*Happy Reading!*
Warning : Mengandung adegan gore. Yang tidak suka dengan darah-darah berceceran, silahka tekan tombol back.
"Sayang. Menurutmu, apa sebaiknya kita adopsi seorang anak saja?"
Shintarou menoleh menatap wanita bersurai merah yang duduk di sebelahnya sambil memandang televisi dengan tatapan kosong. Wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Midorima Seishina, istri yang sangat dicintai Shintarou. Sudah lima tahun mereka menikah, namun mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Setelah diperiksa, ternyata istrinya memiliki masalah di rahimnya yang membuatnya tidak bisa menghasilkan keturunan.
"Seperti yang kau tau, aku tidak bisa hamil. Aku tidak bisa punya anak. Aku sudah mengecewakanmu, mengecewakan Ayah dan Ibu, juga mengecewakan orang tuamu. Aku ini benar-benar tidak berguna ya."
"Sei, jangan bilang begitu. Aku mengerti keadaanmu. Kau tidak perlu merasa bersalah."
Shintarou merengkuh pelan bahu wanita cantik keturunan keluarga Akashi itu dan menariknya dalam pelukan erat. Ia berusaha menyalurkan kehangatan dan menenangkan istrinya yang saat ini sedang terisak. Ya, Shintarou tau, betapa terpukulnya Sei ketika mendengar kabar dari dokter bahwa dia tidak bisa punya anak. Sejak saat itu, kondisi psikologis Sei memburuk. Ia jadi lebih sering bengong dan menangis. Shintarou sampai tidak bekerja selama beberapa hari untuk memani istrinya di rumah. Namun, selama itu membuat istrinya lebih baik, Shintarou tidak mempermasalahkannya. Toh, hanya tidak bekerja beberapa hari saja tidak akan membuat mereka kehilangan kekayaan mereka.
"Jika mengadopsi anak adalah yang terbaik untukmu, aku akan setuju. Besok pagi, kita pergi ke panti asuhan yang dikelola ibuku," ujar Shintarou.
Sei mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk, kemudian ia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Mau tidak mau, Shintarou pun ikut tersenyum.
"Nah, karena sekarang sudah malam, lebih baik kita tidur, ne?"
Sei mengangguk. Ia segera mematikan televisi lalu membaringkan tubuhnya di kasur sambil menarik selimutnya. Shintarou baru saja akan melepas kacamatanya dan ikut berbaring, kalau saja—
DRRTT! DRRRTTT!
—ponselnya tidak berdering tanda telepon masuk. Sambil memutar bola matanya jengah, Shintarou ngedumel dalam hati.
"Duh, siapa sih yang telpon malam-malam begini?"
Shintarou segera mengecek siapa yang berani menelpon dan mengganggunya malam-malam begini, mengingat sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Ternyata yang menelpon adalah Hyuuga Junpei, salah satu asistennya di rumah sakit.
"Ada apa?" Shintarou menjawab panggilan dengan datar. Seketika matanya terbelalak. "Apa?! Kenapa bisa?"
Sei mengernyit mendengar nada bicara suaminya yang meninggi.
"Kumohon, Dokter. Cepatlah datang. Jika tidak, pasien ini bisa tertolong."
Suara memohon yang juga terdengar cukup keras membuat Sei semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ok, aku akan usahakan kesana. Kalian siapkan ruang operasinya," ujar Shintarou lalu memutus sambungan telpon. Lalu ia menatap Sei yang balik menatapnya bingung.
"Kau terlihat panik. Ada apa?" tanya Sei khawatir.
"Hyuuga bilang ada seorang pasien yang butuh bantuanku. Aku harus segera melakukan operasi untuknya. Keadaannya benar-benar gawat," jawab Shintarou.
"Kalau begitu, pergilah," ujar Sei sambil tersenyum.
"Tapi, bagaimana denganmu?"
"Tak usah pedulikan aku. Aku baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku dengan baik. Lagipula, pasien itu jauh lebih membutuhkanmu daripada aku. Kau itu dokter. Kau juga sudah pernah berjanji untuk selalu mengutamakan keselamatan pasien saat kau lulus dulu bukan?"
