Bukan apa-apa, pasalnya dari semua pertanyaan basa-basi para konsulen maupun residen, pertanyaan mengenai status hubungan adalah yang paling kuhindari. Tapi berhubung aku tidak enak, aku pun menjawab sedikit tak rela, "Saya masih sendiri saja sih, Dok." Dan siapa yang tahu, jawabanku itu akan membawaku ke sesuatu yang tidak terduga seperti ini.

.

.

Kakkoii-chan presents

Doctor's Question

Naruto © Kishimoto Masashi

Warning! AU Sakura's POV OOC Bahasa campur adukTypo Abal Geje Lebay

Don't Like Don't Read

ENJOY!

.

.

"… setelah ini masuk stase apa?" tanya Dokter Uchiha sembari terus menggerakkan tangannya, menandatangani segala tetek bengek admnistrasi di logbook milik kami, koas-koas bimbingannya.

"Stase kulit, Dokter," jawabku sesopan mungkin, sambil dengan sigap membalik halaman demi halaman yang telah kutandai dengan marker plastik berwarna hijau cerah. Warna kesukaanku.

Dokter spesialis mata itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yang rajin ya di sana. Maaf kalau saya kurang membimbing kalian selama di sini," ujarnya dengan nada menyesal. Sedikit banyak aku paham dengan posisinya. Menjadi salah satu dokter spesialis paling junior di Departemen Mata Rumah Sakit Pusat Konoha bukan berarti tidak punya kesibukan lebih. Buktinya belum lama sejak Dokter Uchiha menyandang gelar spesialisnya, beliau sudah diserahi jabatan sebagai koordinator pendidikan di bagian itu. Dengar-dengar dari pembicaraan teman-teman dan kakak minggu yang lain, Dokter Uchiha memang terkenal pandai di angkatannya. Ia bahkan sudah menyandang gelar Ph.D di belakang namanya sebelum ia mengambil spesialisasi.

Aku dan Hinata—gemeli koasku yang sedari tadi belum membuka suaranya—buru-buru menggeleng. "Dokter sudah meluangkan waktu untuk membimbing kami saja, kami sudah senang kok, Dok," tukasku tulus.

"Be-benar sekali, Dok. Padahal Dokter Uchiha kan sangat sibuk," lanjut Hinata, mengamini pernyataanku.

Itu memang benar. Di sela-sela kesibukan beliau, Dokter Uchiha masih mau membimbing—bahkan mengajari langsung teknik-teknik pemeriksaan mata yang sedikit berbeda dari pemeriksaan fisik lain. Bahkan beliau mengijinkan kami mencoba alat-alat di sana—suatu hal yang membuat teman sekelompokku yang lain iri. Kapan lagi mendapat pelajaran privat dari salah satu dokter termuda dan tertampan di Rumah Sakit Konoha?

Mendengar jawaban kami yang polos, Dokter Uchiha malah tertawa. "Kalian berdua lucu sekali. Terima kasih ya," ujarnya di akhir tawanya, membuat wajahku memanas karena malu. Sepertinya bukan hanya aku, wajah Hinata juga tampak lebih merah dari biasanya. Memang pesona dari dokter laki-laki ini tidak bisa diremehkan. Apalagi ditambah dengan senyum dan suara dalamnya, hanya gadis tidak normal yang tidak akan terpesona.

"Oh iya, ngomong-ngomong kalian berdua sudah punya pacar?" tanya Dokter Uchiha tiba-tiba, masih sembari terus menggoreskan tanda tangan indahnya di lembar yang kusodorkan padanya.

Aku dan Hinata sontak saling berpandangan. Wajah Hinata semakin memerah, sebelum akhirnya membuka bibirnya. "Su-sudah, Dok," cicitnya malu. Dasar, ia pasti membanyangkan wajah kekasihnya yang baru saja lulus dari fakultas ilmu politik itu.

"Wah bagus itu, kalian jangan hanya sibuk belajar. Main-main sedikit, pacaran juga penting. Jangan sampai masa muda kalian habis di sini saja," ujar Dokter Uchiha memberikan wejangan mengenai hidup. Aku berharap ia tidak menanyai lebih lanjut tentang topik ini. "Kalau Sakura bagaimana?" kini ia bertanya langsung kepadaku.

Baru saja aku berharap bisa lepas dari pertanyaan ini, tapi rasanya Tuhan tidak mengabulkan harapanku yang satu itu. Bukan apa-apa, pasalnya dari semua pertanyaan basa-basi para konsulen maupun residen, pertanyaan mengenai status hubungan adalah yang paling kuhindari. Tapi berhubung aku tidak enak, aku pun menjawab sedikit tak rela, "Saya masih sendiri saja sih, Dok."

