CATHCHING THE CHEATING

Cast : Kim Jongin, Oh Sehun, Oh(Park) Chanyeol, Bae Irene, Lee Taeyong, Jung Jaehyun, dll.

Pairings : ChanKai, HunKai, ChanKen, JaeYong, dll.

Genres : Romance/Hurt/Comfort

Note : Penulis asli cerita ini sudah memberikan saya izin untuk me-remake ceritanya, judul yang saya gunakan sama dengan judul asli cerita ini di Wattpad. Di cerita ini Chanyeol berperan sebagai kakak Sehun dan Jaehyun berperan sebagai adik Sehun, jadi marga mereka juga saya ganti menjadi Oh juga. Terima kasih ^^

Jongin's POV

"Oke, saya rasa cukup sampai di sini," Tuan Song menyimpan pena mont blanc-nya ke dalam saku kemeja sebelum berdiri dan memakai jasnya."Kita akan trial product-nya satu minggu lagi. Saya harap tidak ada material yang reject." Lanjut Tuan Song.

Tiga peserta meeting lainnya mengangguk, sebelum berdiri mengikuti sang pemilik project. Meeting lanjutan yang untungnya tidak begitu memakan banyak waktu, karena mereka hanya tinggal mengesahkan Maspro yang sudah diajukan oleh SubCount Project.

Aku juga ikut berdiri untuk menghormati Tuan Song yang menyalami peserta meeting sebelum undur diri. Setelah beliau keluar dari ruang meeting yang nyaman tersebut, aku segera membereskan berkas-berkas master project yang berserakan di meja.

"Saya duluan Tuan Kim," pamit Minho, anak buah Tuan Song yang membawahi Departemen Purchasing.

"Terima kasih kerja samanya Tuan Choi." Aku menyambut uluran tangannya.

"Senang bekerja sama denganmu, anak muda." Telapak tangan Minho hangat dan mantap. "Semoga trial kita berjalan lancar dan tidak ada masalah."

"Ya, saya juga berharap begitu"

"Oke, kita ketemu lagi hari Selasa." Minho mengangkat tas laptopnya. "Jangan lupa quotation-nya. Saya harap Tuan Oh sudah approval harganya."

"Pasti, Tuan"

"Oke, see you next week." Pamitnya lagi.

Aku tersenyum ramah sambil terus membereskan semua peralatan meetingku. Setelah semua masuk ke tas kerja, baru aku mengambil ponsel dari saku celana. Ada dua miscall dan dua WhatsApp yang masuk sepuluh menit yang lalu, semua dari boss-ku.

Chanyeol

Chubby, aku masih di kantor. Jangan lupa beli makan malam.

Safety-nya sekalian

Senyumku makin lebar, boss-ku yang mesum. Aku tahu sekali apa maksud WhatsApp terakhirnya. Sudah dua minggu sejak sex terakhir kami di apartemenku, sebelum Chanyeol terbang ke Taiwan. Boss sekaligus pacarku itu selalu menginvasi schedule harianku.

Bukannya tak senang dengan perhatian Chanyeol, tapi dua bulan belakangan intensitas sikap posesif Chanyeol makin membuatku tak berkutik. Tak ada ruang untukku bergerak. Apapun kegiatanku harus laporan, bahkan sekalipun aku habis dari toilet.

Chanyeol pernah melabrak asistenku, Taemin yang tak tahu dimana keberadaanku sampai tubuh lelaki tampan itu gemetar karena ketakutan. Memang itu salahku yang tak memberi tahu Taemin bahwa setelah meeting internal, aku lanjut cek ke line produksi di pabrik Daegu.

Seingatku, Chanyeol marah besar padaku. Well, ponselku mati, dia tidak bisa menghubungi atau mengirim pesan. Jadi aku yang baru saja datang dari Daegu dan tak tahu apa-apa melongo melihat Taemin yang pucat pasi dengan tubuh gemetar. Aku tentu saja berdiri di pihak Taemin. He is my best assistant. Dan dia tidak tahu apa-apa. Chanyeol saja yang keterlaluan, tak mau sedikit pun menerima penjelasan lelaki itu.

Tentu saja kami perang mulut dalam artian harfiah.