Perkataan Sei membuat Shintarou tersadar. Benar juga, Shintarou tidak bisa berlama-lama di rumah disaat ada pasien yang sangat membutuhkannya. Bagaimanapun juga, ia tidak bisa melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang dokter.
"Baiklah, aku akan pergi." Shintarou segera bersiap dengan pakaian kerjanya. Setelah semua sudah selesai, Shintarou segera pamit kepada sang istri.
"Aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik, ok? Aku janji akan pulang cepat," ujar Shintarou sambil mengecup dahi Sei lembut.
"Iya, kau juga hati-hati ya," ujar Sei sambil tersenyum tak kalah lembut.
.
Shintarou mengendarai mobilnya menyusuri jalan yang sepi dan gelap. Sekarang sudah jam setengah empat pagi. Operasi tadi memakan cukup banyak waktu ternyata. Untunglah, nyawa pasien tersebut berhasil terselamatkan. Meskipun saat ini pasien tersebut masih belum sadarkan diri akibat pengaruh obat. Yang Shintarou inginkan saat ini adalah cepat sampai rumah dan menemui sang istri tercinta.
Mobil sedan hitam itu diparkirkan di garasi rumah mewah keluarga Midorima. Setelah mengambil tas kerjanya, Shintarou bergegas masuk ke dalam rumah.
Keadaan dalam rumah, mulai dari ruang tamu hingga dapur sangat gelap dan sunyi. Memang mereka hanya tinggal berdua di rumah sebesar ini. Sei juga sering mematikan lampu di ruang tamu dan dapur ketika malam hari. Tapi, jika dia sendirian seperti saat ini, Sei biasanya menyalakan semua lampu mengingat Sei itu takut kegelapan.
Saat itulah, perasaan curiga dan khawatir hinggap di hati Shintarou. Apalagi setelah ia mendengar deru mesin dari arah ruang menuci dekat dapur. Ah, itu suara mesin cuci.
"Apa Sei sedang mencuci? Tapi, ini kan sudah larut. Harusnya dia istirahat," gumam Shintarou.
Karena penasaran, Shintarou melangkahkan kakinya menuju tempat mesin cuci tersebut diletakkan. Ia mengernyitkan matanya ketika kakinya menginjak sesuatu seperti cairan yang lengket dan kental dan menutup hidungnya begitu ia mencium bau anyir yang menyengat menguar di ruangan tersebut. Ketika Shintarou menyalakan lampu, betapa terkejutnya dia.
Dihadapannya, ia melihat mesin cuci tersebut menggiling sesuatu. Sesuatu yang entah apa itu—bentuknya terlihat lebih padat dari pakaian—dengan cairan kental berwarna merah yang ia ketahui sebagai darah mengalir deras keluar dari dalam mesin cuci bersama dengan beberapa buih detergen. Mesin cuci tersebut terlihat kesulitan menggiling sesuatu yang ada di dalamnya. Gerakan mesinnya mulai macet, kemudian berhenti. Korslet. Mesin cuci tersebut telah rusak akibat beban yang terlalu berat yang harus digilingnya.
Saat itulah, Shintarou menyadarinya. Ia tau sesuatu yang ada di dalam mesin cuci itu, yang digiling oleh mesin cuci. Tapi, Shintarou menolak untuk mempercayainya.
Dengan tubuh gemetar, Shintarou meraih pintu mesin cuci. Seketika, seluruh darah dan cairan detergen yang bercampur menjadi satu mengalir keluar, bersama dengan benda-benda lain yang terlihat menjijikan. Ada beberapa bagian tubuh yang terpisah, kaki, tangan, isi perut, otak, mata, dan yang terakhir adalah kepala yang sudah tidak utuh. Mungkin Shintarou tidak akan bisa mengenali siapa sosok yang baru saja digiling di dalam mesin cuci kalau saja ia tidak melihat surai merah yang masih utuh di bagian kepalanya yang sudah terkoyak.
"Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!"
Shintarou jatuh terduduk di atas kubangan darah itu sambil memeluk sisa rambut merah itu.
"SEISHINA!"
Sambil menangisi kematian istrinya yang sangat tragis.
.
