dan tubuh seperti itu, pria paling straight pun akan tertarik kepadanya—oh, Kami, apa sebenarnya yang sedang kubicarakan?"
"Kau sedang berbicara jika kau tertarik secara seksual kepada Kakashi, Sakura-chan." Shizune membantu.
"Ah, ya, itu …." Dan ketika menyadari jika ia telah masuk ke dalam perangkap yang dibuat Shizune, Sakura mengerang. "Senpai!"
Shizune terkekeh. "Sekarang kau tidak bisa mengelak jika kau tertarik kepada Kakashi, Sakura-chan."
Sakura sangat yakin jika wajahnya sangat merah saat ini. "Baiklah, Senpai. Aku memang tertarik kepadanya, bahkan mungkin sudah tertarik sejak pertama kali bertemu. Tetapi bukan hanya fisik Kakashi saja yang membuatku merasa seperti itu. Sikap Kakashi terhadapku sangatlah manis. Dia juga baik hati, terbukti dengan caranya menyayangi dan mendukung Naruto walaupun mereka tidak mempunyai hubungan darah. Dan aku belum memberitahumu ini, Senpai. Aku bertemu dengan mantan pacarku tiga minggu yang lalu. Mari katakan saja kami punya masalah soal seks, walaupun itu bukan masalah utama mengapa kami putus, dan kami bertengkar karena itu. Dan mantan pacarku hampir menyakitiku jika saja Kakashi tidak datang menghentikannya. Tetapi kemudian mantan pacarku menghinaku dan Kakashi, dia berpikir jika aku dan Kakashi adalah pasangan. Dia mengataiku frigid dan menyebut Kakashi hanya mau menerimaku karena dia tua. Dan aku sangat malu saat itu. Seorang pria diragukan soal … staminanya untuk … itu." Sakura berdeham. "Aku khawatir Kakashi akan melihatku dengan cara yang berbeda setelah itu, apalagi aku dikatai frigid di hadapannya, yang sama sekali tidak benar, tentu saja."
"Tetapi Kakashi tidak mengubah sikapnya kepadamu?"
Sakura tersenyum di sini. "Tidak, dia justru sangat suportif. Dia terus berada di sampingku hingga aku merasa baikan malam itu. Dia membuatku berpikir jernih sehingga bisa mengambil keputusan yang benar soal hubunganku dengan mantan pacarku ke depannya. Dia membantuku untuk … bebas. Dan mungkin itu adalah awal aku tertarik kepada Kakashi dengan mengenyampingkan fisiknya. Dia selalu menatapku seolah aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Dia membuatku merasa cantik."
"Oh, Sakura-chan … aku tidak menyangka jika kau dan Kakashi sudah sedekat itu. Jadi karena itu kau menjadi lebih sering tersenyum sekarang," komentar Shizune, matanya berbinar.
Sakura nyengir gugup. "Tetapi aku tidak tahu apakah Kakashi merasakan hal yang sama terhadapku."
"Oh, kita bisa melakukan sesuatu terhadap itu."
"Eh?" Sakura mengerutkan dahi, dan ketika melihat senyuman gelap Shizune saat ini, perut Sakura seolah jungkir balik. "Apa yang sedang kau rencanakan, Senpai?'
Semua warna cerah dan pernak-pernik lucu ini menggelitik kemaskulinan Kakashi.
"Aku beruntung memiliki Naruto ketika dia sudah berusia lima tahun, jadi aku tidak perlu melewati hal seperti ini."
Genma melemparinya dengan bungkus permen dari atas tangga ganda tempatnya duduk sekarang sambil mengecat langit-langit. "Kau akan melakukan hal seperti ini juga ketika kau mempunyai bayimu sendiri. Berdo'a saja anakmu nanti bukan perempuan."
Kakashi mengerutkan dahi. "Apa masalahnya anak perempuan?" tanyanya sembari merekatkan kertas dinding bertema luar angkasa ke permukaan tembok dengan roller-nya.
Genma menghembuskan napas panjang. "Tidak ada masalah dengan anak perempuan. Hanya saja kupikir kau akan sangat bermasalah nanti ketika harus mengecat kamar anakmu dengan pink dan menggambar unicorn berwarna pelangi jika semua yang ada di kamar ini membuatmu senewen."
"Hey, aku tidak senewen, dan aku tidak punya masalah dengan warna pink. Anak perempuanku tidak harus mengenakan pink jika dia tidak mau. Kau simpan saja semua sentimen seksis dan maskulinitas yang toksis itu ke tempat lain, Shizune akan menceramahimu dengan menggunakan tujuh ratus lembar kuliah soal feminise jika dia mendengarmu."