Dia marah, aku lebih marah. Dia menuduh aku sengaja menyelinap dari jam kerja untuk refreshing—yeah, aku mengaku aku pernah melakukan itu sebelumnya—biar aku bisa cuci mata. Tapi kali ini tuduhannya yang luar biasa aneh itu jelas membuatku meradang. Aku jelas-jelas dengan mengerahkan otak, tenaga dan waktu untuk kemajuan perusahaan, bukan sedang leye-leye di pinggir pantai sambil minum cocktail. Dalam kemarahan, aku melempar berkas kerjaku ke arahnya, yang langsung tepat mengenai wajahnya. Aku memaki, dia balas memaki. Aku berteriak, dia balas berteriak. Sampai akhirnya aku diterjang di ruang kerjanya itu.

Dan aku kalah.

Chanyeol mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menaklukanku, mengeluarkan seluruh keahliannya untuk membuatku puas. Betul-betul terpuaskan. Actually, sex after fight is the best healing. Itu amat berlaku buatku. Sex terbaikku selama setahun aku berhubungan dengannya. Bukannya sex sebelumnya dengan Chanyeol tidak memuaskan, but it was a really-really great sex for me. Sejak saat itu pula, Chanyeol lebih sering bermalan di apartemenku daripada pulang ke rumahnya.

"Langsung pulang, Tuan?" Tanya pak Lee, supir pribadi Chanyeol sambil melihatku dari kaca spion.

"Kita ke kantor dulu pak."

Aku sudah membeli makan malam untuk berdua. Holycow Steakhouse favorit Chanyeol. Aku sebetulnya heran sekali dengan pacarku itu, kemana larinya lemak-lemak yang setiap hari dikonsumsinya itu? Tidak kelihatan takut terkena kolesterol atau darah tinggi. Hampir setiap hari Chanyeol menyelipkan steak di sesi antara makan siang atau makan malam, tapi tak kelihatan gelambir lemak di tubuhnya. Tak sia-sia rupanya dia nge-gym tiga jam setiap hari Selasa dan Kamis.

Membayangkan tubuh atletis Chanyeol, aku jadi ingin menggodanya. Jempol kananku membuka lock screen ponselku, menyentuh nomor Chanyeol. Sambil menunggu panggilanku disambut olehnya, benakku sudah membayangkan tangan Chanyeol bergerilya ke seluruh tubuhku.

Dering pertama...

Dering kedua...

Dering ketiga...

Hmm, alisku berkerut. Tumben sekali. Biasanya dalam kondisi apapun, maksudku, kondisi apapun. Chanyeol selalu menyahut panggilan teleponku di dering pertama.

"Hai Chubby," suara terengah Chanyeol menyapa telingaku.

Perasaanku langsung diterpa gelombang was-was yang aneh. Ada sesuatu tapi entah apa yang bersemayam tak nyaman di hatiku. Aku seolah-olah merasa de javu. Apa ini?

"Kenapa suaramu terengah-engah begitu?" tanyaku curiga. "Sedang apa?" cecarku lagi.

"Lari," Chanyeol terdengar menahan nafasnya. "Aku dari toilet."

Hmm, aku mencium bau busuk dari alasan Chanyeol. Toilet di ruang kerja Chanyeol hanya sekitar tujuh meter jauhnya dari meja kerja. Tidak mungkin dia yang bertubuh amat fit itu biasa sampai kehabisan nafas, sementara naik tangga dari lantai 2 ke kantornya di lantai 9 pada saat lampu mati saja dia tidak kelihatan keringatan apalagi sampai terengah-engah begitu.

"Kau sudah sampai mana?"

"Baru kaluar dari Taeguk Corp,"

Dusta meluncur begitu saja mengiringi lidahku, mataku bersinggungan lagi dengan mata pak Lee di kaca spion. Mata yang sarat dengan pengertian. Pak Lee lebih tahu bagaimana kelakuan Chanyeol yang notabene adalah pegawai yang nyaris mengahabiskan waktu 24 jam bersama kekasihku itu.

"Meeting-nya sukses?"

"Mereka minta aproval quotation-nya. Kau sudah tanda tangan?"

"Masih kupelajari. Kau orang pertama yang akan kubertitahu."

"Oke." Aku menarik nafas pelan. "I will buy dinner, Holycow seperti biasa?"

"Perfect." Chanyeol tertawa riang.

"Agak lama sedikit tidak apa kan?"

"Okay, take your time,"

Chanyeol kedengaran lega di seberang sana, dan sumpah aku seperti mendengar gema desah nafas tertahan yang teredam di balik tangan, dan itu sama sekali bukan suara Chanyeol. Aku benar-benar mencium bau busuk di balik kelegaan Chanyeol.

"Pak, cepat ya," pintaku pada pak Lee.

"Iya, Tuan."

