5. Anjing dan Kucing
"Cocox! Di mana kau? Kenapa dia harus menghilang di saat seperti ini?" gerutu Gaimon yang sedang mencari hewan setengah rubah dan setengah ayam bernama Cocox.
Pria yang terjebak di dalam peti itu berjalan di tengah hutan Animal Island. Sudah berjam-jam ia mengelilingi hutan, namun tidak ada tanda-tanda Cocox di mana pun. Gaimon yang hampir menyerah, akhirnya memutuskan untuk mencari Cocox dengan mendaki bukit tertinggi di pulau itu.
"Mencari sesuatu di tempat yang tinggi. Kenapa tidak terpikirkan olehku dari tadi. Menyusahkan saja."
Gaimon melihat dengan teliti seluruh hutan begitu ia sampai di puncak bukit. Ketika ia melihat hutan, dari sudut matanya, ia melihat kapal bajak laut pergi meninggalkan Goat Island.
"Bajak laut? Sudah lama aku tidak melihatnya. Apa yang mereka lakukan di sana?" mata Gaimon menangkap sesuatu yang mencurigakan di bibir pantai, "Tunggu dulu. Apa itu?"
Matanya yang tajam melihat sebuah Waver yang tersembunyi di dekat bangunan yang kelihatannya bisa roboh kapan saja.
"Mereka tidak membawa benda itu. Apa mereka sengaja meninggalkannya?" Gaimon berpikir sebentar dan mengambil kesimpulan, "Tidak mungkin mereka sengaja meninggalkannya, seseorang pasti masih berada di sana tanpa sepengetahuan mereka."
Gaimon yang masih menerawang pulau itu, dikagetkan oleh sebuah suara berkokok dari belakangnya.
"Cocox! Dari mana saja kau!? Aku sudah lelah mencarimu kemana-mana!"
Cocox terus berkokok dan menggigit rambut afro Gaimon seolah memaksa Gaimon untuk mengikutinya. Gaimon yang kebingungan akhirnya memutuskan untuk mengikuti Cocox yang tergesa-gesa itu. Cocox membawa Gaimon ke tepi pantai, mereka melihat pasir yang membentuk seperti jalan ke arah Goat Island.
"Air laut sedang surut di daerah sini. Pasir ini pasti muncul karenanya." Gaimon terus mengikuti Cocox melewati jalan pasir itu dan sampai di Goat Island, "Kenapa kau membawaku kemari, Cocox?"
Gaimon terus mengikuti hewan aneh itu hingga ke bangunan yang tadi ia lihat.
"Kau ingin aku masuk ke dalam?"
Cocox mengangguk.
"Kau yakin tidak apa-apa?"
Hewan aneh itu mengangguk sekali lagi.
"Baiklah, kalau ini salah satu dari leluconmu, aku tidak akan memaafkanmu." Gaimon mendekati pintu bangunan itu dan melirik ke dalam, "Seram sekali."
Ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Di dalam, ia melihat benda tersembunyi yang tadi dan mengetahui kalau itu adalah sebuah Waver. Di sebelah Waver itu terlihat beberapa tas yang tergeletak dengan isi yang berhamburan.
"Apa ini?"
Gaimon mengambil salah satu tas itu dan mengambil isinya.
"HUAAA!"
Gaimon mengambil sebuah bra berwarna pelangi dari tas itu. Wajahnya memerah ketika ia melihat ternyata ada lebih dari satu bra dan beberapa pakaian dalam wanita di tas itu.
"I-ini pakaian da-da-dalam wanita." Gaimon menelan ludahnya.
Ia membuka semua tas itu dan melihat banyak sekali pakaian wanita.
"Hehehe... Hehehe... Aku bisa menyimpannya... TIDAK!" Gaimon menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bisa melakukan ini. Ini barang milik orang lain, Sarfunkel pasti akan memarahiku kalau aku mencuri barang orang lain."
Dari luar bangunan, Cocox berkokok dengan keras dan membuat perhatian Gaimon tertuju padanya, "Ada apa? Kau ingin aku mengikutimu lagi?"
Cocox mengangguk dan pergi ke arah hutan yang ada di balik bangunan itu. Gaimon mengikutinya dari belakang.
"Hei! Pelan-pelan! Kau tidak tahu rasanya berjalan dengan tubuhmu tersangkut di dalam peti seperti ini!"
Cocox tidak menghiraukan protes dari Gaimon dan terus berlari ke tengah hutan. Tidak berapa lama kemudian, ereka telah sampai di pinggir sungai. Gaimon melihat sekeliling dan tidak melihat ada yang mencurigakan. Ia juga tidak dapat melihat Cocox di mana pun.
"Kau di mana, Cocox?"
Dari balik pohon, Cocox berkokok sambil berputar-putar seperti anjing yang kegirangan. Gaimon berjalan ke arah Cocox dan terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya.
