GROWL

Jaehyun x Taeyong Fanfiction

NCT


Api dan asap.

Membumbung tinggi, pekat, tergantung di udara, membuat Taeyong menjatuhkan kayu bakar yang sudah dia kumpulkan atas perintah ayahnya. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Panik memenuhi hati si serigala kecil saat dia berbalik dan bergegas kembali ke pack.

"Ayah! Ibu!"

Ayah! Ibu!

Taeyong berteriak memanggil, dengan mulut juga dengan pikirannya. Dia mengabaikan dingin dari salju yang berderak melewati jari-jari kaki bentuk manusianya. Tak ada jawaban. Terlalu hening. Taeyong tidak bisa terhubung dengan kedua orang tuanya meski lewat ikatan mereka. Kaki-kaki kecilnya bergerak lebih cepat menuju tempat kawanannya seharusnya berada. Harusnya dia tidak meninggalkan mereka, meninggalkan sisi ayah dan ibunya. Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang salah tengah terjadi.

"Alpha!"

Taeyong melewati pepohonan, sesekali tersandung oleh akar-akar. Jantungnya berdebar kencang dan seakan berhenti saat memandang penuh kengerian pada kekacauan di depannya. Tempat tinggalnya, tempat yang melindungi seluruh anggota packnya, bangunan-bangunan, sudah hangus terbakar menjadi abu. Keluarga, teman-temannya, semua orang, terbaring mati di antara salju, mewarnai benda putih dingin itu dengan darah-darah mereka.

Taeyong kecil menutup hidungnya, menangis saat bergerak mendekat, hati-hati, berusaha keras untuk tidak muntah.

Apa yang terjadi?

Siapa yang tega melakukan ini?

Aroma-aroma akrab menusuk penciuman, membuat Taeyong membalikkan kepala ke arah sumber aroma itu dan langsung berlari.

"Ayah?! Ibu?!"

Taeyong berhenti, melihat tubuh bernoda darah ayah dan ibunya yang tergolek tak bernyawa. Air matanya jatuh lebih banyak, bersama tubuh lemasnya yang seketika jatuh berlutut di samping dua orang terpentingnya.

"T-tidak... ayah... ibu..."

Dia mengulurkan tangannya yang gemetar ke arah tubuh mereka, seakan takut untuk menyentuh.

"Kenapa? Kenapa ini terjadi?"

Saat dia menyentuh bulu hangat keabuan ibunya, serigala kecil dalam bentuk anak manusia sepuluh tahun itu gemetar. Taeyong memeluk ayah dan ibunya dengan tangan kecil miliknya sambil menangis keras, penuh rasa sakit karena ditinggalkan. Tangisan bergema ke langit malam, berubah menjadi lolongan menyanyat hati setelahnya.


Seorang pria di depan bus berteriak, berkata jika mereka akan segera tiba di kota. Taeyong langsung terbangun dari tidur, telinga sensitifnya membuatnya bisa mendengar teriakan itu berkali-kali lipat lebih keras dari seharusnya. Itu membuat Taeyong ingin menggeram kesal. Dengan malas dia melihat keluar jendela, melihat keadaan kota ini dan sekitarnya untuk pertama kali.

Taeyong menarik napas dalam, berkedip merubah mata biru-abu-abu miliknya yang refleks muncul tadi, kembali hitam, berusaha duduk dengan tenang.

"Seharusnya aku tetap tinggal," ucapnya pada diri sendiri, mengingat tempat tinggalnya yang nyaman sebelum ini.

Tapi dengan cepat dia menggeleng. Dia memang harus pergi, berpindah dalam rentang waktu tertentu. Sebagai serigala, serigala muda, apalagi omega yang hanya hidup sendiri, dia tidak bisa mengambil resiko berada di suatu tempat tertentu dalam waktu yang lama.

Menyisir poni rambut cokelatnya, dia membenarkan beanie di atas kepala juga syal yang melingkari lehernya.