Pak Lee pun memacu mobil lebih cepat membelah malam yang sudah menyelimuti alam dengan sempurna. Aku hanya memandang keluar jendela mobil, mengikuti alur mobil yang terjebak kemacetan. Padahal waktu sudah hampir mendekati pukul 8 malam.

Rasa was-was yang sama makin melanda hatiku, saat aku berjalan keluar parkir lot menuji lift lima belas menit kemudian. Naluriku berkembang liar dengan imajinasi yang kuat. Kalau sudah seperti ini biasanya firasatku tak pernah meleset.

Pengalaman deri seluruh kehidupanku yang sudah mendekati angka 24, membuatku percaya diri. Instingku tao pernah salah. Perhitungan apapun yang kubuat dalam hidupku tak pernah jauh melenceng. Makanya di usia yang masih terbilang muda ini aku merasa sudah mencapai target hidup yang memuaskan.

Mungkin hanya satu kekuranganku, fakta bahwa aku gay, tak pernah membuat Papaku tersenyum gembira atau Mama yang menatapku dengan bangga. Aku menatap refleksi gambaran seraut wajah tan pria muda yang menawan di lembar bening kaca yang melapisi sebagian lift. Aku tak pernah bangga dengan pilihan hidupku itu, tapi aku juga tak pernah menyesal menjalaninya.

Ding...

Lift berhenti di lantai 9 tujuanku. Wangi citrus yang menenangkan langsung menerpa hidungku. Lorong mewah bernuansa mahoni menyambutku. Suasana sudah sepi. Hanya dengungan suara AC dari kejauhan terdengar.

Lantai 9 ini hanya ditempati oleh ruang meeting direksi, ruang tami yang eksekutif, pantri mewah yang lengkap serta ruang kantor Chanyeol dan sekretarisnya.

Aku melewati meja sekretaris Chanyeol yang tertata rapi dalam beberapa langkah, langsung memutar handle pintu ruang kerja Chanyeolm ketika geraman itu terdengar parau. Geraman yang aku hafal betul intonasinya. Geraman yang selalu dikeluarkan Chanyeol saat dia mencapai puncak kenikmatan sex-nya. Geraman yang sama setiap kali Chanyeol menghentak keras ke dalam tubuhku sebelum menumpahkan lahar panasnya di dalam lubang kenikmatanku.

Tapi yang membuatku paling terkejut adalah saat terdengar desahan itu. Desahan liar penuh kepuasan yang dikeluarkan oleh seorang wanita.

Oh Oh NO, BIG NO.

Ini tak termaafkan lagi. ini pengkhianatan Chanyeol yang betul-betul meluluh lantakkan egoku. Dua petualangan kecil Chanyeol sebelumnya masih bisa aku maafkan. Korban petualangan liar sebelumnya hanya bottom-bottom yang tak ada artinya buatku. Hanya selingan sesaat Chanyeol. Tapi yang satu ini betul-betul menghantam eksistensiku. Chanyeol selingkuh dengan wanita. Makhluk yang bagaimanapun juga tak bisa kutandingi. Well, mereka punya payudara dan vagina, right? Laki-laki mana yang bisa menandingi kelebihan itu?

Walau ruang kantor Chanyeol minim cahaya, karena beberapa lampu seakan sengaja tak dinyalakan, namun tidak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan dua tubuh yang saling menempel ketat di atas sofa itu. Darah dalam tubuhku bergejolak naik ke atas kepala, menghantam semua rasa was-was yang sejak setengah jam lalu merajai benak. Hingga tanpa sadar kotak makan malam terlepas dari genggaman tanganku menimbulkan bunyi nyaring di ruangan yang hening tersebut.

Kedua tubuh telanjang dia atas sofa itu tersentak kaget mendengar efek pantulan itu. Chanyeol mengangkat kepala dan matanya memandang penuh horor ke arahku. Aku belum bisa mengenali wanita yang ada di bawah tubuhnya, karena dia langsung menyambar apapun yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuh polosnya.

Tanpa mau repot-repot melihat makan malamku yang jatuh, aku melipat tangan di depan dada dan memicingkan mata melihat gesture tubuh si wanita. Sampai kapanpun aku tak pernah tertarik melihat tubuh telanjang seorang wanita. Tidak akan. Tapi tunggu dulu, kenapa aku seperti mengenali wanita itu?

"Jongin," Chanyeol tergagap sambil meraih celana boksernya dengan gugup. "Kok sudah..."

"Jalanan tidak macet." Sahutku dingin. "Kau bebal atau betul-betul idiot, Chanyeol? Apa kau tidak berpikir aku bisa saja datang lebih cepat dari dugaanmu?" tanyaku sinis.