"APAAAA!?"
Gaimon terjatuh ke belakang karena terkejut. Ia melihat tubuh seorang wanita yang menungging dan terikat di pohon dengan sesuatu yang dikenalinya sebagai bra. Dari mulut dan hidung wanita itu, cairan putih mengalir keluar dengan perlahan. Gaimon juga melihat sesuatu yang tertancap di dalam lubang pantat dan vagina wanita itu. Gaimon tidak tahu kenapa, tapi tubuh wanita itu terus mengejang dengan pelan.
Tubuh wanita itu penuh dengan cairan putih yang kini sudah bercampur dengan tanah dan berubah menjadi sedikit kecoklatan. Di sekitar wanita itu menggenang cairan-cairan yang terlihat aneh bagi Gaimon. Rambut panjang wanita itu terlihat kusut dan lembek karena bercampur dengan cairan-cairan itu.
"Cairan apa ini?" Gaimon mencolek cairan itu dengan jarinya dan memasukkannya ke mulut, "Huek! Ini terasa aneh! Cairan ini juga sedikit kental. Tidak mungkin... Ini campuran sperma dan cairan lainnya. Dia korban perkosaan!"
"To... Tolong aku..." lirih wanita itu.
Gaimon yang terkejut mundur beberapa langkah ke belakang, "DIA MASIH HIDUP!? Apa yang harus kulakukan!?"
Gaimon melihat ke arah tongkat yang menancap di lubang pantat dan vagina wanita itu, "Sepertinya benda-benda ini menyakitinya, aku harus mengeluarkannya."
Ia memegang tongkat itu dengan tangannya. Namun, baru sebentar ia menyentuhnya, sengatan listrik mengalir ke seluruh tubuhnya. Memang tidak terlalu besar, tapi itu cukup untuk membuat Gaimon terkejut.
"Listrik! Dia tersengat listrik selama ini!"
Gaimon mencari sesuatu yang dapat ia gunakan untuk melepas tongkat itu. Ia berjalan ke dekat sungai dan menemukan celana panjang tergeletak di sana. Ia mengambil celana panjang itu dan melilitkannya di tangannya.
"Kuharap ini bisa mengurangi aliran listriknya."
Lelaki berambut afro itu menarik tongkat yang ada di lubang pantat wanita itu dengan perlahan. Suara erangan wanita itu mengiringi keluarnya tongkat. Gaimon mencoba untuk mengabaikan erangan wanita itu.
"Si-sial... Erangannya membuat penisku berdiri... Ugghh..."
Gaimon berusaha menahan nafsunya. Karena tubuhnya yang terjepit di dalam peti, ruang di sekitar selangkangannya menjadi sempit. Ia harus menahan rasa sakit di penisnya yang sekarang sedang ereksi akibat erangan wanita itu.
"Ugghh... Satu sudah keluar, sisa dua lagi..."
Gaimon menarik dua tongkat yang menancap di vagina wanita itu satu per satu dan secara perlahan. Wanita itu kali ini tidak hanya mengerang, kini ia mendesah seakan menikmati tongkat yang dialiri listrik itu menggesek dinding vaginanya.
"GAAHH! Kenapa kau harus mendesah seperti ini!? Penisku semakin terjepit di dalam sini!"
Rasa sakit akibat penisnya yang terjepit membuat Gaimon kehilangan konsentrasi. Ia menarik dua tongkat itu dengan gemetaran dan membuat wanita itu mendesah semakin keras.
"Sedikit lagi, sedikit lagi."
"Aah... Aaaaahhhhhh..."
Wanita itu mengalami orgasme begitu dua tongkat itu berhasil dikeluarkan dari vaginanya. Cairan putih yang kental mengalir keluar dari vaginanya. Gaimon yang melihat hal itu hanya bisa menelan ludahnya. Ia benar-benar tidak dapat membayangkan apa yang telah dialami oleh wanita ini hingga bisa dalam keadaan yang benar-benar mengkhawatirkan seperti ini.
Gaimon yang duduk sambil mengatur nafasnya, mendengar suara pelan dari mulut wanita itu, "Ma... Masih... Ada... Ahh... Di dalam..."
"Hah? Apa? Aku tidak bisa mendengar kata-katamu dengan jelas."
"Di... Dalam... Ahhh..."
"Di dalam? Maksudmu, masih ada sesuatu di dalam sana?" Gaimon terdiam sebentar, berusaha untuk mencerna apa yang dimaksud wanita itu hingga akhirnya dia menyadari sesuatu, "Masih ada sesuatu di sana!? Aku tidak bisa memasukkan tanganku ke sana! Apa yang harus kulakukan? Berpikir, berpikir!"