Midorima Seishina, wanita muda berusia 28 tahun, istri dari seorang dokter muda terkenal—Midorima Shintarou—sekaligus pemegang perusahaan cabang dari Akashi© tewas secara mengenaskan di rumahnya sendiri. Mayatnya ditemukan oleh sang suami di dalam mesin cuci dengan keadaan yang sudah tidak utuh. Di duga korban dibunuh, kemudian dimutilasi lalu digiling di dalam mesin cuci. Sang suami mengalami syok berat akibat kematian sang istri tercinta. Sementara itu, polisi masih mencari siapa pelaku pembunuhan sadis tersebut.
Shintarou mematikan televisinya setelah menonton berita tersebut. Sejak tiga hari kematian Sei, berita tentang kematian Sei masih terus ditayangkan. Sampai-sampai Shintarou mual mendengarnya. Shintarou sudah tidak ingin mendnegar tentang itu lagi. Kematian Sei sudah sangat menyakiti dirinya. Sejak tiga hari ini ia terus mengurung dirinya di dalam kamar. Tanpa makan ataupun mandi. Ia menolak keluarganya yang datang untuk menenangkannya. Saat ini, ia memilih untuk sendirian.
Saat hendak tidur di atas kasur empuknya dan menyegarkan kembali pikirannya, Shintarou mendengar bel rumahnya berdering. Shintarou mendecak kesal. Padahal dia sudah bilang untuk tidak mengganggunya beberapa hari ini. Apa mereka sama sekali tidak mengerti?
Shintarou melangkahkan kakinya cepat-cepat menuju pintu depan. Dengan kesal, ia membuka pintu rumahnya kasar.
"Bukankah sudah ku bilang jangan menggangguku—"
"Hai, Shin-chan! Lama tidak jumpa ya?"
Shintarou tertegun begitu menyadari siapa yang ada di hadapannya. Dia bukanlah keluarganya. Bukan juga teman kerjanya. Dia adalah seorang wanita bersurai hitam sepunggung, berwajah manis dengan manik abu-abu yang unik. Shintarou sangat kenal siapa wanita ini. Namanya Takao Kazuna, teman sekelasnya ketika SMA, sekaligus mantan pacarnya.
"Takao, kenapa kau ada disini?" seru Shintarou kaget.
"Aku ingin berkabung atas kematian Seishina, apa tidak boleh?" tanya sang wanita hati-hati.
"Bukannya begitu," Shintarou mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku sedang ingin sendiran saja saat ini."
Takao terlihat terkejut. "Be-begitukah? Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku akan datang lain kali, tapi berjanjilah kau akan menyambutku."
Shintarou tidak mengatakan apapun. Ia hanya diam saat melihat Takao tersenyum padanya, lalu melenggang pergi meninggalkan rumahnya.
.
Beberapa hari setelah kedatangan Takao, Shintarou masih saja mengurung dirinya di rumah. Ia tidak mau berangkat kerja. Ia juga tidak mau berhubungan dengan orang luar. Ia hanya makan seadanya ketika nafsu makannya bisa diajak kerjasama. Jika tidak, ia akan menghabiskan waktunya dengan tidur seharian penuh.
Sampai tiba pada suatu hari dimana Shintarou merasakan tubuhnya sangat lemas. Kepalanya berdenyut nyeri. Matanya berkunang-kunang. Ia jatuh pingsan saat hendak minum di dapur.
Ketika sadarkan diri, tau-tau dia sudah berada di dalam kamarnya, dengan kain kompres di dahinya. Ia tidak tau siapa yang merawatnya ketika pingsan, sampai suara lembut seseorang menyapa gendang telinganya.
"Kau sudah sadar, Shin-chan? Apa yang kau rasakan? Masih pusing?"
Takao duduk di sebelah ranjangnya sambil menatapnya khawatir. Tentu saja Shintarou terkejut.
"Takao, kenapa kau disini?! Tunggu, bagaimana bisa kau masuk?" seru Shintarou bingung.
"Aku datang pagi tadi. Saat aku menekan bel rumahmu, tak ada jawaban, jadi aku masuk saja. Untung kau meletakkan kunci cadangan di dalam kotak suratmu," jawab Takao. Shintaro kembali mengernyit. Sejak kapan wanita ini tau kalau ia menyimpan kunci cadangannya di dalam kotak surat?