Dalam bentuk serigala, Taeyong tidak akan terlalu kedinginan karena bulu-bulu hangatnya, berbeda jika dalam bentuk manusia, meski toleransi terhadap dingin lebih baik dari manusia biasa, tetap saja... dia kedinginan. Musim dingin belum akan berakhir karena ini masih awal bulan Januari. Taeyong bersyukur dia memakai pakaian cukup tebal saat ini.

Saat keluar dari bus, Taeyong melihat sekeliling, mengendus udara sekali lagi diam-diam, mencoba membuat dirinya terlihat sebiasa mungkin, seperti manusia lain tanpa terlihat aneh atau ketakutan.

Jika ada pack serigala di daerah ini, Taeyong harus tahu, secepatnya, dan segera pergi. Setelah perjalanan jauh dan penuh ancaman dari tempat asalnya sampai kemari, Taeyong tidak ingin mati di tempat ini.

Setidaknya dengan selalu waspada dia akan punya waktu beberapa jam atau hari untuk melarikan diri dan pergi di sana.

Masalahnya sekarang adalah dia ada di kota, salah satu kota besar dan bukannya hutan. Di sekitarnya hanya ada bangunan-bangunan tinggi bukan pepohonan rindang. Akan beresiko jika dia melarikan diri dalam bentuk serigalanya, mengingat werewolf adalah salah satu jenis makhluk hidup yang sengaja disembunyikan keberadaannya dari manusia, dan serigala juga bukan hewan yang lazim terlihat di tempat seperti itu. Tapi akan jauh lebih beresiko lagi jika dia menggunakan transportasi manusia seperti bus tadi. Karena itu memerlukan waktu lama dan tidak seefektif jika dia dibandingkan menggunakan jari-jari kakinya untuk berlari.

"Semuanya akan baik-baik saja," pikir Taeyong menghela napas lega, serigala dalam dirinya juga tampak santai setelah perjalanan panjang berjam-jam dengan bus. Dia tidak mencium adanya serigala di dekat sini.

Lupakan sejenak tentang itu. Ada masalah lain yang harus dia pikirkan sekarang.

Taeyong membuka dompet dan memeriksa isinya. Hanya beberapa lembar tersisa. Cukup untuknya tinggal beberapa hari dan biaya untuk pergi keluar dari kota ini jika tiba-tiba terjadi sesuatu. Tapi karena dia tidak mencium adanya ancaman apapun, Taeyong memutuskan untuk menetap lebih lama di sini sambil mencari lebih banyak uang dengan bekerja, sebelum pergi ke kota berikutnya.

Dia berjalan melalui jalanan kota. Mengamati, mengingat tempat-tempat itu beserta aroma di sekitarnya. Hal yang selalu dia lakukan saat sampai di tempat baru.

Langkah kakinya melambat saat dia melihat sebuah café kecil. Taeyong tersenyum tipis begitu berjalan ke sana, masuk meski terabaikan oleh pengunjung-pengunjung yang asik mengobrol dan menikmati pesanan mereka. Hanya beberapa orang di meja dekat pintu yang melirik penasaran padanya sekilas.

Taeyong berjalan ke salah satu meja dan duduk, ada buku menu di meja, tepat dk hadapannya. Dia berusaha sebisanya untuk tidak terlihat terlalu kentara sedang memperhatikan sekitarnya sambil mengendusi udara. Itu bukan sesuatu yang normal bagi manusia.

Seorang pelayan wanita muda, cantik, berambut pirang panjang mendekatinya sambil tersenyum, tubuhnya yang tak terlalu tinggi dipenuhi aura penuh semangat, kepercayaan diri, dan keceriaan saat dia berjalan, "Ada yang ingin anda pesan, Tuan?"

"Tidak, terima kasih, sebenarnya aku... mencari pekerjaan di sini," jawab Taeyong sesopan mungkin.

"Pekerjaan?" Tanya pelayan itu.

"Ya. Aku baru di kota ini dan butuh pekerjaan sementara," kata Taeyong.

Orang yang dia ajak bicara terlihat memandangnya curiga setelah itu. Mungkin karena kata sementara yang dia ucapkan.

"Jika tidak keberatan apa aku bisa mememui managernya? Aku memang tidak bisa tinggal lama di kota ini, tapi aku berjanji akan bekerja dengan baik selama di sini."