"Kerjakan saja tugasmu dan diamlah, Kakashi."
Kakashi menyeringai kecil. "Kupikir kau suka mendengarku bicara? Kau berpikir kalau suaraku imut."
"Mati sana!"
Beruntungnya, mereka berhasil menyelesaikan dekorasi kamar bayi yang akan digunakan Dan ketika lahir nanti tanpa ada kecelakaan yang berarti. Kakashi dan Genma kini tengah menikmati es teh dan camilan di teras halaman belakang rumah Genma dan Shizune. Mereka tidak melihat jam, tetapi mereka tahu jika hari sudah sore.
"Ramalan cuaca mengatakan nanti malam akan hujan, aku harap Shizune membawa payung atau pulang sebelum hujan turun."
Kakashi menelan dango-nya. "Kau tidak khawatir membiarkan Shizune bepergian sekarang? Berapa lama lagi hingga dia melahirkan, tiga minggu?"
Genma mengangguk. "Dilarang pun dia tidak akan menurut. Kau tahu seperti apa dia. 'Di sini akulah yang mengandung, bukan kau, jadi aku lebih tahu tentang tubuhku sendiri daripada kau!'" Genma meninggikan nada suaranya untuk meniru Shizune. "Rasanya seolah aku tidak memiliki andil dalam kehamilannya saja."
"Tapi setidaknya dia tidak pergi sendiri, 'kan?"
"Tidak, dia pergi bersama Sakura."
Kakashi mengerutkan dahi. "Sakura yang itu?"
"Ya. Sakura yang itu. Memangnya ada berapa Sakura yang kau kenal?"
"Hanya satu." Kakashi tersenyum.
"Dan omong-omong tentang Sakura yang itu, ada rumor jika dia sedang didekati oleh seorang perawat senior saat ini." Genma memberi Kakashi senyuman malasnya. "Apakah benar yang kudengar ini, Perawat Senior Kakashi?"
Kakashi memutar bola mata. Jujur saja ia pun sudah mendengar desas-desus mengenai hubungannya dengan Sakura yang sedang santer belakangan ini, yang bisa dengan baik ia abaikan seperti desas-desus tentangnya yang lain di waktu-waktu sebelumnya. "Itu hanya rumor, Genma. Kau tahu bagaimana kekuatan asumsi orang lain jika sampai ke orang lain yang lain yang kemudian membuat asumsinya sendiri."
"Benarkah? Tetapi jika mendengar apa yang dikatakan informan pribadi Shizune rasanya tidak seperti itu."
"Informan? Informan apa?"
Genma menyilangkan kedua telunjuknya di depan mulut. "Aku sudah disumpah supaya tidak membocorkan identitasnya kepada siapa pun."
Walaupun begitu rasanya Kakashi mempunyai kandidat kuat untuk dicurigai, dan kebetulan orang itu adalah dokter pengawas cantik di IGD yang hobinya ketika senggang adalah menyiksa Kakashi hingga semua rambutnya rontok.
"Aku bisa menjamin jika itu hanyalah rumor, Genma."
"Tetapi kabar jika kau sering membelikannya makan siang dan caramu memperlakukannya layaknya ratu bukanlah rumor. Apalagi kudengar jika dia sangat dekat dengan Naruto." Genma menyilangkan kedua lengannya di dada, tatapannya intens. "Kau bisa jujur denganku, Kakashi. Kau menyukai dokter berambut merah muda kita, 'kan?"
Kakashi mengembuskan napas panjang. Apakah ia menyukai Sakura? Kakashi mendengus dalam hati karena jawabannya mudah dan jelas sekali. Ya, ia sadar jika dirinya menyukai Sakura. Ia sudah menyukainya di kali pertama Kakashi melihatnya, fakta jika Sakura telah menolong Naruto adalah katalisnya. Sakura adalah perempuan yang atraktif. Mungkin tidak seberlekuk Tsunade, tetapi Sakura memiliki tubuh yang feminim dan wajah yang cantik. Mata hijaunya yang brilian selalu bisa memerangkap Kakashi supaya tidak memalingkan muka. Senyumannya menular. Kakashi selalu ingin mengabadikan wajahnya yang tengah merona. Ia ingin selalu membuat wajahnya merona.
Belum lagi kakinya. Kaki Sakura selalu berhasil membuatnya gila. Beberapa kali ia memiliki mimpi tak senonoh yang melibatkan kaki Sakura. Tentu saja hal ini tidak akan ia ceritakan kepada siapa pun.
Tetapi rasa sukanya terhadap Sakura juga melampaui faktor fisik. Kakashi pernah melihatnya di titik terlemahnya. Perempuan mengagumkan yang baru ia kenal ternyata juga memiliki ketakutan dan belenggunya sendiri. Kakashi selalu merasa ingin menghancurkan sesuatu jika dirinya mengingat Kabuto. Pria itu memperlakukan Sakura seperti sampah, dan hatinya serasa diremas ketika untuk sesaat Kabuto berhasil membuatnya merasa seperti sampah. Kakashi merasa senang karena setidaknya dirinya bisa melakukan sesuatu untuk Sakura ketika Sakura berada di titik terendahnya.
Tetapi Kakashi belum menyukainya saat itu. Ia bukan lelaki sakit yang menikmati kelemahan perempuan dan merasa memiliki kekuatan dan kontrol karenanya. Ia menyukai Sakura keesokan harinya, ketika gadis itu melangkah di lorong rumah sakit dengan wajah bengkak dan mata sembab karena semalaman menangis, rambutnya tidak tertata rapi dan ada kantung mata yang kentara di balik make up-nya. Tetapi determinasi di matanya menyala seperti api, dan langkahnya ringan melebihi burung yang terbang bebas. Kepalanya terangkat tinggi seolah dunia tidak akan mampu membuatnya menunduk. Kakashi melihat perempuan yang bangkit setelah dihempaskan, datang kembali dengan kekuatan baru. Dan ketika Sakura tersenyum kepadanya, napas Kakashi tercuri, begitu pula hatinya.
Sakura mengembalikan jaketnya pagi itu, tetapi satu-satunya hal yang mampu Kakashi pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya menghindari kematian yang bisa gadis ini sebabkan untuknya.
Saat itu juga kebenaran datang kepadanya seperti badai. Kakashi telah jatuh untuk Sakura, dan ia terjatuh dengan hebat.
Jadi dirinya hanya bisa memberitahu Genma kebenaran. "Ya, aku menyukainya, mungkin lebih daripada rasa sukanya terhadapku."
Awalnya Genma tidak merespon, tetapi kemudian sang radiolog tertawa. "Darn it, Kakashi. Aku berharap melihat respons yang main-main darimu. Tetapi sepertinya Sakura benar-benar memiliki efek yang serius terhadapmu!"
"Ya. Dan fakta jika kau sangat menikmati ini tidak membantu sedikit pun. Aku berada dalam masalah besar," desah Kakashi. "Sedikit nasehat untuk teman lama, tolong?"
Genma mendengus. "Kau tahu benar aku akan menyarankanmu untuk mengikuti instingmu dan langsung bergerak untuk mendapatkan hati Sakura sekarang juga."
Kakashi mengerang. "Masalahnya tidak semudah itu."
"Dan masalahnya adalah?"
"Aku sepuluh tahun lebih tua darinya."
Lagi-lagi Genma mendengus, lebih keras kali ini. "Kau dan aku sama-sama tahu jika bukan itu masalahnya. Tidak ada yang salah dengan jarak usia kalian. Kau adalah laki-laki yang bahkan belum mendekati ujung dari masa primamu. Sakura adalah perempuan dewasa yang konsen. Dan jika melihat laporan yang diberikan informan Shizune setiap harinya, kurasa Sakura juga tertarik kepadamu."
Kakashi masih belum teryakinkan. "Aku tahu. Tapi tetap saja ini tidak semudah kedengarannya."
Genma mengubah posisi duduknya. Tubuhnya ia condongkan ke arah Kakashi. "Ini karena Hanare, bukan?"
Rahang Kakashi mengkaku. Ia mengalami kesulitan untuk menekan kembali kepahitan dan rasa terkhianati yang mengancam untuk menyeruak keluar ketika mendengar nama itu. "Ya," desisnya.
Genma menghela napas panjang, tahu jika mantan tunangan Kakashi adalah subjek yang sensitif bagi sahabatnya. "Kakashi, ini sudah tiga tahun."
Respons Kakashi terdengar begitu sulit untuk ia suarakan. "Aku tahu."
"Tetapi Sakura bukan Hanare. Dia dekat dengan Naruto. Dia tidak akan mencoba memisahkanmu dari Naruto," timpal Genma, mencoba untuk beralasan dengan Kakashi. "Kau tidak pantas untuk ragu barang sedikit pun kepada perempuan setulus Sakura."