"Pulanglah, aku tidak mau merepotkanmu," ujar Shintarou dingin. Takao menyunggingkan senyum mengejek.
"Eh, kau mau mengusir orang yang sudah menolongmu? Benar-benar tak tau diri," ujar Takao sarkas.
"Dengar ya, kau sedang demam tinggi. Memangnya kau pikir kau bisa melakukan apa dalam keadaan selemah itu? Walaupun kau dokter, kau tetaplah manusia!"
Shintarou berdecak kesal. Ia berusaha membuktikan bahwa ia baik-baik saja dengan bangkit dari ranjangnya. Namun, pusing kembali melanda kepalanya yang malah membuatnya sempoyongan dan jatuh kembali ke tempat tidurnya.
"Tuh kan, apa kubilang? Sudahlah, menurut saja denganku sampai demammu pulih. Setelah kau baikkan, aku janji akan pergi. Sekarang beistirahatlah, aku mau buat bubur dulu untukmu."
Takao bangkit dari tempat duduknya lalu beranjak menuju dapur. Shintarou memandang punggung Takao yang semakin menjauh. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Sebenarnya apa tujuan wanita itu datang kembali ke dalam hidupnya setelah sekian lama menghilang?
.
Setelah sepuluh menit, Takao kembali dengan semangkuk bubur ayam hangat nan lezat. Entah apa memang kondisinya sangat buruk sampai makan saja Shintarou tidak bisa melakukannya dan harus membuat Takao menyuapinya., atau memang ada alasan lain. Yang jelas, Shintarou menerima saja suapan yang diberikan Takao untuknya.
Selama lima hari Takao merawat Shintarou. Setiap pagi ia datang, membuatkan makanan untuk Shintarou, membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya.
Setelah beberapa minggu rumah terasa sepi karena kepergian Sei, Shintarou merasa rumahnya kembali hidup setelah kedatangan Takao. Takao memperlakukannya sangat lembut, lebih lembut dari dulu. Shintarou jadi sering mengenang masa-masanya saat SMA saat ia masih pacaran dengan Takao. Dulu, mereka memang saling mencintai dan menjalin hubungan hingga kuliah. Mereka bahkan berencana untuk menikah. Sayangnya, hubungan Shintarou dan Takao tidak direstui oleh keluarga Shintarou lantaran latar belakang keluarga mereka yang berbeda. Kedua orang tua Shintarou mengusir Takao bahkan mencaci makinya. Saat itu, Shintarou tak dapat melakukan apapun karena dia sangat menuruti apa yang dikatakan kedua orang tuanya. Sejak saat itu, Takao menghilang dari kehidupannya. Ia kemudian dijodohkan dengan Sei. Mereka tetap menikah walaupun saat itu Shintarou masih belum bisa melupakan Takao. Setelah Shintarou mulai belajar mencintai Sei dan akhirnya berhasil, ia malah kehilangan Sei. Sei direbut dari hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan.
"Shin-chan, kau baik-baik saja? Teringat Seishina lagi kah?"
Shintarou terkejut dengan kehadiran Takao yang tiba-tiba. Ia menatap Takao yang balik menatapnya khawatir.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku juga tidak mengerti kenapa Seishiana pergi secepat itu. Padahal rasanya, baru dua bulan yang lalu aku bertemu dengan kalian lagi."
Ucapan Takao mengingatkan Shintarou tentang pertemuan kembali mereka setelah sekian lama. Mereka bertemu di rumah sakit, ketika Sei sedang check up. Saat itu, Takao dan Sei mengobrol akrab sekali. Sama sekali tidak terlihata ada rasa permusuhan di antara mereka.
"Ah, aku juga tidak mengerti kenapa dia pergi secepat itu. Padahal baru lima tahun aku menikah dengannya," jawab Shintarou.
Takao tersenyum lembut. Ia meraih tangan Shintarou dan menggenggamnya erat, berusaha menyalurkan kehangatan yang dimilikinya.
