Minggu pagi. Hujan. Dingin.

Haechan tentu senang, karena setelah enam hari pulang ke Jeju ㅡitu berarti ia tidak bisa bangun siang dan menikmati pagi harinya di kasur, kini ia dapat bergulung di dalam selimutnya yang hangat.

Namun terkadang, sesuatu yang direncanakan tidak selamanya berjalan lancar, benar?

Seperti sekarang ini, anak itu tengah gulang-guling di atas kasurnya, mencari posisi senyaman mungkin untuk kembali tidur. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan, namun bagi Haechan, sekarang masih terlalu pagi untuk bangun. Mungkin karena selama enam hari belakangan ini ia selalu bangun sebelum matahari terbit. Itu juga terpaksa, karena ibunya amat membenci kebiasaan Haechan yang gemar bangun siang. Namun sekarang kan ia sudah di Seoul, sudah tidak bersama ibunya. Jadi biarlah Haechan bangun siang, toh ibunya tidak tahu.

Haechan rasa ia baru dapat tertidur kembali selama sepuluh menit, sebelum ia merasakan basah di pipinya, ditambah dengan sesuatu yang terasa berat di atas pundaknya. Haechan pikir itu Puyo ㅡanjingnya, jadi dengan acuh anak itu menyingkirkan Puyo dari atas tubuhnya. Lalu kembali tertidur membelakangi anjing tersebut.

Tunggu. Puyo? Haechan kan sudah berada di Seoul, bukan Jeju. Sejak kapan anjing berwarna putihnya itu tinggal di apartemennya?

Baru saja Haechan tersadar, ia dapat merasakan jambakan yang cukup kuat dari belakang rambutnya. Ditambah dengan suara rengekan bayi. Haechan jadi takut, apa karna ditinggal enam hari ke Jeju apartemennya ini jadi berhantu, ya? Mana sosok hantunya bayi lagi ㅡini hanya asumsi Haechan karena suara rengekan yang ia dengar tadi.

Asal kalian tahu saja, Haechan amat sangat membenci anak kecil, apalagi bayi. Pernah sekali Haechan menggendong keponakannya yang baru berusia sepuluh bulan, dan Haechan hampir saja membunuhnya dengan menjatuhkan anak itu dari atas balkon.

Alasan Haechan membenci anak kecil? Tidak ada alasan spesifik. Ia hanya tidak suka ketika atensi publik yang biasanya tertuju padanya, kini harus tertuju pada anak kecil. Tentu saja muka Haechan kalah lucu dengan muka anak kecil yang masih sangat mulus. Tingkah anak kecil juga kerap kali menggemaskan, membuat orang-orang gemar mengerubunginya seperti semut mengerubungi gula. Ah bilang saja Haechan cemburu karena sejak lahirnya Jisung ㅡkeponakannya, anggota keluarganya jadi lebih memperhatikan Jisung. Dari situlah kebenciannya akan anak kecil berasal. Kekanakan? Memang!

Mulut Haechan sudah komat-kamit, menuturkan doa. Matanya terpejam. Rapat. Tidak ingin melihat sosok si hantu. Ia rasa ini teguran dari Tuhan karena akhir-akhir ini dirinya jarang beribadah. Tapi bukannya hilang, suara rengekan malah terdengar semakin kencang. Bahkan kini Haechan dapat kembali merasakan sosok tersebut di pundaknya. Eh memangnya hantu senyata ini ya?

"Ya Tuhan kalau memang aku harus mati di tangan hantu ini, biarlah aku mati dengan tenang. Ampunilah juga dosaku selama di dunia. Maaf bila selama iniㅡ"

"Chan?"

Demi semua nama suci, Haechan tidak pernah merasa selega ini seumur hidupnya. Rasa berat di pundaknya menghilang, dan yang paling penting, kini ada Mark kekasihnya yang tengah mengelus wajahnya dengan lembut.

Haechan membuka matanya dengan perlahan. Takut-takut jika suara yang di dengarnya tadi bukanlah berasal dari Mark. Beruntung yang dilihatnya sekarang adalah sungguhan Mark, bukan sosok hantu menyeramkan.

"HYUNG!" Tanpa ba-bi-bu Haechan langsung menghamburkan diri ke pelukan Mark. Untung saja ia tidak menangis karna ketakutan tadi. Mau ditaruh dimana harga diri Haechan bila hal itu sampai terjadi?

"Kenapa, hm? Kau mimpi buruk?" Mark mengelus surai kemerahan Haechan. Sesekali mengecup pucuk kepala anak itu.

"Ada hantu bayi di apartemenku. Kau tahu hyung? Aku mendengar suara rengekan bayi, tepat di belakang tubuhku. Bahkan tadi aku merasa hantu itu menindih pundakku dan menjambak rambutku. Hyung aku takuttt."

Mark tertawa. Apa-apaan, mana ada hantu di pagi menjelang siang begini? Haechannya ini pasti sedang melantur.

"Hyung! Kok malah ketawa?"

"Tidak ada hantu bayi disini, Haechan sayang. Adanya Chenle."

"Chenle? Siapa?"

"Itu." Mark menunjuk seorang anak yang tengah duduk di sofa kamar Haechan. Mulutnya tidak lagi merengek karna kini ada dot yang menyumpalnya.

Haechan mengucek matanya. Mengerjap-ngerjap, lalu kembali mengucek. Sebelum dirinya berteriak dengan suara nyaring. "HYUNG KENAPA ADA ANAK KECIL DI APARTEMENKU?"

ㅡㅡㅡ

Jadi ini hanya prolog karna aku belum sempet nulis sisanya (diriku lagi UN tp malah nulis fic HAHA)

Ini gak panjang kok, karena aku cuma nyeritain kegiatan mereka selama satu hari.

Dan aku minta maaf kalau misalnya gaya penulisannya aneh(?) karena kadang aku merasa begitu tiap baca ceritaku wkwk.

Selamat membaca!