Sporadis aku merenung perihal perbedaan ada guna memersatu. Mereka--orang-orang--acap beropini bila dua hal kontras atau lebih, ditakdirkan mengisi ceruk satu sama lain.

Ketika berlibur ke Belanda, seorang kakek pengemudi gondola di Leiden suah bercerita. Kala itu perahu dayung yang kunaiki bersama seorang 'teman' melintasi beberapa pohon penghias batas sungai. Musim gugur, corak hijau dedaunannya pudar bertukar rona senja. Sepasang merpati kulihat bertengger mesra pada ranting, bercengkrama. Ah, sebenarnya aku tak peduli. Namun saat si kakek mulai berujar, seketika animo ku teralihkan.

"Sang pejantan tengah bertalu memberi pujian, sedang betinanya malu-malu menunduk seraya tersipu. Aku jadi ingat mendiang istriku, dia meninggal sebulan lalu, tapi berkatnya aku memiliki tiga keturunan."

Penggalan sederhana tapi kontan memicu kelu. Sekadar curahan seorang merindu sebenarnya. Namun menarik premis pada akhir kalimat sang lelaki tua, 'Apakah manusia hidup sebatas demi itu?' Keturunan, melanjutkan keluarga, haruskah berbeda untuk mencipta hal baru?

Kulirik arah temanku. Ia nampak memejam, mendengarkan musik melalui earphone yang menutupi telinganya.

Dan...

Apa salah jika aku memilih dia?

...

...

TUSSEN

[ Prologue ]

Fict ini sebenarnya milik " Kimono'z " yang saya remake, dan berniat saya lanjutkan (tentu, dengan alur dan ending yang sudah kami sepakati).

Naruto (Masashi Kishimoto)

Standart warning :

Penulis tidak meraup keuntungan apapun dari fanfic ini. Isi cerita berdasar imajinasi penulis. Kevalidan informasi yang disajikan bukan 100%. Fanfiksi ini sebatas hiburan. Kesalahan kepenulisan berupa TYPO(S) dan EBI yang belum benar bukan sengaja.

Mengandung unsur netorare, dan semi bromance.

...

...

Jemari lentik mencumbu tuts hitam putih. Berangsur bergas, beringsut lemah, menggiring grave sehalus sutra.

Di balik bingkai kaca mata minus, sang oniks menunduk kepala. Maniknya memejam, tangannya gemulai berpijak pada tombol pelantun nada.

Iramanya pedih melecut lidah. Kelu membungkam, bukan lagi ringan, pun ekshibisi murahan.

Ia serupa maestro : lincah ujung jemari memainkan largo hingga allegro.

Ialah raja tunggal di atas sasana malam ini. Senyap deret spektator kala dirinya mengirama. Rentet harmoni ciptaannya membius kerongkong untuk tak usik. Semua kagum―tangan mengepal depan dada―sarat antusiasme.

Hingga sang pemuda menarik dagu ke atas―tekanan terakhir―sampai pada pengunjung menyambut angkatan jari-jarinya dari tuts dengan sorai takjub.

Seulas senyum tipis, keringat membasut pelipis terbayar manis.

"S-sugoi..."

Auditorium dijejali puluhan orang. Di antara mereka, iris obsidian memindai paling cerah.

Masih terpukau, pemuda berhelai gelita itu bahkan membuka mulut tanpa sadar. Namun, disebelahnya justru kebalikan. Pria blonde tersebut tak henti melempar atensi malas. Sesekali menguap, lantun ballad yang ada membuat netranya mengantuk.

Semenjak memasuki ruang auditorium dan duduk, jari Naruto tak henti bergerak, gelisah. Menari resah di atas lengan kursi, netranya beredar ke sekeliling, bukan menanti kapan si solois bermain, tetapi menunggu kapan dapat keluar dari tempat menjemukan ini.

Sepanjang permainan, pun wajah Naruto mematri kurang sabar. Ia nampak menyangga dagu, sesekali memejam mata, dan sedigit tak menunjuk isyarat tertarik.

Sedari awal menonton, pertunjukan piano bukan ide bagus apalagi kemauan Naruto. Secara simpleks, sebuah resital piano tidak cocok dengan karakternya yang aktif bergerak, pun cenderung mudah bosan.

Duduk berjam-jam mendengar irama monoton, Naruto bahkan tak peduli ini pertunjukan akbar seorang pianis besar sekali pun. Nyatanya, pagelaran ini tidak lebih kompetisi tahunan dengan pemenang cukup mudah ia prediksi.

Mengacu tahun-tahun belakang, pria berbalut plaster pada jemari yang baru selesai bermain itu pasti keluar sebagai pemenang.