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi, kau tidak bisa terus begini. Seishina akan tersiksa melihatmu begini. Cobalah untuk mengikhlaskannya," ujarnya lembut.
Shintarou memandang Takao tanpa berkedip. Saat itu, ia menyadari tangannya yang digenggam erat oleh Takao. Menyadari dirinya diperhatikan, buru-buru Takao menarik kembali tangannya.
"M-maafkan aku, bukan maksudku begitu," ujarnya salah tingkah. Shintarou hanya diam tanpa menanggapi apapun. Setelah lama waktu mereka lewati dengan keheningan, akhirnya Shintarou kembali buka mulut.
"Aku sudah baik-baik saja sekarang. Kau sudah tidak perlu datang tiap hari kesini lagi untuk merawatku," ujar Shintarou.
Takao mengulas senyum pahit. "Begitu ya, padahal aku masih ingin datang kesini lagi tau."
"Kalau kau mau, kau boleh datang berkunjung. Aku tidak keberatan."
"Eh, serius?"
Shintarou mengangguk. Takao mengulas senyum bahagia.
"Terima kasih, Shin-chan."
"Untuk apa?"
"Karena telah menerimaku kembali di dalam kehidupanmu."
Saat itu, cahaya matahari yang masuk lewat jendela menyinari wajah Takao, membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih cantik. Tanpa sadar, Shintarou tersipu untuk sekian waktu lamanya tidak pernah tersipu.
.
Sejak saat itu, Takao sering berkunjung ke rumah Shintarou. Sesekali ia melakukan pekerjaan rumah walaupun Shintarou sudah melarangnya. Takao sudah seperti istri kedua bagi Shintarou. Ya, istri kedua. Pengganti Seishina.
Tanpa mereka sadari, perasaan yang telah lama mereka kubur dalam-dalam dan menghilang akhirnya tumbuh kembali. Takao sepertinya memang mengharapkan hubungan mereka kembali seperti dulu. Namun, tidak dengan Shintarou yang masih ragu-ragu.
"Apa kita tidak bisa mengulang semuanya dari awal lagi?"
Pertanyaan yang diajukan Takao di suatu malam membuat Shintarou terdiam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Jujur, ia memang mencintai Takao. Namun di lain sisi, ia masih sangat mencintai Seishina. Setiap kali ia bersama dengan Takao, ia akan kembali dengan sosok Seishina. Senyuman lembut yang diberikan Seishina untuk terakhir kalinya di malam itu menyadarkannya. Ia tidak bisa mengkhianati Seishina.
"Biar aku pikirkan dulu."
Jawaban yang diberikan Shintarou membuat hati Takao melengos.
.
Jangan dekati Takao-san, Sayang.
Dia adalah orang ketiga yang selalu berusaha menghancurkan rumah tangga kita.
Takao-san adalah orang yang telah membunuhku!
Malam harinya, setelah mendapat bisikan-bisikan aneh dengan suara yang sangat mirip dengan milik Sei, Shintarou bermimpi buruk. Ia melihat kejadian di malam dimana istrinya di bunuh.
Sei yang sendirian di rumah dibius dan disekap oleh orang misterius yang memakai jubah bertudung. Orang itu menyeret Sei ke dalam gudang dan mulai melakukan pembunuhan sadisnya. Ia mengikat Sei disebuah ranjang rusak. Setelah Sei sadar, ia mulai menusuk Sei dengan berkali-kali tusukan di sekujur tubuhnya. Hingga akhirnya Sei meregang nyawa setelah orang misterius itu mendaratkan tusukan terakhirnya pada jantung Sei. Belum puas dengan semua itu, orang tersebut mulai mencongkel mata Sei, lalu memasukan mayat Sei ke dalam mesin cuci. Ia menuangkan air dan detergen lalu mulai menggiling tubuh Sei di dalam mesin cuci.
Sebelum pergi, orang misterius itu sempat membongkar identitasnya yang ternyata adalah Takao Kazuna yang terlihat puas sambil tersenyum mengerikan menatap mayat Sei yang tergiling di dalam mesin cuci.