"Apa kau membawa surat lamaran kerjanya?"

Taeyong mengangguk sambil berbalik dan meraih map di dalam ranselnya, menyerahkan kepada si pelayan, yang mulai membaca halaman resumenya.

"Sepertinya kau cukup berpengalaman untuk pekerjaan ini."

Taeyong tersenyum cerah mendengar kalimat yang terdengar seperti pujian itu, "Jadi aku bisa bertemu manager di sini dan membicarakannya?"

Pelayan itu mendongak dan tersenyum, "Kau sedang berbicara dengannya sekarang." Ekspresi terkejut di wajah Taeyong membuatnya tertawa. Dia mengulurkan tangan. "Aku Son Seungwan. Kau bisa memanggilku Wendy. Lee Taeyong, benar?"

Taeyong mengangguk dan menjabat tangan Wendy.

"Kau bisa bekerja mulai besok. Jam tujuh pagi. Kebetulan di sini sedang kekurangan orang."

Taeyong mengangguk, senyuman terlihat di wajahnya. "Baiklah, terimakasih, Wendy-shi."

"Panggil saja aku nuna mulai sekarang, oke?" Wendy mengedipkan matanya. Menawarkannya secangkir kopi sebagai salam perkenalan.

Taeyong tersenyum, berpikir jika dia sangat beruntung bisa bertemu dengan sosok baik di depannya.


Taeyong berjalan ke salah satu motel. Memasuki ruangan dengan nomor enam di pintu setelah membayar sewanya untuk dua hari. Begitu masuk dia langsung melemparkan ranselnya ke sebuah kursi kosong dan naik ke tempat tidur dengan letih, mendesah berat saat akhirnya bisa berbaring nyaman. Dia akan mencari tempat yang cocok, yang lebih layak namun murah dan nyaman, untuk tinggal selama di kota ini. Mungkin besok setelah pulang bekerja.

Hidupnya memang begini, berpindah-pindah tak menentu sejak bertahun lalu.

Taeyong sudah bergabung dengan dua pack berbeda setelah packnya yang dulu dihancurkan. Dan dua-duanya benar-benar seperti neraka.

Status peringkat bagi seorang werewolf begitu berpengaruh besar dalam perlakuan mereka terhadap anggota pack. Bagi serigala kecil Taeyong, apa yang telah dia lihat di usia mudanya itu jauh lebih mengerikan dari apapun. Perlakuaan semena-mena apalagi untuk omega sepertinya membuatnya trauma. Mereka diperlakukan seperti barang tak berharga karena statusnya yang merupakan penghuni hierarki terbawah.

Alpha-Beta-Gamma-Delta-Omega.

Alpha adalah kekuasaan mutlak, anggota pack dibawahnya harus mengikuti apapun perintahnya. Begitupun berlaku untuk status di peringkat berikutnya.

Taeyong sendiri ingat dirinya sering dipukuli karena tak melakukan tugasnya dengan baik, meski dia hanyalah anak kecil berusia dua belas tahun saat itu. Sama sekali tidak ada belas kasihan. Meski itu lebih baik dibandingkan omega-omega lain yang lebih dewasa darinya, yang mendapat berbagai pelecahan dan tindak kekerasan. Taeyong tidak mau menjadi salah satunya, maka saat tepat berusia tujuh belas tahun, dia lari dari pack. Memilih hidup sendiri tanpa kelompok. Menjadi loner wolf.

Bagaimana dia melarikan diri dari mereka?

Taeyong tidak tahu atau tidak terlalu peduli untuk mengingat. Dia hampir kehilangan nyawa saat itu karena harus berlari dan bersembunyi dari kejaran anggota pack yang menganggapnya pengkhianat.

Taeyong menolak untuk bergabung dengan pack manapun lagi setelahnya, tak peduli seberapa besar dia harus melalui kesulitan dan kesepian karena itu. Banyak yang harus dilaluinya. Mulai dari kabur saat bertemu dengan anggota pack lain, sampai bertarung dengan Rogue, serigala liar berjiwa bebas yang terkenal kejam. Berbeda dengan loner wolf yang memang memutuskan untuk hidup sendiri, Rogue tak tergabung dengan pack karena pengusiran atau memberontak.

