"Hyung, ada apa?" Salah satu karyawan di kedai kopi Jeon bertanya saat ia mendapat waktu senggang. Pemuda tinggi berlesung pipi yang juga sudah lama bekerja paruh waktu di kedai itu duduk di samping Jungkook yang sedari tadi berdiam di samping oven yang mereka gunakan untuk membuat pastry, sepertinya melamun. "Kudengar dari Yugyeom hyung, kemarin kau pergi ke dokter, kenapa sekarang malah terlihat semakin tidak sehat?"

Jeon Jungkook melirik sosok yang mengambil tempat di sampingnya. Ia menghela sekali sebelum menjawab dengan lemas. "Aku hanya mengantuk karena efek obat, Soobin-ah…"

Choi Soobin tahu, boss-nya berbohong.

Kalau boleh jujur, ia tidak pandai menanyakan hal pribadi semacam ini. Biasanya, ia hanya akan mengandalkan Kim Yugyeom untuk mendapatkan informasi pria yang mempekerjakannya sejak ia mulai memasuki tahun ketiga di sekolah menengah atas, hingga kini berada di akhir tahun pertama di kampusnya.

"Kuharap kau beristirahat saja. Aku tidak ingin kau terluka karena melamun di dapur, hyung." Soobin beranjak dari duduknya, berharap pria yang lebih tua melakukan hal yang sama. "Karena hari ini Yugyeom hyung masuk siang, ia akan menjemput Kwonnie saat berangkat ke kedai. Kau tidur saja, hyung. Tidak perlu mencemaskan kedai atau bayimu itu."

Inginnya, Soobin menyeret pemilik kedai untuk masuk ke bagian rumah, lalu melemparnya ke dalam kamar tidur sebelum menguncinya dari luar supaya sosok yang sedari tadi hobi melamun itu tidur saja, agar otak dan pikirannya beristirahat. Kalau bisa, supaya hatinya juga lebih tenang. Sayang sekali, ia tidak memiliki nyali untuk melakukannya lantaran jarak usia mereka yang terlalu jauh.

Mungkin kalau Kim Yugyeom ada di sana saat ini, pemilik kedai Jeon benar akan dikunci di dalam kamarnya. Sayangnya, yang terjadi tidak seperti yang diangankan lantaran Choi Soobin tidak memiliki cukup keberanian.

Jungkook terlihat ragu sekarang.

Ia melirik jam di dinding yang seolah berjalan amat lambat. Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh, padahal ia merasa telah menghabiskan paling tidak, tiga jam sejak kedai di buka pukul sembilan tadi.

Merasa tidak ada gunanya duduk di dalam dapur tanpa melakukan apapun, akhirnya penyandang marga Jeon menghela, memilih untuk coba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya meski tak yakin akan berhasil. Dan dengan berat hati, Jungkook meninggalkan bagian depan rumahnya yang sudah disulap menjadi kedai.

Choi Soobin tahu, boss-nya terlihat sangat lesu.

Meski tak mengenal Jeon Jungkook secara personal, pemuda tinggi itu paham dengan keadaan pria beranak satu itu. Awalnya, ia pikir Jeon Taekwon adalah hasil hubungan Jungkook dengan kekasih wanitanya, tak menyangka ia bahwa Jungkook-lah yang merupakan sosok ibu dari si bocah menggemaskan. Hal itu diketahuinya ketika Jeon Taekwon mulai bisa berbicara dengan jelas, dan ketika memanggil Jeon Jungkook, kata momma-lah yang diucapkannya. Seakan mendukung sang balita dalam mendeklarasikan bahwa ia adalah sosok ibu di sana, Jungkook menyebut dirinya sendiri momma untuk Taekwon.

.

A fanfiction, the continuation of "Puzzled"

Disclaimer: I own nothing except the story line and unrequited-love feelings toward Kim Taehyung

Genre: Romance, Family, Hurt/ Comfort, Humor, dll

Pair : Kim Taehyung x Jeon Jungkook

Rated: M for the language and theme, and yeah

Warning: OC for Taekwon.

Ambigu, TYPO tak tertahankan, m-preg (?)

.

.

"Painted"

Part XIX: the Scrapbook

Memandang ponsel yang sengaja digeletakkan di meja nakas, Jungkook lagi-lagi menghela. Ia ingat bagaimana sejak semalam pria Kim yang merupakan ayah dari sang putra coba menghubunginya, bahkan sampai pagi tadi, layar ponselnya masih sering berkedip-kedip, tanda bahwa ada panggilan atau pesan masuk. Taekwon bahkan sempat bertanya mengapa sang momma tidak mengangkatnya, dan Jungkook tanpa pikir panjang mengatakan bahwa yang menghubunginya adalah orang iseng. Balita Jeon yang tidak sempat melihat layar ponsel pintar momma pun hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir membulat, tanda ia percaya, sebelum ia melanjutkan aktivitasnya sebagai balita jagoan yang menggemaskan.

Setelahnya, tentu Jungkook segera mengaktifkan silent mode sebagai tindakan pencegahan kalau-kalau Kim Taehyung kembali menghubungi, Tujuannya tentu agar Taekwon tidak banyak bertanya karena demi apapun, hati Jungkook memberontak ketika ia menyebut kekasihnya sebagai orang iseng.

Duduk di ranjangnya, Jungkook terdiam memandang kertas hasil pemeriksaan hysterosalpingigraphy di tangan. Bibirnya tesenyum miris mengingat pewaris Kim Enterprise yang juga merupakan kekasihnya terdengar begitu ingin memiliki bayi lagi, sementara keadaannya seperti ini.

Penyandang marga Jeon sejujurnya merasa takut.

Takut Kim Taehyung akan meinggalkannya jika pria itu tahu keadaan Jungkook yang sebenarnya.

Takut jika nantinya, Utopia yang dijanjikan Kim Taehyung kepada malaikat kecilnya akan menjadi angan semata.

Namun Jungkook juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa atas keadaannya saat ini. Yang ia bisa hanya…

.

.

.

.

