.

.

.

Keduanya terdiam di tempat masing-masing. Sesekali Jaemin melirik Mark yang sibuk dengan ponselnya. Ia berdehem kemudian menegakkan badan. "Mark?"

"Ya?" Mark balas menatapnya.

Jaemin menarik nafas sekali. "Aku menyukaimu..."

Lawan bicaranya tertawa garing. "Ya."

Dan hening. Jaemin merengut kesal sementara Mark kembali fokus pada ponselnya. Jaemin pikir dengan Haechan pergi semuanya akan berjalan lancar. Ternyata tidak sama sekali.

"Kau tak mau mengakatan apa-apa?" tanya Jaemin sekali lagi.

Mark terdiam, berpikir. "Hm... tidak. Memangnya kau mau aku bilang apa?"

"Perasaanmu...?"

Lelaki di hadapannya mengerutkan dahi, tak mengerti. Jaemin sendiri hanya tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. "Kau menyukai Haechan ya?"

Mark tampak terkejut sejenak. Kemudian tersenyum kecil. "Hm. Sepertinya iya."

Cuma seperti itu, tapi begitu mempan membuat hati Jaemin hancur jadi berkeping-keping. Ia seharusnya menyadari hal itu sejak awal dan tak terlalu berusaha untuk mengejar Mark. Semua usahanya jadi sia-sia kan sekarang.

•••

Haechan berjalan cepat sambil cemberut. Rumahnya sudah dekat. Rasanya ia ingin sekali berlari, tapi kakinya masih sakit—ia jatuh tadi di sekolah—. Sedangkan di belakangnya, Mark masih setia mengikuti. Terus begitu sejak Haechan berusaha menghindarinya. Sebelumnya tak pernah sampai seperti ini, tapi hari ini adalah puncaknya Mark merasa begitu hampa tanpa eksistensi anak itu di sekitarnya. Mark sudah benar-benar yakin sekarang. Hari ini timingnya sudah pas menurut lelaki itu. Jadi ia buru-buru melangkah kemudian menahan pergelangan tangan Haechan.

"Ih lepas!" Haechan menghentakan tangannya keras-keras, tapi genggaman Mark terlampau erat untuk ia lepaskan begitu.

"Haechan berhenti menghindariku dan katakan ada apa!"

Haechan berdecak kesal. "Lepas dulu!"

"Kau pasti akan kabur kalau aku lepaskan. Aku tau itu."

Anak itu menghela nafas. Tak berniat mengelak karena memang itu rencananya. Sejak kapan Mark jadi sepeka ini, huh?Buatnya heran saja. "Tak ada apa-apa. Tak ada apapun yang perlu kau dengar dariku."

"Kalau begitu sekarang giliranku yang bicara..." Mark menatapnya dalam, membuatnya gugup seketika.

"Y-ya... silahkan..." balasnya setengah gagap.

"Jangan menghindariku lagi mulai hari ini atau bahkan di lain waktu, jangan lakukan itu. Aku benar-benar merasa sepi karena kau tak ada disekitarku." Mark memberi jeda sejenak. Dalam hati ia tengan menahan ingin muntah mendengar kalimatnya sendiri yang menurutnya terlalu cheesy. Oh, sebenarnya hal semacam ini sama sekali bukan style seorang Mark Lee asal kalian tau. "Aku menyukaimu. Kau mau tidak jadi pacar ku?"

"O-oh?" Haechan melotot kaget. Ia memiringkan kepalanya, ragu. Apa-apaan yang barusan ia dengar?

"Mau tidak jadi pacarku?"

"Ha?" Sepersekian detik kemudian anak itu tertawa keras. Mark heran, genggamannya pada pergelangan tangan Haechan melonggar. Ia menghela nafas, aku ditolak.

Haechan masih tertawa sampai air mata keluar. Ia mengangguk kemudian, dan tawanya berangsur-angsur hilang. "Kenapa tanya? Tentu saja mau!"

•••

Renjun berjalan cepat sembari mencari kontak di ponselnya. Memencet gambar telepon di sana dan menempelkan layarnya ke telinga. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya ia mendapat balasan.

Renjun tersenyum kecil, entah karena apa. Ia menghela nafas dan bersiap untuk mengatakannya. "Jeno... kau kalah start."