Herannya mengapa Sai sedemikian tertarik pada musik klasik yang bagi Nsruto teramat membosankan?

Padahal jika ditarik kemungkinan, Naruto yakin, Sai tahu akhir kontes ini bagaimana.

..

"Tadi itu pertunjukan luar biasa, Chojuro-kun."

"S-Sai?"

Sai menghampiri Chojuro di belakang panggung. Latahnya kambuh. Pria bermata empat itu acap terkejut jika menyangkut kehadiran mantan teman sekelasnya dulu di Konoha Gakuen.

"K-kau melihat pertunjukanku?"

Sai mengangguk, "Dan pertunjukan pemain lain. Mereka nampak hebat. Tapi menurutku tetap permainan Chojuro-kun lah yang paling indah."

Iris hitam Chojuro bergulir ke arah pria di sebelah Sai. Wajah itu tak asing. Kumis di pipi, juga tampang garang.

"Ah, ada Naruto rupanya?"

"Eehh? Kau masih mengingatku?" Naruto sedikit terkejut.

"Cerebrumku masih bekerja normal. Hanya untuk mengingat namamu bukan hal sulit."

Pertemuan awal mereka satu tahun lalu ketika Sai mengajak Naruto melakukan hal yang sama seperti saat ini. Hari itu Chojuro memperoleh penghargaan, dan Sai mengatakan kemenangan tersebut Chojuro pertahankan tiga tahun berturut. Artinya jika hari ini dia kembali menang, maka trofi itu menjadi pialanya yang keempat. Itu pula, menjadi dasar mengapa Naruto dapat menebak.

"Chojuro-kun sudah profesional sih. Jadi wajar jika seluruh pengunjung terpesona."

Sekitar empat atau lima bulan lalu, ketiganya sempat kembali bertemu.

Kala itu tanpa sengaja. Kebetulan, Sai dan Naruto berkunjung ke sebuah cafe, dan Chojuro telah berada di sana menikmati sepotong tiramisu.

Tentu, mereka menyempatkan tuk berbincang sejenak. Dan dari sana, Chojuro mulai hafal akan raut pun nama 'Naruto'.

"Juri belum mengumumkan hasilnya. Aku tidak tahu permainanku seperti pro atau amatir. Jangan berlebihan memuji,"

Sai terkikik, "Kau sama sekali tidak berubah ya―"

"Chojuroooo!"

Dari balik tirai pembatas, seorang gadis berlari, melompat memeluk tubuh Chojuro. Di belakangnya lelaki berhodie coklat menyusul―menghampiri Chojuro dan langsung menghadiahinya satu jitakan di ubun.

"Bwaahh... kupikir tadi Copin yang bermain. Setelah kubuka mata ternyata kau. Hebat, bulu kudukku sampai merinding!"

Sang gadis melepas pelukannya. Sebuah kecupan lembut pada kening, membuat rona wajah Chojuro langsung memerah.

"Terimakasih sudah memberi suguhan menarik, Juro-kun,"

"A..a..a.. situasi romantis macam apa ini? Jika berhasil menang, apa niatmu melamar Mei-chan bakal kau lanjutkan?"

"Takao!"

Pandang Chojuro dan si gadis tanpa sadar bertemu. Gugub, keduanya sepontan memalingkan wajah. Walau erat disembunyikan, semburat pada pipi masih ketara, mustahil dipungkiri.

"Ta-chan, jangan bicara aneh-aneh!"

"Loh, aku bukan bicara aneh-aneh Mei. Chojuro bilang―" seketika Chojuro membungkam mulut Takao.

"...um-umm!"

"...bilang?"

'Sial Takao. Aku harus mengalihkan pembicaraan.'

"A- ah... kenalkan. Dia Sai, temanku di SMA. Di sebelahnya, Naruto, teman Sai." Chojuro melepas bungkamannya pada mulut Takao.

"Kau nyaris membuatku mati kehabisan napas Cho!"

Chojuro pura-pura tak mendengar.

Sai tersenyum lebar mengulurkan tangannya, "Namaku Sai. Dia temanku, Naruto-kun."

"Ah, salam kenal. Terumi Mei, panggil saja Mei, Sai-kun. Aku pacar Chojuro."

"Dan aku Mitsugawa Takao. Panggil saja Takao, orang yang mencomblang mereka―"

"Takao!"

"Ta-chan!"

Dalam hati Sai terkekeh.

Mereka benar-benar lucu.

..

"Tak kusangka Chojuro-kun yang akan menikah lebih dulu."

"Bukankah baru sebatas melamar?"