Hanya bersembunyi dari Kim Taehyung yang dirasanya begitu menakutkan…

Meski hanya untuk sementara karena sungguh, demi apapun, Jungkook belum siap bertemu dengan kekasihnya.

.

.

.

.

.

Sosok bersurai coklat mengerang, menggeliat dalam tidurnya saat dirasa ada yang bergerak menyentuh kakinya. Inginnya, ia lanjut tidur saja, namun suara kikikan jahil yang begitu familiar, juga sentuhan-sentuhan menggelikan di perutnya seakan memaksanya untuk membuka mata.

Ia menggeliat, bibirnya menguap.

Dan matanya benar-benar terbuka saat suara berat yang tak ingin didengar menyapa gendang telinga dengan kurang ajarnya.

"Jagoan, jangan ganggu momma seperti itu."

Jeon Jungkook duduk terperanjat begitu ia membuka mata hanya untuk mendapati putranya yang tengah menahan tawa, juga seorang pria dewasa bersurai kelam yang duduk di lantai sambil memandanginya. Pria itu memakai kaos lengan pendek berwarna hitam, juga celana panjang santai senada.

Pusing di kepala pemilik kedai Jeon datang seketika, dan tangan Jungkook refleks memegangi kepala.

"Hei… momma tidak apa-apa?"

Ingin rasanya Jeon Jungkook menangis saat tangan besar pria itu meraih lengannya. Suara berat Tuan Muda Kim saat memanggilnya momma terdengar begitu menyiksa, terngiang-ngiang di dalam kepala.

Ini nyata.

Sosok yang sedang ingin dihindarinya, hadir nyata di depan mata.

"Momma ma…" kini Jeon Taekwon yang menyapa. Bocah yang tadinya menahan tawa, kini menunjukkan kekhawatiran di raut wajahnya. Ia memanjat ranjang, lalu berusaha memeluk sang bunda dengan berdiri di pangkuannya. "Momma, Kwonnie nakal bangunkan momma, Kwonninya tapi minta maaf."

Sekuat tenaga Jungkook berusaha mengulaskan senyum di bibir. Diusapnya lembut kepala balita yang seakan merasa bersalah atas pening yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

"Kwonnie anak baik." ucap sang momma dengan suara serak. Dikecupnya dahi Taekwon, lalu dibalasnya pelukan dengan lembut. "Momma harusnya berterima kasih karena jagoan momma membangunkan momma untuk minum obat siang."

Bibir balita Jeon membulat.

Ia menatap momma kesayangan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Meski tak bermaksud membangunkan ibunya, Jeon Taekwon sungguh merasa bangga karena berpikir dirinya telah berjasa sehingga momma tidak melewatkan waktu minum obatnya.

"Kwonnie main di luar sebentar, ya? Poppa akan membantu momma makan dan minum obat."

Kali ini superhero Jeon mencebik.

Masih memeluk leher sang momma, ia menatap pria yang menyebut dirinya poppa dengan sorot tajam. "No no no. Kwonnie membantu makan siang dan obat siang. Tapi Poppa yang main-main sama Paman Yumi."

Untuk beberapa saat, pria berkaos hitam menghabiskan waktunya untuk berpikir. Ia ingin membicarakan banyak hal dengan Jungkooknya, ia tentu tidak menginginkan balita jagoannya berada di sana untuk mendengarkan. Menggunakan alasan pembicaraan orang dewasa jelas akan membuat Taekwon semakin penasaran dan enggan pergi.

Maka ia harus menggunakan alasan lain supaya putra menggemaskannya mau pergi dengan suka rela.

"Poppa ingin sekalian membicarakan rencana pergi ke kolam renang besar bersama momma." Terkekeh pelan, sosok ayah dari si balita menggemaskan beranjak dari lantai. Ia mendudukkan diri di ranjang, lalu mencondongkan tubuh untuk mencium pipi putranya. "Hmm… niatnya akan menjadi kejutan untuk Kwonnie, tapi karena Kwonnie di sini bersama momma dan poppa, yaa… mungkin tidak akan menjadi kejutan lagi."

Perlu diketahui, Jeon Taekwon sangat menyukai kejutan… dan hadiah.

Apa yang diucapkan sang poppa sungguh menggiurkan untuknya karena jika Taekwon tidak tahu kemana mereka akan pergi dan ada apa saja di kolam renang besar yang akan mereka kunjungi, pasti kesenangannya akan berlipat ganda. Ditambah lagi, mungkin saja poppa atau momma akan menyiapkan hadiah untuknya. Pasti akan sangat menyenangkan nanti.

Maka sebagai balita jagoan yang pandai mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan orang dewasa, Kwonnie memutuskan untuk melompat turun dari kasur ibunya setelah menghabiskan waktu berpikir selama kurang lebih lima detik. Aksi turun dari kasur kali ini tanpa disertai dengan superhero landing karena ada momma yang memenuhi kasur. Lagipula, lengan kuat sosok idolanya langsung menangkap Kwonnie dan menurunkannya di lantai dalam posisi berdiri.

"Tidak jadi di sini saja?"

Menggeleng dengan penuh semangat, Jeon Taekwon sukses membuat sang poppa kesayangan tertawa pelan.

"Nanti Kwonnie mau yang kejutan saja, oke?"

Sang ayah mengangguk dengan senyum masih bertengger di bibirnya.

"Tapi momma makan pakai chicken chicken yang poppa bawakan, oke?" bocah Jeon bersikap seolah-olah ia adalah boss besar yang tengah meceramahi bawahannya. Sepasang lengannya bahkan bertengger di masing-masing pinggang. "Nanti karena sakit tapi tidak boleh pakai saos spicy,oke?"

Poppa Kwonnie mengangguk mewakili sang momma. Ia mengusak gemas surai balitanya.

Kwonnie beralih menatap sang momma yang sedari tadi diam, masih membiarkan tangan poppa bertengger di puncak kepala.

"Tapi momma makan yang banyak lalu minum obat yang siang, oke?"

Mau tidak mau, kali ini Jeon Jungkook mengangguk dengan senyum manis yang dipaksakan.