Gesekan pena dokter spesialis mata itu berhenti sejenak. "Ah, yang benar? Saya kira Sakura sudah punya pacar. Cantik dan cerdas seperti ini, masa tidak ada yang mau," ujar Dokter Uchiha dengan nada tidak percaya. Terlepas dari pujiannya yang sukses membuatku terbang, kalimatnya itu seolah ketiadaan laki-laki spesial di hatiku merupakan salah satu keajaiban. "Saya saja mau loh punya pacar seperti kamu. Eh—saya tidak maksud gombal ya. Saya juga masih setia dengan istri saya, kok," tambahnya buru-buru, membuat aku dan Hinata mau tak mau tertawa.

"Dokter bisa saja. Buktinya memang tidak ada, Dok," jawabku kalem. Atau berusaha kalem. Coba ada yang seperti dokter, saya juga mau dok, batinku. Eh tidak juga sih, harus fokus di studi dulu, Sakura!

"Mungkin kamu saja yang kurang peka," ujar Dokter Uchiha mulai berspekulasi. Sepertinya topik kekasih dan status sendiriku ini lebih menarik dibandingkan acara tanda tangannya—lihat saja, tangannya bahkan sudah berhenti menggoreskan tanda tangan artistiknya di bukuku. "Atau seleramu yang terlalu tinggi?"

Ingin sekali aku melontarkan kalimat seperti, 'dokter ingin tau banget sih' atau 'aduh dok, jangan tanya lagi dong, dok' atau yang serupa itu untuk mengganti topik ini. Tapi itu tandanya aku tidak sopan pada seniorku. Jadi dengan mengumpulkan stok kesabaranku, aku menjawab, "Mungkin memang belum ada yang cocok saja, Dok." Lengkap dengan senyum manis dan nada ingin menutup pembicaraan.

"Yah, bisa saja," Dokter Uchiha menyetujui jawabanku. Mungkin ia menangkap maksud dari jawabanku dan mengganti topik ke pertanyaan lebih wajar seperti, ingin spesialis apa, atau tinggal dimana—walaupun yang terakhir ini sudah pernah ditanyakan beliau di awal pertemua kami. "Bagaimana kalau coba dengan adikku? Dia juga selalu menjawab seperti itu setiap kutanyai mengenai status singlenya itu."

Atau tidak. Bahkan ini berkembang lebih jauh dari sekedar obrolan basa-basi.

Aku melirik ke arah Hinata, mencoba mencari bala bantuan untuk menghentikan kegilaan ini. Namun apa yang kudapatkan lagi-lagi jauh dari perkiraanku. Entah kenapa ada kerlingan jahil di matanya yang biasanya penuh kebaikan dan kelembutan. Jangan bilang sifat jahil kekasihnya mulai menular kepadanya. Dengan santainya ia bertingkah tidak paham dengan tatapanku, dan malah sibuk membuka-buka bukunya—berpura-pura mengecek kembali kelengkapan tanda tangan di buku itu. Sial.

"Bagaimana Sakura? Tidak mau ya? Adikku tampan kok. Mirip lah denganku," tanyanya lagi dengan sedikit kata-kata narsis yang tertangkap pendengaranku, membuatku mau tak mau harus menghadapi masalah ini sendiri.

Aku tersenyum kecut, mencoba peruntunganku dengan menjawab, "Ma-masa dengan adik, Dokter. Saya ini cuma koas, dok."

Dokter Uchiha menggeleng, "Memangnya kalau koas kenapa? Besok kan jadi dokter juga," tukasnya ringan—seolah alibiku tidak sesuai dengan konteks pertanyaannya. Ya memang tidak sesuai sih. "Entah kenapa saya merasa kalian akan cocok. Bagaimana Sakura? Saya kenalkan ke adik saya ya?"

"Ta-tapi, Dok. Saya rasa, saya tidak pantas untuk adik dokter," ujarku mencoba menolak dengan halus.

Dokter Uchiha nampak tak setuju. "Kan belum dicoba. Saya yakin kok, dia pasti suka denganmu. Kamu cantik, manis, sopan, cerdas, anak baik-baik," sanggahnya dengan lancar dan meyakinkan. Dan walaupun dia memujiku, aku sama sekali tidak senang. Ya Tuhan selamatkan aku dari situasi yang aneh ini. Sakura berjanji, tidak akan menggoda Hinata lagi.

TRIIING TRING TRIIIING TRING

Dan kali ini Tuhan menjawab doaku. Ponsel Dokter Uchiha berbunyi nyaring, menyelamatkanku dari pembicaraan yang rasa-rasanya tak kunjung berakhir ini. Setelah menggumamkan maaf atas gangguan yang disebabkan oleh nyanyian ponselnya, ia mengangkat ponselnya. Dari nadanya, sepertinya ada sesuatu yang harus segera ia urus. Tapi sebagai koas yang bukan apa-apa, aku dan Hinata memilih menunggu.

