" CRESTFALLEN "

.

.

Cast : Oh Sehun, Xi Luhan

And OC(s)

.

Mature

Multichapter

.

AU, Drama, Romance, Angst.

Genderswith. DLDR.

Happy Reading !

.

.

CHAPTER 5

..


Facts Revealed


.

.

Ketika malam mulai kembali merajai langit, dan cahaya bulan bersinar redup di tengah kabut tipis salju yang mengudara, Sehun disibukkan oleh konsentrasi tingginya mana kala Ia harus membelah jalanan malam yang cukup ramai dengan fokus bersama mobil kesayangannya ini.

Berkali-kali hatinya terasa berdebar oleh perasaan kalut yang membingungkan. Sehun menggigit bibir saat matanya tak bisa fokus ke satu arah jalanan yang di penuhi kendaraan roda empat yang melaju secepat cheetah.

Orang-orang tampak begitu tergesa-gesa malam ini, begitu pun Sehun. Ia baru saja pulang kerja satu jam lalu, dan baru saja pula membeli satu buket mawar putih lagi untuk adik tercintanya yang cantik tiga puluh menit lalu.

Yang Ia yakin, Luhannya saat ini tengah duduk di kursi empuk kesukaannya sambil membaca novel romantis disana, dengan Luhan yang mengenakan pakaian hangatnya yang lembut. Membayangi Luhan dengan rambut cantik terurai malas, dan wajah mempesona yang menakjubkan. Membuat Sehun tak bisa menahan gejolak rindunya, yang ingin bertemu dengan sang adik cantiknya lebih cepat.

Ia benar-benar ingin bertemu Luhan! Memberinya seikat bunga mawar putih, hingga gadis itu akan memeluknya erat dengan senyuman manis yang terpatri di wajah bersemunya.

Tetapi, rasa bergairah ingin bertemu Luhan tiba-tiba lenyap mana kala Sehun baru saja tiba di suatu perempatan jalan. Sebuah tiang lampu merah menyitanya untuk berhenti dalam enam puluh detik. Sehun menjentikkan jemarinya di stir mobil dengan tak sabar. Ia sampai kalang kabut menahan rasa gejolak tak menyenangkan ini.

Sehun khawatir akan sesuatu. Sesuatu mengenai Luhan, namun Ia tak dapat menemukan jawabannya. Sampai akhirnya, kepalanya meneleng ke sisi kiri. Dimana mata elangnya menerawang ke arah sebuah restaurant mewah yang berada di pinggir jalan sebelahnya.

Ia memperhatikan orang-orang yang sedang bercengkrama ria disana. Dan, di berkatilah Sehun ketika sesuatu yang menarik terasa menggelitik jantungnya hingga Ia merasakan gejolak amarah yang membakar.

Matanya, dirinya, menemukan suatu pemandangan yang menarik. Dimana Ia bisa melihat seluet bayangan Luhan yang sedang berada dalam pelukan seorang pria. Sehun terkejut! Sampai tubuhnya menegang hingga rasanya darahnya berhenti mengalir.

Ia mencoba untuk berperang pada dewa batinnya untuk menyangkal jika wanita itu bukanlah Luhan. Tetapi matanya yang setajam tatapan elang tidak bisa berbohong.

Itu memang Luhannya, adiknya yang cantik dan begitu Ia sayangi. Sedang berada dalam pelukan seorang pria yang tadinya memunggungi Sehun di belakang. Namun, Sehun kembali di buat terkejut dua kali mana kala punggung lelaki itu telah menjauh dari tubuh Luhannya.

Memperlihatkan wajahnya, dan dengan lancang mencium puncak kepala Luhan, yang Sehun klaim hanya Ia yang boleh melakukan hal itu pada Luhan. Sehun mengepalkan tangannya di atas stir mobil miliknya. Rahangnya mengeras, matanya menyorot penuh amarah. Ia sampai terengah oleh nafasnya sendiri.

Ini menyesakkan, ini menyakitkan.

Lelaki asing itu, Sehun mengenalnya dengan baik. Satu-satunya pemuda yang sangat Sehun tak ingin bertemu dengan adiknya.

Park Chanyeol.

Dan, bunyi klakson ribut dari kendaraan lain yang mengantri di belakangnya semakin membuatnya berang. Sehun menancap gas dengan kecepatan lebih tinggi. Dengan hati terbakar cemburu. Ia merasa, Ia ingin membunuh seseorang saat ini juga.

.

.

"Sudah hampir jam sepuluh, kita pulang?." Chanyeol bertanya pada Luhan apakah mereka harus benar-benar pulang sekarang. Meski nada bicaranya terdengar sangat tidak mengizinkan. Ia masih ingin berada lebih lama lagi bersama wanita itu.

Tapi harapan Chanyeol musnah, Luhan mengangguk yakin bahkan sambil memberinya senyuman manis.

"Iya, Sehun akan pulang sebentar lagi. Jadi, aku juga harus pulang, Chanyeol-ah." Luhan mulai membenahkan isi dari tas selempangnya.

Chanyeol mendengus, kenapa seolah Sehun benar-benar beruntung mendapatkan hak paten seperti ini? Meski lelaki itu bahkan tak memberi Luhan kabar sama sekali. Tetapi, Luhan tidak ingin membuat Sehun menunggu kepulangannya.

Mereka tidak layak untuk disebut apa yang orang katakan sebagai ikatan persaudaraan! Chanyeol ragu bahwa Luhan pasti memiliki perasaan lain pada kakak angkatnya itu.

"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang." Ia mengalah dan memberi Luhan senyuman kecut. Chanyeol bangkit dari duduknya, begitupun Luhan.

Ketika Chanyeol bangkit, secara tidak sengaja tangannya mengenai saus sambal yang masih bersisa di meja makan mereka. Membuat tiga jari tangannya terlihat seperti mengeluarkan darah beraroma cabai. Ia sedikit mengupat ketika merasakan kecerobohan ini sungguh membuatnya tak nyaman.

"Pergilah dulu ke toilet. Aku akan menunggumu disini." Luhan kembali mendudukkan dirinya di kursi.

"Maafkan aku." Chanyeol meringis kikuk.

Luhan mengangguk dengan sedikit gelak tawa gelinya. Chanyeol langsung beringsut menjauh dan menuju ke toilet untuk membersihkan kekacauan saus sambal yang mengotori jari-jarinya.

Sepeninggalan Chanyeol. Luhan mulai di landa kecemasan. Chanyeol hanya tidak tahu bahwa di balik senyuman yang Luhan berikan untuknya, ada sebuah kecemasan yang meresahkan hatinya.

Luhan merasakan sesuatu yang buruk. Ia seperti mendapat teguran tak kasat mata, yang menjadikannya gelisah sepanjang malam ini. Berpikir bahwa malam ini mungkin Ia tidak dapat meraih mimpi yang indah.

Hatinya seperti ada yang meremas dengan keras. Menyakitkan sekaligus menyesakkan. Pikiran Luhan melayang pada Sehun. Yang Ia harap semoga lelaki itu tak akan marah jika Luhan ketahuan melanggar janjinya lagi.

Kemudian, kepalanya tiba-tiba di landa rasa pusing yang hebat. Wajahnya pias, dan keringat dingin tanpa disadari mulai mencucur di wajahnya. Luhan memejamkan matanya kalut dengan tangan memegang kepalanya yang tertunduk.

Ini tidak baik, beberapa hari belakangan rasa pusing yang entah apa sebabnya ini memang kerap kali datang dan menyiksanya. Luhan sampai tidak bisa bernafas dengan tenang. Ia pikir mungkin hanya sebuah rasa pusing biasa, entah karena dirinya kelelahan atau banyak pikiran.

"Luhan, kau baik?!." Luhan sampai tidak sadar bahwa Chanyeol telah kembali dan sekarang sedang memperhatikan wajahnya yang menahan sakit.

Wanita itu tersenyum lemah dan menggeleng ringan. Luhan juga mengambil satu nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan-lahan.

"Tak apa, Chan. Semalam aku kurang tidur, mungkin ini lah mengapa tiba-tiba kepalaku terasa pusing."