Setelahnya, superhero Jeon meninggalkan kamar momma dengan setengah berlari sambil memanggil paman favoritnya dengan suara yang melengking keras.

"Pamaaaan Yummiiii!"

Kim Taehyung terkekeh pelan. Ia masih duduk di ranjang Jungkook sementara sang pemilik kamar masih merasakan pusing di kepalanya. Bibir jeon Jungkook belum mampu meloloskan suara. Alasannya mungkin karena kepalanya terasa berputar-putar, tapi mungkin juga karena sosok yang ingin dihindari kini berada satu ranjang dengannya.

Keheningan melanda selama tak kurang dari lima menit, hingga pada akhirnya Taehyung memutuskan untuk terlebih dahulu berbicara.

Masih menjaga jarak dengan sang kekasih, pewaris Kim Enterprise mencoba bersikap santai. Dengan lembut ia menatap sosok yang mengisi hatinya. "Aku ambilkan makan siang, hm?"

Jungkook menggelengkan kepala.

Dialihkannya pandangan dari pria yang, sejujurnya, sangat tidak ingin ditemuinya, namun begitu ingin dipeluknya

"Jungkook-ah…"

Suara rendah pria Kim bernada lembut, sangat lembut ketika menyebut namanya. Namun Jungkook memilih untuk menulikan telinga, menahan sesak di dadanya. Ia butuh waktu sedikit lebih lama untuk menata hatinya.

"Momma…"

Meski dengan panggilan yang berbeda, Jeon Jungkook masih enggan menatap prianya.

Nyalinya begitu ciut,

Ia sadar dirinya pengecut,

Namun rasa takut yang terlanjur menggerogoti jiwanya membuat Jungkook sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap Kim Taehyung.

Ia bahkan hampir kembali terperanjat saat pria yang berusia enam tahun lebih tua darinya menggenggam tangannya. Peria berpakaian serba hitam itu mengubah posisinya, merapatkan duduknya dengan Jungkook seolah tengah mengatakan bahwa penyandang marga Jeon itu tidak akan bisa kabur.

Meski tidak melihatnya secara langsung, Jungkook tahu sang kekasih tengah menatapnya lekat.

"Jungkook, tidakkah kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"

Kembali menggeleng, Jeon Jungkook hampir membuat Kim Taehyung kehilangan kesabarannya.

Sungguh ia sedang sangat lelah.

"Jungkook, kumohon jangan seperti ini." suara pria bersurai jelaga terdengar putus asa. Ia bahkan menghela napas panjang seakan menghadapi Jungkook saat ini membuatnya kehabisan tenaga. "Jangan membuatku khawatir…"

Namun tentu saja, kekhawatirannya jauh lebih besar daripada lelah yang hampir menyulut emosinya.

Dan masih juga tidak ada jawaban.

Kim Taehyung memejamkan matanya selama tiga detik, berusaha menetralkan perasaan lantaran sesungguhnya ia tahu kekasihnya tengah berperang dengan pikirannya sendiri.

Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, membungkuk, lalu tangan kirinya mengambil sesuatu yang disembunyikannya di bawah ranjang.

"Aku tidak tahu apa ini, tapi aku tidak mau Kwonnie melihatnya dan banyak bertanya." ucapnya dengan nada seadanya, berusaha meredam kesal di dalam dada. "Tolong jelaskan padaku."

Jungkook sedikit menolehkan kepalanya. Sepasang matanya membola kala menyadari bahwa benda yang dipegang calon suaminya adalah hasil hysterosalpingigraphy yang dijalaninya kemarin. Tangannya bergerak cepat, merebut benda itu dari tangan Taehyung, lalu menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Ia bahkan menggeser tubuhnya hingga bersandar di kepala ranjang, seolah membri perinatan kepada Taehyung bahwa ia tidak akan membiarkan pria yang berusia enam tahun lbih tua itu mengambil apa yang disembunyikannya.

Percuma saja, Kim Taehyung sudah melihatnya.

"Jungkook… aku ha -"

"Jangan tanyakan apapun soal itu." potong Jungkook cepat. Sepasang netranya menyiratkan ketakutan. "Jangan bicarakan apapun. Kumohon…"

Suara Jungkook yang melemah di akhir kalimatnya memaksa Kim Taehyung untuk menutup mulutnya. Sepasang lengannya kini menarik Jungkook untuk duduk berhadapan, setelahnya dibingkainya wajah Jungkook dengan telapak tangan. Ia memejamkan matanya, menempelkan keningnya ke kening Jungkook, lalu menikmati keheningan.

Ada bagian dari dalam diri Taehyung yang ingin memaksa Jeon Jungkook untuk buka suara, bagian lainnya lebih memilih untuk tak melukai hati kekasihnya.

Mungkin, Kim Taehyung tidak pernah mengambil kuliah kedokteran, apalagi menjadi spesialis obgyn. Meski begitu, ia tahu gambar rahim yang dilihatnya barusan tidak berbentuk sama seperti gambar rahim yang pernah dilihatnya di buku biologi ketika masih sekolah dulu.

Ada yang tidak beres, Kim Taehyung tahu.

Meski ia tak yakin apa itu, ia menerka bahwa yang disembunyikan Jungkook darinya pastilah berhubungan dengan keinginannya memiliki anak lagi.

Harapannya hanya satu, apapun itu… agar tidak membahayakan kesehatan Jungkooknya.

"Apa membahayakan kesehatanmu?"

Pertanyaan itu terlontar begitu lirih seakan pewaris Kim takut ucapannya terlalu tajam dan berakhir melukai sang pujaan. Tangan kanannya masih membingkai wajah Jungkook dengan ibu jari yang lembut mengusap pipi. Sementara tangan kirinya kini berpindah ke tengkuk, memberikan pijatan-pijatan ringan yang menenangkan.

Dan gelengan pelan yang Jungkook berikan sebagai jawaban cukup membuat Kim Taehyung merasa puas.