Di satu tempat dalam dirinya, Taeyong dan serigalanya tahu jika pilihan hidup mereka sangatlah mustahil dan terlalu beresiko, apalagi dengan statusnya sebagai omega. Tapi siapa sangka jika mereka bisa menjalaninya dengan baik tiga tahun terakhir ini.

Taeyong menutup matanya saat ia teringat dengan pack asalnya, pack yang dia tinggali bersama kedua orang tuanya.

Anggota pack mereka tidak seperti dua pack yang sudah dia lihat. Ada banyak tawa dan kebahagiaan yang sangat dia rindukan. Omega boleh jadi yang paling lemah, tapi mereka tidak dipandang rendah, dan Alpha yang memimpin pack berusaha keras melindungi seluruh anggota, tak peduli apapun status mereka. Karena itulah Alpha sangat disegani, dihormati, dan disanjung. Kedamaian adalah salah satu hal yang paling dijunjung tinggi di sana.

Mengingat pack lamanya, kembali mengingatkan Taeyong akan api yang menjalar, kengerian dan juga ketakutan.

Taeyong tahu pack asalnya bukanlah pack kuat, tapi dia yakin seseorang telah dengan sengaja mengincar dan membantai seluruh anggota packnya dan menghancurkan semuanya hingga tak tersisa. Dia tahu, tapi sebagai omega, dia tidak bisa mencari tahu siapa yang melakukannya dan membalaskan dendam untuk keluarga dan temannya. Bahkan jika dia mencoba, dia tidak bisa melakukan itu.

Memang apa yang bisa omega lemah sepertinya lakukan?

Taeyong mengembuskan napas lelah lagi, matanya berkaca-kaca saat dia duduk dan mencoba membebaskan diri dari kenangan masa lalu yang menghantuinya.

Pakaian tebal masih melekat di tubuhnya tapi dia merasa lebih dingin. Saat Taeyong kembali berbaring dalam hening dan kesepian, rasa kantuk menyerangnya. Kini dia meringkuk memeluk dirinya sendiri seperti bola, seolah-olah itu akan bisa melindunginya dari masa lalu kelam dan masa depan yang mungkin datang dengan lebih kejam.


Pohon pinus. Semak belukar. Udara dingin dan segar. Sebuah sungai. Juga sisa-sisa butiran salju yang perlahan meleleh di dedaunan.

Taeyong membuka matanya saat dia berhenti mengendus udara, "Hutan?" Dia melihat ke sekeliling.

Bagaimana dia bisa sampai ke sini?

Dia menatap dirinya sendiri, pakaian yang dia kenakan sebelumnya menghilang. Taeyong tak mengenakan apapun sekarang. Sepenuhnya telanjang.

"Ini... mimpi?"

Taeyong menghirup udara sekali lagi dan sesuatu yang akrab, yang hampir lama terlupakan, kembali mengalir melalui tubuh, pikiran, hati, dan jiwanya.

Taeyong merasa... bebas.

Perasaan ini membuatnya hampir menangis, karena dia sudah tak merasakan perasaan seperti ini untuk sisa waktu yang dia ingat.

Kebebasan yang tidak pernah dia pikir akan bisa dirasakannya lagi, setidaknya dalam waktu dekat, atau mungkin dalam sisa hidupnya.

Taeyong terlalu sibuk untuk bertahan hidup. Itulah alasannya.

Tapi kini, dia tidak ingin melarikan diri, bersembunyi, atau menyelamatkan dirinya sendiri. Yang dia inginkan adalah bisa merasakan dengan leluasa tempatnya berpijak, rumput, salju di bawah kakinya, angin yang menerpa bulunya, dan langit malam indah dengan sinar bulan dan bintang di atas sana.

Taeyong tersenyum, sisi serigala dalam dirinya juga terbangun, berpikiran hal yang sama dengannya. Pikiran mereka bersatu dan bentuk manusianya perlahan berubah menjadi bentuk serigala berbulu kecokelatan.