"Biar ku periksa." Chanyeol berniat untuk menangkup wajah Luhan tetapi wanita itu menolaknya.

"Tidak, aku baik-baik saja. Hanya butuh tidur lebih lama malam ini."

"Kau sering mengalaminya? Rasa pusing ini?." Chanyeol bertanya mengintimidasi dengan raut khawatir. Ia adalah seorang dokter. Jadi semestinya Chanyeol sangat paham bahwa sebuah rasa pusing memiliki banyak arti lain.

Itu bisa menjadi suatu dari sekian banyak macam penyakit lebih serius lainnya. Tapi, Chanyeol berharap Luhan memang benar-benar hanya kelelahan.

"Tidak, hanya kali ini." bohong Luhan dengan senyum meyakinkan. "Kita hanya harus cepat pulang."

Menyerah. Chanyeol mengangguk, dan memberikan lengannya untuk membantu Luhan berdiri. Ia merangkul Luhan dan menuntunnya agar langkah kaki wanita itu tetap seimbang.

"Jika kau sering mengalami rasa pusing yang hebat, tolong jangan di sepelekan, Lu. Segera hubungi aku jika kau mengalaminya lagi. Aku akan memeriksakan kondisimu."

"Hm, Terimakasih." Luhan tetap tersenyum, meski rasa pusing yang menyerang kepalanya masih begitu terasa.

Mereka keluar dari restaurant itu dan segera masuk ke mobil Chanyeol. Tanpa buang waktu pun Chanyeol langsung menyalakan mesin mobilnya, menancap gas dan segera mengantarkan Luhan pulang.

Selama di perjalanan, Luhan hanya bisa bergeming dengan kepala menyentuh kaca jendela mobil. Tatapannya pun terlihat menerawang tanpa arti disana. sakit kepalanya sudah sedikit mereda, tetapi itu tetap tak bisa menurunkan kadar kecemasan yang bergelut sejak tadi di dalam hatinya.

Salju tidak turun malam ini. Yang terlihat hanyalah sedikit sisa salju yang tergeletak di sepanjang pinggiran jalan, yang di terpa oleh sorotan cahaya lampu dari jalanan. Tetapi Luhan tak tertarik melihat itu, hatinya berkecamuk pada Sehun.

Pun Chanyeol juga hanya bisa diam sambil menyetir. Ia tahu bahwa ada yang tidak beres yang sedang menimpa Luhan saat ini. Seolah sangat paham jika wanita itu tidak fokus akan apa yang ada di pikirannya. Dan, Chanyeol tahu bahwa Ia belum punya hak untuk bertanya lebih banyak.

Yang harus Ia pikirkan saat ini yaitu segera menemukan informasi akurat perihal dimana lokasi keberadaan Ibu kandung Luhan saat ini, yang masih menjadi misteri.

Karena Chanyeol ingin segera Luhan terbebas dari kukungan posesif dari seseorang seperti Oh Sehun.

Perkarangan luar halaman depan mansion keluarga Oh telah terlihat di depan. Dengan bangunannya yang sangat megah bercahaya keemasan. Ada gerbang pagar besi dan dinding yang kokoh dengan motif-motif kerajaan. Pintu gerbang utama terbuka sangat lebar kala para pengawal melihat mobil Chanyeol ingin melintas masuk.

Chanyeol menurunkan kaca mobilnya dan sedikit menyapa para pengawal yang membungkuk sopan untuk menyambut kepulangan sang nona cantik mereka. Ia berhenti tepat di depan pelataran utama.

Chanyeol keluar dari mobil lebih dulu, mengitari bagian depan kemudian membukakan pintu untuk Luhan.

Mereka hanya belum menyadari, bahwa ada seseorang yang tengah berdiri angkuh di depan pintu utama dengan tampang sangat dingin dan tatapan mata tajam yang menakutkan. Bersedekap dengan kedua tangan di depan dada bersama amarah api cemburu yang semakin membakar tubuhnya hingga sepanas neraka.

"Terimakasih," Luhan bergumam penuh senyum tipis ketika Chanyeol telah berbaik hati mengantarkanya pulang dan membukakan pintu untuknya. Sekaligus telah mentraktirnya banyak barang dan makanan enak.

Chanyeol memberi Luhan senyuman lebih panjang. Sebuah senyuman tulus dan penuh kasih yang murni. Ia menepuk kepala Luhan dua kali hingga wanita itu sedikit terhibur dengan tawa kecil.

"Aku seharusnya yang berterimakasih lebih dulu, karena kau sudah menepati janji kita untuk berjalan-jalan. Terimakasih, Luhan."

Luhan mengangguk, "Tentu. Aku akan masuk dan beristirahat." Gumam Luhan. Suaranya sedang tak sebaik biasanya, terdengar serak dan lirih. Ia benar-benar lelah dengan keresahan yang semakin mencekiknya saat ini.

"Istirahat lah yang banyak." Chanyeol masih menatapnya khawatir, "Beri tahu aku jika ada sesuatu yang berbeda. Kita akan bertemu lagi nanti." Ujarnya dengan menatap Luhan sangat intens. Luhan balas menatapnya dalam, Ia hanya mengangguk dan tersenyum.

Butuh lima detik untuk Luhan menatap penuh pada kebaikan yang Chanyeol berikan padanya. Sebuah keresahan yang semakin menyiksa membuatnya tak tahan untuk tak memutar tubuhnya. Berharap jika perjalanannya menuju ke dalam rumah akan setenang Ia berjalan menuju pelukan Ibunya dulu.

Namun, nafas tercekat dan tubuh menegang kaku adalah apa yang Luhan rasakan kemudian. Sebuah pemandangan yang tak ingin Ia lihat terdapat di depannya. Sehun, kakak laki-lakinya itu ada disana. Berdiri dengan angkuh dan tatapan tajam penuh amarah yang tak pernah Luhan lihat sebelumnya.

Menatap tepat ke iris matanya. Menusuk Luhan hingga ke dalam ulu hatinya. Inilah mengapa keresahan dan kekalutan benar-benar membuatnya takut. Akhirnya, Sehun menangkap basah dirinya. Luhan tidak tahu apa Ia harus beranjak saat ini atau malah semakin terpaku selayaknya patung yang bodoh.

Sehun berjalan dengan langkah kaki yang terdengar seperti dentuman lonceng neraka. Menakutkan dengan aura dinginnya yang berbeda. Menuju ke arahnya, dan Chanyeol yang saat ini bahkan Luhan kutuk mati-matian karena lelaki itu berdiri sedikit lebih depan darinya.

Berniat melindungi Luhan, mungkin.

"Lama tidak bertemu, Oh Sehun." Chanyeol menyapa Sehun dengan santai. Senyuman lebar seperti biasa Ia tunjukkan untuk teman sekampusnya dulu ini.

Sehun menghentikan langkahnya, menatap Chanyeol dingin. Dengan tangan terkepal diam di dalam saku celana kantornya yang masih Ia kenakan.

"Menjauh lah dari Luhan." ketus Sehun sedingin es di kutub selatan.

Aura mencekam semakin membuat Luhan resah. Ia menggigil di tengah dinginnya suhu udara dan suhu kemarahan yang di akibatkan Sehun padanya. Luhan meremat kalut ujung mantelnya di masing-masing kedua tangannya.

Chanyeol mendengus, "Apa hakmu untuk melarangku?" Chanyeol tidak lagi ingin bermain-main. Ia mengubah tatapan bersahabatnya dengan tatapan angkuh sama seperti yang Sehun layangkan saat ini. Bibirnya mengeluarkan smirk yang membuat Sehun semakin tersulut emosi.

Sehun dengan cepat bergerak untuk menarik Luhan menjauh dari Chanyeol. Ia berhasil, menyentak Luhan dengan kasar hingga wanita itu hampir kehilangan seluruh nyawanya. Luhan berdiri tepat di depan dada Sehun yang menegang.

"Kuperingatkan, jangan pernah muncul lagi di hadapan adikku!." Teriak Sehun nyalang.