Pukul tiga kurang lima belas menit, Shintarou terbangun dan segera mencari keberadaan Takao. Ia harus segera menyelesaikan semuanya. Ia tidak boleh membiarkan orang yang telah membunuh istri tercintanya berkeliaran di sekelilingnya. Shintarou harus membalaskan dendam kematian Sei yang sangat dicintainya.
Ia berhasil menemukan Takao yang duduk sendirian di ruang tamu.
"Takao, aku sudah memutuskan."
Takao terlihat terkejut sekaligus bingung dengan ucapan Shintarou. "M-maksudnya?"
"Aku tidak bisa bersama denganmu lebih lama lagi. Aku masih mencintai istriku. Terlebih lagi, aku harus melenyapkanmu."
Takao mengernyit heran. Tatapan matanya menggelap. Ekspresinya berubah keras.
"Apa maksdumu?"
Shintarou mendecih pelan. "Kau tidak perlu berpura-pura lagi. Aku sudah tau semuanya. Kau lah orang dibalik kematian Seishina! Kau yang telah membunuh Seishina!"
"T-tunggu, jangan bicara sembarangan Shin-chan!"
"Berhentilah mengelak atau kau kubunuh!"
Shintarou mengacungkan pistol ke arah Takao. Namun, bukannya terlihat takut, Takao malah menyunggingkan senyum miring.
"Heh, sudah kuduga. Seharusnya waktu itu kau ku bunuh sekalian saja bersama Seishina."
Shintarou mengernyit. Namun, belum sempat melakukan apa-apa, Takao sudah bertindak dengan menancapkan sebuah jarum suntik berisi obat bius. Shintarou pingsan seketika.
.
Ketika tersadar, ternyata ia telah terikat di atas sebuah ranjang di gudang rumahnya sendiri. Mulutnya di perban. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tak jauh darinya, Takao berdiri dengan gergaji mesin sudah siap di tangan. Seringai psiko menghiasi wajah cantiknya.
"Seharusnya waktu itu kau berusaha mengejarku dan menghentikanku ketika aku hendak pergi meninggalkanmu sambil menangis. Memang benar, kau sama sekali tidak pernah mencintaiku."
Deru gergaji mesin yang berkerja pun teerdengar bersamaan dengan teriakan tertahan dari Shintarou. Takao mulai memotong kedua kaki Shintarou di bagian lutut yang disusul tangan di bagian siku. Darah segar memancar dimana-mana, mengotor segalanya. Tepat ketika jam berdentang menunjukkan sudah pukul tiga pagi, ia memotong bagian perut Shintarou. Shintarou meregang nyawa ketika bagian atas dan bagian tubuhnya terpisah.
.
"Shin-chan, seharusnya kau dan Seishina tidak pernah menikah. Aku senang kalian tidak bisa bersama lagi. Shin-chan, aku sangat mencintaimu, selamanya."
Keesokkan harinya, ditemuka dua mayat yang tewas mengenaskan di rumah milik dokter muda, Midorima Shintarou. Yang pertama adalah mayat sang pemilik rumah, mayat Midorima Shintarou yang ditemukan sudah tidak utuh lagi. Yang kedua adalah mayat seorang wanita bernama Takao Kazunari yang ditemukan tewas gantung diri.
oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
The Third Person
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Original Story © Yuuki Azusa
Rated : T semi M (untuk bagian gore dan sejenisnya)
Genre : Horor x berbagai genre lainnya
Cast : Midorima Shintarou, Akashi Seishina (Fem! Akashi Seijuurou), Takao Kazuna (Fem! Takao Kazunari)
oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
Halo! Yuuki is back. Maaf ya atas keterlambatan update soalnya Yuuki sudah mulai disibukkan oleh hal-hal ribet yang biasa dialamin anak-anak SMA kelas 12. Dan mulai beberapa hari, minggu, hingga bulan ke depan, aku akan jarang update. Hanya akan update jika ada kesempatan.
Btw, buat yg minta request, maaf belum bisa dipenuhi karena belum dapat ide untuk request-an kalian. Untuk kali ini aku bawakan pair MidoAka dan MidoTaka aja. Dan di chap ini emang tentang hantunya dikit. Lebih menyosor ke gore.
Ok, sampai jumpa di chapter depan!