"Bukankah melamar tujuannya mempersunting, Naruto-kun?"

"Be-begitu kah? Aku tidak mengerti."

Sai tertawa kecil, "Mungkin..."

Selaras prediksi, Chojuro memenangkan kompetisi tersebut. Usai mengucapkan selamat dan menyambung bincang-bincang sesaat, Sai dan Naruto pun pulang. Sudah setahun ini mereka tinggal satu atap. Jadi rumah dua lantai bercat pastel tak jauh dari stasiun itulah menjadi tujuan mereka sekarang.

...

...

"Terimakasih,"

Sai meraih omelet yang baru Naruto saji di atas piring. Mengambil garpu, jua pisau pemotong, Sai menikmati boerenomelet itu seperti biasa. Dari dulu--sejak tinggal bersama--telur dadar berisikan jamur, bawang bombay, paprika, kentang, daun bawang, plus tumis kacang merupakan varian favoritnya.

"Kau memang chef terbaik," Sai menggosok ujung hidung.

"...dan kau makanan terbaik!"

Sai terkesiap begitu Naruto mengecup daun telinganya. Kepalanya sontak menunduk malu, mengaburkan poles merah jambu pada pipi. Sai seorang pasif yang mudah gugup. Sedang Naruto, dia pribadi asertif gemar menggodanya.

"Wajahmu memerah,"

"N-Naruto-kun!"

Hehehe... manis!

"Hari ini pulang jam berapa? Mau kujemput?"

Sai bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi. Naruto sering menjemput, bahkan tak jarang mampir guna menyeduh secangkir espresso nikmat buatannya.

Bukan semata meracik bubuk kopi dengan gula maupun susu, kemahiran Sai dalam bidang meramu lebih dari itu. Sai paham betul seberapa banyak takaran yang dibutuhkan guna menyajikan espresso, beserta variasinya. Ketrampilan Sai dalam bidang late art pula tak perlu diragukan. Tahun lalu di Italia, ia bahkan menyabet trofi pertama untuk latte art championship berkelas internasional.

Ah, sesungguhnya ada alasan lebih simpel mengapa Naruto lumayan hobi singgah di kedai tempat Sai bekerja.

Dari pada kopinya, wajah si teman hiduplah yang menggiring ia menjejakkan kaki.

"Kebetulan aku diundang temanku menghadiri pesta akhir masa lajangnya. Jadi―"

Kening Naruto mengerut, "Dia laki-laki?"

"Hatinya sudah dimiliki perempuan, Naruto-kun. Kau berlebihan."

"Tapi kaulebih manis dari perempuan―" bibir Naruto mengerucut.

Sai terkekeh, memegangi perutnya. "...oke-oke, aku harus berangkat sekarang. Cafeku sedang mengadakan promo. Kau bisa mampir nanti. Akan kubuatkan robusta terenak yang belum pernah kau cicipi." Sai mengerlingkan netra, bangkit dari duduk, lalu mengambil tasnya.

"Ah, tentang akhir masa lajang― omong-omong kapan kau mau menyudahi masa lajangmu Naruto-kun?"

"Eh?"

"Chojuro-kun hendak menyudahi masa lajangnya, maksudku― apa kau tak memiliki keinginan untuk menyudahi masa lajang kita?"

"...Uhuk!" Seketika Naruto tersedak. "Sa-Sai maksudmu--"

"Pufff... wajahmu memerah tuh." Sai tergelak.

"Ka-kau sedang mempermainkanku?Huh, tertawalah sepuasmu! Lagi pula itu kata-kataku kan?"

"Tapi sekarang tidak lagi. Yosh, aku berangkat. Jika kau pergi jangan lupa kunci pintunya."

"...tch, dasar!" Gerutu Naruto, dan ia tersenyum.

..

Gedung-gedung bersanding tipis. Jika dianalis dari jauh, konstruksinya terkesan menyatu.

Sepanjang jalan, etalase-etalase menawarkan produk. Dari manekin berbalut busana mewah, topi-topi yang di gantung pada gantungan kayu, hingga bermacam jenis tas, pun sepatu.

Musim dingin, tentu beragam jaket tak ketinggalan menunjukkan eksistensi. Windbreaker, bomber, leather, parka, hingga puffle, dan pea coat turut meramaikan isi sejumlah toko pakaian.

Sepanjang jalan warga mengenakan baju tebal : syal melingkari leher, jemari berbalut sarung tangan, memakai boot, dan sebuah kupluk di kepala. Naruto? tentu saja sama. Mana mungkin ia loloskan suhu nyaris 0 menusuk epidermisnya?