"CK! Adikmu kan?! Adikmu Oh Sehun, Luhan itu hanya adikmu." Tekan Chanyeol pada kata-katanya. Membuat Sehun semakin ingin menghajar wajahnya saat ini. "Kau tidak punya hak sejauh itu untuk melarang Luhan bertemu dengan siapa saja. Dia punya kebebasannya sendiri, Oh Sehun. Dia bukan kekasihmu yang bisa kau larang untuk bertemu lelaki lain."

"KEPARAT KAU!."

"OPPA, JANGAN!." Luhan berteriak keras dengan tangan bergetar yang berani untuk mencekal kepalan Sehun yang akan melayang di wajah Chanyeol. Ia semakin menggigil ketakutan saat mata kemarahan itu menusuk mata rusanya yang berkaca-kaca. Luhan merunduk ketakutan dan menggelengkan kepalanya lemah.

"Ayo masuk!." Tangan ringkih Luhan yang mencekalnya Ia genggam erat-erat. Menariknya dengan paksa hingga Luhan tak bisa menjaga keseimbangan langkahnya sendiri. Mereka berjalan setengah berlari dan cekalan tangan Sehun di pergelangan tangannya benar-benar kuat. Ini menyiksa Luhan, untuk pertama kalinya.

Mereka meninggalkan Chanyeol yang masih berdiam diri disana. Chanyeol ingin menyusul Luhan namun urung ketika para pengawal Sehun sudah berdiri di depannya untuk menghalanginya. Lelaki itu mendengus marah, dengan emosi Ia tak punya pilihan untuk segera beranjak dari sana sebelum harga dirinya di injak-injak dengan pengusiran tak layak sehina binatang.

.

.

Dentuman pintu utama yang tertutup terdengar kemudian ketika Sehun membantingnya dengan kasar. Semua pelayan dan pekerja lainnya yang berada di dalam ruangan itu segera melarikan diri dan bersembunyi di tempat mereka seharusnya.

Mereka tidak punya hak untuk melihat bahkan mendengar hal selanjutnya yang akan terjadi.

Sehun membebaskan Luhan dengan perlakuan sedikit tak layak. Mendudukkannya di sofa dengan Sehun yang berdiri begitu berang.

"Sejak kapan kau bertemu dengannya, Luhan?." tanya Sehun dingin.

Luhan meremat kiliman ujung dressnya dan semakin mengkerut takut. Kepalanya merunduk dalam sambil menahan air mata agar tidak turun lebih cepat.

"Ti—Tidak lama. Aku mengenalnya ketika aku mengunjungi cafe Kyungsoo waktu itu." Jawab Luhan jujur.

"Hah." Helaan nafas jengah Sehun terdengar, "Kau tahu bahwa kau melanggar janjimu, Luhan."

"Aku sudah meminta izin pada Ibu sebelumnya, dan beliau mengizinkanku pergi. Jadi bukan masalah kan?." Luhan memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Ia menatap kesal pada Sehun. Luhan sepenuhnya tidak bersalah dalam kasus ini. Jadi, mengapa Sehun seperti benar-benar sangat marah padanya?

"Itu artinya kau sering bertemu dengannya tanpa sepengetahuanku, dan aku tidak menyukai itu, Luhan! Aku ingin kau memberi tahuku, bukan Ibu atau siapapun tapi aku, Luhan. Aku!" Sehun mendesah dan menarik rambutnya frustasi dengan geraman menahan emosi. Ia duduk di bagian sofa yang lain.

"Lantas apa masalahnya? Chanyeol adalah pria baik, Sehun. Bukankah dia temanmu? Mengapa kau begitu marah seolah-olah aku sangat bersalah disini! Aku bukan kekasihmu, dan kau tidak seharusnya melarangku untuk berdekatan dengan siapa saja!."

"Tapi, Aku cemburu Luhan!"

"Itu tidak masuk akal, Sehun."

"Masuk akal karena aku mencintaimu!."

Suara Sehun naik lebih tinggi. Ia melempar sebuket bunga mawar putih yang di belinya tadi untuk Luhan tepat di depan kaki wanita itu yang langsung mematung. Kelopak mawarnya hancur berantakan, berserakan menyedihkan dengan tak wajar.

Melihat itu, Luhan langsung menjatuhkan air matanya yang membendung sejak awal. Ia menatap penuh raut keterkejutan yang kentara ke arah buket mawar yang berantakan di lantai juga pada apa yang di teriaki Sehun barusan.

Luhan mematung, Ia tidak tahu harus merespon apa saat ini. Otaknya mencoba untuk mencerna pernyataan yang baru di dengarnya itu.

Sehun cemburu padanya? Sehun mencintainya? Apa Luhan tidak salah dengar?!

Persepsi itu terus berputar-putar bagai kenangan lama di kepalanya. Menghantam Luhan pada perasaan tak berdaya antara harus merasa senang atau tidak. Sehun mencintainya! Dan, bukan hanya Luhan yang merasakan perasaan tak masuk akal itu.

Air matanya semakin banyak yang jatuh mana kala Ia mulai menelengkan kepalanya untuk menatap Sehun penuh tuntutan. Melihat ke arah tatapan mata elang Sehun yang melihat tanpa daya terhadapnya. Sehun kehilangan arah, matanya kosong.

Seolah-olah Ia benar-benar tak berdaya akan kosekuensi yang akan Ia dapatkan ketika mendengar respon dari Luhan.

"Maaf, aku tahu bahwa ini sangat tidak masuk akal bagimu. Kita tidak seharusnya memiliki perasaan yang menyimpang seperti ini. Ini kesalahanku, begitu ceroboh hingga tak dapat menahannya lagi. Tetapi kau tak harus memikirkannya, Luhan. Biar aku saja yang mencoba untuk mengeyahkan perasaan menyimpangku terhadapmu."

"Jangan." Luhan bangkit dari duduknya, berjalan di tengah hamparan mawar yang berserakan di lantai.

Menyeka sendiri air matanya yang entah ini air mata bahagia atau air mata kelegaan. Ia senang bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Luhan menghampiri Sehun dan tanpa di duga Ia lekas mendudukkan dirinya tepat di pangkuan lelaki itu.

"Jangan di hilangkan." Ujarnya lagi, menatap Sehun dengan dalam.

Sehun terkejut! Matanya mengerjap sedikit gugup, dan menatap Luhan penuh kebingungan. "Luhan, apa yang ingin kau lakukan?."

"Katakan sekali lagi." Kedua tangan Luhan mengalung di leher Sehun.

"Apa?."

"Tentang perasaanmu padaku."

"Luhan, kau tahu bahwa ini tidak—"

"Katakan saja, Oh Sehun!." titah Luhan.

"Baiklah! Aku mencintaimu, bahkan rasanya hampir gila. Aku memiliki perasaan aneh ini sejak lama dan aku baru menyadarinya kemarin saat kita berciuman di taman itu. Semakin tak menentu saat aku begitu cemburu melihatmu dengan Chanyeol. Kau puas sekarang? Huh?." Amarah Sehun meluap seketika saat melihat senyuman arti Luhan yang terpatri di wajah cantiknya malam ini.

"Belum puas," Luhan menggeleng, mengeratkan rangkulan tangannya di leher Sehun dan menarik kepala lelaki itu lebih intim pada tubuhnya. Tanpa di duga, Luhan memajukan kepalanya dan mempertemukan bibir ranumnya dengan bibir tipis Sehun yang mendamba.

Sehun meletakkan satu tangannya secara otomatis di pinggul Luhan, dan satunya lagi di belakang tengkuk si wanita. Menekan kepala Luhan lebih dekat, hingga ciuman mereka lebih saling membelit dan intim.

Sehun menyambutnya dengan baik, begitu leluasa. Luhan membuka bibirnya tanpa perintah untuk menerima panggilan lidah Sehun yang ingin bermain dengan lidahnya. Mereka saling melumat dengan panas, menggigit gemas, dan mengecap rakus setiap rasa yang mereka nikmati saat ini.

Sehun tidak membiarkan Luhan untuk memimpin. Ia menjadi lebih dominant dan menguasai ritme ciuman mereka. Tangannya mulai mengelus sisi pinggang Luhan dengan sentuhan dan remasan sensual yang mengantarkan Luhan pada rasa merinding hebat. Tubuhnya memanas, aliran darahnya menderas dan jantungnya berdentum gila-gilaan.

Ia wanita bak cacing yang menggeliat kepanasan. Duduk dengan resah di atas pangkuan Sehun yang kokoh. Erangan terpendam Luhan terdengar begitu erotis di telinga Sehun. Desahannya begitu mendamba, namun Sehun masih punya sedikit akal sehat untuk segera mengakhiri pergelutan ini.

Sehun tidak rela tetapi Ia harus berhenti! Selagi akal sehatnya masih bisa menegurnya sebelum seluruh naluri terpendamnya selama ini menghancurkan hubungan yang telah Ia miliki dengan manis bersama Luhan sejak dulu berantakan seketika.

Sehun mendorong bahu Luhan menjauh ketika wanita itu bahkan masih sanggup untuk memberinya ciuman lebih panjang.

"Cukup, Luhan." Sehun terengah-engah, dan Luhan menatapnya penuh kekecewaan.

"Kau tidak menyukainya?." Bisik Luhan parau dengan nafas yang masih terlihat kacau. Wajahnya pun sangat berantakan.

"Aku menyukainya, tentu. Tapi, banyak hal serius akan terjadi kalau aku tidak menghentikannya dengan cepat. Kau tahu apa yang ku maksud, Luhan." Sehun memberikan Luhan senyuman penuh pengertian. Ia mengusap peluh yang membanjiri di sekitar wajah sayu si cantik.

"Apa itu tentang—"

"Jangan di teruskan."

"—Seks?." Cicit Luhan setengah berbisik. Wajahnya memerah selayaknya tomat cherry segar. Sehun sampai terperangah mendengar Luhan mengucapkan kata itu begitu gamblang.

Lelaki itu mendengus, "Sudah malam. Basuh wajahmu dan pergilah tidur, hm." Sehun menurunkan Luhan dengan lembut dari pangkuannya. Tidak baik bagi Sehun jika terlalu lama berdekatan dengan Luhan.

Ia masih punya rasa tahu diri untuk tidak menodai adiknya itu. Meski Sehun mencintainya, tetapi Ia tidak yakin apakah mereka harus melakukan hal terlarang lebih jauh lagi. Perasaan mereka saja sudah menyimpang, untuk seorang kakak-adik.

"Tetapi, kau mencintaiku. Dan, dan, a-aku juga mencintaimu, Sehun." Luhan tidak mengerti mengapa Ia masih harus berdiri di hadapan Sehun padahal jelas-jelas Sehun menyuruhnya pergi. Masih dengan wajah sayu yang berantakan, dan gaun dressnya yang telah mengusut. Bahu kanannya serta lehernya yang mulus tanpa celah noda terekspos secara terang-terangan di mata intimidasi Sehun.

Sehun menggeram lapar jika boleh jujur, di balik ketenangan yang Ia coba untuk menjadi benteng pertahanannya sekarang.

Apa Luhan sungguh-sungguh menginginkan sebuah hubungan bercinta yang pernah terlintas kala itu di pikirannya bersama Sehun? Jika Ia, seharusnya Luhan tidak setakut itu untuk mengepalkan tangannya di kedua sisi tubuhnya.

Luhan jelas tidak siap, tetapi Ia juga penasaran.

"Saling mencintai bukanlah suatu alasan utama untuk dua orang saling berhubungan intim, Luhan." Sehun menasihatinya selayaknya seperti seorang kakak pada adiknya, memberinya kecupan selamat tidur di puncak kepala, "Malam ini Ibu dan Ayah pulang larut. Kau sudah harus ada di kamarmu sebelum Ibu kembali. Dia akan mencemaskanmu nanti. Pergilah tidur, dan maaf untuk mawarnya. Besok aku akan menggantinya dengan buket yang lebih besar untukmu." mengelus pipi Luhan dengan wajah tampan yang penuh senyuman.

Perlahan Luhan mulai menyesali keinginan terpendam itu yang barusan di ucapkannya secara tidak sengaja. Sehun paham bahwa sebenarnya Luhan tidak siap menerima sebuah tawaran seks. Ia masih terlalu dini, meski umurnya sudah masuk dalam kategori wanita dewasa yang menggairahkan.

Pada akhirnya hanya pelukan yang Luhan berikan pada Sehun. Ia tersenyum di balik matanya yang terpejam sesaat. Luhan mendongakkan kepalanya dan menatap seperti tatapan polos bayi rusa yang selalu bisa membuat Sehun gemas.

"Tapi kau tidak berbohong kalau kau mencintaiku 'kan?." Tanyanya meminta kejujuran sekali lagi.

"Aku mencintaimu, Sayang." ujar Sehun kalem.

Luhan bersemu cantik, dan mengulum senyum malu-malu.

"Aku bersyukur bahwa ini bukan sebuah perasaan sepihak. Terimakasih, Hun-ah."

"Kau tahu bahwa ini seharusnya tidak masuk akal, Luhan." Sehun mengernyit.

"Iya, Memang." Luhan kembali menempatkan pipinya di dada Sehun yang beraroma maskulin menenangkan, "Tapi kita tidak benar-benar menyimpang. Kita tidak punya ikatan darah yang sah, Sehun. Jadi, Tuhan pasti tidak akan menghukum kita karena perasaan ini." kemudian Ia mengedikkan bahu ringan, sambil menggerakkan jari-jarinya untuk bermain di kancing kemeja Sehun.

Sehun terkekeh pelan mendengar hal semudah itu terucap begitu saja dari bibir Luhan. Jelas saja, adiknya ini sudah menjadi wanita dewasa yang sesungguhnya. Pikirannya tak lagi kekanakan. Luhan menyikapi apa yang mereka saling rasakan dengan baik. Tanpa beban sama sekali. Dan, Sehun bersyukur karenanya.

"Tuhan mungkin tidak menghukum ku. Tetapi Ayah dan Ibu akan membunuhku jika mengetahui bahwa wanita yang kucintai adalah adikku sendiri."

"Kalau begitu jangan sampai mereka mengetahuinya. Kita akan sama-sama menjaga rahasia ini. Biarlah perasaanmu mengalir apa adanya padaku, Sehun. Begitu pun aku."

"Asal kau berjanji untuk tidak lagi bertemu dengan Chanyeol."

Luhan menarik kepalanya, dan menatap Sehun ragu. "I-Itu tidak bisa." Gelengnya lemah.

"Kenapa?." Sehun memicingkan matanya tajam.

"Karena, Chanyeol adalah temanku. Sama seperti Kyungsoo. Dia lelaki yang baik, Sehun. Kau pasti sudah tahu bahwa kamarku malam ini penuh dengan paperbag. Lagi pula, aku nyaman berteman dengannya. Kumohon jangan larang aku untuk berteman dengannya. Bukankah dia temanmu juga 'kan? Dia bukan orang jahat, Hun." –dan aku butuh Chanyeol untuk membantuku menemukan keberadaan Mama, Sehun. Lanjut Luhan dalam hati.

Ia tidak mungkin menceritakan rencananya dengan Chanyeol perihal untuk menemukan keberadaan Ibu kandungnya yang masih menjadi misteri itu. Luhan tidak ingin Sehun tahu, termasuk kedua orangtua angkatnya. Biarlah ini menjadi rahasia untuk sementara, sehingga ketika Luhan sudah berhasil menemukan Ibunya atau mungkin tempat peristirahatan terakhirnya. Baru Luhan akan mengatakan semuanya dengan jujur.

"Tapi, Lu—"

"Hanya Chanyeol, Sehun. Dan, temannya Kai." Luhan memohon lagi.

Sehun mendelik padanya ketika mendengar nama lelaki yang asing lainnya. "Siapa lagi itu Kai?! Kau sengaja ingin mendekati semua teman namja Kyungsoo ya?." Tanya Sehun penuh curiga.

Luhan menggeleng keras dengan bibir mengerucut protes, "Tidak, bukan begitu! Kai juga teman Chanyeol, tapi Ia lebih dekat dengan Kyungsoo. Aku bahkan tidak pernah lagi bertemu dengannya setelah dari café waktu itu. Aku hanya dekat dengan Chanyeol, sebatas teman, Sehun. Hanya, teman." Tekan Luhan keras-keras. Ia berharap Sehun bisa segera meleyapkan rasa cemburunya itu.

Sehun menghela nafas kasar, Ia bukannya tidak ingin Luhan berdekatan dengan siapapun. Tetapi, Chanyeol adalah termasuk tipe lelaki yang Sehun tak ingin Ia dekat dengan Luhannya. Sehun takut Chanyeol akan mengambil Luhan darinya, walau semua itu tak akan pernah Sehun biarkan.

Luhan harus ada bersamanya. Harus. Entah untuk sampai kapan pun itu.

"Jangan pernah jatuh cinta pada pria lain, mengerti?." Akhirnya, hanya itu yang bisa terucapkan dari Sehun. "Kau boleh berteman dengan Chanyeol. Namun, jangan terlalu sering berjumpa dengannya. Jaga jarak, dan terakhir jangan berikan harapan apapun untuk lelaki itu. Paham?." Sehun menatap Luhan lekat-lekat. Ia menyatukan keningnya pada Luhan untuk saling menempel.

Luhan mengerjapkan matanya dalam diam. Mencoba memahami apa yang Sehun harapkan darinya. Dia tidak boleh jatuh cinta pada lelaki lain, tidak boleh terlalu dekat, tidak boleh memberi harapan pada siapapun.

Itu artinya, Sehun hanya ingin dirinya yang ada dalam ingatan Luhan dan dalam benak Luhan pula. Menjadi satu-satunya cinta yang Luhan miliki. Sebagai sosok yang akan melindungi bahkan ada bersamanya untuk waktu yang entah sampai kapan. Tetapi, Luhan tak yakin apa itu benar-benar akan terwujud? Mengetahui bahwa Sehun mencintainya bukanlah suatu kepuasan pada keinginan tertinggi untuknya. Luhan bukan hanya mengharapkan sebuah cinta yang tulus, tetapi yang Ia inginkan adalah sebuah komitmen.

Dan, Luhan ragu bahwa Sehun punya harapan yang sama seperti apa yang Ia inginkan. Mereka akan terlihat sewajarnya saja setelah ini. Saling mencintai tetapi tak terikat pada sebuah status yang orang sebut sebagai sepasang kekasih.

Terkecuali, jika Luhan bisa terlepas dari statusnya sebagai anak angkat dari keluarga besar Oh.

Meski Ia sama tak inginnya, tetapi Luhan harus terlepas dari itu jika Ia memang menginginkan Sehun untuk terus ada di semasa hidupnya nanti.

Itulah mengapa Ia sangat butuh informasi akurat mengenai dimana sebenarnya keberadaan Ibu kandungnya saat ini.

Luhan tersenyum kemudian mengangguk mengerti.

"Iya, Aku berjanji padamu." Ia berucap tegas hingga efeknya bisa mendatangkan sebuah kepuasan di diri Sehun.

Lelaki itu tersenyum, dan mengecup keningnya lagi lebih lama. "Tidurlah, mimpi yang indah." Pelukan mereka terlepas, Luhan bergumam –kau juga, Sehun sebelum kemudian mereka berdua saling masuk ke wilayah privasi masing-masing.

Ada rasa senang yang membuncah mana kala Luhan telah menutup pintu kamarnya. Ia menggigit bibir menahan senyum bahagianya malam ini. Kakinya melangkahkan tarian ringan yang ceria.

Luhan bersenandu merdu sambil kedua tangannya bergerak untuk membuka lemari, mengambil sepasang gaun tidur tipis berbahan sutra dengan warna perak bercahaya.

Ia membuka dressnya dengan ringan, menjatuhkannya di lantai dan menggantinya dengan gaun tidur. Rasanya beban benar-benar terangkat dari tubuhnya, begitu ringan menyelimuti dirinya sampai-sampai Luhan merasa bahwa Ia tak mengenakan pakaian apapun. Tanpa menunda waktu, Luhan lekas masuk ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan membersihkan make-upnya.

Membubuhkan tube-tube kecantikan di kulit wajah dan lehernya yang sehalus beludru. Keluar dari kamar mandi, kemudian tak lupa melakukan rutinitasnya sebelum tidur lebih dulu.

Menyalakan api lilin aromaterapi, dan lilin tinggi lainnya untuk Ia gunakan dalam panjatan doanya terhadap sang Maha Pencipta. Luhan memejamkan mata sambil kedua tangannya yang bertaut erat. Mengepal di depan wajahnya yang merunduk.

Ia berdoa untuk semua orang yang Ia sayangi. Berharap kebaikan dan kebahagiaan akan terus ada untuknya. Lebih berharap lagi jika Tuhan akan mewujudkan keinginannya untuk bertemu Ibu kandungnya kembali.

Ya, Luhan berharap. Sangat berharap.

.


Crestfallen


.

Hari minggu di akhir bulan Februari. Adalah apa yang Luhan lingkari dengan tinta merah dari sebuah spidol kecil di kalendernya. Musim dingin tidak terasa telah berjalan hampir mendekati di ujung waktu. Luhan sudah melewati hari-hari indahnya sepanjang desember dan akhir tahun. Merayakan Natal dan tahun baru dengan suka cita bersama orang-orang yang Ia sayangi.

Ia begitu bersyukur pada Tuhan untuk semua kebaikan yang Ia peroleh selama ini. Dan, bersyukur karena Tuhan juga telah mendengar doa-doanya setiap malam kemudian mulai mengabulkan permintaannya satu per satu.

Luhan punya janji dengan Chanyeol siang ini di Rumah sakit tempat lelaki itu berkerja. Mereka punya pembicaraan serius. Chanyeol berhasil membantu Luhan, menemukan sedikit demi sedikit jawaban mengenai dimana keberadaan Ibunya sekarang.

Sehun sedang pergi ke Jepang dengan orangtuanya. Meninjau proses pembangunan proyek gedung-gedung baru yang di rencanakan akan menciptakan sebuah Mall dan Hotel baru. Luhan di ajak, tetapi Ia memilih untuk di Korea saja.

Alasan terkuat bertemu Chanyeol hari ini adalah pilihannya untuk tinggal.

Ia memilih untuk membawa mobilnya sendiri kali ini. Melaju dengan kecepatan stabil untuk sampai di rumah sakit. Dengan waktu tempuh tiga puluh menit, Luhan telah sampai dan memarkirkan mobilnya di basemant.

Luhan berjalan pelan dari parkiran, dan masuk melewati pintu utama. Ia menuju ke meja resepsionist untuk bertanya dimana ruangan kerja Park Chanyeol.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?." Tanya petugas wanita itu dengan ramah.

"Hm, Aku punya janji kunjungan dengan Dr. Park Chanyeol. Bisa kau mengatakan padaku dimana letak ruangannya?."

Si petugas wanita itu tersenyum menggoda sambil memperhatikan Luhan lekat-lekat. Luhan adalah wanita muda yang cantik, dengan polesan make-up natural dan style pakaian musim dinginnya yang sangat modis. Petugas itu pasti mengira bahwa Luhan adalah seseorang yang special bagi dokter tampan yang mereka kagumi selama ini.

"Tentu bisa." Petugas itu menunjukkan letak lift di ujung sana pada Luhan dengan sopan, "Nona hanya perlu naik lift di sebelah sana menuju lantai empat, kemudian berjalan lurus saja sampai nona bisa menemukan papan nama Dr. Park Chanyeol di depan pintu kacanya. Itu tidak sulit, Nona. Satu-satunya ruangan yang memiliki dua pintu kaca."

Luhan mengangguk, "Ah, Terimakasih." Ujarnya dengan senyum.

Petugas itu ikut mengangguk dan Luhan kelas beranjak dari sana untuk menuju lift.

"Semoga harimu menyenangkan, Nona." Teriak petugas itu lagi di belakangnya.

Luhan hanya mengerjap matanya bingung dan mengedikkan bahu. Ia lekas masuk ke dalam lift di ikuti orang-orang lainnya. Menekan angka empat, dan menunggu hingga pintu lift yang tertutup kembali terbuka.

Benar, tidak sulit menemukan dimana ruangan Chanyeol. Luhan langsung bisa menemukannya sejak keluar dari lift. Ruangan paling berbeda dengan porsi yang lebih besar sepertinya. Dua pintu kaca tebal dengan papan nama Chanyeol disana.

Luhan mengetuk pintunya pelan, terdengar suruhan Chanyeol dari dalam dan Luhan membuka pintunya.

Chanyeol yang kala itu tengah di sibukkan oleh berkas-berkas pasien di atas mejanya langsung sumringah ketika melihat Luhan yang muncul di balik pintu.

"Oh, Kau sudah datang, Lu. Kupikir kau akan memakan waktu sedikit lebih lama, ternyata tidak." Ia tertawa ringkas dan menghampiri Luhan.

"Cuaca dingin yang bersahabat dan kondisi jalan yang terkendali membuat semuanya lancar, jadi aku datang tepat waktu kan?." Ia mendudukkan dirinya di sofa empuk yang terdapat disana.

"Kau tepat waktu." Katanya.

Chanyeol menghampiri Luhan, mendudukkan dirinya di sisi lain dari sofa. Mereka saling berhadapan seperti biasa ketika mereka menikmati jamuan makan di restaurant atau sekedar pergi bersama ke café Kyungsoo. Chanyeol hanya ingin menjaga jarak agar Luhan tetap merasa nyaman dengan kehadirannya.

Luhan melihati sekeliling ruangan kerja Chanyeol dengan seksama. Ruangan ini cukup besar, dengan di hiasi oleh berbagai macam benda dan alat para medis juga lemari-lemari yang menyimpan jejeran berkas para pasien. Aroma ruangan Chanyeol juga menyenangkan, sebuah perpaduan wangi maskulin dan papermint.

Luhan langsung suka berada disini.

Ia menatap Chanyeol dengan senyumnya, "Kau punya ruangan kerja yang nyaman." pujinya tulus.

"Terimakasih. Aku selalu berusaha untuk membuat sebuah ruangan yang nyaman bagi siapapun yang akan mengunjungiku. Termasuk, Kau."

Luhan tertawa anggun di balik punggung tangan, dan mengangguk. "Aku akui bahwa aku nyaman berada disini."

"Syukurlah," Chanyeol menatapnya memuja, "Bagaimana akhir pekanmu? Menyenangkan?." Tanya Chanyeol basa-basi.

Luhan meringis dengan seyum lemah, "Hm, Maaf menolak ajakan kencanmu lagi. Orangtuaku mengajak ku dan Sehun pergi untuk menghadiri sebuah acara formal. Sekaligus untuk bertemu orang kepercayaan mereka."

"Orang kepercayaan?."

"Iya," Luhan mengangguk dan mengedikkan bahu, "Entahlah. Hanya sekedar perkenalan formal seperti biasa."

Chanyeol masih penasaran dengan tanda tanya besar di kepalanya, mencerna fakta baru yang Ia dengar dari Luhan. Bukannya Chanyeol berpikir macam-macam, pertemuan dengan orang kepercayaan Paman Jaehun dan Bibi Minkyung pastinya bukan hanya sekedar pertemuan formal biasa seperti apa yang Luhan katakan.

Otaknya terlalu cerdas untuk menanggapi bahwa itu pastinya memiliki tujuan tertentu. Tanpa disadari, rasa penasarannya membuat Luhan menjadi kebingungan.

"Apa ada yang salah?." Tanya Luhan ketika Ia hanya melihat Chanyeol yang melamun.

"Ah, Tidak ada." Chanyeol berdehem, kemudian bersikap layaknya seperti biasa, "Kau punya cukup banyak waktu luang 'kan? Kita akan mulai berbicara tentang informasi Ibumu yang baru ku terima dari orang-orangku."

Luhan mulai merasakan gugup, tetapi Ia tetap mengangguk yakin. Melihat sekeliling untuk memastikan satu hal.

Chanyeol tersenyum dan bisa menangkap langsung arti dari tatapan ragu Luhan yang berkeliaran di sekeliling ruangan kerjanya.

"Jangan khawatir, ruangan ini kedap suara, Lu. Tidak ada siapapun yang bisa mendengarkan kita di luar."

Luhan tersenyum masam, "Bagaimana dengan perkerjaanmu?."

"Hari ini aku santai, pasienku sudah ku kontrol lebih dulu sebelum kau datang. Jadi, tak akan ada gangguan jika itu yang kau khawatirkan." Senyumnya penuh pengertian.

Luhan mengangguk, dan mendesah lega. Kegugupan benar-benar membuatnya merasa terlalu berlebihan. Ia sebenarnya merasa tak enak karena Chanyeol bisa dengan mudah menebak kekhawatirannya. Namun, Luhan rasa informasi mengenai keberadaan Ibunya memang harus betul-betul di rahasiakan.

"Kau siap?." Katanya.

Luhan melenguh panjang, mencoba untuk lebih rileks. Kemudian Ia mengangguk mantap.

"Santai saja, Lu. Ini belum sepenuhnya banyak. Orang kepercayaanku menemukan fakta bahwa kemungkinan besar keberadaan Ibumu bisa kita temukan!"

"Benarkah?!." Luhan menatap Chanyeol penuh harapan besar. Hanya mendengar kemungkinan itu saja Ia sudah merasa sebahagia ini. Luhan benar-benar ingin kembali untuk bertemu Mamanya.

"Iya, Kecelakaan itu terjadi di daerah puncak kota Beijing, China 'kan? Tempat kelahiranmu?." Chanyeol semakin tersenyum kala Luhan mengangguk, membenarkan. "Itu artinya kita semakin dekat." Chanyeol berkata demikian, melihat ponselnya sebentar dan tersenyum penuh arti, "Mereka berhasil, Luhan. Mereka menemukan dimana rumah sakit yang membawa Ibumu waktu itu."

Tidak ada yang terasa lebih melegakan lagi dari pada mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Chanyeol. Luhan merasa kegugupan meluap semakin penuh di dirinya. Harapan kecilnya yang ingin kembali bertemu dengan Ibunya bisa terwujud! Dan, Luhan bahagia. Sangat. Ia bukannya tidak ingin terus ada bersama keluarga besar Oh yang selama ini merawatnya dan membesarkannya penuh kasih. Tetapi, sosok seorang Ibu yang melahirkannya tidak pernah bisa tergantikan oleh apapun.

Luhan betul-betul ingin kembali lagi pada Ibu kandungnya.

"Aku akan berangkat malam ini ke Beijing. Memastikan informasi ini sendiri."

Ujaran Chanyeol membuat Luhan menggigitkan bibir. "Kau, pergi sendiri?." Lirihnya.

"Memang jika aku mengajakmu, kau bisa ikut?." Gurau Chanyeol. Dan Luhan hanya merengut sedih karena itu, Ia merunduk. "Maafkan aku."

"Hey," Chanyeol bangkit dari tempatnya, mendudukkan diri di samping Luhan dengan meraih kedua bahu wanita itu untuk berhadapan langsung dengannya.

Dapat Chanyeol lihat mata rusanya yang berkilauan itu menyorot sendu, Ia berinisiatif untuk mengusap pelan puncak kepala Luhan, "Jangan sedih. Aku tak masalah jika pergi sendirian ke sana. Aku paham bahwa kau tidak dapat bebas karena adanya keluarga angkatmu. Mereka tidak boleh curiga padamu, Luhan. Mereka belum boleh untuk mengetahui hal ini. Benarkan?."

"Tapi aku merasa tidak nyaman jika kau pergi kesana tanpa aku. Ini, masalah tentang Ibuku. Tidak seharusnya aku hanya berdiam diri dan kau yang mencari tahu segalanya, Chanyeol-ah." Luhan menatap Chanyeol penuh dengan sorot mata penyesalan, dan berkaca-kaca, "Maafkan aku." Tunduknya, ketika itu pula dapat Chanyeol ketahui bahwa Luhan menangis dalam diam.

Chanyeol memeluk Luhan, mengusap punggungnya menenangkan. Ia tidak dapat melihat wanita yang di inginkannya ini menjadi sedih. Hati Chanyeol terasa cukup sesak mendengar isak tangisnya yang samar.

"Jangan menangis, aku melakukan ini demi dirimu. Aku tahu seberapa besar keinginanmu untuk kembali bertemu dengan satu-satunya keluarga yang kau miliki, Ibumu. Aku benar-benar berjanji akan menemukannya untukmu, Luhan." Chanyeol mendorong tubuh Luhan, hingga pelukan mereka terlepas. Ia menghapus lembut air mata yang menggenang di wajah cantik wanita itu.

Dengan senyum, Chanyeol berujar misterius.

"Lagi pula. Aku ingin kesana bukan hanya semata karena ingin memperoleh lebih banyak informasi tentang keberadaan Ibumu, Lu. Aku punya tujuan lain." Chanyeol tersenyum arti, menepuk-nepuk kepala Luhan layaknya anak kecil. Wajah Luhan yang menangis juga terlihat menggemaskan dengan bibirnya yang mengerucut. Membuat Chanyeol tak bisa menahan rasa gemasnya.

"Tujuan apa?."

"Akan ku beritahu nanti. Yang jelas, kau tidak perlu khawatir soal infomarsi apapun tentang Ibumu. Aku sungguh akan menemukannya untukmu, Luhan. Jadi, jangan risau. Kau hanya perlu menunggu informasi-informasi lainnya dariku nanti."

"Gumawo, Chanyeol-ah." Luhan kembali di buat haru, dan memeluk Chanyeol tanpa keraguan. Ia benar-benar lega bisa menemukan teman sebaik Chanyeol. Meski Luhan memiliki Kyungsoo sebagai sahabatnya, tetapi Kyungsoo tidak sepaham itu tentang semua kegelisahan yang Luhan pendam seorang diri selama ini.

Tapi berbeda dengan Chanyeol, Ia dapat memahami Luhan dengan baik. Sosok seorang teman yang dapat Luhan percayakan. Meski cintanya hanya berlabuh pada sosok Sehun. Tapi, tidak di pungkiri bahwa Luhan pun memiliki rasa sayang layaknya teman pada lelaki yang di peluknya ini.

Chanyeol termasuk sosok yang berarti bagi hidupnya.

"Cheonma, aku tidak akan mengecewakanmu." Chanyeol mengusap punggung Luhan dengan lembut, di balik itu Ia tersenyum penuh arti, "Akan ku temukan keberadaan Ibumu bagaimana pun caranya. Kau hanya cukup percaya padaku, Luhan."

Luhan mengangguk dalam keheningan. Ia menikmati bagaimana Chanyeol mengusap punggungnya menenangkan, menjadikan pikirannya teringat oleh Sehun. Jika lelaki itu tahu bahwa hubungan Luhan dan Chanyeol sedekat ini, mungkin Luhan tidak akan pernah bisa untuk bertemu lagi dengan Chanyeol.

Meski begitu, Ia tidak akan memberikan Chanyeol harapan lebih. Selagi, Sehun masih ada untuknya. Dan, mencoba untuk terus mencintainya.

.

Crestfallen

.

Chanyeol duduk dalam ketenangan di dalam pesawat yang akan memberangkatkannya menuju China. Ia melihat pemandangan langit malam di balik kaca jendela pesawat dalam diam. Pikirannya berkecamuk pada satu hal yang seharian ini sangat menyita konsentrasinya.

Sejak para mata-matanya di sana memberinya beragam macam informasi mengenai Ibunya Luhan. Chanyeol di kejutkan oleh sebuah fakta baru mengenai seseorang lagi. Yang masih di rahasiakan oleh pihak mata-matanya.

Kurang lebih membutuhkan setidaknya satu jam lebih untuknya sampai di Beijing. Tanpa membuang banyak waktu, Chanyeol langsung masuk ke dalam mobilnya. Para pengawalnya datang menjemputnya langsung dan segera mengantarkannya ke Hotel yang akan di tempati oleh Tuan muda mereka ini selama beberapa hari kedepan.

Hamparan langit malam serta kilauan cahaya dari lampu-lampu penduduk kota adalah apa yang Chanyeol lihat saat ini di balik kaca jendela kamarnya. Ia berdiri tegak dengan setelan piama yang sudah melekat pas di tubuhnya. Menerawang jauh tentang pikiran yang membawa hatinya di landa kegundaan berarti.

Ia menyesap ringan wine di gelas tinggi pipih yang di genggamnya di tangan kanan. Meneguk habis ketika sebuah ketukan pintu menyita perhatiannya.

"Masuk."

Pintu terbuka, Chanyeol membalikkan badan dan menatap si tamu malamnya dengan tatapan tegas. Seorang lelaki dengan stelan formal serba hitam, membungkuk hormat padanya.

"Selamat malam, Tuan muda."

"Katakan saja, Jaebum-ah." Tegasnya.

Lelaki yang bernama Kim Jaebum ini menyunggingkan senyum paham. Seolah sudah sangat mengenal watak tuan mudanya dengan amat baik. Chanyeol bukan tipikal orang yang suka bertele-tele.

"Seperti info yang sudah saya berikan pada Anda beberapa hari lalu. Kami menyelidiki kembali tentang kasus tragedi kecelakaan yang menimpa keluarga nona Luhan. Cukup sulit untuk mendapatkannya karena para polisi menutup mulut mereka untuk memberitahu lebih lanjut." Jaebum berujar pelan.

"Mereka di bayar." Cetus Chanyeol, "Bukan kah begitu?."

"Benar, Tuan. Sedikit paksaan membuat salah satu dari mereka akhirnya mau mengungkapkan info detail tentang kasus kecelakaan itu. Seperti yang sudah saya infokan pada Anda, kami menemukan dimana letak rumah sakit yang membawa Ibu nona Luhan kala itu."

Chanyeol mendengus keras. Ia menatap lagi ke arah pemandangan malam kota Beijing di balik kaca. Menuang kembali setengah gelas wine, dan menyesapnya pelan. Suatu luapan emosi siap mendidih di kepalanya saat ini.

"Bagaimana kronologisnya?."

"Kecelakaan itu murni terjadi akibat dari rem mobil yang tidak berfungsi yang di kendari Ayah nona Luhan saat itu. Menabrak pembatas jalan kemudian terguling. Yang selamat hanya nona Luhan, sedangkan Ayahnya tewas setelah mengalami keadaan koma karena kehilangan banyak darah. Lalu, Ibunya di bawa ke rumah sakit terpisah dekat sudut kota Beijing." Jelas Jaebum panjang. Ia bisa melihat punggung tegak tuan mudanya menegang.

"Lalu?."

"Kami pergi menyelidiki rumah sakit itu secepatnya. Para perawat bahkan dokter yang menangani Ibu nona Luhan kala itu juga tidak bersuara. Mereka diam, karena telah di bayar mahal. Tetapi kami berhasil menemukan informasi itu. Dengan kenyataan, bahwa berita kematian dari Ibu nona Luhan selama ini tidak lah benar. Dia, masih hidup. Sampai sekarang. "

Kepalan tangan Chanyeol terlihat di sisi kiri tubuhnya. Ia menenggak habis winenya dengan cepat dan membanting gelas di atas meja dengan kasar. Luapan amarah yang mendidih telah menguasainya, hingga rasanya kepulan asap terlihat jelas keluar dari puncak kepalanya.

Chanyeol berbalik dan menatap Jaebum dengan mata memicing tajam. Rahangnya mengeras dengan raut wajah dingin menakutkan.

"Siapa biangnya?!." Ketusnya setengah berteriak.