Setelah berpikir beberapa lama, Gaimon mengutus Cocox untuk memanggil Sarfunkel "Sial. Cocox, cepat kau panggil Sarfunkel kemari, mungkin dia tahu apa yang harus dilakukan. Cepat!"
Cocox menyetujui hal itu dengan berkokok sekali lalu pergi meninggalkan Gaimon bersama wanita itu.
"Bersabarlah, temanku akan kemari sebentar lagi." Gaimon mengamati wanita itu dan merasa familiar dengannya, "Tunggu sebentar. Rambut jingga dan Log Pose di pergelangannya. Sepertinya aku mengenalnya."
Ia mendekati wanita itu dan mengangkat rambut yang menutupi lengannya, "Tidak mungkin! Ta-tato ini... Na-Na-Nami!? Kau kah itu?"
Gaimon menjadi panik seketika saat mengetahui korban perkosaan yang ada di depannya adalah seseorang yang dikenalnya. Nami dari Bajak Laut Topi Jerami dan orang yang pernah datang ke tempatnya dua tahun lalu. Bersama Luffy saat itu, Nami pernah menolongnya untuk melindungi sebuah peti harta karun, yang walau pun tidak berisi apa-apa, dari para pencuri.
"Ke-kenapa kau bisa mengalami hal buruk seperti ini!? I-i-ini sudah keterlaluan, bertahanlah sebentar lagi. Aku akan menemanimu sampai Sarfunkel datang."
Gaimon duduk di sebelah Nami dan memikirkan hal apa yang bisa dia lakukan untuk gadis itu. Ia tidak bisa berpikir dengan tenang, pandangannya selalu teralihkan ke arah tubuh Nami yang telanjang bulat. Ia selalu melirik ke arah puting Nami dan sesekali ke arah vagina navigator itu.
"Urrghh... Penisku terjepit hingga mati rasa di dalam peti ini." Gaimon mengeluh akibat rasa sakit di area selangkangannya yang terjepit, "Nami benar-benar berubah, sejak kapan tubuhnya menjadi montok dan berisi seperti ini? Tidak heran jika dia mengalami hal buruk seperti ini dengan tubuh yang sangat menggoda."
Sejenak, Gaimon membayangkan dirinya sedang menikmati tubuh Nami. Dengan cepat ia menghilangkan pemikiran itu, "Tidak! Aku sudah bersama Sarfunkel, aku tidak bisa mengkhinatinya! Ngomong-ngomong, di mana dia?"
Gaimon menoleh ke belakang dan melihat Cocox berlari dengan kencang diikuti oleh seorang wanita berambut panjang yang terjebak di dalam tong, sama seperti dirinya.
"Sarfunkel!" Gaimon berdiri mendadak hingga membuat penisnya jadi semakin sakit, namun ia tetap tidak menghiraukannya dan berusaha menyembunyikannya, "Di sini! Di sini!"
Sarfunkel mendekati Gaimon dan melihat sesuatu yang ditunjukkan olehnya. Ia sangat terkejut melihat seorang wanita cantik sedang terkapar dengan banyak sperma di tubuhnya. "Ehhhhh!? Apa-apaan ini? Gaimon kau kejam sekali!"
"Tidak! Bukan aku yang melakukannya! Cocox yang menemukannya!"
"Ehhhhhh!? Kau yang melakukan ini Cocox!?"
Rubah setengah ayam itu berkokok protes karena tuduhan yang salah itu.
"Tolong, Sarfunkel. Di dalam sana masih ada sesuatu," Gaimon menunjuk vagina Nami, "Aku tidak bisa memasukkan tanganku ke sana."
"Kejam sekali..." ujar Sarfunkel pelan sambil melihat keadaan Nami.
"To...long..." lirih Nami.
Sarfunkel mendekati vagina Nami dan mempersiapkan tangannya yang kecil itu untuk memasukkannya ke dalam sana.
"Aku tidak tahu, ini mungkin terasa sakit jadi cobalah untuk bertahan."
Nami mengeluarkan erangan dan desahan erotis begitu tangan Sarfunkel memasuki liang kewamitaannya yang baru saja kehilangan kesuciannya. Lubang vaginanya yang sudah tidak mungkin kembali ke ukuran normal itu, kini sudah kembali menyempit karena kutukan artefak. Kutukan itu, selain membuat tubuh Nami menjadi sangat mudah menerima rangsangan seksual dan memproduksi susu, mampu meregenerasi area-area sensitif seperti payudara dan vaginanya.
Tangan Sarfunkel sudah masuk setengahnya. "Aku dapat! Bertahanlah, aku akan menariknya perlahan-lahan."
"Ooooohhhnn... Aahh... Ahhahhhhnnnn..." Nami mendesah keenakan begitu tangan kecil Sarfunkel menggesek dinding vaginanya yang sedang sangat sensitif, ditambah, celana dalamnya yang terbenam di dalamnya juga ikut memberikan sensasi yang nikmat.