Taeyong berlari masuk ke hutan, melewati pohin pinus, melompati batang pohon dengan napas menderu. Detak jantung miliknya dan serigalanya berdetak seirama, bisa terasa oleh satu sama lain dengan sempurna.

Namun, ada sesuatu yang memaksa Taeyong menghentikan kesenangan dan kebebasan yang berlalu terlalu cepat itu. Lolongan keras tak jauh dari mereka terdengar. Serigalanya menggeram, panik karena merasa terancam.

Apa... itu?

Taeyong terkejut dan tidak mengerti. Kenapa ada serigala lain di sini? Di mimpinya?

Taeyong ingin melarikan diri. Dia merasa bahkan dalam mimpi sekalipun, dia tidak akan bisa menghadapi ini. Tapi dia terpaksa tinggal di sana, terdiam di atas empat kakinya seolah-olah ada kekuatan yang mengikatnya dengan tempat itu. Serigala miliknya melolong pada langit malam.

Taeyong menatap ke depan dengan waspada saat mendengar langkah semakin mendekat. Selain dirinya, ada seseorang, serigala lain. Perlahan menampakkan diri dari sisi-sisi gelap naungan pohon.

Bentuk tubuhnya besar, lebih besar dari Taeyong, berbulu putih dan sedikit sapuan emas pada kaki dan ekor juga bulu abu-abu di atas kepala dan punggung. Matanya telihat cemerlang, perpaduan hitam-cokelat, menatap tajam padanya. Indah sekali.

Seringala itu menerjangnya!

Bibir Taeyong bergetar dan jantungnya berdebar cepat di rongga dada saat dia bisa menebak apa yang serigala itu lakukan.

"Jangan... Kumohon berhenti! Jangan lakukan itu," katanya pada diri sendiri juga pada serigalanya.

Serigala Taeyong tidak menyerah saat dia mulai menerjang balik si serigala asing. Taeyong tidak berani melihat, menyerahkan kendali tubuh pada serigalanya. Dari mendengar suara yang ditimbulkan, sudah cukup untuk membuatnya menebak apa yang terjadi. Suara cakaran terdengar. Semua terlalu cepat. Taeyong bisa mendengar serigalanya menyalak saat sekali lagi pertarungan dilanjutkan bersama rasa sakit yang dia rasakan juga. Bagaimanpun Taeyong dan serigalanya adalah satu.

Cakaran dan gigitan taring tajam terus dilayangkan bersamaan dengan suara geraman. Dua tubuh serigala berbeda ukuran bergelut di atas tanah bersalju, rumput dan ranting pohon, membuat kebisingan di hening malam. Serigalanya mendengking, Taeyong meringis, sekali lagi sebelum jatuh terlempar, terbanting ke tanah.

Apa?!

Taeyong tersentak. Tubuhnya mulai gemetar karena tiba-tiba, sesuatu yang panas menimpa bentuk serigalanya yang kini melolong dari arah belakang. Serigala besar itu menggeram menekannya ke tanah, memaksa Taeyong dan serigalanya untuk menyerah.

Dia bergerak ceroboh, menggeram rendah saat perlahan menjilati leher bentuk serigala Taeyong. Sisi serigala Taeyong mendengking, menikmati itu. Taeyong merasa denyut jantungnya meningkat dan darahnya terbakar saat sesuatu menancap di leher bentuk serigalanya bersama sesuatu yang merangsak masuk di bawah sana. Knotting.

Mate.

Sebuah kata itu berdering di kepalanya, diteriakkan oleh sisi serigalanya, yang kini merintih. Taeyong menggeleng sebagai bentuk penyangkalan, tapi tubuh dalam bentuk serigalanya berkata sebaliknya.

Dia adalah mate kita.

Sesaat setelah itu semua selesai, sepasang lengan memeluk bahu Taeyong yang sudah kembali dalam bentuk tubuh manusia entah sejak kapan. Sesuatu yang panas menderu di balik leher. Sebuah suara serak terdengar. Penuh perintah tak terbantah, nafsu dan kerinduan yang membuat Taeyong menggigil.

"Lihat aku."


To be Continued

Note:

Jaeyong A/B/O~ Enjoy!