Jaebum hanya menatap santai kepada Chanyeol. Ia masih dengan pembawaan tenangnya. Namun bibirnya menyunggingkan senyuman tipis yang terlihat licik.

"Nyonya besar Oh. Ibunda dari tuan muda Oh Sehun, Tuan."

"Sudah kuduga." Cetusnya.

Chanyeol menghela nafas jengah. Ia membasahi bibirnya yang terasa kering oleh amarah. Giginya bergelatuk samar demi menahan emosinya lebih keras lagi.

"Sepertinya Nyonya besar Oh sangat menutup informasi itu rapat-rapat. Ia mengetahui bahwa Ibu nona Luhan masih hidup setelah melewati masa koma hampir setahun seorang diri. Harta warisan peninggalan sang suami sanggup membiayai perawatan rumah sakitnya sampai benar-benar sembuh. Saya mengetahui dari dokter yang di introgasi bahwa Nyonya besar Oh kerap kali menempatkan waktu datang ke Beijing hanya untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesehatan dari Ibu nona Luhan."

Chanyeol tak bergeming, mengangguk mengerti dan membiarkan Jaebum untuk kembali menjelaskan.

"Namun, ketika Ibu nona Luhan telah kembali sadar dan terus bertanya mengenai bagaimana keadaan suami dan anaknya, semua perawat dan dokter kompak mengatakan jika keduanya telah tiada karena kecelakaan itu. Jadi, yang di ketahui olehnya hanyalah dirinya seorang yang selamat. Nyonya besar Oh membayar mereka semua untuk tutup mulut, Tuan."

"Licik! Tidak ku sangka jika Bibi Minkyung bisa sekeji itu." Chanyeol berujar dingin. Ia tersenyum remeh dan menerawang jauh pada langit-langit yang dirasa runtuh kemudian menghatam kepalanya hingga berdenyut.

Jaebum mengangguk, "Saya rasa, bangunnya Ibu nona Luhan dari masa koma panjang bertepatan setelah Nyonya besar Oh mengadopsi nona Luhan dari panti asuhan. Itulah mengapa beliau tidak ingin nona Luhan tahu jika Ibu kandungnya masih hidup, Tuan." Cetus Jaebum memberikan tanggapan.

"Ya. Itulah mengapa Luhan harus segera kembali dengan Ibu kandungnya!." Desis Chanyeol tertahan dengan kepalan tangan yang semakin erat. Ia menjadi cemas sekaligus muak saat ini. Memikirkan jika apa yang di curigainya akan menjadi nyata suatu hari nanti. Tidak bisa di pungkiri bahwa Chanyeol masih ingin terus memperjuangkan Luhan.

Alih-alih wanita itu belum sepenuhnya memberikan Ia sebuah tanda lampu hijau. Tetapi, tidak ada salahnya untuk berjuang, bukan? Selagi peluang malah semakin dekat padanya.

"Tapi, Tuan. . ."

Chanyeol menatap Jaebum lagi, mengerutkan dahi ketika orang kepercayaannya ini masih betah berada disini dan belum beranjak. Raut ganjil yang terdapat di wajah lelaki itu semakin membuatnya penasaran.

"Ada lagi?," Ketusnya.

Jaebum melirik tak tentu arah. Ia bingung harus mengatakannya atau tidak. Sesuatu yang bisa membuat nyalinya serasa menciut di dasar laut. Ia mempertaruhkan reputasinya saat ini, kalau-kalau Chanyeol akan langsung memecatnya setelah Ia berujar satu informasi lagi.

"Katakan, Jaebum-ah!." Desak Chanyeol.

"Kami, menemukan info lain. Namun, bukan tentang keberadaan Ibu nona Luhan yang saat ini masih berusaha kami lacak atas perintah Tuan. Hanya saja. . ." Jaebum menghela nafas, "Ini tentang, Nona Baekhyun, Tuan." Lanjutnya penuh kehati-hatian.

Chanyeol tersentak, kepalan tangannya mengurai tanpa sadar hingga jemari tangannya melemas. Satu nama yang di sebutkan oleh Jaebum barusan nyatanya sanggup membuat seluruh aliran darahnya membeku. Kakinya bagai tertancap semakin dalam di lantai marmer yang dingin. Tiba-tiba paru-parunya serasa kesulitan untuk mengais udara.

Jaebum paham jika Chanyeol tengah terkejut hebat oleh penuturannya barusan. Hanya saja, Ia memang tidak bisa menyembunyikan ini.

"Sebelum Anda menugaskan saya untuk mencari keberadaan Ibu nona Luhan. Bertahun-tahun lamanya Anda pernah memberi saya tugas lain. Melacak keberadaan seorang gadis yang telah menghilang. Beberapa tahun silam kami mencarinya namun tidak membuahkan hasil berarti. Hingga Anda memutuskan pada kami untuk berhenti mencari gadis itu." Jaebum mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah potret gambar seorang gadis cantik lugu dengan dress putih dan rambut hitam panjang yang lurus sebatas pinggang. Tengah tersenyum begitu indahnya di potret itu.

Namun, kertas potret itu nampak lusuh dengan kualitas gambarnya yang sudah cukup memudar. Bersamaan beberapa garis kerutan di sisi sudut kertasnya.

Itu sebuah foto lama.

Jaebum memberikan potret gambar itu pada Chanyeol. Yang mengambilnya dengan tangan cukup gemetar dan bibir kelu. Matanya tak fokus, tapi Ia masih bisa mengenali dengan baik siapa sosok gadis di potret itu.

"Saya menemukannya, Tuan. Nona Baekhyun, yang Anda cari-cari sejak lama nyatanya ada disini, di kota Beijing. Namun, maaf saya tidak bisa memberitahu hal baik. Karena, ketika kami mendatangi rumah sakit itu untuk mengintrogasi para dokter. Nona Baekhyun ada disana, seorang diri. Terbaring di atas ranjang ruang ICU dengan kondisi kritis akibat kecelakaan yang menimpanya dua hari lalu."

"Ke-Kecelakaan?." Lirih Chanyeol. Menatap sendu pada gambar Baekhyun di foto itu.

Jaebum mengangguk tegas. Anggukannya yang di lihat Chanyeol sanggup membuat mata lelaki itu memanas oleh suatu hamparan kabut putih berair. Chanyeol tidak lagi berucap, Ia hanya terus menatapi foto lama Baekhyun disana.

Yang berusia sekitar masih dua puluh tahun. Yang mungkin sekarang usianya sudah setahun lebih tua dari Luhan.

Tanpa bisa di cegah dua tetes air mata jatuh dari masing-masing sudut matanya. Chanyeol menatap sendu sekaligus rindu pada gambar itu. Untuk pertama kalinya Ia kembali menemukan sisi kelemahannya.

Baekhyun bukan hanya gadis biasa. Ia pernah ada di hati Chanyeol selama kurang lebih dua tahun mengisi cintanya di masa remaja. Dan, Chanyeol tak yakin apa saat ini Ia masih menyimpan perasaannya itu atau tidak. Alih-alih gelagatnya sekarang sudah membuahkan satu jawaban yang pasti.

Ia masih punya cinta untuk Baekhyun.

Lantas, apakah perasaan barunya pada Luhan akan memudar begitu saja?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To Be Countinue

..

..


24 July 2018


A/N:

Hallo, Readers-nim.

Cuma mau bilang, jangan terlalu baper ya ama Crestfallen. Memang cinta antar persaudaraan itu rumit. Apalagi kalo yg kamu cintai itu abang kamu sendiri yang gantengnya bukan main. Wkwk.

Intinya, ini udah ada Baekhyun. Si gadis manja masa lalu mas Chanyeol. Hayu loh bang, mau milih cinta yang di masa lalu apa yang di masa kini? Hm.

Silahkan yang mau nebak-nebak di kolom review! Kira-kira siapa ya yang nanti bakal jadi sosok penyebab konflik di FF ini? Masih ada Cast lainnya 'loh ehehehe.

Much review, Juseyooo /agyeo.

See You, Next Time.

Big Love, Thanks.