Putingnya kembali berdiri tegak dan mengeras. Air susu berwarna putih mulai menetes sedikit demi sedikit. Klitorisnya juga semakin membesar dan menjadi semakin sensitif. Lidah Nami kini menjulur keluar sambil mengeluarkan air liur bersamaan dengan desahannya. Matanya sampai terbalik ke belakang karena kenikmatan itu.
"Enaak sekaliii... Aahhhh... Ohh, ohhh, ohhh... Aku keluaaaarrr!"
Satu tarikan cepat dari tangan Sarfunkel membuat Nami mengalami orgasme. Bersamaan dengan keluarnya celana dalam, vaginanya menyemburkan cairan bening disertai dengan sisa-sisa sperma para pria yang telah memperkosanya. Air susunya seakan tidak mau kalah dan menyembur keluar. Walaupun hanya sesaat, tapi semburan air susu itu cukup untuk membuat Nami ambruk dan akhirnya tidak sadarkan diri.
"I-ini kan celana dalam..." Sarfunkel terperangah melihat sesuatu yang berada di dalam vagina Nami adalah sebuah celana dalam, "Siapa yang tega melakukan hal ini? Aku tidak bisa memaafkannya!"
"Kurasa dia pingsan, Sarfunkel." Kata Gaimon.
"Kita harus merawatnya. Hei kau!" Sarfunkel menunjuk ke arah Cocox, "Panggil gajah harimau itu."
Cocox mematuhi perintah dari Sarfunkel yang kelihatan marah. Tidak berapa lama dia pergi, rubah ayam itu kembali bersama seekor gajah dengan corak seperti harimau. Gajah itu menaruh Nami di atas tubuhnya.
"Gaimon!"
"Siap, nyonya!" Gaimon memberi hormat.
"Kau bantu aku mengurus pakaian wanita ini."
"Kurasa aku tahu di mana pakaian-pakaiannya miliknya."
"Bagus, dan untuk kalian berdua," Sarfunkel menatap ke arah Cocox dan gajah itu, "Cepat bersihkan tubuhnya."
Kedua hewan itu membawa Nami ke sebuah sungai, sedangkan Gaimon dan Sarfunkel mengambil pakaian Nami yang berada di markas bekas bajak laut Alvida.
Beberapa jam kemudian...
"Kuh... Uhh..."
Nami terbangun dari tidurnya karena rasa perih di area kewanitaannya.
"Di-di mana aku?" gumamnya.
Sarfunkel yang tertidur saat menjaga Nami akhirnya terbangun, "Oh... Kau sudah sadar."
Nami kebingungan melihat gadis yang terjebak di dalam barel itu, "Gaimon? Apa kau sudah bosan menjadi pria?" tanya Nami dengan polos.
"EEHH!? Aku bukan Gaimon! Aku Sarfunkel!"
Nami tertawa kecil, "Aku tahu, aku hanya bercanda. Aku mengingatmu, kau membantuku mengeluarkan..."
Kata-kata Nami terhenti seolah-olah dia tidak ingin membayangkan lagi kejadian yang sangat buruk yang sudah menimpanya. Melihat hal itu, Sarfunkel tidak hanya diam saja, ia memegang pundak Nami dan berusaha untuk menenangkannya.
"Aku tahu itu pasti berat untukmu. Para lelaki itu memang benar-benar memalukan! Mereka tidak bisa memperlakukan wanita dengan benar. Aku turut bersedih atas hal itu, Nami. Sekarang kau sudah aman di sini, tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi."
Nami berusaha tersenyum dan memberi anggukan pelan.
"Kau pasti belum makan. Gaimon sudah membuatkanmu sesuatu." Sarfunkel mengambil mangkuk yang berisi bubur hangat, "Ini, biar kusuapi."
Nami menggelengkan kepalanya, "Terima kasih, aku bisa sendiri."
Sarfunkel memberikan mangkuk itu dan melihat Nami memakan isinya dengan lahap.
"Kau benar-benar lapar ya, makanmu lahap sekali." Ujar Sarfunkel dengan tawa kecil.
Nami menelan bubur itu sebelum menjawab kata-kata Sarfunkel, "Apa aku terlihat selahap itu? Aaahh! Memalukan!"
Sarfunkel tertawa, "Tidak, tidak! Itu normal saat kau benar-benar kelaparan."
Nami tersipu malu dan kembali menyantap buburnya sampai habis. Setelah selesai makan, ia mengembalikan mangkuk itu ke Sarfunkel dan mengucapkan terima kasih.
"Kalau begitu," Sarfunkel pergi ke arah pintu, "Aku akan meninggalkanmu sendiri. Barang-barangmu ada di atas meja itu. Aku berada di luar bersama Gaimon kalau kau butuh apa-apa."
