"Mendesah."

"Melenguh."

"Maju-mundur."

"Menggeram."

"Meremas."

"Menjilat."

"Menyesap."

"Menggigit."

"Mengukung."

"Mencium."

"Memagut."

"Apa bedanya mencium dan memagut?"

"Beda, Tae. Mencium cuma menempelkan bibir, dan memagut itu menggigit bibir."

"Tapi tadi aku sudah menyebutkan menggigit,"

"Kau cuma bilang menggigit, dan menggigit itu di penis juga bisa."

"Siapa yang sudi menggigit penis?"

"Aku."

Taehyung memijat dahinya pelan. Entah bagaimana dia menemukan dirinya tengah duduk melipat kaki di karpet ruang tamu, bersama sepiring kentang goreng dan lima kaleng soda, juga Jungkook di hadapannya. Bermain a-b-c lima dasar dengan tema 'yang dilakukan saat seks' berawalan huruf M.

Sebelumnya, bocah tengik itu sama sekali tidak mau berbicara pada Taehyung. Sejak kejadian jalang-di-rumah-ayah, pandangannya benar-benar kosong selama dua hari penuh. Membuat Taehyung kepalang khawatir, mengajaknya berbicara sepanjang hari seperti sedang membacakan dongeng, dan Jungkook tetap diam.

Kemudian, di hari ketiga, secara mengejutkan anak itu menggedor pintu kamar mandi dimana Taehyung tengah keramas. Ketika Taehyung membuka pintu, dia merengek ingin bermain bersama.

"Menyerah!" Taehyung mengangkat kedua tangannya sambil menggeleng. "Otakku tidak sekotor kau, Jung. Kutebak, kau masih memiliki stok kata-kata brengsek itu."

"Oh tentu," dengan semangat, Jungkook mengangkat tangan kanan, mengangkat jemarinya seiring bibirnya menyebutkan, "Menusuk, mencakar, menyesap, mengulum, mengapit, memeluk, menungging, men—"

"Bicara lagi dan kubuat lubangmu itu sobek."

"Kalau lubangku sobek, Kookie tak bisa memuaskanmu lagi, Tae."

"Masih ada kau."

"Itupun kalau kau sudi mendesah sendirian."

"Aku menggeram, bukan mendesah."

Jungkook mengibas tangannya, tak peduli. "Ayo kita mulai lagi! Aku janji, ini yang terakhir."

"Aish, terserah."

"A-b-c lima daaa...sar."

"Huruf ke enam belas apa, Tae?"

"P."

"Oke. Pantat."

"Puting."

"Pinggul."

"Penis."

"Pagut."

"Panu."

"Pang—eh apa? Panu? Tae, kau punya panu habis bercinta?"

"Iya. Aku punya panu habis bercinta. Kau puas?"

Taehyung memandang Jungkook datar. Bocah itu harusnya sadar, Taehyung sudah sangat muak bermain permainan ini. Bibir pink manis itu harusnya tidak menyebutkan kata-ata brengsek seperti bagaimana Jung melakukannya.

Masalahnya, Jung itu kurang peka. Ditatap tajam sedemikian rupa oleh Taehyung pun, anak itu seperti tidak menyadarinya dan malah tertawa keras sambil memukul bahu Taehyung.

"Kapan-kapan aku mau lihat panu mu itu, Tae."

"Hmm. Sekarang, ayo kita tidur. Kau janji ini yang terakhir tadi."

"Tapi aku masih mau main. Sekali lagi, please? Ayolah, jarang-jarang aku mengemis begini. Taehyung-ku yang tampan, dominan suci, Master-nya Puppy and Kitten,"

"Menjijikkan," Taehyung bergidik. Dia menoyor kepala Jungkook pelan, takut otaknya ikut bergeser. "Apa maksudmu dominan suci? Menjadi bangsat bukan berarti harus tau setiap kata yang berhubungan dengan seks. Kita bermain permainan yang lain saja."

"Kalau begitu, ayo ke kamar mandi."

"Apa?"

"Ajari aku cara masturbasi."

Ini akan menjadi hari yang panjang.

.

.

.

.

Seperti déjà vu, kini Taehyung mengangkat sebotol lube dari troli. "Eung, Kookie? Kau yang ambil ini?"

Jungkook menaruh beberapa minuman ke troli. Dia mengangguk antusias. "Punyaku habis. Tadinya aku mau beli yang biasanya, tapi aku lihat itu di dekat pintu masuk. Wanginya enak, jadi aku pilih yang itu, mungkin cocok untukku."

Taehyung menelan saliva kasar. Sejak kapan Jungkook mengoleksi lube? Atau, Jung lagi yang memintanya, seperti saat dia membeli yogurt? "Tapi Kookie, ini kan—"

"Apa? Hyungie tidak mau membelikannya lagi? Aku harus bayar sendiri lagi?" Jungkook mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku lupa ambil uang dari dompet Hyungie,"

"Bukan begitu, kau tau ini—"

"Diam! Aku langsung ke kasir saja, aku mau minta diskon."

Taehyung mengangkat sebelah alis. "Diskon? Memang bisa?"

"Bisa, aku kan imut. Pegawainya pasti mau memberikannya gratis untukku. Tidak seperti Hyungie, pelit!" Jungkook menjulurkan lidahnya seraya berjalan ke kasir. Tak henti membuat wajah konyol untuk meledek Taehyung, yang malah membuatnya terlihat menggemaskan.

Jungkook langsung menyodorkan lube itu ke hadapan si pegawai. Aegyo seperti apa yang kira-kira mempan untuk membujuk wanita ini? Mungkin Jungkook akan mencoba menggunakan puppy eyes andalannya, Yoongi selalu menuruti keinginannya saat dia melakukan hal itu.

"Tu-tuan, kau membeli ini?"

Jungkook melirik, lalu mengangguk. Memang apa salahnya sih. Apa harganya sangat mahal, sampai-sampai pegawai itu mengernyit heran. "Kenapa? Ada yang salah?"

"Tidak," dan setelahnya pegawai itu cekikikkan. Masa bodoh, yang penting Jungkook berhasil membelinya.

"Hey," Jungkook bergumam. "kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?" karena Jungkook yakin, dia sempat melihat seringai Taehyung sebelum berjalan ke kasir. Pria itu hanya menyeringai kalau memikirkan hal yang mesum, dan bagian bawah Jungkook masih terasa sakit.

Bukan lubangnya yang terasa sakit, melainkan kejantanannya. Entah apa yang dilakukan Jung dan Taehyung kemarin, namun saat dia bertanya pada Taehyung, pria itu hanya mengangkat bahu dan menyuruh Jungkook berhenti bertanya mengenai hal itu.

"Tidak ada, Tuan." tapi wanita itu masih terkekeh pelan. Membuat tangan Jungkook gatal ingin melempar botol itu pada wajahnya.

"Ada lagi, Tuan?"

"Tidak."

"Sebotol lube dengan harga 33.000."

"Oh bolehkah aku—tunggu, apa?"

"Harganya 33.000."

"Bukan, ini apa?"

"Lube, Tuan."

Tangan Jungkook refleks menyambar botol itu. Dia memperhatikannya baik-baik, dan hampir terjungkal melihat kata 'lube' yang tercantum disana. Sumpah, Jungkook tidak tau itu adalah lube, dia pikir itu—

"Sudah tau itu apa, bunny?"

.

.

.

.

Suara tawa Taehyung benar-benar mengganggu Jungkook. Entah sudah berapa kali Jungkook menyikut perutnya untuk membuatnya diam, tapi dia tetap tertawa. Menyebalkan sekali.

"Maafkan aku Kookie, tapi ini lucu,"

Jungkook melipat tangannya. "Aku kan tidak tau kalau itu lube. Kukira itu sabun cuci muka."

"Untung kau tidak langsung mencoba lube itu ke wajah."

"Hyungie diam!"

"Pasti pegawai itu sudah berpikir mesum. Oh, jangan-jangan dia sudah tau kalau kau itu uke?"

"Berisik!"

"Semoga dia tidak memberi tau temannya. Bisa repot kalau itu terjadi."

"Hyungie aish,"

Taehyung kembali tertawa. Dia merindukan Kookie, sungguh. Satu hari penuh dia habiskan untuk bermain-main dengan Jung kemarin. Entah kenapa, dia ingin memberikan perhatian lebih pada si bangsat itu.

"Kookie, jangan marah. Hyung bercanda."

Tidak ada balasan.

"Baiklah, baiklah, Hyung minta maaf. Kookie boleh hukum Hyung."

Masih diam.

"Kookie mau es krim? Atau mau membuat dompet Hyung kosong? Hyung akan menuruti kemauanmu, asalkan kau bicara."

Tidak, Kookie selalu luluh pada kata es krim. Dia akan berbalik dan menunjukkan senyum lebarnya, dengan mata berbinar yang menggemaskan. Bukannya membelakangi Taehyung, menghadap pintu mobil tanpa bergerak sedikitpun.

Dan ternyata anak itu tertidur.

Mobil Taehyung memasuki pekarangan apartemen. Setelah memarkir mobilnya, dia mengangkat tubuh Jungkook dengan hati-hati. Taehyung mengeratkan pegangannya pada tubuh Jungkook lalu berjalan ke dalam. Berusaha keras untuk menekan password pintu kamarnya, dan berhasil pada percobaan kelima. Dia menendang pintu dengan pelan dan merebahkan tubuh Jungkook di kamar.

Setelahnya, dia berjalan menuju ruang kerja. Taehyung menyalakan ponselnya, mencari kontak, dan menempelkan ponselnya pada telinga.

"Meninggal dua tahun yang lalu, ada riwayat penyakit jantung. Kasus sempat dibuka karena adanya tanda-tanda penganiayaan pada tubuhnya, tapi kembali ditutup karena kurangnya bukti dan tidak adanya saksi mata."

Taehyung memutar kursinya dengan pandangan tak lepas dari langit-langit ruangan. Bibirnya bergumam malas. "Soal jalangnya?"

Terdengar suara kertas disibak dengan kasar. "Gila. Orang itu pasti kaya. Ini nama-nama istrinya atau data penduduk? Dia pasti punya jalang di setiap sudut Korea."

"Dia memang kaya, kan?" matanya melirik ke sudut meja, tepatnya figura dengan foto Jungkook disana. "Jungkook pernah menyebutkan tiga alamat saat aku bertanya dimana rumahnya. Kukira dia bercanda, dan kerennya ketiga rumah berlantai itu benar-benar milik keluarga Jeon."

"Tapi serius, aku tidak menemukan data Jeon Jungkook. Kelahirannya benar-benar disembunyikan, atau datanya dilenyapkan? Pria itu benar-benar kaya, bahkan kelahiran putra semata wayang bisa dia disembunyikan."

"Katanya, membicarakan orang yang sudah mati itu tidak baik." Taehyung mendekatkan kursinya—sekaligus dirinya—pada meja. "Aku tidak tanggung jawab kalau nanti malam Tuan Jeon datang ke mimpimu."

"Keparat. Brengsek. Sialan. Bilang sejak awal."

Bibir Taehyung meloloskan kekehan. Jimin itu luarnya bisa jadi sangar, tapi dia akan lari terbirit begitu mendengar riddle ringan.

Taehyung memutuskan sambungan setelah kembali meminta Jimin memeriksa satu persatu nama istri Tuan Jeon, yang disambut dengusan malas dari sahabat pendeknya. Taehyung hanya penasaran, siapa nama jalang Tuan Jeon yang datang ke rumah sakit Yoongi. Lagipula, dari mana wanita itu tau bahwa Jungkook pernah dirawat di sana?

"Lebih baik kau bertanya ke sumber terpercaya, Tae."

Taehyung nyaris menjatuhkan ponselnya. Matanya menyipit kala melihat Jungkook bersandar pada pintu seraya melipat tangan. Kemudian dia berjalan ke arah Taehyung, seenaknya duduk di pangkuan Taehyung dan melingkarkan lengannya pada leher pria itu.

"Jung—"

"Bagaimana kalau kita main Truth or Dare?"

.

.

.

TBC

.

.

Guru : besok ulhar fisika, ulhar kimia, ulhar MTK, presentasi sejarah, kumpulin laprak—

Me : STAPH PLS *collapse*

Yep, tugas dan ulhar udah mulai numpuk. Aku bakal very slow update, moga aja ga sampe hiatus. Maaf kalo chap ini mengecewakan, udah gitu pendek lagi. Mianhae *bow* aku akan berusaha ngetik lebih panjang buat chap depan.

Hope you enjoy this strory! Cya!

Kiika246.