Uzumaki Naruto, Sai bilang, berhentilah menjadi penulis lepas. Fokuslah pada karir sebagai editor majalah dewasa. Tapi Naruto urung mau menyudahi hobi menguntungkan satu ini. Sempat berangan bakal resain dari 'BlaBloe' demi menulis, Naruto sebenarnya kurang menikmati, pekerjaan mengedit naskah, tulisan, atau pun gambar. Terlebih BlaBloe (Blauwe Bloemen) merupakan majalah yang banyak bersentuhan dengan wanita. Keberisikan mereka, sifat manja, sok pamer lekuk tubuh, merupakan sejumput dari beberapa hal yang menurutnya menjijikkan.

Tokyo konon kota paling permisif di Jepang. Narkoba, prostitusi, aborsi, biseksual, hingga penyuka sesama jenis, katanya 'ramah' di sini. Naruto tengah membuat sebuah projek. Bodohnya, (lagi) ia melibatkan banyak gadis di dalamnya. Topik yang diangkat seputar pendapat mereka mengenai kaum minoritas. Ya, ini tentang presisi gay, lesbian, dan transgender di mata masyarakat.

Naruto mengambil perspektif dari gadis usia adolosen. Korespondennya berkisar antara umur tujuh belas sampai dua puluh dua tahun. Mengapa demikian? Naruto ingin melihat sudut pandang dari mata perempuan dengan emosi yang masih 'belum' terkontrol baik.

"Hah? Mereka gila. Manusia diciptakan berpasangan. Laki-laki dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki. Jika memilih sejenis, artinya mereka mengkhianati Tuhan."

"Cinta membutakan? Klise. Bukan berarti seseorang kehilangan logikanya. Bukankah untuk hidup di tempat normal, kita juga harus normal?"

"Pasangan sejenis ya? Aku tak menolak. Bila nyaman, memang mau apa? Cinta hakikatnya menerima kok."

Sama sekali tak memuaskan.

Naruto melanjut langkahnya. Di depan merupakan perempatan. Zebra cross silang dengan cepat dipenuhi pedestrian ketika lampu hijau tanda pejalan kaki lewat menyala.

Naruto, membaur di antara mereka. Langkahnya tertuju pada perpustakaan dengan bazar buku pada halaman depan.

'Errr...untuk apa aku ke sini?'

Walau terdapat papan iklan besar bertulis 'diskon hingga 80%', nyatanya bazar ini sepi pengunjung. Hanya beberapa orang dewasa dengan putri kecil mereka mengerubung sebuah tumpukan buku, dan dua laki-laki yang sepertinya mahasiswa. Ah, mungkin karena di depan perpustakaan, jadi lebih banyak memilih membaca gratis di dalam.

Tnnnn...!

"Minggir! Kau muu mati, hah?!"

Umpatan terdengar dari arah jalanan.

Seorang gadis berseragam SMA berdiri memasang badan di tengah jalan. Walau pengendara mobil di hadapannya bertubi memaki, gadis muda itu tetap bergeming pada posisinya.

Bunyi klakson yang keras serasa tak membuat telinga perempuan beriris lavender pucat tersebut panas. Ia malah menatap datar―atau lebih tepat memandang kosong? Seorang ibu pejalan kaki yang lewat mencoba menariknya. Akan tetapi berakhir hempasan kasar, dan mengakibatkan tubuh wanita paruh baya itu jatuh ke jalan.

Naruto entah mengapa merasa jengkel. Gadis itu benar-benar tak perduli akan hak orang di sekitarnya. Berdiri di tengah jalan, dia pikir orang lain tak menggunakan jalan itu? Main dorong seenaknya? Seharusnya seragam sekolah yang ia pakai sanggup mencerminkan kepribadian seorang 'siswi' yang normalnya mampu menghargai orang lebih tua.

"Minggir atau kutabrak kau!"

TNNN...

"--minggir bocah!"

Mobil kembali melaju normal. Naruto menarik lengan si gadis paksa, membawanya ke pinggir jalan.

"Kau mengerti dengan tindakanmu?!"

Gadis itu membungkam,

"Tch, lagi pula kenapa jam segini ada anak SMA keluyuran sih?! Kau bolos ya?"

"..." dia tetap diam.

"Mau jadi apa kau?"

"..." dia masih terus diam.

"Oi?!"

Merasa diacuhkan...

"Terserah! Lebih baik aku pergi―"

Srett...

Lepas berbalik, Naruto merasakan sebuah tarikan pada jaketnya. Ia menoleh,"...?"

"Aku ikut..."

Kening Naruto tak ayal seketika mengerut,

"...hah?"

.

.

.

TBC