Diberikannya kecupan ringan di dahi penyandang marga Jeon, lalu dipeluknya tubuh pemuda yang begitu ia puja. Tak berapa lama, pria bersurai jelaga merasakan balasan atas peluknya, erat sekali, seolah Jeon Jungkook tengah membisikkan jangan pergi kepada Kim Taehyung dengan suara yang teramat jelas dan keras.

"Tidak apa-apa." Taehyung berucap pelan, memberikan kecupan-kecupan ringan di puncak kepala Jungkooknya. "Asal kau baik-baik saja, aku tidak akan meminta lebih."

Jeon Jungkook mengeratkan pelukannya, sungguh kontras dengan pelukan yang dibrikan Taehyung. Pria yang lebih tua memeluknya seakan takut Jungkook yang rapuh akan remuk jika ia terlalu kuat memeluk sang kekasih.

"Kalau aku tidak bisa memberikanmu keturunan lagi, bagaimana?"

Jujur saja, Taehyung sudah menerka hal seperti apa yang terjadi pada kekasihnya, namun ternyata, mendengarnya langsung dari calon pendampingnya cukup membuat jantung Taehyung seolah berhenti memompa. Apalagi, nada getar suara yang Jungkook gunakan ketika bicara membuat seolah-olah ini adalah akhir dunia.

"Tidak apa-apa, Jungkook-ah… tidak apa-apa…"

Taehyung tidak ingin membuat pria yang lebih muda berpikir bahwa ia tidak baik-baik saja dengan keadaan penyandang marga Jeon saat ini. Meski sejujurnya ia butuh penjelasan lebih, Kim Taehyung memilih memberikan jawaban yang, menurutnya, menenangkan.

Menenangkan untuk Jungkook,

Dan ia harap, menenangkan juga untuk dirinya sendiri.

Berselang keheningan, Jeon Jungkook memutuskan untuk melepaskan pelukannya perlahan. Ia menjauhkan tubuhnya dari dekapan pria Kim, lalu memberanikan diri untuk menatap sepasang mata pria yang dicintainya.

Teduh…

Tatapan Kim Taehyung begitu teduh, membuat Jungkook merasa diterima, meski sang pewaris telah mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, Jeon Jungkook memberanikan dirinya untuk bercerita. Kim Taehyung adalah calon suaminya, dan pria itu tentu berhak mengetahui keadaannya.

"Aku pergi ke poli umum." Jungkook memulai dengan sebuah kalimat singkat, dan kekasihnya langsung menggenggam tangannya, memberi sokongan kekuatan untuk bicara, sekaligus menegaskan bahwa dirinya akan tetap setia meski apapun nanti yang akan Jungkook katakan kepadanya.

"Dokter mengatakan aku hanya terlalu lelah, daya tahan tubuhku menurun karena banyak pikiran. Di sana aku sempat menggunakan test pack, dan hasilnya negative. Dokter bilang, aku sering mual karena stress ringan."

Momma Jeon tersenyum lembut saat ia merasakan usapan pelan di pipinya, sementara poppa menganggukkan kepala, mengerti dan memaklumi kekasihnya yang negative hamil meski ia begitu mengharapkannya.

Di mata Taehyung, sungguh saat ini pria bersurai coklat itu terlihat sangat manis meski dengan sepasang mata yang merah dan sedikit bengkak juga gugup yang tersirat dari sorot matanya.

"Aku sedikit berkonsultasi soal kandungan, dan ia merujuk ke poli obgyn." Jeon Jungkook menjeda. Ia menata hatinya sebelum menceritakan apa yang didapatkannya dari hasil pemeriksaan. Ia takut Kim Taehyung merasa kecewa, sungguh. Namun hati kecilnya berbisik, meyakinkan dirinya agar percaya bahwa pria yang berjanji akan menikahinya itu tidak akan meninggalkannya. "Kehamilan pada pria sangat rentan, kata dokter saat Kwonnie masih berada di dalam perutku, jadi aku sebenarnya takut untuk mengetahui keadaan rahimku. Aku takut keadaanku tidak memungkinkan untuk menjadi seperti yang kau harapkan, tapi aku juga merasa penasaran, jadi dokter menyarankan untuk melakukan HSG untuk memeriksa rahimku."

Taehyung terdiam, sepasang matanya yang semula menatap sang kekasih kini beralih pada selembar hasil HSG yang tadi sempat Jungkook sembunyikan.

Setelahnya, Kim Taehyung hanya bisa mendengarkan kalimat demi kalimat yang diucapkan dengan nada bergetar oleh Jein Jungkook.

Ia mencermati bagaimana penyandang marga Jeon menghela napasnya setiap menyelesaikan satu kalimat, dan bagaimana suara bergetar pria kesayangannya terhenti beberapa kali di tengah kalimat ketika bicara. Dan Kim Taehyung sungguh akan menerima apa saja keadaan Jungkooknya. Meski sosok yang berusia enam tahun lebih muda itu akan sangat sulit hamil akibat keadaan rahimnya yang tidak normal, ditambah tuba falopi yang sangat sempit. Kim Taehyung tidak mempermasalahkannya.

Baginya, hanya bersama Jeon Jungkook dan Jeon Taekwon saja sudah cukup.

Malahan, ia sedikit menyalahkan diri karena membuat Jeon Jungkook sempat tertekan setelah memeriksakan keadaannya. Taehyung tahu ia sangat berharap, terlalu berharap memiliki anak kedua dari seorang Jeon Jungkook, namun ia tidak akan mempermasalahkan jika harapannya tidak terkabul.

Dikecupnya bibir Jungkook secara tiba-tiba, lalu dilumatnya lembut sebanyak tiga kali untuk menghentikan tindakan sang kekasih yang masih menjelaskan. Tentu saja ia berhasil, karena pemilik kedai Jeon langsung bungkam.

"Sudah, cukup… Maafkan aku." gumamnya lirih hampir berbisik. Kim Taehyung lalu merengkuh tubuh Jungkook ke dalam pelukan. "Aku terlalu buta akan keinginanku sehingga aku tidak memikirkan perasaanmu."

Jungkook menggeleng dalam pelukan calon suaminya.