Nami mengangguk sambil melihat Sarfunkel pergi dari hadapannya. Ia melihat tubuhnya yang sekarang tidak terbalut apa-apa, hanya selimut yang dari tadi menempel di kedua payudara besarnya.
"Aku harus cepat-cepat berganti baju."
Nami turun dari tempat tidur itu. Ia menginjakkan kakinya di lantai dan mulai berdiri. Namun, baru saja ia ingin melangkah, selimut yang menutupi payudaranya, melorot ke bawah. Selimut itu menggesek kedua putingnya. Sial bagi Nami karena putingnya masih sangat sensitif, bahkan hanya karena gesekan kecil itu.
"Kyaah!"
Nami mengeluarkan jeritan kecil sambil jatuh terduduk. Air susu terciprat dari kedua putingnya. Ia memegangi kedua payudaranya, berharap bisa menghentikan cipratan air susu itu. Hal itu sia-sia, sentuhan di payudaranya membuatnya semakin menyemburkan banyak cairan putih itu.
"Aaahh... Haahh... Apa-apaan ini... Payudaraku... Terasa sangat panas... Aaahhnnn..."
Nami melihat kedua payudaranya masih mengeluarkan air susu. Ia berusaha untuk menghentikannya, tentu saja itu tidak berguna. Air susu itu berada di luar kendalinya, tidak ada yang bisa ia lakukan sampai air susu itu berhenti dengan sendirinya.
"Air susu... Tubuhku menjadi... Ahhh... Sangat sensitif... Ooohhh..."
Navigator itu mengalami orgasme dan membasahi lantai di sekitarnya dengan cairan vaginanya. Tanpa ia sadari, tangannya sudah menggesek-gesek bibir vaginanya untuk merangsang tubuhnya yang sudah penuh dengan gairah seks itu.
"Aahhh... Ooh.. Apa yang kulakukan... Oooohh... Aku... Ahhh.. Tidak bisa membiarkan... Ahhn... Mereka melihat ini... Ooonngghh..."
Jari-jari Nami terus memilin-milin dan memijit putingnya, membuatnya terus mengeluarkan cairan berwarna putih dari sana tanpa henti. Tidak hanya itu, ia mengepalkan tangannya yang satu lagi dan memasukkan seluruhnya ke dalam vaginanya untuk merasakan kenikmatan yang maksimal.
"Aagghhhhh... Ooooghh, aauhhghh... Enaaakk... Enaakkk sekaliii... Ngghhhhh, nggooonnhh... Ahhhhh..."
Nami tanpa rasa malu mengeluarkan erangan erotisnya. Ia bagaiakan pelacur murahan yang sedang menikmati penis di vaginanya. Cairan vaginanya merembes keluar melalui sela-sela di antara tangannya yang kini terbenam di dalam lubang kewanitaannya itu.
"Aku keluar! Aku keluaaarrr! Aaaaahhhhhnnn! AAAHHHHHHHH!"
Tangannya yang berada di dalam vagina itu ia tarik keluar bersamaan dengan orgasmenya yang hebat. Ia menyemprotkan cairan cinta ke segala arah. Wajahnya memerah dan penuh kenikmatan. Nafasnya yang memburu membuat payudaranya, yang masih belum berhenti mengeluarkan air susu itu, bergerak naik turun.
"Haahh, haaah, haahh... Enak... Sekali..." Pikiran wanita itu melayang kemana-mana, ia hanya memikirkan tentang seks saat ini.
Nami yang sedang mengatur nafasnya itu, dikejutkan oleh suara mengembik dari arah pintu. Di ambang pintu yang terbuka itu, ia melihat seekor anjing dengan kepala kambing sedang menatapnya dengan heran.
"Se-sejak kapan kau di sana?" ujar Nami tergagap karena terkejut melihat binatang itu dan dengan refleks yang cepat ia menutupi dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
Binatang itu hanya mengembik dan berdiri dengan kaku di sana. Ia memandang Nami dengan ketakutan, bahkan ia tidak mampu untuk berlari karena kini penisnya mulai mengacung tegak. Anjing itu memiliki penis yang mirip dengan penis kuda, sesuai dengan tubuhnya yang dua kali lipat dari anjing biasa. Penisnya semakin lama semakin membesar hingga ke ukuran maksimal sekitar 40 sentimeter. Ukuran yang jauh melebihi manusia bahkan anjing normal lainnya.
"D-dia... Terangsang..." gumam Nami ketika melihat penis berukuran besar itu.
Penis itu kelihatan seperti tangan orang dewasa. Tidak hanya panjang, penis itu juga lebar seperti dua kepalan tangan yang disatukan. Nami yang baru saja mengalami orgasme itu, entah kenapa merasa terangsang lagi. Vaginanya kembali basah.