"Ini tidak seperti yang kau sangka,"

Cih, aku bergeming. Alasan klise yang selalu dipakai oleh orang yang kepergok selingkuh. Terutama oleh Chanyeol. Itu alasan yang sangat sangat basi. Aku muak mendengarnya.

"Ini memang bukan yang kusangka," suaraku masih dingin."Ini seperti yang kulihat."

Sang wanita mencoba berdiri setelah berhasil memakai gaun one piece-nya. Berbalik, dia masih mencoba menyembunyikan mukanya. Dia berusaha berlindung di balik punggung kokoh Chanyeol, usahanya untuk bersembuunyi di belakang bayangan Chanyeol sia-sia, aku dusah terlanjur melihat raut wajahnya. Dan aku menghirup nafas tajam. Tubuhku kaku seketika. Hantaman kuat melanda dadaku lagi.

Ya ampun...

"Irene..." bisikku tak percaya.

Tumitku mundur kebelakang dengan limbung. Mataku yang sekarang memandang penuh horor pada wanita itu. Irene, sahabat terbaik yang kupunya. Sahabat yang mengetahui samua borok-borok kehidupanku. Sahabat yang tahu jatuh bangunnya aku di dunia pelangi ini. Sahabat yang rela kuberikan apapun untuknya bahkan bila harus kukorbankan nyawa untuknya. Belahan jiwa yang tak akan kutukar dengan apapun di dunia ini. Sahabat yang tahu persis dengan siapa dia berselingkuh.

Dan disinilah ia, menikamku dengan belati imajinernya.

Irene masih kelihatan gugup, matanya memandangku dengan berbagai kilatan yang tak bisa kutangkap maknanya.

"Jongin," bahkan itu bukan suaranya."Aku...aku bi...bisa menjelaskan semuanya."

"Jelaskan?" suaraku sendiri juga ikut bergetar. "Aku sudah melihat semuanya dengan JELAS."

Irene hendak maju, tapi aku langsung mengangkap tanganku yang entah kenapa mendadak gemetar, menghentikan langkahnya. Tremor dari shock yang melanda hatiku tak bisa kusembunyikan. Kenapa ruangan Chanyeol begini dingin? Tubuhku sampai menggigil hebat begini.

"Shit!"

Aku mendesis kelu, aku harus keluar dari sini secepatnya. Aku tak tahan dengan rasa diniginnya. Hatiku rasanya membeku. Nafasku jadi sesak karena seakan jantungku direnggut paksa dari tempatnya.

"Baby," Chanyeol memanggilku. "Dengarkan aku dulu."

"Don't you dare to Bab to me," aku menatap Chanyeol murka dengan dada makin sakit. "Enough, Chanyeol. We've done here. Done."

Mata Chanyeol metotot tak percaya mendengat ultimatumku. Irene malah sudah bergerak ingin menggapaiku, tapi tangan Chanyeol menahannya. Dan aku sadar satu hal lagi. Chanyeol lebih memilih Irene daripada aku.

Aku melarikan diri seperti pecundang. Tak kuperdulikan Chanyeol yang berusaha mengejarku. Tak kuperdulikan teriakan Irene yang meracau memanggilku. Tak kuperdulikan pak Lee yang berusaha menghalang-halangi langkahku. Aku melarikan Audi-ku seperti orang kesetanan. Aku hanya ingin pergi jauh dari Chanyeol. Dari Irene. Dari luka dalam yang baru saja mereka torehkan.

Dadaku sakit. Ini pasti bukan karena asma-ku sedang kambuh. Ini rasa sakit yang lain. Dadaku betul-betul sakit. Kenapa rasanya sesakit ini? Seakan ada pisau bergerigi dengan mata tiga yang menancap di jantungku dan mengoyaknya tanpa ampun. Ini bukan malam yang seperti kuangankan tadi di mobil. Ini bukan malam yang kurencanakan untuk mendapatkan tikaman dari dua orang yang paling berharga di dalam hidupku, dalam mimpi buruk sekalipun tidak. Rasa sakitnya bahkan melebihi ucapan pelan Papa yang mengusirku dulu.

Kalau dua orang yang paling kucintai itu sampai tega menghianatiku seperti ini, siapa lagi yang kupunya? Siapa lagi yang bisa kupercaya untuk menyandarkan semua penatku? Dan untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku terpuruk.

Aku dingin. Aku beku. Aku kosong. Aku sakit. Aku mati rasa. Dan aku sendirian.

TO BE CONTINUED