Jujur saja, keduanya dalam keadaan sama-sama berharap. Hanya saja, Taehyung memang tidak pernah tahu bagaimana kehamilan pada seorang pria menjadi hal yang begitu istimewa. Presentasenya sangat kecil, ditambah rahim Jungkook yang ternyata tidak normal, membuat hal itu berkali-kali lipat lebih sulit untuk terjadi.

Tapi, bukankan Kim Taehyung harus mengungkapkan rasa syukurnya akan satu hal?

"Kwonnie benar-benar superhero yang hebat." Pewaris Kim terkekeh pelan sebelum melanjutkan. "Malaikat kecil kita berhasil mencari jalannya dan bertahan meski dengan keadaanmu yang seperti itu. Kita harus bersyukur karena Tuhan mempercayakan Kwonnie kepada kita, meski sejak awal kemungkinan untuk hamil bagimu terlalu kecil. Kim Taekwon adalah sebuah keajaiban."

Jungkook mengangguk, menyamankan dirinya di dalam dekapan pria pujaan. Ia bahkan mengenggelamkan wajahnya ke dada Taehyung, lalu memejamkan mata.

Taekwon adalah sebuah keajaiban, Jungkook setuju.

Dan saat ini, dengan Kim Taehyung yang sudah mengetahui kekurangannya yang begitu besar, pria itu masih mau menerimanya.

Hal itu cukup untuk membuatnya lebih kuat.

.

.

.

.

.

Duduk di kursi favoritnya, jagoan kecil mengamati sekeliling kedai. Ia sedang menjalankan misi bersama Optimus Prime dan Chimchar untuk bertindak sebagai seorang boss karena momma sedang membicarakan kejutan untuknya bersama poppa.

"Suuttt… syuuutttt…." bocah yang mengenakan celana selutut warna abu-abu dan kaos tanpa lengan warna biru muda mencoba berbisik untuk memanggil karyawannya yang baru saja mengantarkan pesanan ke meja samping.

Pemuda bersurai coklat kemerahan itu menoleh ke arah boss kecilnya, dan Taekwon kembali melakukan aksi berbisik kepadanya.

"Ssyuutt suuuttt… sini-sini."

Kali ini diiringi dengan tangan yang bergerak-gerak seakan menggiring si karyawan untuk mendekat.

Tak ada pilihan lain, pemuda tinggi itu mendekati Taekwon, lalu membungkukkan badannya untuk menyamakan tinggi dengan si bocah yang sedang duduk di kursi.

"Hmm?" pemuda itu bertanya dengan malas.

Bukan apa-apa, hanya saja, Jeon Taekwon yang memanggil dengan bisikan bukanlah pertanda yang baik. Bisa ditebak, bocah itu akan menyalahgunakan kekuasaannya, dan menyuruh si pemuda untuk melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan.

"Kwonnie mau susu tapi pakai es."

Pemuda bersurai kemerahan menghela. Ia menegakkan tubuhnya, lalu mendengus sebelum bicara, mencoba untuk memberi kode kepada boss kecil bahwa ia sungguh malas melakukan apa yang diperintahkan. Tentu saja, Kwonnie tidak mengerti.

"Susu coklat, susu vanilla, susu pisang, susu hazelnut?"

"No no, Kwonnie mau susu sungguhan yang dari rumah, oke?" bocah itu menggelengkan kepalanya. Ia bahkan menunjuk pintu yang menghubungkan kedai dengan rumahnya menggunakan telunjuk kiri.

Pemuda yang diajak bicara jelas tahu, Taekwon ingin minum susu formula. Tentu rasa malasnya berkali lipat lebih banyak jika harus masuk ke rumah, lalu mengobrak-abrik dapur boss-nya. Meski ia tahu Jungkook tidak akan marah, dan tentu ia pernah beberapa kali melakukannya, pemuda itu masih merasa sungkan.

"Hyung sedang sibuk, Kwonnie minta tolong Paman Yumi saja, sana."

"Hihh!" Jeon Taekwon melotot, mencoba untuk mengancam makhluk tinggi di hadapannya. Ia bahkan mendongakkan dagu, menunjukkan bahwa ia berkuasa. "Tapi Juni hyung tidak sibuk karena semuamua yang pesan sudah dapat minum. Boss Kwonnie tahu karena melihat-lihat semuanya tadi."

Dan pemuda yang dipanggil Juni hanya bisa menghela. Ia lupa satu fakta: Jeon Taekwon adalah pengamat yang hebat. Bocah itu belajar cepat dan pandai memahami situasi dengan baik. Kemampuannya di atas rata-rata balita seusianya.

"Hyung buatkan, tapi jangan berisik, mengerti?"

Belita menggemaskan Jeon mengangguk penuh semangat. Ia bahkan tersenyum sangat lebar dan mengacungkan jempol kirinya sebagai tanda persetujuan. Rasa bangga tentu memenuhinya lantaran Juni hyung adalah salah satu karyawan yang paling sering menolak perintah yang Kwonnie berikan meski seluruh makhluk di dunia tahu bahwa Jeon Taekwon adalah boss di kedai kopi Jeon.

"Ditambah cookies tiga."

Dan lagi-lagi, Juni hanya bisa mengangguk patuh meski masih saja diiringi hela napas.

Ia segera mengembalikan nampan yang dibawanya ke dapur, lalu berjalan menuju pintu rumah. Diketuknya sebanyak tiga kali pintu itu, sebagai tanda kesopanan. Tidak mendengar suara apapun sebagai jawaban, Ia membukanya perlahan, lalu masuk ke dalam. Baru berjalan dua langkah, matanya sudah disuguhi pemandangan yang tidak pantas.

Mati-matian ia menahan diri agar tidak mengumpat, atau malah merogoh ponsel di celana dan merekam adegan di hadapannya.

Pemilik kedai berbaring di sofa dengan seorang pria yang menindihnya.

Tidak sampai di situ saja, pria berpakaian hitam itu menyingkap kaos Jeon Jungkook, melakukan tindakan asusila dengan lidahnya yang menari-nari di atas perut Jungkook, membuatnya mengeluarkan rintihan yang sukses membuat Juni membanting pintu di belakangnya.