"Aahhh... Tidak... Apa yang kupikirkan... Penis.. Aku ingin penis itu... Aahhnn..." Nami bergerak merangkak ke arah hewan itu. Ia bagaikan terhipnotis oleh penisnya, "Besar sekali... Masukkan ke dalam vaginaku... Kumohon... Aaah... Perkosa aku... Sampai kau puas..."
Anjing itu seakan mengikuti instingnya mulai mendekati Nami dan menjilati vagina gadis itu yang tersaji di depannya.
"Aaahh... Oohh... Nnghh..."
Nami mendesah keenakan saat lidah anjing itu bersentuhan dengan bibir vaginanya. Tekstur lidah yang kasar itu membuatnya semakin terangsang dan bergairah. Vaginanya menjadi semakin basah. Anjing itu menaruh penis besarnya di dekat bibir vagina Nami. Tubuh anjing yang dua kali lebih besar dari Nami itu berada di atas, menutupi navigator yang sedang menungging dan menunggu penis itu untuk masuk ke dalam lubang kenikmatannya.
"Aaahhnn... Aku melakukannya... Nngghh.. Dengan hewan lagi... Nggaahh..."
Awalnya, penis anjing itu kesusahan untuk masuk karena ukurannya yang tidak sebanding dengan vagina Nami yang sempit. Setelah beberapa dorongan dan paksaan, kepala penis itu akhirnya berhasil menembus pertgahanan vagina Nami.
"Ooonngghh... Ini enak sekali... Aaaahhhnnn..." desah Nami begitu merasakan kenikmatan dari sensasi di area vaginanya.
Seolah tidak mau kalah dengan pasangan wanitanya, anjing itu mengeluarkan suara kenikmatan sambil mendorong seluruh penisnya masuk ke dalam liang vagina Nami. Penis besar itu memenuhi seluruh vagina navigator itu. Rasa sesak dirasakan oleh Nami di area kewanitaannya, vaginanya yang masih sempit beberapa waktu lalu, kini sudah longgar akibat ukuran penis anjing itu.
"Oooogghhh... Vaginaku terasa penuh... Aaughh.. Aaghh..."
Anjing itu menguasai tubuh Nami. Ia mulai mendorong penisnya dengan cepat dan tanpa ritme sama sekali, membuat Nami kewalahan untuk mengikuti gerakannya. Namun, gerakan cepat anjing itu justru membuat Nami semakin terangsang, vaginanya terus menyemburkan cairan tiap kali penis anjing itu menghujamnya.
"Aahhnn... Ohhh, ahhh... Terus... Mmhhh... Haaahh... Enak sekali... Aaahhh..."
Payudara besar Nami yang menggantung, kini berayun-ayun tiap kali anjing itu mendorong penisnya. Air susu terus mengalir keluar dari kedua putingnya yang mengacung tegak itu, menambah sensasi kenikmatan di seluruh tubuhnya. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dikatakan oleh orang lain ketika melihatnya bersetubuh dengan seekor anjing. Mereka pasti mengira kalau dia hanyalah pelacur yang selalu tidur dengan segala macam penis di vaginanya.
"Aahhh... Oooohh... Yaa.. Terus, terus... Mmmpphh... Aahhhh... Puaskan vaginaku dengan penismu... Ooohhnn..."
Anjing itu mempercepat gerakannya dan membuat Nami mendesah semakin cepat. Wajah Nami menjadi merah, lidahnya menjulur keluar dan air liur mengalir dari mulutnya. Kenikmatan di dalam vaginanya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ini kedua kalinya Nami bersetubuh dengan hewan, hanya saja untuk kali ini dia benar-benar menikmatinya.
"Aahhhh... Aahnn... Aku keluar... Aaahhnnnnnn..." Nami mengalami orgasme yang entah sudah berapa kali datang menghampirinya.
Beberapa menit berlalu, kedua pasangan itu terus menikmati hubungan seks mereka yang tidak lazim. Nami sudah benar-benar menjadi 'pasangan' anjing itu, tubuhnya sudah dikuasai sepenuhnya. Orgasme demi orgasme menerpanya, suaranya pun kini terdengar lemah akibat terus menerus mengerang dan mendesah.
"Oooh.. Sampai kapan... Aahh... Kau... Nngghh... Memperkosaku... Ooooohh..."
Sekali lagi, Nami mengalami orgasme. Anjing yang memiliki kepala kambing itu akhirnya memperlihatkan tanda dia akan ejakulasi. Ia berhenti menggerakkan penisnya dan mulai mengangkat kaki-kakinya.
"A-apa yang kau lakukan? Aaahhnn..."
Dengan gerakan berputar dan penis yang masih tertanam di dalam vagina Nami, anjing itu membelakangi dan 'mengikat' penisnya di dalam lubang kewanitaan milik pasangannya. Penisnya secara perlahan membesar dan sebuah tonjolan muncul untuk mengunci alat kelaminnya itu agar tidak keluar dari vagina Nami.