Ketegangan dalam sikap tubuh Kakashi mengendur. "Kau benar, karena itu aku merasa sangat bersalah kepadanya."
"Lalu kenapa kau tidak mencoba untuk memberi dirimu dan Sakura kesempatan? Aku bersungguh-sungguh, Kakashi. Perempuan seperti Sakura tidak akan kau temui setiap hari."
Helaan napas Kakashi terdengar begitu panjang. "Kurasa itu juga mungkin. Tetapi aku tidak akan melakukannya sekarang-sekarang ini. Sakura baru saja mengalami hal yang tidak mengenakkan dengan mantan pacarnya, dan ia butuh waktu untuk pulih dan benar-benar berpikir jernih. Aku bisa menunggu."
Genma menepuk punggung Kakashi. "That's my man."
"Itu terdengar sangat salah. Tetapi kurasa aku tidak akan keberatan jika kau belum beristri."
Ekspresi wajah Genma sangat pantas untuk diabadikan. "Eew, Kakashi. Eew."
Ini buruk, pikir Kakashi ketika melihat Shizune dan Sakura melangkah masuk ke ruang tamu. Ini bukan sesuatu yang kubutuhkan sekarang.
Dan ketika dirinya memergoki Genma dan Shizune saling bertukar kedipan di bawah tangga, Kakashi sadar jika dirinya telah masuk ke dalam apa pun yang direncanakan sepasang suami-istri itu.
"Selamat sore, Kakashi-senpai."
Dan Sakura, Sakura, mengapa ia harus terlihat begitu cantik? Kakashi benar-benar tidak membutuhkan hal ini saat ini.
"Sore, Sakura-chan. Aku tidak tahu kau akan berkunjung ke sini juga." Kakashi mencoba untuk memberinya imitasi senyuman yang paling baik sembari berusaha menjinakkan debaran di dadanya. Ini tidak baik untuk jantungku.
"Sebenarnya pada awalnya aku juga tidak berencana untuk mampir, tetapi Shizune-senpai mengundangku untuk makan malam." Senyum Sakura terlihat malu dan ragu, dan itu tidak melakukan apa pun selain membuatnya semakin terlihat manis di mata Kakashi. "Kudengar kamar Dan sudah selesai? Aku ingin melihatnya. Dan …." Ia menatap vas bunga di sudut ruangan seolah benda itu adalah hal paling menarik sedunia, ada sepasang rona yang manis di pipinya. "Dan kudengar kau juga ada di sini …."
Oh, Kami ….
Kakashi berdeham. "Ya. Aku tenaga sukarelawan yang membantu Genma mendekorasi kamar Dan hari ini. Dan kami melakukan pekerjaan yang bagus."
"Kau mau melihat-lihat, Sakura-chan?" panggil Shizune dari ambang pintu dapur. "Kakashi bisa mengantarmu ke sana sementara aku dan Genma menyiapkan makan malam."
Kakashi bisa merasakan seringai Genma di balik punggungnya.
"Ah, tentu aku ingin sekali, Shizune-senpai. Tetapi apa kau yakin tidak apa-apa jika aku tidak membantu?"
"Tidak apa-apa, Sakura-chan. Aku sudah mempersiapkan bahan-bahannya sejak pagi jadi sekarang hanya tinggal memasak saja. Tidak akan lama. Kau tidak usah sungkan."
"Mari, kalau begitu. Kamarnya ada di lantai dua, Sakura-chan," ajak Kakashi, rela pergi ke mana pun asal bisa lepas dari keberadaan dua teman terdekatnya.
Hujan turun sangat deras ketika mereka selesai makan malam, mencegah Kakashi maupun Sakura untuk segera pulang. Dan ketika sore habis, hujan yang tadinya tanpa disertai angin bertransformasi menjadi badai berkekuatan penuh beserta petir.
"Sepertinya badainya tidak akan berhenti dalam waktu dekat," kata Genma yang sedang mengintip keadaan di luar dari balik tirai. "Maaf, tetapi sepertinya kalian harus menginap. Besok kalian masih libur, 'kan?"
Sakura mengalihkan perhatiannya dari kucing loreng gemuk di pangkuannya kepada Genma. "Ya. Maaf sudah merepotkan, Senpai."
"Jangan bersikap seperti orang asing, Pink. Shizune dan aku sama sekali tidak merasa direpotkan," kata Genma, kemudian bergabung dengan Sakura dan duduk di dekat kotatsu. "Di mana Kakashi?"
"Dia sedang mencoba menelepon Naruto di ruangan sebelah."
Yang sedang dibicarakan kemudian muncul tidak lama kemudian.
"Bagaimana Naruto?" tanya Genma, matanya tidak lepas dari Kakashi yang kini tengah mendudukkan dirinya ke kursi.
"Dia sudah ada di rumah," desah Kakashi lega. "Dia sempat kehujanan tetapi tidak lama."
"Ah, syukurlah. Dia tidak apa-apa sendirian di rumah, kalau begitu?"
Kakashi mengangguk. "Dia baik-baik saja. Sedang membaca manga, katanya. Di mana Shizune?"
"Sedang membuat kopi."
Tanpa ia niatkan, Sakura menghembuskan napas panjang karena merasa lega setelah mendengar kabar dari Naruto, kemudian menyandarkan tubuh bagian atasnya ke permukaan kotatsu, tanpa sadar terus membelai Tuan Nyanko di pangkuannya.
Ada yang aneh dengan Kakashi hari ini. Mau tidak mau Sakura berkesipulan demikian setelah mendapat kesan jika Kakashi menghindarinya selama mereka ada di rumah ini. Semenjak tadi sore ia menolak bertatapan dengan Sakura, senyuman-senyumannya terlihat dipaksakan. Dan itu sangat mengganggunya.
Apakah tanpa sadar Sakura telah melakukan kesalahan? Ia berpikir dan berpikir dan berpikir, tetapi tidak bisa mengingat satu kejadian pun yang bisa merasionalkan sikap Kakashi yang seperti ini. Sakura mencoba berpikir positif. Mungkin Kakashi sedang berkutat dengan masalah pribadi yang tidak Sakura ketahui. Mungkin ia seperti ini karena mengkhawatirkan Naruto—
Mungkin dia tahu kalau kau menyukainya, Sakura, tanpa diminta suara gelap dalam kepalanya bicara. Dan dia merasa terganggu karenanya. Ini adalah kau yang sedang kita bicarakan ….
Ketika Sakura hendak menjawab suara dalam dirinya, ada kilat cahaya kuat yang diikuti bunyi guntur keras. Sakura menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Tuan Nyanko melompat dari pangkuannya. Sesaat setelah hening kembali ia mendengar Genma mengutuk.
"Aku baru mendengar yang seperti itu setelah sekian lama," katanya. "Cuaca di Tokyo terkadang bisa begitu seram."
"Dengan petir sekuat itu aku ragu kalau tidak akan ada kerusakan," sambung Kakashi. "Paling tidak, ada pohon tumbang."
"Shizune, baik-baik saja di sana?!" Panggil Genma, ada jeda sejenak sebelum Shizune menjawab "Ya! Aku akan segera ke sana!"
"Pink, kau tidak apa-apa?"
Sakura menggeleng. "Hanya kaget sedikit, tetapi kurasa aku kehilangan Tuan Nyanko."
Genma mendengus. "Jangan khawatir, dia pasti sedang bersembunyi di suatu tempat. Kemungkinan besar di bawah selimut kami—tunggu, asosiasi lingkungan mengirimiku pesan." Genma menatap layar ponselnya. "Well, shit. Kau benar Kakashi, pohon besar tua di blok bawah tumbang tersambar petir dan menutup jalan. Tidak ada yang terluka tetapi arus lalulintas lumpuh total. Perbaikan baru bisa dilakukan besok pagi setelah badai berhenti. Sepertinya kita tidak bisa ke mana-mana hingga besok siang."
"Yah, itu memperumit keadaan."
Semua orang menoleh ke arah Shizune yang baru saja bicara dari ambang pintu. Perempuan itu meringis dan dahinya mengerut dalam.
"Air ketubanku baru saja pecah."
End note:
Maaf sekali kali ini saya tidak bisa membalas review di chapter sebelumnya, tetapi semua komentarnya sudah saya baca dan semua sarannya sudah saya tampung. Terima kasih sekali, komentar dari kalian sangat berharga bagi saya. Saya balas di chapter selanjutnya, ya xD
Ditunggu kesan-pesannya, saya pamit dulu!
Salam,
Clarione
Frigid: merasa takut dengan segala interaksi dengan seseorang dari lawan jenis, atau, secara seksual tidak responsif, merasa datar dengan segala percobaan mencium/memeluk atau segala gestur intim lainnya.