Selain suara pintu yang dibanting keras, eksistensi Juni yang masih berdiri di tempatnya semula membuat Jungkook yang sudah meraih kembali kesadarannya menjadi malu luar biasa. Ia bahkan mendorong Kim Taehyung sekuat tenaga, membuat pria bersurai jelaga itu terjengkal dari sofa. Ia terburu-buru mendudukkan diri, lalu merapikan pakaiannya yang berantakan.

"Aku bisa jelaskan…" suara Jungkook terbata. Wajahnya yang semula merah karena rangsang, kini semakin merah karena malu. "Yeonjun-ah…"

"Astaga…" Pemuda bersurai kemerahan mendengus, ia mengusap wajahnya kasar. "Berhati-hatilah, hyung. Untung aku yang masuk, bukan Kwonnie."

Pemuda tinggi itu berjalan mendekati pintu, lalu membukanya pelan.

"Kwonnie minta dibuatkan es susu dan tiga cookies. Tolong… aku tidak sanggup jika harus berada di sini lebih lama."

Dan pemuda bernama asli Yeonjun itu langsung kembali ke kedai, tak lupa ia menutup pintu dengan sedikit bantingan supaya Jeon Jungkook tahu bahwa tidakannya barusan sangatlah tidak bermoral.

Melihat anak buahnya kembai tanpa membawa susu pesanannya membuat Kwonnie melompat turun dari kursi. Setengah berlari ia menghampiri Juni hyung. Ia menghadang makhluk tinggi yang akan kembali masuk ke dapur kedai itu. Sepasang lengannya bertengger di pinggan, berusaha mengintimidasi sekuat tenaga.

"Mana susu?"

Kali ini matanya melotot, sungguh terlihat menggemaskan.

Choi Yeonjun yang setengah malas, setengah jahil langsung mencoba untuk kabur darinya, tentu dengan usaha yang tidak sungguh-sungguh sehingga Jeon Taekwon dengan sekuat tenaga berhasil kembali menghadangnya.

"Tapi mana susu pakai es!?" suara bocah itu melengking. Ia bahkan menarik-narik apron Yeonjun lantaran merasa kesal diabaikan. "Mana susu dan cookies punya Kwonnie?"

Pemuda bersurai kemerahan tak mampu menahan gemas. Ia berjongkok, terkekeh pelan sebelum menarik pipi Kwonnie main-main. "Momma sedang buatkan susu untuk Kwonnie, nanti dibawakan."

"No no!" Boss Taekwon menyingkirkan tangan lancang pegawainya dari pipi. Ia balas menarik pipi Yeonjun kuat-kuat. "Momma itu sedang bicara-bicara sama poppa untuk kejutan Kwonnie, jangan ganggu untuk buatkan susu! Juni hyung yang buatkan susu!"

Choi Yeonjun mendengus.

Kejutan apa yang dibicarakan jika nyatanya, Jeon Jungkook dan kekasihnya malah bermain tindih-tindihan? Kasihan sekali balita Jeon yang dibohongi oleh orangtuanya sendiri.

"Tadi hyung mau buatkan, tapi momma-mu bilang, ia yang akan membuatkan." Juni hyung membiarkan tangan-tangan kecil Taekwon menyiksa pipinya. "Katanya sudah selesai membicarakan kejutan."

Jeon Taekwon sepertinya belum merasa puas dengan jawaban karyawannya yang menyebalkan. Ia malah semakin menambah tenaga ketika mencubiti pipi Yeonjun. Baginya, ini adalah hukuman yang harus Juni hyung dapatkan karena membuat dirinya kehausan.

"Astaga… Kwonnie kenapa begitu?"

Makhluk tinggi lainnya datang, membuat Kwonnie menghentikan aksinya menghukum Choi Yeonjun. Dan dengan cepat namun hati-hati, tubuh balita Jeon diangkat.

"Kwonnie kenapa mencubiti Yeonjunie hyung, hmm?" pria yang menggendong Taekwon bertanya perlahan, ia mengusap pelan mata balita itu yang sedikit berair, meunjukkan bahwa Kwonnie akan menangis.

"Tapi Kwonnie minta susu tapi Juni hyung tidak mau buatkan, itu membuat Kwonnie kehausan seperti tanaman kering!"

Kalimat panjang dengan nada naik di akhir membuat Choi Yeonjun yang mendengarnya memutar bola mata. Ia berdiri, berujar tanpa kata, memberi tahu rekannya bahwa boss mereka sedang bercumbu dengan kekasihnya, sehingga ia tidak bisa membuatkan susu formula.

"Astaga… ceroboh sekali." gumam pegawai yang menggendong boss kecil, tanpa menyadari balita di gendongannya mencebik karena mengira kalimat barusan ditujukan kepadanya.

"Tapi Kwonnie anak besar tidak ceroboh." Jeon Taekwon protes. Ia merengek, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Soobin hyung nakal bilang Kwonnie ceroboh tapi Kwonnie tidak ceroboh."

Balita pintar Jeon langsung menghadap Yeonjun, mengulurkan kedua tangannya kepada pemuda itu, pertanda bahwa ia minta digendong. Ia benar-benar melupakan fakta bahwa beberapa detik yang lalu, ia dan hyung yang dipanggilnya Juni baru saja bertengkar.

"Uhuhuu… Soobinie tidak keren."

Dan Choi Yeonjun terkekeh sembari mengambil boss kecilnya dari gendongan sang rekan kerja.

Ia lalu menimang bocah yang sepertinya mulai mengantuk. Pantas saja Kwonnie sedikit rewel, ternyata anak itu butuh tidur siang.

Kali ini Choi Soobin yang memutar bola matanya malas, ia baru saja dibuang oleh balita Jeon gara-gara mengomentari tingkah momma Jeon yang tidak patut ditiru.