Nami yang sudah mengira ini semua sudah berakhir, mencoba untuk melepas tubuhnya dari anjing itu. Namun, usahanya sia-sia karena anjing itu sudah 'mengikatnya' dengan penis yang tertanam di dalam vaginanya.
"Ti-tidak... Tidak mungkin... Lepaskan aku..."
Anjing itu tidak menghiraukan Nami dan mengerang panjang bersamaan dengan semburan sperma dari penisnya.
"Ooooghh... Ka-kau mengeluarkannya... Ngghh.. Di dalam..."
Nami masih berusaha melepaskan diri dari anjing itu, ia terus menarik tubuhnya agar bisa mengeluarkan penis yang semakin lama membuatnya sakit. Tetapi semakin keras usaha Nami untuk mengeluarkannya, vaginanya terasa perih seakan ingin robek. Tidak mau memaksakan hal itu, Nami akhirnya menyerah dan terbaring lemas sampai anjing itu berhenti ejakulasi.
"Ngghh... Aku dihamili... Oleh anjing... Aahhnn..."
Dengan kedua tangan yang lemas, Nami masih berusaha untuk menopang tubuhnya. Sayang, tenaganya sudah hilang akibat gerakan cepat anjing tadi saat bersenggama dengannya. Kini Nami hanya bisa menatap ruangan itu dengan tatapan kosong dan menunggu benih anjing itu tertanam di dalam vaginanya.
Sudah hampir setengah jam berlalu, anjing itu masih mengunci Nami dengan penisnya. Navigator itu tidak mampu bergerak sama sekali. Kesadarannya hampir hilang dan wajahnya menunjukkan kelelahan. Perutnya terlihat mulai mengembang akibat sperma anjing itu menumpuk di dalam rahimnya. Lidahnya menjulur keluar dan ia mulai berceracau tidak jelas dari mulutnya.
Penis yang menyumbat vagina Nami menahan sperma itu agar tidak keluar. Kini penis itu mulai berkedut dan Nami mulai merasa kalau penis anjing itu juga mengecil. Dengan suara 'plop' yang keras, akhirnya penis anjing itu keluar dari vagina Nami.
"Oooohhhh... Nnngghh..."
Nami yang selama setengah jam mengalami orgasme tanpa henti itu mengeluarkan erangan panjang dan untuk terakhir kalinya merasakan orgasme akibat penis yang melepaskan diri dari vaginanya. Rambut panjangnya berantakan dan basah akibat air susu yang menggenang di lantai. Tubuhnya yang dalam posisi menungging itu perlahan jatuh dan terbaring lemah.
"Ugghh.." erang Nami ketika perutnya yang membuncit akibat sperma itu terasa sakit akibat tertekan dengan lantai.
Anjing yang baru saja menikmati tubuh Nami itu pergi dan meninggalkannya tergeletak di dalam ruangan. Nami yang tidak dapat menahan rasa sakit di perutnyna kini membalik tubuhnya dan terlentang menatap kosong atap ruangan itu.
"Nggh... Anjing itu... Menghabisiku... Ooohh... Banyak sekali spermanya, ngghh... Di dalam rahimku..."
Nami mengumpulkan tenaganya dan berusaha untuk duduk. Perut besarnya menjadi beban, ia kesusahan hanya untuk duduk usaha yang keras, Nami akhirnya berhasil duduk dengan menyandar di salah satu kaki tempat tidur.
"Ini terlalu, ngghh... Banyak..." katanya sambil memencet perutnya agar sperma itu mau keluar. Namun hanya sedikit yang keluar dan rasa nyeri di sekitar vagina juga perutnya.
"Ka-kau..."
Suara wanita mengejutkan Nami yang sedang kelelahan.
"Sarfunkel..."
Melihat tatapan mata Sarfunkel yang memandangnya dengan tidak percaya, Nami buru-buru meminta maaf, "I-ini tidak seperti ang kau bayangkan, aku bisa—"
"KELUAR!"
Sarfunkel membentak Nami.
"Kau pelacur murahan! Kau bahkan melakukannya dengan seekor anjing!"
"Ti-tidak, ini karena—"
"Aku tidak butuh penjelasanmu! Aku melihat semuanya. Kau hanya pelacur yang haus akan seks dan melakukannya di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun! Sekarang kau angkat kaki dari sini dan jangan pernah kembali!"
Nami terdiam mendengar kata-kata itu. Tuduhan Sarfunkel salah, ini semua akibat kutukan artefak yang menimpanya. Membuat dirinya terus merasa terangsang dan meningkatkan sensitivitas tubuhnya sampai melebihi batas maksimal.
Sarfunkel kemudian mengambil isi tas Nami dan melemparkannya ke arah navigator itu, "Tidak heran kau membeli pakaian-pakaian pelacur ini! Tidak ada wanita yang berjalan hanya menggunakan bra kecuali seorang pelacur!"
Nami mengumpulkan tenaganya dan mengambil barang-barangnya. Ia kesulitan berjalan karena perutnya yang dipenuhi sperma itu terasa nyeri tiap kali ia melangkah. Dengan sedih dan perasaan malu, Nami yang tidak memakai pakaian sehelai pun, berjalan melewati Sarfunkel yang kini menatapnya dengan jijik.
"Kau menjual tubuhmu di mana saja dan tidur dengan siapa saja, kau seharusnya malu, dasar pelacur." Ujar Sarfunkel ketus begitu Nami melewatinya.
Nami yang sudah berada di luar ruangan itu, melirik ke arah Gaimon yang melihatnya dengan penuh ketidakpercayaan dan kekecewaan. Pria yang berada di dalam peti itu berbalik dan berjalan menjauhi Nami. Ia tidak mau lagi melihat wanita murahan yang baru saja bercinta dengan seekor anjing.
Sambil terus berjalan, gadis berambut jingga itu menahan air matanya. Ia harus kehilangan temannya karena kutukan yang berada di dalam tubuhnya. Tanpa sadar, ia berjalan dengan sperma yang mengalir pelan di kedua pahanya dan membasahi setiap langkahnya. Tidak mampu berjalan lagi, Nami akhirnya terjatuh dengan perut yang menghantam tanah dan menyemburkan sperma dari vaginanya.
"Aaghh.. Uughh... Uhh..."
Dengan posisi kaki yang mengankang, Nami merayap ke arah pepohonan terdekat. Menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia akhirnya dapat duduk dan bersandar di pohon itu. Kakinya dengan perlahan ia buka selebar-lebarnya.
"Nnngghhh.. . Aku harus... Mmnngghh... Mengeluarkan semua ini..."
Nami mengerang dan menekan perutnya dengan satu tangannya sedangkan tangannya yang lain membuka bibir vaginanya untuk memudahkan keluarnya sperma yang memenuhi rahimnya itu. Cairan putih kental yang sangat banyak mengalir perlahan dari lubang kewanitaannya. Bersamaan dengan itu, Nami mengalami orgasme dan membasahi tanah di sekitarnya dengan campuran sperma dan cairan cintanya.
"Aaaahhhh... Oooonngghhh... Nnngghh..."
Butuh waktu lama untuk mengeluarkan seluruh sperma itu dan kini perutnya sudah kembali ke ukuran normal. Setelah beristirahat sebentar, tenaga Nami sudah mulai terkumpul. Tubuhnya yang masih lengket dengan sisa sperma itu terlihat mengkilap di abwah terik matahari. Nami memilih celana dalam tipis berwarna hitam dan memakainya secara perlahan.
"Nggghh... Hanya ini yang masih bersih."
Celana dalam itu hanyalah sebuah bonus yang diberikan oleh toko di tempat ia membeli pakaiannya. Ia tidak benar-benar ingin membelinya. Ukurannya yang kecil membuat kain tipis itu terselip di antara bibir vaginanya. Celana dalamnya yang lain tidak mungkin ia pakai sekarang karena kotor akibat tanah yang bercampur dengan sperma setelah Sarfunkel melemparnya.
Nami kemudian mengambil sebuah celana super pendek untuk melengkapi bagian bawah tubuhnya. Celana jins pendek itu memamerkan bongkahan pantatnya yang sekal dan berisi. Tiga potong Clima-tact yang berada di sarungnya menjadi pelengkap celana pendek itu Ia kemudian mengambil sebuah bra berwarna merah muda dengan corak hati berwarna putih di sisi sebelah kirinya. Nami memandangi bra itu dan teringat akan kata-kata Sarfunkel yang mengatai dirinya seorang pelacur karena pakaiannya.
"Aku bukan pelacur. Ini gaya berpakaianku..."
Nami kemudian memakai bra itu dan mengeratkan ikatan di lehernya. Bra itu menutup payudara Nami dengan sempurna. Menutup sebagian payudaranya dan memamerkan belahannya. Walau tetap saja putingnya masih dapat terlihat jelas berdiri tegak di baliknya, Nami tidak menghiraukannya dan melanjutkan perjalanannya.
Gadis itu berjalan menyusuri bibir pantai. Indahnya pantai itu seolah membuatnya lupa tentang kejadian yang menimpanya. Matanya terus menerawang pantai itu dan mencari tanda-tanda keberadaan Waver miliknya. Beruntung baginya, Waver itu masih berada di tempat ia menaruhnya.
"Aku kehilangan uang dan beberapa barang-barangku. Kurasa aku harus kembali ke Logue Town. Aku harus tahu siapa yang mengambil artefak milikku dan merebutnya kembali."