•••

Wajah lelaki itu langsung berubah masam begitu mendengar suara orang di seberang. Ia kalah start, katanya. Pujaan hatinya sudah jadi milik orang lain. Usahanya selama ini jadi benar-benar sia-sia.

Ia merasa sedih. Tapi entah kenapa tidak sesedih itu. Tidak merasa sampai seperti ada yang meremas jantungnya, tidak merasa hancur berkeping-keping hatinya. Ia hanya sekedar merasa sedih. Ya hanya begitu saja. Bukan merasa sedih yang sampai membuatnya kehilangan tenaga dan semangatnya untuk melakukan aktifitas.

Ada apa ini? Kenapa ia biasa saja? Kenapa reaksinya malah seperti ini? Oh. Apa mungkin ia benar-benar sudah tak berharap pada Haechan? Baguslah kalau begitu.

Karena tanpa sadar Renjun tengah menikmati kebahagiannya sekarang.

•••

Dan sore itu, keduanya duduk di tepi danau di taman kota dengan tanpa bicara sama sekali. Hanya diam dan menikmati pemandangan.

"Jeno..."

"Hm?" balas lelaki itu sekenanya, matanya masih fokus pada cahaya cemerlang dari danau akibat pantulan sinar matahari.

"Aku menyukaimu."

Jeno menoleh pada Renjun. Tampangnya terkejut, tapi berubah biasa saja kemudian. Begitu cepat sampai Renjun tak menyadarinya. "Kau bilang apa tadi?" tanyanya menuntut pengulangan. Ia mendadak ragu akan pendengarannya sendiri.

"Aku menyukaimu."

Tak ada reaksi apapun. Jeno kembali menatap danau, seolah mengabaikan perkataan Renjun barusan. Tak lama, lelaki itu tertawa kecil kemudian kembali menoleh pada Renjun yang masih setia menghadap padanya.

"Kalau begitu bantu aku."

"Ha?" Renjun mengerutkan dahi, tak mengerti.

"Bantu buat aku suka, cinta padamu."

Renjun terdiam mengulum senyum. Ia tak mau mendengarnya lagi. Cukup sudah. Satu kalimat itu sudah cukup memporakporandakan hatinya. Ia tak bisa mendengarnya lagi. Tak perlu.

"Ya. Tentu saja..."

•••

"Iya, iya. Iyaaa~ bawel. Aku akan tidur." Renjun membalikkan badannya begitu Haechan masuk kamar. Ia tiduran masih sambil menempelkan ponselnya di telinga dan menghadap ke tembok.

"Ya. Kau juga!" Anak itu terkekeh kemudian. Ia diam-diam sudah merasakan kehadiran Haechan di dekatnya.

"Iya sudah ya. Selamat malam~" Lagi-lagi anak itu tertawa kecil. "Sayang?" Renjun mengerutkan dahinya, kemudian segera menutup mulutnya dan melirik, takut-takut Haechan menyadari.

"Ya. Selamat malam... sayang." Renjun berbisik di akhir kalimat. Kemudian segera menyembunyikan ponselnya dan membalikan badannya lagi, menghadap ke Haechan yang sudah tiduran di tempatnya.

"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Haechan heran. Tak biasanya Renjun begitu, biasanya ia akan menemukan anak itu di meja belajar atau sedang membaca novel di jam sebelum tidur begini. Tapi apa-apaan kali ini? Ia bertelefon?

"Dan siapa sayang-mu itu?"

Renjun langsung memasang tampang datar dan menatap Haechan sebal. "Bukan urusanmu."

"Hm... ini sedikit relatable. Kau baru saja jalan-jalan dengan Jeno. Jangan bilang kau...?"

"Tidak! Tidak!! Mana mungkin!?" Renjun menatap ke arah lain, asal jangan mata Haechan. Sedangkan adiknya itu sudah menyadari bahwa sang kakak tengah menyembunyikan sesuatu. Oh jangan lupakan kekuatan saudara kembar.

"Kau jadian dengan Jeno ya?"

"Tidak! Sudah ku bilang tidak juga. Jangan paksa aku bicara atau kau akan aku pukuli!"