Untungnya, tak berapa lama, Kim Taehyung datang dengan segelas susu di tangan. Ia menghampiri putranya, mengusak kepalanya lembut, membuat si balita langsung beranjak dari gendongan Juni hyung dan mulai memanjat tubuh sang poppa, tentu dengan sebelah lengan poppa yang menyangganya. Taehyung segera memberikan susunya. Bocah itu langsung meneguk susunya dengan sebelah tanga, lalu tangan yang lain ia gunakan untuk menggaruk wajahnya sendiri.

"Kwonnie temani momma tidur, ya?"

Kim Taehyung tahu, bayi malaikatnya sedang mengantuk. Ia segera berjalan meninggalkan dua pegawai kedai yang telah berjasa menjaga putranya selagi ia berbuat mesum tanpa mengucapkan sedikitpun terima kasih. Yeah… walau tidak sampai pada inti kegiatan lantaran pemuda bersurai kemerahan memergokinya.

Jeon Taekwon terlihat protes, namun dengan kemampuannya bernegosiasi, poppa berhasil meyakinkan sang pangeran kecil untuk tidur siang.

Yeonjun dan Soobin saling bertukar pandang selama beberapa saat, lalu menghela napas pada saat yang hampir bersamaan. Tanpa kata, keduanya kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing; Yeonjun pergi ke dapur untuk mengambil jatah makan siangnya, sementara Soobin merapikan meja yang telah ditinggalkan oleh pelanggan.

.

.

.

.

.

"Kwonnie sudah tidur."

Kim Taehyung yang sedang duduk di sofa ruang tengah menolehkan kepala, menatap sang kekasih yang berjalan ke arahnya. Ia langsung meletakkan ponsel pintar yang sedari tadi dipegangnya. Lengannya mendekap tubuh Jungkook yang duduk dan menggelendot di sampingnya.

"Kau tidak sekalian tidur? Masih pusing?"

Jungkook menggeleng untuk menjawab pertanyaan pertama calon suaminya, lalu mengangguk singkat sebagai jawaban pertanyaan kedua.

"Masih pusing tapi tidak bisa tidur." gumam pria yang lebih muda sembari menyamankan tubuhnya dalam pelukan pewaris Kim.

Taehyung terkekeh pelan, memberikan kecupan ringan di puncak kepala kekasihnya. Sengaja ia diam, tidak mengatakan apapun, dengan harapan agar penyandang marga Jeon tidur dan beristirahat karena keadaannya masih belum bisa dikatakan sehat. Ia bahkan membelai punggung Jungkook dengan gerakan teratur, berharap kenyamanan yang diberikannya akan membuat sang kekasih terlelap.

Keheningan menyelimuti selama beberapa saat, hingga Jungkook menggumamkan pertanyaan. "Kenapa hyung tiba-tiba datang?"

"Aku khawatir." Taehyung menjawab dengan tangan, tangannya masih setia memberikan usapan-usapan yang menenangkan. "Kupikir kesehatanmu berada di titik terendah, atau kau terkena penyakit parah. Aku tersiksa membayangkannya, jadi aku mengambil kereta paling pagi untuk datang ke Busan."

"Hmm… memangnya kondisiku bukan sesuatu yang parah?"

Taehyung bergumam tanpa arti. Ia menegakkan duduknya, lalu mengangkat tubuh Jeon Jungkook supaya berada di pangkuannya. Tangannya bertengger di masing-masing pinggang, sepasang mata tajamnya menatap lekat sang kekasih.

"Aku tidak berpikir itu adalah sesuatu yang parah, sayang. Kau baik-baik saja, nyawamu tidak berada dalam bahaya, dan itu sudah cukup untukku." pewaris perusahaan Kim menenggelamkan wajahnya ke dada Jungkook, mengusaknya jahil, membuat pria yang duduk di pangkuannya tertawa geli. "Sejak awal kondisimu memang seperti ini, dan aku menerimamu apa adanya. Aku bersyukur dengan apapun yang kau punya. Aku bersyukur juga atas kehadiran Kwonnie meski sesungguhnya hampir mustahil bagiku untuk mendapat keturunan darimu."

Jeon Jungkook mengamati bagaimana pria Kim saat ini kembali menatapnya lekat. Bibir tebalnya tersenyum tipis, manis sekali.

"Momma, poppa, dan Kwonnie. Bertiga saja sudah cukup."

Dan Jungkook menganggukkan kepalanya sembari mengalungkan sepasang lengannya ke leher pria Kim erat. Ia bisa merasakan Kim Taehyung yang jahil sedang menggigiti dadanya yang masih tertutup kaos, dan itu berhasil membuatnya tertawa kecil.

"Hentikan." Jungkook menjeda hanya untuk menyuarakan tawa. Ia mencubit main-main pinggang Taehyung, dan dengan sengaja menggeser bokongnya hingga menghimpit tonjolan di selangkangan pria Kim. "Nanti Yeonjun memergoki kita lagi."

Dan nama itu berhasil membuat Kim Taehyung mengerang kesal. Ia masih mengingat bagaimana setelah menemani Jungkook makan siang, dirinya sedang berada dalam mood yang bagus untuk bercinta. Pemuda Jeon yang menolaknya tanpa tenaga dengan alasan takut ketahuan tentu tak dapat menghentikan hasrat seorang Kim Taehyung. Hampir saja mereka memadu kasih kalau salah satu pegawai kedai Jeon tidak masuk dan menyaksikan bagaimana nakalnya seorang Kim. Sialnya, Jungkook langsung mendorongnya kuat, membuat Taehyung hampir kembali mengumpat bangsat.

Bagaimanapun, pemuda jangkung itu ada benarnya. Kim taehyung harus memperhatikan sekitar sebelum memutuska untuk melepas nafsu karena bisa saja, Kim Taekwon memergoki mereka. Tentu akan sangat sulit menjelaskan kegiatan bercinta kepada balita berusia empat.

"Tidurlah, jangan pikirkan apapun lagi. Semua sudah beres."

Gumaman Taehyung yang masih menenggelamkan wajahnya ke dada Jungkook sukses membuat pria yang lebih muda memberikan segala atensinya. Sebelah tangan Jungkook terulur untuk menyisir surai tebal kekasihnya yang memanjang.