Benar saja, begitu ia memutus sambungan teleponnya, ia langsung menutup bukuku dan menyodorkannya kepadaku. "Maaf ya, saya mendadak harus menemui Pak Direktur. Sekali lagi, belajar yang benar ya. Nanti kalau misal ada yang masih ingin didiskusikan, bisa hubungi saya lagi," ujarnya agak buru-buru sembari mempersiapkan diri untuk meninggalkan ruangan.

"Ba-baik, Dokter. Kalau begitu kami permisi dulu," pamit Hinata, mulai berdiri dari tempat duduknya.

"Terima kasih, Dokter," sambungku sebelum berbalik menuju pintu keluar ruangan Dokter Uchiha.

Namun sebelum kami benar-benar keluar, suara Dokter Uchiha kembali terdengar, membuatku dan Hinata berbalik kembali. "Sakura, dipikirkan lagi ya soal adik saya," katanya sambil mengacungkan ibu jarinya.

Ternyata beliau tidak lupa. Aku hanya meringis sementara Hinata menahan tawanya. Sial. Masih saja membahas itu.

Dan begitu kami yakin berada cukup jauh dari ruangan Dokter Uchiha, aku menoleh ke arah Hinata. "Terima kasih atas bantuannya tadi, Hinata," desisku penuh sarkasme.

Dengan senyuman jahil yang tak biasa dan tidak pernah kubayangkan bisa muncul di wajahnya—dan aku yakin seratus persen ditularkan oleh kekasih rubahnya, ia menjawab, "Dengan senang hati, calon adik ipar Dokter Uchiha."

Sial. Aku tidak bisa menjawab apapun.

.

~ Doctor's Question ~

.

Aku melirik ke arah jam tangan perak yang terlingkar manis di lengan kiriku, sudah mendekati jam sepuluh. Jam janjianku untuk kembali menemui Dokter Uchiha di ruangannya. Mungkin karena telepon mendadak waktu itu, Dokter Uchiha melewatkan satu bagian yang harusnya ia tanda tangani di bukuku. Terpaksa aku harus mengatur kembali waktu untuk menemui dosenku yang sibuk itu. Dan disinilah aku, di depan pintu ruangnnya bersiap melengkapi tanda tangannya.

Aku mengetuk pelan pintu masuk ruangan dokter itu, setelah aku selesai mengatur napasku dan merapikan kembali jas putihku yang sempat berantakan akibat berjalan terlalu cepat dari ruang koas. Aku nyaris terlambat karena terlalu asik bergosip dengan teman-temanku.

Sayup-sayup aku mendengar suara Dokter Uchiha dari dalam, memintaku—atau tepatnya siapapun yang mengetuk pintunya—untuk masuk ke dalam.

"Selamat pagi Dok—" dan ucapanku terputus begitu menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. "Mohon maaf Dokter, saya tidak tahu Dokter sedang ada tamu. Kalau begitu biar saya tunggu—"

Belum selesai ucapanku, Dokter Uchiha sudah memotong. "Santai saja, Sakura," ujarnya sembari memberi isyarat untuk mendekatinya.

Sebenarnya aku merasa tidak enak dengan laki-laki berambut gelap yang duduk di salah satu kursi di depan Dokter Uchiha, tapi mau bagaimana lagi. Aku membutuhkan tanda tangan Dokter Uchiha secepat mungkin. Sedikit mengangguk ke arah laki-laki yang entah kenapa terlihat mirip dengan Dokter Uchiha—terutama karena garis wajah yang rupawan dan mata sehitam jelagannya. Yang membedakannya dengan Dokter Uchiha mungkin hanyalah model rambutnya yang lebih pendek dan berantakan. Ia membalas anggukanku—tanpa senyum. Dengan gugup, aku mengambil kursi kosong di sebelahnya dan langsung membuka bagian yang perlu ditandatangani.

"Maaf ya, gara-gara waktu itu jadi tanda tangannya kurang," suara Dokter Uchiha seakan memecah suasana ganjil yang tercipta di ruangan ini.

Aku cepat-cepat menggeleng, "Saya juga yang kurang teliti, Dok," tukasku cepat. Dan kurang berusaha keras menghentikan topik laknat itu, tambahku dalam hati.

"Nah ini, sudah," Dokter Uchiha kembali menyerahkan bukuku yang telah ia tanda tangani. "Ada yang masih kurang?"

"Tidak, Dokter. Semuanya sudah lengkap," jawabku bersiap untuk berpamitan.

Namun sepertinya langkahku kurang cepat. Suara Dokter Uchiha kembali menghentikan langkahku.

"Oh iya, Sakura, kau ingat adik yang kuceritakan waktu itu?" pertanyaan Dokter Uchiha membuat tubuhku serasa membeku. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku merasakan firasat buruk di sini. Jangan bilang, tolong, jangan bilang ia masih ingin membahas topik ini.

Dokter Uchiha memberikan isyarat ke arah laki-laki asing yang sedari tadi diam menunggu aku dan Dokter Uchiha menyelesaikan urusan kami. "Perkenalkan, adikku, Uchiha Sasuke."

Astaga. Dokter Uchiha benar-benar serius dengan ucapannya waktu itu.

Laki-laki itu—adik Dokter Uchiha, mengulurkan tangannya. "Hn, Uchiha Sasuke," ia membuka suaranya. Astaga, suaranya bahkan seindah wajahnya. Oke, aku tidak akan berbohong mengenai wajahnya yang luar biasa tampan itu.

Dan sepertinya suara itu memiliki kekuatan magnetik yang menarik tanganku untuk menjabat tangannya yang besar. "Ha-haruno Sakura. Se-senang mengenalmu, Uchiha-san," cicitku pelan. Bisa kubayangkan betapa aneh wajahku saat ini. Aku pasti nampak tolol dengan wajah memerah dan senyum canggung yang kulemparkan padanya.

Benar saja, sedetik kemudian bibir Uchiha Sasuke tertarik ke atas beberapa mili, membentuk sebuah seringai—yang sangat seksi sampai-sampai itu terasa ilegal, "Aa, aku juga."

.

.

Chapter End

.

.

ASTAGAAAA! Apa-apaan ini yang aku buat. Wakakakka, malu deh jadinya. Super asal banget. Udah lama ga nulis, semoga pada maklum ya. Anggap aja pemanasan. Hhe.

Jadii.. berhubung sekarang saya menjadi pengangguran, saya berniat membuat beberapa fic. Dan, dari sekian banyak ide yang bermunculan di otak saya, entah kenapa malah ide yang ini yang terealisasikan. Sejujurnya ini agak terinspirasi kisah nyata dengan (banyak) perubahan dan imajinasi. Maapkan kealayan fic ini ya! Hha.

Terima kasih buat teman-teman yang berkenan baca sampai akhir, apalagi yang mau meninggalkan jejak di review. Sungguh akan membuat saya lebih senang lagi. Hhe. Akhirnya nggantung? Mungkin ini bukan benar-benar akhir. Mungkin. Saya ga mau banyak janji, takut ga bisa nepatin. Hhe. Jadi sekali lagi terima kasih. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan!

Salam cintah,

Kakkoii-chan

~ Jogja 210417 00:47 ~

.

OMAKE

"Ponselmu berbunyi," ujar Sasuke yang merasa terganggu dengan polusi suara yang ditimbulkan ponsel kakak semata wayangnya.

"Hanya pesan, mungkin dari koas atau residen," balas Itachi masih sibuk dengan cemilan dan acara televisinya di sofa ruang keluarga Uchiha. "Tolong lihatkan dong, Sasu-chan."

Agak malas tapi lebih malas mendebat kakaknya yang sedang asik, ia pun membuka pesan di ponsel kakaknya itu. "Dari H. Sakura."

Itachi tampak terdiam sedetik kemudian berbalik menghadap ke arah adiknya yang berdiri di belakangnya, "Kemarikan," ujarnya.

Reaksi kakaknya yang tidak biasa membuat Sasuke agak heran. Siapa ini 'H. Sakura' sampai-sampai kakaknya buru-buru ingin melihat pesannya. "Kuharap ia bukan seperti yang kubayangkan. Kau masih ingat istrimu kan?"

Tawa Itachi kontan meledak. "Astaga, kenapa kau berpikiran buruk pada kakakmu sendiri sih?" ujar sulung keluarga Uchiha ini geli. "Ah, ngomong-ngomong bagaimana kalau besok kau main-main ke kantorku?"

Alis Sasuke terangkat, heran. "Untuk apa aku ke kantormu yang membosankan itu? Paling-paling kau akan meninggalkanku sendirian di sana," tukasnya kejam.

"Ayolah, Sasu-chan. Sekali ini saja. Ya? Ya?" Itachi melancarkan rayuan maut yang membuat adiknya jengah sendiri.

"Baiklah, baiklah. Kali ini saja," jawab Sasuke pasrah.

Tanpa pemuda itu ketahui, senyum penuh makna terukir di wajah kakaknya itu. Sasuke tidak perlu tau soal rencana Itachi. Ya setidaknya sampai mereka berdua bertemu. Berterimakasihlah dua orang single ini, mungkin status kalian bisa berubah karena bantuan dari Uchiha Itachi ini.

.

.

REALLY CHAPTER END