"Whoa~ santai dong, kak. Aku kan bicara baik-baik. Kenapa kau mendadak pakai emosi begitu. Haha. Ya sudah sih. Yang penting kakak sudah tau kalau sekarang aku dan Mark bukan sedang pendekatan lagi. Kita sudah jadian. Dan aku harap kau akan segera menyusul dengan orang yang baik-baik dan cocok denganmu. Haha."

Haechan menarik selimutnya dan bersiap tidur. Tapi Renjun buru-buru memanggil namanya lagi dan menggigit bibirnya, berpikir.

"Iya itu... sebenarnya aku dan Jeno memang baru saja jadian."

Haechan langsung mendudukan dirinya dan menjentikan jari. Memasang tampang percaya diri seolah ia telah meramalkan hal ini sejak lama.

"Sudah ku duga! Kau itu begitu katahuan suka dengan Jeno! Kau harusnya jujur saja sejak awal. Jangan tunggu dia menyatakan!"

Renjun merengut kesal. "Aku yang bilang duluan. Ugh, memalukan sekali kalau mengingatnya lagi." Anak itu menenggelamkan wajahnya ke bantal.

"Ya ampun! Selamat! Aku pikir kau tak akan seberani itu sampai menyatakan perasaan duluan. Huhuhu aku bangga sekali padamu, Njun!"

Haechan bertingkah dramatis dengan melompat ke ranjang kakak kembarnya itu dan memeluknya sambil pura-pura terharu. Membuat Renjun yang dasarnya tak pandai menyembunyikan perasaan jadi malu dan wajahnya memerah seketika.

•••

Keduanya berlari keluar rumah dengan buru-buru, bahkan mereka mengabaikan panggilan sang ibu yang menyuruhnya untuk sarapan dulu dan malah bilang kalau mereka sudah hampir terlambat. Padahal jelas sekali bel baru akan berbunyi tiga perempat jam lagi. Ini masih terlalu pagi untuk terlambat. Yah, tapi namanya juga anak muda sedang kasmaran.

Haechan tersenyum lebar begitu melihat Mark sudah berdiri di depan gerbang rumahnya. Sementara Renjun hanya lanjut berlari menuju halte sebab Jeno sudah menunggunya di sana.

Yah... yang lagu jatuh cinta mah beda.

Semuanya benar-benar tak terduga, keduanya, Haechan dan Renjun bahkan tak pernah mengira mereka akan berakhir seperti ini. Haechan pikir ia dan Mark hanya akan stuck di hubungan perteman saja sebab ia kira Mark bukanlah orang yang peka. Sedangkan Renjun pikir ia akan menghabiskan masa SMA nya dengan berbagai macam novel dan juga tugas sekolah sementara teman-temannya sibuk mencari gebetan.

Semuanya benar-benar tak terduga.

Dan keduanya sama-sama berakhir bahagia. Tak main-main kekuatan saudara kembar ini, haha.

.

.

.

END

•••

yeay akhirnya tamat juga XD

btw, pada paham gak baca chapter ini? Sini yang gak paham aku jelasin...

jadi di awal itu cerita lanjutan dari chapter 3, yang waktu Haechan ngehindarin Mark gara-gara kejadian sama Jaemin di kedai es krim itu. inget ga? kalau engga coba di cek lagi chapter 3.

selanjutnya, yang NoRen jadian itu kelanjutan dari chapter 4 yang waktu mereka berdua di suruh jalan-jalan sama Haechan. inget kan? di cek kalau gak.

nah kalau yang bagian terakhir yang Renjun telepon itu, dia telepon Jeno. dan itu lanjutan chapter 4. emang lanjutannya.

jadi chapter terakhir ini isinya semacan flashback gitu. sedangkan yang bukan flashback cuma bagian terakhir waktu renjun ngaku itu dan seterusnya. udah gitu. gampang kan? :33

btw. makasih banget buat yang udah ngikutin fanfic abal ini sampai end nya. maaf kalau kurang berkesan. dan terima kasih banyak atas segala pujian, kritik, dan saran kalian. aku seneng banget!! ayo review dan tulis pesan dan kesan kalian sama fanfic ini! aku bakalan seneng kok bacanya :D

dan terakhir... bye bye~ sampai jumpa di fanfic aku yang lain! ~(•o•~)(~•o•)~

Selasa, 20 September 2017