"Aku dan Namjoon sudah selesai menghitung semua kemungkinan."

Jeon Jungkook paham apa yang dimaksud calon suaminya. Jujur saja, memang ini yang membebani pikirannya, membuatnya tanpa sadar memiliki pola tidur yang rusak karena insomnia.

"Aku juga tidak mencari gara-gara dengan Park Jimin meski makhluk cebol itu melukai setan kecilku."

Kali ini Jungkook terkekeh. Menopangkan dagunya ke puncak kepala Kim Taehyung. Ia tentu tidak lupa dengan insiden yang terjadi saat awal pewaris Kim mengetahui bahwa Jeon Taekwon adalah putranya. Ia tidak akan melupakan kejadian itu, namun tidak akan mendendam pula pada Park Jimin, kekasihnya saat itu.

"Si brengsek satu itu bersikap profesional saat bekerja, dan itu sudah cukup. Aku tidak ingin berurusan lebih jauh dengannya selain untuk urusan pekerjaan."

Masih dengan posisi semula, Jungkook menganggukkan kepala. Ia juga tidak ingin berurusan lagi dengan mantan kekasihnya, jadi ia memilih untuk tidak banyak bertanya.

"Aku memberi tahu Joohyun noona tentang rencanaku, dan ia mengumpatiku habis-habisan."

Kali ini Jungkook tertawa. Ia tahu betul bagaimana teman mendiang kakaknya tidak pernah akur dengan calon suaminya. Meski begitu, kedua saudara itu sesungguhnya saling mendukung satu sama lain.

Ini rahasia, tapi Jungkook sebenarnya sering menceritakan keresahannya kepada Joohyun noona melalui panggilan suara. Keduanya banyak bercerita usai pertemuan keluarga beberapa saat yang lalu.

"Akhir pekan nanti akan menemui orangtuaku untuk membicarakan ini." perlahan, Kim Taehyung merebahkan tubuhnya di sofa. Ia memosisikan Jungkook agar berbaring di atasnya, di dalam dekapannya yang hangat. "Aku akan bersama Namjoon. Mungkin bajingan Park akan ikut untuk membantu Namjoon menyiapkan berkas dan lain sebagainya. Namjoon bilang si kerdil itu juga bisa belajar dari kasus yang kuhadapi."

Kim Taehyung menghela napas lelah, dan Jungkook menghadiahinya dengan kecupan singkat di dagu.

"Jangan terbiasa mengumpatinya. Kau akan bingung jika Kwonnie menanyakan umpatanmu yang menyebalkan itu."

Taehyung tertawa pelan. Ia melirik wajah Jungkook hanya untuk mendapati wajah pria itu yang terlihat indah dengan mata terpejam. "Aku akan berhati-hati."

Jungkook yang belum sepenuhnya tidur hanya menjawabnya dengan gumaman. Ia merasa tenang saat indera penciumannya menghirup aroma tubuh pria Kim yang entah bagaimana begitu disukainya.

"Apa aku harus ikut?"

Pertanyaan ragu itu terlontar dari bibir Jungkook, membuat Taehyung memutuskan untuk memejamkan matanya juga, berharap untuk bisa terlelap bersama kekasihnya.

"Tidak perlu. Kau hanya harus menunggu dan mendoakanku. Siapkan juga hadiah spesial yang menggairahkan untuk menyambut keberhasilanku"

Jeon Jungkook hanya membalasnya dengan tawa pelan.

Setelahnya, mereka tak lagi bicara.

Kim Taehyung ingin sang kekasih beristirahat karena ia tahu, Jungkook masih sangat membutuhkannya. Sementara penyandang marga Jeon memutuskan untuk mencoba tidur karena ia ingin segera sembuh dari pusing yang melanda.

Meski tanpa kata, keduanya sungguh sadar bahwa harapan mereka tidak persis sama. Kim Taehyung menginginkan supaya ia bisa mengklaim jerih payahnya untuk Kim Enterprise jika pihal keluarga Kim tak juga menerima keputusannya untuk menikahi Jungkook. Ia sudah menyiapkan skenario yang siap digunakan supaya publik tidak memandang sebelah mata Jeon Jungkook, juga agar citra keluarga Kim tetap terjaga. Jika pada akhirnya memang Jungkook tidak bisa diterima, Kim Taehyung akan membawa pergi apa yang bisa ia bawa, lalu membangun hidupnya dari awal bersama keluarga kecilnya.

Jeon Jungkook hanya ingin satu; agar Kim Taehyung selalu bersamanya, juga menjadi ayah yang baik untuk putra kesayangan mereka. Ia sungguh tak mengharapkan Taehyung meminangnya dengan kekayaan atau uang. Jikapun pria Kim datang padanya tanpa apa-apa, Jungkook merasa mereka akan bisa bertahan dengan kedai kecil miliknya. Jika boleh meminta, Jungkook ingin agar Taehyung segera menikahinya, tinggal bersamanya dan Jeon Taekwon, lalu memulai semua dari awal tanpa harus repot mengurus kekayaan dari perusahaan Kim. Namun tentu saja, sebagai orang yang telah bekerja keras dan mengabdi untuk perusahaan keluarganya, Taehyung tidak akan mau jika jerih payahnya tidak dihargai.

Jeon Jungkook yang tidak tahu apa-apa soal kerajaan bisnis Kim enggan berkomentar.

Ia percaya kepada kekasihnya…

Ia percaya kepada calon suaminya…

Ia percaya bahwa kebahagiaan yang dijanjikan Kim Taehyung utnuknya, juga malaikat kecil mereka, akan segera terwujud.

Sepasang netra Jungkook terbuka, ia sedikit mendongak, menatap wajah calon suaminya penuh harap. Dengan senyum tipis terlukis di bibir, ia berujar lirih.

"Aku mencintaimu, hyung. Terima kasih sudah mau berjuang untukku."

Dan lengan pria Kim yang tengah memeluk tubuh Jungkook terasa lebih erat mendekap.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC